Penentuan Waktu Oksidasi Terbaik untuk Proses Penyamakan Kulit Samoa Menggunakan Minyak Biji Karet dengan Oksidator Natrium Hipoklorit

(1)

DETERMINATION OF THE BEST OXIDATION TIME OF CHAMOIS LEATHER PROCESS USING RUBBER SEED OIL WITH OXIDIZING AGENT OF SODIUM HYPOCHLORITE

Ono Suparno and Irfina Febianti

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Darmaga IPB Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

ABSTRACT

Chamois leather is a well known product, as it has specific uses for gasoline filtration, cleaning and drying of optical equipment, spectacles, mirror and vehicles. It can be produced by using rubber seed oil and oxidizing agent of sodium hypochlorite. The best oxidation time condition for tanning need to be applied in order to obtain good quality leather. The objectives of the research was to determine the best oxidation time condition for the tanning process. The experiment was carried out by tanning of goat pickle pelts for 4, 6, 8 hours of oxidation times inside the rotary drum and 1, 2, 3 days of oxidation times at a toggle dryer. This study shows that the chemical, physical and organoleptic properties of the leather met the quality requirements for the chamois leather. The best oxidation times for the process were 4 hours in the rotary drum and hang at toggle for 3 days. The chemical properties of the leathers were pH of 7.48, ash content of 1.99%, and oil content of 4.51%. Their physical properties were thickness of 0.7 mm, tensile strength of 30.20 N/mm2, elongation at break 178.09%, tear strength of 75.105 N/mm, and water absorption of 315.655% (2 hours) and 346.49% (24 hours). The organoleptic properties of the leathers, i.e. softness, colour and odour, were considered good to excellent.


(2)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan komoditas kulit. Kulit merupakan produk yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Kulit juga merupakan salah satu produk ekspor potensial Indonesia dari sektor peternakan yang permintaannya terus meningkat. Kulit, apabila diolah menjadi produk-produk yang berdaya guna dan estetik maka akan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Kulit akan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dan mutu yang baik apabila dilakukan pengolahan terlebih dahulu dengan serangkaian proses yang disebut dengan penyamakan. Pada prinsipnya, penyamakan merupakan proses yang bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mempunyai sifat tidak stabil yaitu mudah rusak oleh pengaruh biologis, fisik dan kimia, menjadi kulit tersamak yang mempunyai sifat stabil dan tahan terhadap pengaruh dari luar. Kulit yang telah mengalami penyamakan dengan menggunakan minyak dinamakan dengan kulit samoa (kulit samak minyak).

Penggunaan kulit samoa sangat luas, kulit samoa memiliki fungsi penggunaan khusus yaitu sebagai penyaring minyak bumi mutu tinggi dan pembersih alat-alat optik. Selain itu, produk kulit samoa dapat digunakan sebagai pembersih jendela, badan kendaraan, kaca mata dan sebagainya. Pada umumnya, pembuatan kulit samoa dibuat dengan menggunakan minyak ikan.

Penyamakan dengan bahan penyamak minyak memiliki kelemahan, diantaranya memerlukan waktu oksidasi yang cukup lama. Proses penjemuran (oksidasi) pada tahap finishing setelah penyamakan dengan minyak membutuhkan waktu rata-rata 1-2 minggu. Hal ini mengakibatkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi kulit samoa secara keseluruhan.

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa natrium hipoklorit dan hidrogen peroksida merupakan oksidator yang baik dalam penyamakan kulit samoa menggantikan natrium perkarbonat yang telah digunakan sebelumnya (Suparno 2010). Natrium hipoklorit dan hidrogen peroksida mempunyai keunggulan lebih murah dan potensial digunakan sebagai oksidator dalam penyamakan kulit. Penelitian selanjutnya yang akan dilakukan yaitu mengetahui waktu oksidasi yang paling sesuai untuk penyamakan kulit samoa. Waktu oksidasi yang diperlukan dengan oksidator natrium hipoklorit pada saat di dalam drum berputar adalah 6 jam, sedangkan pada saat di luar drum berputar selama 2 hari. Waktu oksidasi di dalam dan di luar drum berputar tersebut belum merupakan waktu oksidasi yang terbaik dalam penyamakan, oleh karena itu sangat diperlukan penelitian untuk meningkatkan mutu kulit samoa yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan nilai jual dari kulit samoa.

1.2

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu optimum pada saat di dalam dan di luar drum berputar untuk memperoleh kulit samak terbaik serta untuk membandingkan mutu kulit samoa dengan perubahan waktu oksidasi dengan menggunakan oksidator natrium hipoklorit, mengetahui sifat-sifat kulit samoa yang dihasilkan serta melakukan kajian mikroskopis serat kulit hasil penyamakan.


(3)

2

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kulit

Kulit hewan merupakan bahan mentah kulit samak. Kulit tersebut berupa tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel-sel hidup serta hasil-hasilnya. Kulit hewan terbentuk dari berbagai tenunan. Cara pembuatan kulit samak diantaranya adalah dengan mengeluarkan tenunan yang tidak dapat disamak, kemudian menyamak tenunan yang tinggal sedemikian rupa sehingga akan diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki (Judoamidjojo 1981). Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh dari pengaruh-pengaruh, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi serta merupakan alat pengantar suhu (Suardana et al. 2008).

Menurut Fahidin dan Muslich (1999), struktur kulit hewan dapat dibedakan secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, kulit hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon, kepala dan leher serta daerah kaki, ekor dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidermis, korium dan subkutis.

Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al. 2008)

Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan kualitas kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena bagian ini meliputi 55 persen dari seluruh kulit. Pada bagian ini terdapat jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23 persen dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah ini relatif lebih tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari krupon. Daerah kaki, perut, dan ekor meliputi 22 persen dari seluruh kulit. Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif lebih tipis dan jaringannya longgar, sedangkan kulit pada daerah kaki lebih tebal dan jaringannya lebih padat (Fahidin dan Muslich 1999).

Keterangan : A,B : Bagian kepala dan leher C,D : Krupon


(4)

Gambar 2. Penampakan kulit secara mikroskopis (Suardana et al. 2008)

Kulit hewan secara mikroskopis (histologis) dibagi berdasarkan struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium merupakan tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses-proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelok-kelok dalam berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman atau tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian-bagian besar terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin.

Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein dan golongan non-protein. Protein berbentuk terdiri dari kolagen, elastin, dan keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit, karena kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan kimia dalam kulit adalah air 65 persen, lemak 1.8 persen, bahan mineral 0.2 persen, dan protein 33 persen (Fahidin dan Muslich 1999).

Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein (polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian, sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang paling sedikit adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang memiliki kandungan air paling banyak adalah korium. Lipid paling banyak terdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada umumnya memilki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagai garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat, sedikit SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo 1985).

2.2

Minyak Biji Karet

Biji karet terdiri atas 45-50 persen kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 persen daging biji yang berwarna putih (Nadarajah 1969 dalam Silam 1998). Biji karet segar terdiri atas 34.1 persen kulit, 41.2 persen isi dan 24.4 persen air, sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41.6 persen kulit, 8 persen kadar air, 15.3 persen minyak dan 35.1 persen bahan kering (Nadarajapillat dan Wijewantha 1967).

Penelitian yang dilakukan oleh Bahasuan (1984) mengenai komposisi kimia daging biji karet menunjukkan bahwa kandungan kadar air biji karet yang dihasilkan sebesar 14.5 persen, protein kasar

Keterangan :1. Rambut 2. Lubang rambut 3. Kelenjar lemak 4. Kantong rambut 5. Kelenjar keringat 6. Sel lemak 7. Pembuluh darah 8. Syaraf

9. Serat Collagen 10. Tenunan lemak


(5)

4 22.5 persen, serat kasar 3.8 persen, lemak kasar 49.5 persen dan kadar abu sebesar 3.5 persen. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Stosic dan Kaykay (1981) komposisi kimia daging biji karet menunjukkan bahwa kandungan kadar air biji karet 7.6 persen, protein kasar 21.7 persen, serat kasar 2.8 persen, lemak kasar 39 persen dan kadar abu sebesar 3.1 persen (Aritonang 1986).

Kandungan minyak dalam daging biji karet atau inti biji karet 45-50 persen dengan komposisi 17-22 persen asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77-82 persen yang terdiri atas asam oleat dan linoleat (Hardjosuwito dan Hoesnan 1976). Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil), yakni minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren 1986).

Menurut Suparno et al. (2009a), minyak biji karet memiliki bilangan iod yang tinggi yaitu 146 (g I/100 g minyak) yang menunjukkan tingginya kandungan asam lemak tak jenuh yang dimiliki. Bilangan iod yang tinggi merupakan salah satu persyaratan minyak dapat digunakan sebagai bahan penyamak minyak. Hardjosuwito dan Hoesnan (1976) menjelaskan bahwa komposisi asam lemak di dalam minyak biji karet terdiri atas asam lemak jenuh sebesar 17 – 22 persen yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, dan asam lemak tidak jenuh sebesar 77 – 82 persen yang terdiri atas asam oleat, linoleat, dan linolenat.

Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak biji karet dan minyak ikan

No Sifat fisiko kimia Minyak biji karet Minyak ikan

1 Warna (Unit PtCo) 4076 6106

2 Densitas (g/cm3) 0.92 0.92

3 Bilangan iod (g I/100 g minyak) 146 148

4 Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 2.08 0.19

5 Kadar asam lemak bebas ( persen) 1 0.095

6 Bilangan peroksida (meq/kg) 31.33 13.97

7 Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak)

185 168

Sumber: Suparno et al. (2009a)

2.3

Penyamakan Kulit

Penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tannin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al. 2005). Menurut Fahidin dan Muslich (1999), penyamakan adalah suatu rangkaian pengerjaan terhadap kulit mentah dengan zat penyamak, sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh kimia dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu. Tujuan pokok dari penyamakan kulit adalah untuk menghasilkan kulit samak yang sesuai dengan mutu kulit yang dikehendaki.

Kulit samak yang telah digunakan orang untuk berbagai keperluan sejak ribuan tahun lalu, mempunyai sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan alami maupun bahan buatan manusia yang lain. Kulit samak dapat mengeras tetapi dapat pula sangat lembut dan lugas seperti tekstil. Kulit samak


(6)

tidak hanya kuat, tahan lama serta lugas tetapi juga mempunyai struktur berpori yang unik sehingga dapat bernafas (Judoamidjojo 1981).

Penyamakan bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia, atau fisika menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan tertentu yang disebut bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit, sehingga terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo 1992).

Penyamakan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung bahan yang digunakan. Secara praktis penyamakan dapat digolongkan menjadi 5 sebagai berikut (Suparno 2009):

a. Penyamakan nabati, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuhan, contohnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni, kayu quebracho

b. Penyamakan mineral, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak mineral contohnya kromium, besi, cobalt, dan zirconium

c. Penyamakan aldehid, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak aldehid contohnya formaldehida, glutaraldehida, dan oksazolidin

d. Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain

e. Penyamakan sintetis, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak sintetis. Bahan penyamak sintetis terdiri dari dua bagian, yaitu bahan penyamak sintetis alifatis dan bahan penyamak sintetis aromatis

2.4

Penyamakan Awal

Suparno (2009) menyebutkan bahwa bahan penyamak yang digunakan untuk penyamakan awal dalam produksi kulit samoa adalah formaldehida, glutaraldehida atau oksazolidin. Bahan-bahan tersebut dapat berfungsi sebagai penyamak tunggal atau kombinasi. Suhu kerut kulit samak aldehida adalah 80-85oC.

Glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Karena penggunaan formaldehida dalam penyamakan kulit menurun, penggunaan glutaraldehida sebagai bahan pengganti meningkat. Gambar 3 menunjukkan struktur dialdehida alifatik tersebut dalam larutan. Struktur tersebut merupakan sebuah struktur penghubung antara dua molekul glutaraldehida yang bereaksi (Suparno 2009).

Menurut Damink et al. (1995), dalam suatu skema komplek reaksi, glutaraldehida membentuk basa Schiff dengan protein dan distabilisasi oleh molekul-molekul glutaraldehida lain. Tidak ada bukti bahwa crosslink terbentuk. Tiga molekul glutaraldehida difiksasi per grup amino lisyne, tidak ada bukti untuk sebuah matriks terpolimerisasi.

Basa Schiff terbentuk karena adanya hubungan antara ikatan antara gugus aldehida dan gugus amino. Basa Schiff yang dihasilkan dari proses ikatan antara kedua gugus tersebut yang menghasilkan aldehida sedikitnya satu atom hidrogen terikat pada karbon dalam gugus karbonil. Gugus fungsi dalam senyawa ini adalah gugus karbonil, C=O. Keberadaan atom hidrogen tersebut menjadikan aldehida sangat mudah teroksidasi. Atau dengan kata lain, aldehida adalah agen pereduksi yang kuat. Aldehida dapat dioksidasi dengan mudah menggunakan semua jenis agen pengoksidasi (Arsyad 2001). Menurut Pudjaatmaka (2002), basa Schiff merupakan senyawa yang dibentuk karena kondensasi amina dan aldehida. :

RCHO + H2NC6N5  RCH=NC6H5 + H2O

Sobiston (1995) menjelaskan bahwa kekuatan serat kolagen tergantung atas hubungan silang di dalam dan di antara molekul. Ikatan yang paling sering adalah ikatan antara gugus aldehida


(7)

6 hidroksilisin dan gugus amino hidroksilisin lain yang disebut basa Schiff. Gambar 4 menunjukkan reaksi yang terjadi antara glutaraldehida dengan protein.

Gambar 3. Polimerisasi glutaraldehida (Suparno 2009)

Gambar 4. Reaksi antara glutaraldehida dan protein (Covington 2009)

Seperti formaldehida, kulit yang disamak dengan glutaraldehida adalah tahan cuci dan hidrofilik. Suhu kerutnya mirip. Namun, warnanya berbeda, glutaraldehida menghasilkan warna kuning. Turunan glutaraldehida telah ditawarkan ke industri, yakni Relugan GT, turunan tambahan bisulfit. Bahan tersebut menghasilkan kulit samak lebih pucat, tetapi tetap menghasilkan warna kuning. Produk lainnya adalah Relugan GT50, yang merupakan larutan 50 persen dari glutaraldehida yang digunakan sebagai pretanning, selftanning, dan retanning agents untuk seluruh jenis kulit samak (Suparno 2009).

2.5

Penyamakan Minyak

Penyamakan minyak adalah penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samak minyak (chamois leather). Metode tradisional pembuatan kulit samoa adalah mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharpouse 1995; Dewhurst 2004).

Minyak yang dibutuhkan dalam penyamakan tergantung dari jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Minyak tersebut akan melakukan cross-link dengan protein yang ada di kulit untuk membentuk kulit samak (Suparno 2006).


(8)

Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharpouse 1995).

Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung minyak berlangsung dalam dua fase, mula-mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus asam amino dari kolagen.

2.6

Kulit Samak Minyak (

Chamois Leather

)

Kulit samoa merupakan artikel kulit yang popular dalam perdagangan (Sharpouse 1995). Permintaan akan kulit samoa di pasaran global terus meningkat (Khrisnan et al. 2005). Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dan lapisan grain.

Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, yakni memiliki berat jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann 1999). Penggunaan utama kulit samak minyak adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan diantaranya adalah kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaring air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharpouse 1995 ; John 1996)

Persyaratan-persyaratan penting kulit samoa yang diperlukan, misalnya persyaratan kulit samoa menurut SNI disajikan dalam Tabel 3, persyaratan untuk pembuatan sarung tangan disajikan dalam Tabel 4.


(9)

8 Tabel 2. Persyaratan mutu kulit samoa menurut SNI 06-1752-1990

Parameter Satuan

Persyaratan

Keterangan

Minimal Maksimal

Sifat Kimia :

•Kadar minyak (%)

•Kadar Abu (%)

•pH - - - - - - 10 5 8 - - Sesudah disarikan minyaknya

Sifat Fisis :

•Tebal

•Kekuatan tarik

•Kemuluran (%)

•Kekuatan jahit

•Kekuatan sobek

•Penyerapan air (persen) - 2 jam - 24 jam

mm N/mm2 - N/mm2 N/mm - - 0.3 7.5 50 40 15 100 200 1.2 - - - - - - - - - - - - - Organoleptis :

•Keadaan kulit

•Warna - - Halus Kuning muda - -

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1990)

Tabel 3. Persyaratan mutu kulit samoa untuk kulit sarung tangan

Parameter Persyaratan

Kadar abu Maksimal 6.0 persen

Bahan-bahan lemak Maksimal 10 persen

Kekuatan tarik Minimal 10 N/cm2

Ektensi pada 2 N/cm Minimal 30

Elongation at berak Minimal 50 persen

Kemampuan cuci Maksimum suhu pencucian 30 ± 2oC

Nilai pH Aqueous extract (1:20), ≤ 8.5

Sumber : John (1996)

2.7

Natrium Hipoklorit

Natrium hipoklorit merupakan salah satu bahan kimia yang berfungsi sebagai desinfektan karena sifatnya yang dapat melepaskan klorin (Anonim 2009). Hapsari (2009) menyebutkan bahwa bahan kimia golongan hipoklorit atau agen oksida merupakan bahan antimikroba yang mampu membunuh mikroorganisme. Lebih lanjut dikatakan bahwa natrium hipoklorit merupakan salah satu zat aktif yang jika dilarutkan dalam air akan menimbulkan efek bleaching karena dapat melepaskan ion klorida ke dalam larutan.


(10)

Menurut Anonim (2009), natrium hipoklorit (NaOCl) merupakan senyawa yang dapat secara efektif digunakan untuk pemurnian air. Dalam skala besar natrium hipoklorit juga digunakan untuk pemurnian permukaan, pemutih, penghilang bau dan disinfektan air. Natrium hipoklorit berupa larutan yang berwarna agak kekuningan dengan bau yang khas. Sebagai agen pemutih untuk keperluan rumah tangga, biasanya digunakan natrium hipoklorit 5 persen (dengan pH sekitar 11) atau 10-15 persen (dengan pH sekitar 13). Natrium hipoklorit bersifat tidak stabil, mudah hancur oleh panas, asam, sinar matahari, logam tertentu serta gas beracun dan korosif, termasuk klorin. Natrium hipoklorit adalah oksidator kuat serta bereaksi dengan senyawa yang mudah terbakar dan reduktor.

Keberadaan soda kaustik dalam natrium hipoklorit menyebabkan pH air meningkat. Ketika natrium hipoklorit larut dalam air, dua zat bentuk, yaitu asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl-), pH air menentukan berapa banyak asam hipoklorit yang terbentuk. Penambahan hipoklorit dalam air menyebabkan terbentuknya asam hipoklorit (HOCl) dengan reaksi sebagai berikut :

NaOCl + H2O HOCl + NaOH

-Asam hipoklorit kemudian terdegradasi membentuk asam klorida (HCl) dan oksigen (O2). Oksigen merupakan oksidator yang sangat kuat. Oleh karena itu, natrium hipoklorit sering digunakan untuk membunuh bakteri, virus, dan jamur (Anonim 2009).

Menurut Fygy (2009), natrium hipoklorit dan kalsium hipoklorit mempunyai sifat multifungsi. Selain sebagai pemutih, kedua senyawa ini dapat berfungsi sebagai penghilang noda dan desinfektan (sanitizer). Fungsi ganda NaClO sebagai penghilang noda maupun desinfektan dapat menjadi keunggulan ekonomis.

Secara komersial menurut Casson and Bess (2003), natrium hipoklorit tersedia dalam konsentrasi 5-15 persen. Padatan natrium klorida terbentuk jika kandungan konsentrasinya di atas 15 persen. Stabilitas natrium hipoklorit sangat dipengaruhi oleh pH, panas, cahaya, dan kation logam berat. Larutan hipoklorit paling stabil pada konsentrasi hipoklorida 10 persen pada pH 11, dengan logam Fe, Cu, atau Ni dengan konsentrasi 0.5 mg/L dan harus disimpan di tempat gelap pada suhu 21oC. Jika pH kurang 11, biasanya akan mengalami dekomposisi dengan cepat (Herry 2010).

2.8

Pengaruh Jumlah Minyak dan Proses Oksidasi Selama Penyamakan

1. Pengaruh Jumlah Minyak dalam Penyamakan

Minyak yang dibutuhkan dalam penyamakan tergantung dari jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Minyak tersebut akan mengalami oksidasi dan polimeriasi, kemudian terfiksasi pada serat yang ada dikulit untuk membentuk kulit samoa (Suparno 2006). Serat kolagen adalah komponen utama yang akan bereaksi dengan minyak sehingga kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan penyamak disesuaikan dengan jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air basa hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharpouse 1981; Dewhurst 2004)

2. Proses Oksidasi Selama Penyamakan Minyak

Proses oksidasi dilakukan dengan dua perlakuan, yaitu oksidasi di dalam molen dan oksidasi di luar molen (dibentangkan pada toggle). Proses penyamakan minyak akan terjadi pada saat oksidasi di dalam molen. Proses penyamakan minyak terjadi ketika minyak berpenetrasi ke dalam kulit dan mengalami proses oksidasi antara asam lemak tidak jenuh pada minyak yaitu oleat,


(11)

10 linoleat dan linolenat yang mengakibatkan terjadinya ikatan antara minyak dan protein kolagen pada kulit melalui pembentukan matriks polimer. Oksidasi di luar molen dilakukan untuk menyempurnakan proses oksidssi di dalam molen. Adanya oksigen di udara saat kulit dioksidasi di luar molen dapat membantu proses oksidasi. Oksidasi oleh oksigen udara terjadi secara spontan jika bahan yang mengandung minyak atau lemak dibiarkan kontak dengan udara. Selain itu, saat oksidasi di luar molen, kulit dibentangkan pada toggle dryer, sehingga ada aliran udara kering yang mengenai kedua sisinya yang menyebabkan kulit lebih kaku, kering, dan teksturnya lebih kuat.

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan, sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecilpun mudah mengalami proses oksidasi. Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh), sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam molekul trigliserida terdiri dari asam oleat (mengandung 1 ikatan rangkap), asam linoleat (2 ikatan rangkap), dan asam linolenat (3 ikatan rangkap) (Ketaren 1986). Secara umum, reaksi pembentukan peroksida dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Reaksi Pembentukan Peroksida (Ketaren 1986)

Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai karbon. Sebagai contoh, asam linoleat akan teroksidasi lebih mudah daripada asam oleat pada kondisi yang sama (Ketaren 1986).

Selama proses penyamakan, maka minyak akan membentuk senyawa-senyawa polimer yang akan masuk ke dalam kulit. Secara umum, proses pembentukan senyawa polimer pada proses oksidasi dapat dilihat pada Gambar 6.

-CH = CH- + HOO-R -CH = CH+- O-OR H

-CH – CH(OH)- O - R

Gambar 6. Reaksi Pembentukan Senyawa Polimer (Ketaren 1986)


(12)

III.

METODE PENELITIAN

3.1

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku (utama) dan bahan pembantu. Bahan baku (utama) yang digunakan adalah kulit kambing pikel dan biji karet sebagai bahan penghasil minyak. Bahan pembantu adalah bahan-bahan kimia yang digunakan selama penyamakan dan analisis kimia (kulit dan minyak). Bahan pembantu penyamakan terdiri atas degreaser, natrium formiat, asam formiat, natrium hipoklorit (NaClO), NaCl dan Relugan GT50. Bahan pembantu analisis kulit dan minyak terdiri atas alkohol 95%, KOH 0.1 N dan 0.5 N, indikator PP, KI 15%, inidaktor pati, natrium tiosulfat, aquades, HCl 0.5 N, heksan, khloroform dan larutan Wijs.

Alat yang digunakan selama penelitian ini terdiri atas alat penyamak, alat analisis (kulit tersamak dan minyak) dan alat ukur fisik kulit. Alat yang digunakan selama penyamakan adalah molen (drum berputar), alat stacking, mesin buffing, mesin shaving, togel dryer, dan kuda-kuda penjemur kulit. Alat untuk analisis kimia adalah oven, desikator, tanur, timbangan, pH meter, kertas saring, gelas ukur, labu erlenmeyer, gelas piala, labu ukur, penyaring, dan buret. Alat ukur fisik kulit adalah thickness gauge, kubelka glass apparatus, tensile strength meter, jangka sorong, mistar dan gunting.

3.2

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai Maret sampai dengan Juli 2011. Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah Balai Penelitian Hasil Hutan; Laboratorium Penyamakan Kulit, Laboratorium DIT, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan Laboratorium Pengemasan dan Penyimpanan Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB; Laboratorium Keteknikan Kayu Fahutan IPB; dan Unit Zoologi LIPI Cibinong Bogor.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu analisis sifat fisiko kimia minyak biji karet. Penelitian utama meliputi penyamakan kulit, analisis sifat-sifat kulit samoa yang dihasilkan yang meliputi sifat fisik, kimia dan organoleptik, kajian mikroskopis serat kulit samoa yang dihasilkan, dan pengolahan data.

3.4

Metode Penelitian

3.4.1

Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan karakterisasi minyak biji karet. Karakterisasi minyak biji karet berupa analisis sifat fisiko kimia yang mencakup warna, berat jenis, bilangan iod, bilangan asam, kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan peroksida dan bilangan penyabunan. Metode pengujian karakteristik minyak biji karet dapat dilihat pada Lampiran 1.


(13)

12

3.4.2

Penelitian Utama

3.4.2.1 Penyamakan Awal

Proses penyamakan awal dimulai dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Suparno et al. (2009a). Penyamakan awal dimulai dengan pencucian kulit pikel dalam suatu drum berputar (molen). Sebelum dicuci, kulit ditimbang untuk menentukan jumlah bahan pencuci yang akan digunakan sesuai dengan persentase yang sudah ditetapkan. Persentase bahan pencuci yang digunakan berbasis bobot total bahan (kulit pikel). Kulit pikel dicuci dengan menggunakan NaCl sebanyak 8 persen dan air sebanyak 200 persen. Selanjutnya kulit pikel yang telah bercampur dengan bahan pencuci dalam molen berputar selama 20 menit. Kecepatan putaran drum pada proses penyamakan awal dan penyamakan adalah sebesar 12 rpm.

Proses selanjutnya adalah mengeluarkan air cucian yang telah dipakai dan menggantinya dengan bahan pencuci baru yaitu 10 persen NaCl dan 100 persen air. Molen kemudian diputar kembali selama 10 menit. Setelah itu dilakukan pengecekan pH bahan, dengan standar nilai pH yaitu 3. Proses selanjutnya adalah penambahan bahan pretanning yaitu Relugan GT50 sebanyak 3 persen dari bobot bahan. Relugan yang ditambahkan sebelumnya diencerkan dalam 9 persen air, jumlah air yang digunakan berdasarkan bobot bahan dan dimasukkan ke dalam molen dengan tiga kali pemasukan setiap 15 menit. Pemutaran molen dilanjutkan selama 65 menit dengan kecepatan putar yang sama yaitu 12 rpm. Penambahan bahan berikutnya yaitu natrium formiat sebanyak 1 persen yang telah diencerkan menggunakan air dengan perbandingan 1:3. Penambahan tersebut dilakukan dengan empat tahap pemasukan dengan selang waktu 10 menit. Pemutaran drum dilanjutkan selama 60 menit. Setelah pemutaran selesai, dilakukan penambahan natrium karbonat sebanyak 2 persen dan air sebanyak 10 persen. Penambahan dilakukan dengan tiga kali tahap pemasukan setiap selang waktu 15 menit. Pemutaran drum dilanjutkan selama 45 nenit. Setelah itu, air sebanyak 10 persen ditambahkan ke dalam molen dan pemutaran molen dilanjutkan selama 60 menit.

Setelah semua selesai, maka selanjutnya dilakukan pengecekan pH dengan nilai standar sebesar 8. Jika pH yang terukur kurang dari 8 maka perlu ditambahkan dengan natrium karbonat. Proses selanjutnya yaitu pemeraman kulit selama 24 jam. Kulit diperam atau dibiarkan selama 24 jam dengan tujuan untuk mengurangi ketebalan kulit dan menghilangkan lapisan grain pada kulit. Proses penyamakan awal secara lebih jelas tersaji pada Tabel 5.


(14)

Tabel 4. Proses Penyamakan Awal (Suparno et al. 2009a)

Proses Bahan Kimia Jumlah (% kulit

pikel) (b/b)

Waktu Catatan

Penimbangan

Pencucian 1 NaCl 8-10 20 menit Derajat baumè diukur

min. 8, jika kurang dari 8 ditambahkan NaCl

Air 200

Pencucian 2 NaCl 8-10 10 menit • Ukur min. 8 baumè,

jika kurang dari 8 tambahkan NaCl

• Cek pH min. 3, jika kurang tambahkan asam formiat

Air 100

Pre-Tanning Relugan GT 50 3 3 x 15 + 30 menit Relugan GT50

diencerkan dengan air, perbndingan 1:3

Air 9

Natrium Formiat 1 4 x 10 + 20 menit Natrium Formiat

diencerkan dengan air, perbandingan 1:10

Air 10

Natrium Karbonat 2 3 x 15 menit

Air 10

Air 10 1 jam pH min. 8, jika kurang

ditambahkan Natrium Karbonat


(15)

14

3.4.2.2

Penyamakan Minyak

Proses penyamakan minyak dimulai dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Suparno et al. (2009a). Kulit yang telah diperam kemudian ditimbang untuk diketahui bobotnya. Bobot inilah yang akan dijadikan acuan dalam penentuan persentase bahan-bahan yang akan digunakan dalam penyamakan. Kulit yang telah ditimbang selanjutnya dimasukkan ke dalam drum berputar untuk proses pencucian ulang menggunakan air sebanyak 200 persen dengan penambahan dan penggantian air sebanyak tiga kali setiap selang waktu 10 menit. Setelah selesai, air pencucian dibuang dan dilanjutkan dengan prapenyamakan ulang menggunakan air sebanyak 100 persen dan natrium karbonat sebanyak 0.5 persen, kemudian diputar selama 10 menit. Natrium karbonat yang akan ditambahkan dalam proses pencucian sebelumnya dilarutkan dalam air dengan perbandingan 1:3. Setelah itu dilakukan pengecekan pH dengan standar nilai pH 8 - 9. Proses selanjutnya adalah penirisan kulit pada kuda-kuda selama 1 jam dan dilanjutkan dengan setting out selama 12 jam.

Kulit yang telah di setting out selanjutnya disamak menggunakan bahan penyamak yaitu campuran antara minyak biji karet sebanyak 30 persen, natrium karbonat sebanyak 0.5 persen dan air sebanyak 1.5 persen. Penyamakan dilakukan dengan mengoleskan bahan penyamak secara merata keseluruh permukaan kulit, selanjutnya diperam selama 24 jam pada kotak penyimpanan kulit.

Pada hari kedua selama 24 jam pemeraman, kulit kemudian diputar dalam molen selama 8 jam untuk penetrasi minyak ke dalam kulit. Setelah itu dilakukan penambahan natrium hipoklorit sebanyak 2 persen yang telah dilarutkan dalam 70 persen air. Kulit kemudian diputar didalam molen selama tiga kali waktu yaitu 4 jam, 6 jam, dan 8 jam untuk mengetahui waktu optimum penetrasi minyak ke dalam kulit. Proses selanjutnya yaitu mengeluarkan kulit dari dalam molen kemudian membentangkan atau menggantungkannya pada togel selama tiga taraf waktu yang ditentukan yaitu 1 hari, 2 hari dan 3 hari, dari ketiga waktu tersebut akan dicari waktu terbaik untuk oksidasi kulit.

Setelah penggantungan, kulit kemudian dicuci melalui dua tahap pencucian dalam molen. Pencucian pertama menggunakan air 300 persen, natrium karbonat 4 persen dan degreaser 2 persen. Pemutaran drum dilakukan selama 60 menit. Selanjutnya bahan pencuci tersebut dikeluarkan dan diganti dengan air sebanyak 1000 persen dan pemutaran molen dilanjutkan selama 15 menit. Setelah selesai, air cucian dibuang dan kulit dikeluarkan dari molen untuk kemudian di-setting out. Pada tahap kedua, kulit yang telah di setting out dimasukkan kembali ke dalam molen dan dilakukan penambahan air sebanyak 1000 persen, natrium karbonat 2 persen dan degreaser 1 persen. Molen kemudian diputar selama 60 menit. Selanjutnya bahan pencuci tersebut dikeluarkan dan diganti dengan air sebanyak 1000 persen dan pemutaran molen dilanjutkan selama 15 menit. Setelah selesai, air cucian dibuang dan kulit dikeluarkan dari molen untuk kemudian di-setting out.

Kulit yang telah dicuci kemudian dikeringkan dalam ruangan dengan cara digantung selama 2 x 24 jam. Setelah kulit tersebut kering, selanjutnya kulit dilemaskan menggunakan alat stacking dengan tujuan agar kulit menjadi lemas dan lentur. Pada tahap terakhir dilakukan proses buffing. Proses ini bertujuan untuk menghaluskan permukaan kulit terutama lapisan grain pada kulit. Selain itu, buffing juga ditujukan untuk mengurangi ketebalan kulit, sehingga sesuai dengan tujuan pembuatan produk akhirnya. Proses penyamakan minyak secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6.


(16)

Tabel 5. Proses Penyamakan Minyak (modifikasi dari Suparno et al. 2009a)

Proses Bahan Kimia Jumlah (% kulit

shaving) (b/b)

Waktu Catatan

Penimbangan

Pencucian 1 Air 200 3 x 10 menit Air cucian dibuang

Prapenyamakan Ulang Natrium Karbonat 0.5

10 menit

Air 100 pH larutan 8-9

Penirisan 1 jam

Setting Out

Penyamakan minyak Minyak biji karet 30

Penyamakan dengan mengoleskan bahan penyamak pada kulit Natrium Karbonat 0.5

Air 1.5

Pemeraman Semalam Disimpan dan

didiamkan

Penetrasi minyak 8 jam Kulit diputar di

dalam molen Oksidasi dalam molen

NaClO 2% dari minyak

biji karet 4 jam, 6 jam, dan 8 jam Kulit diputar di dalam molen

Air 70% dari minyak

biji karet

Oksidasi di togel 1 hari, 2 hari, dan 3 hari Dibentang pada togel

Pencucian 2

Air 300

60 menit

Menggunakan air hangat (40oC). Air sisa cucian dibuang Natrium karbonat 4

Degreaser 2

Pencucian 3 Air 1000 15 menit Menggunakan air

hangat (40oC). Air sisa cucian dibuang Setting Out

Pencucian 4 Air 1000

60 menit

Menggunakan air hangat (40oC). Air sisa cucian dibuang Natrium karbonat 2

Degreaser 1

Pencucian 5 Air 1000 15 menit Menggunakan air

hangat (40oC). Air sisa cucian dibuang Setting Out

Pengeringan 2 x 24 jam

Stacking

Buffing Ketebalan 0.3 -1.2


(17)

16

3.4.2.3

Analisis Karakteristik Kulit Samoa

Kulit samoa yang diperoleh dari hasil penyamakan dianalisis karakteristiknya yang meliputi sifat fisik, kimia, dan orgnoleptik. Sifat fisik yang diamati meliputi ketebalan, suhu kerut, daya serap air, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan kemuluran putus (elongation at break). Metode pengujian sifat fisik kulit dapat dilihat pada Lampiran 2. Sifat kimia yang diamati meliputi kadar lemak, kadar abu, dan pH, sedangkan sifat organoleptik yang diamati meliputi kehalusan, warna dan bau. Metode pengujian sifat kimia dan organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.4.2.4 Kajian Mikroskopis Kulit Samoa

Pengujian mikroskopi kulit samoa dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) tipe JSM-5000. Prosedur pengujian mikroskopi kulit samoa disajikan pada Lampiran 4.

3.4.3 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah split plot design dengan menggunakan dua faktor yang masing-masing terdiri dari tiga taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ualangan. Faktor pertama adalah waktu oksidasi di dalam drum berputar (molen) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 4 jam (A1), 6 jam (A2), dan 8jam (A3). Faktor kedua adalah waktu oksidasi di luar drum berputar atau di togel yang terdiri dari tiga taraf, yaitu 1 hari (B1), 2 hari (B2), dan 3 hari (B3).

Model matematis rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik 2002): Yijk= μ + Ai + ik + Bj + AB(ij) + (ijk)

Dimana : i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2

Yijk = Variabel respon yang diukur μ = Nilai tengah populasi

Ai = pengaruh faktor A pada taraf ke-i ik = galat petak utama

Bj = pengaruh faktor B pada taraf ke-j

AB(ij) = pengaruh interaksi dari faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j (ijk) = pengaruh galat dari unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ijk


(18)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Penelitian Pendahuluan

4.1.1 Karakterisasi Minyak Biji Karet

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan menganalisis minyak biji karet. Minyak biji karet yang digunakan diharapkan mempunyai mutu yang masih baik, tidak rusak dan mempunyai bilangan iod yang memenuhi syarat untuk penyamakan. Minyak biji karet yang baik untuk penyamakan adalah minyak yang mempunyai bilangan iod tinggi, yaitu ≥ 110 g iod/100 g minyak disebut juga minyak setengah mengering atau mengering. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian sifat fisiko kimia dari minyak biji karet untuk mengetahui mutu minyak biji karet yang digunakan. Sifat fisiko kimia yang diamati meliputi bobot jenis, warna, bilangan asam, persen FFA, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan peroksida. Hasil karakterisasi minyak biji karet dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini

Tabel 6. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak biji karet

No Sifat-sifat fisiko-kimia Nilai

1 Warna (PtCo) 3216

2 Bobot jenis (g/cm3) 0.92

3 Bilangan Iod (g I/100 g minyak) 139.46 4 Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 15.996

5 FFA (%) 7.96

6 Bilangan Peroksida (meq/kg) 12.385 7 Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) 175.63

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai warna minyak adalah sebesar 3216 unit PtCo. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai warna minyak biji karet yang dihasilkan oleh Mubarak (2010) yaitu 3230 unit PtCo. Semakin gelap warna minyak, maka semakin tinggi nilai yang dihasilkan, dan sebaliknya dengan semakin cerah warna minyak, maka nilai warna yang dihasilkan akan semakin kecil. Djatmiko dan Widjaja (1985) menyebutkan bahwa warna minyak dan lemak disebabkan oleh adanya pigmen, karena asam lemak dan gliserida-gliseridanya tidak berwarna. Zat warna yang secara alami terdapat dalam minyak antara lain α dan β karoten, xantofil, klorofil, dan antosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan. Minyak biji karet yang digunakan dalam penelitian ini cenderung berwarna kuning kecoklatan. Warna ini disebabkan karena adanya β karoten yang menjadikan minyak berwarna kuning kecoklatan (Ketaren 2008).

Hasil uji untuk bobot jenis minyak biji karet pada penelitian ini adalah sebesar 0.92 g/cm3 atau lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Mubarak (2010), dengan bobot jenis yang dihasilkan sebessar 0.95 g/cm3. Menurut Ketaren (2008), bobot jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh pada suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.

Uji selanjutnya yang dilakukan adalah uji bilangan iod. Bilangan iod merupakan parameter yang sangat penting untuk menentukan mutu dari minyak biji karet sehingga dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai bilangan iod yang diperoleh adalah sebesar 139.46 g I/100 g minyak. Hasil yang diperoleh lebih rendah dibandingkan


(19)

18 dengan hasil yang diperoleh oleh Silam (1998) dan Aliem (2008) yaitu masing-masing 139.55 dan 140.06 g I/100 g minyak, namun lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Mubarak (2010) sebesar 120.07g I/100 g minyak. Bilangan iod menunjukkan ukuran ketidakjenuhan atau banyaknya ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang menyusun gliserida dari suatu minyak atau lemak. Jumlah ikatan yang semakin banyak ditunjukkan oleh bilangan iod yang tinggi (Hamilton dan Rossel, 1987). Menurut Djatmiko dan Widjaya (1985), bilangan iod dapat digunakan untuk menggolongkan jenis minyak mengering dan minyak bukan mengering. Minyak mengering mempunyai bilangan iod yang lebih dari 130 g I/100 g minyak, sedangkan minyak yang nemiliki bilangan iod antara 100-110 bersifat setengah mengering. Hasil bilangan iod yang didapatkan menunjukkan bahwa minyak biji karet yang dihasilkan dapat digunakan untuk penyamakan kulit karena mempunyai bilangan iod yang cukup tinggi.

Bilangan peroksida merupakan suatu parameter yang sangat penting untuk menunjukkan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Menurut Bailey (1950), peroksida merupakan hasil oksidasi terhadap minyak. Pada proses ini terjadi penambahan molekul oksigen pada ikatan rangkap dan asam tidak jenuh. Peroksida tersebut selanjutnya akan mendorong terjadinya proses oksidasi minyak lebih lanjut, sehingga dihasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti aldehidaa, keton, dan asam-asam lemak dengan berat molekul lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bilangan peroksida minyak biji karet sebesar 12.385 meq/kg. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Aliem (2008) yang menunjukkan bahwa bilangan peroksida minyak biji karet yang dihasilkan sebesar 38.55 meq/kg. Hal ini menujukkan bahwa tingkat kerusakan minyak biji karet yang digunakan masih rendah.

Semakin tinggi nilai bilangan asam yang terkandung dalam minyak, semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak tersebut (Ketaren 1986). Bilangan asam yang dihasilkan sebesar 15.996 mg KOH/g minyak. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai bilangan asam hasil penelitian Silam (1998) yaitu sebesar 9.92 mg KOH/g minyak. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan oleh minyak biji yang digunakan telah mengalami penyimpanan yang cukup lama. Minyak nabati hasil ekstraksi dari biji-bijian atau buah yang disimpan dalam jangka panjang dan terhindar dari proses oksidasi akan mengandung bilangan asam yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh kombinasi kerja enzim lipase dalam jaringan dan enzim yang dihasilkan oleh kontaminasi mikroba (Ketaren 2008). Menurut Bailey (1950), kenaikan bilangan asam disebabkan oleh bertambahnya asam lemak bebas dan minyak akibat proses oksidasi. Proses ini menyebabkan putusnya rantai gliserida yang ditandai dengan bau tidak enak.

Bilangan penyabunan merupakan jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Bilangan penyabunan berhubungan dengan bobot molekul minyak. Minyak yang mempunyai bobot molekul tinggi akan memiliki bilangan penyabunan yang lebih rendah, sebaliknya minyak yang memiliki bobot molekul rendah akan memiliki bilangan penyabunan yang tinggi (Ketaren, 1986). Nilai bilangan penyabunan minyak biji karet menunjukkan bahwa minyak biji karet terdiri dari senyawa-senyawa yang bmemilki gugus reaktif (gugus karboksil dan gugus ester) seperti gliserida, asam lemak bebas dan asam-asam organik (Sontag, 1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai bilangan penyabunan minyak biji karet yang diperoleh adalah sebesar 175.63 mg KOH/g minyak. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai bilangan penyabunan hasil penelitian Aliem (2008) dan Silam (1998), dimana nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan adalah sebesar 200.1 dan 205.48 mg KOH/g minyak. Perbedaan yang dihasilkan dari nilai bilangan penyabunan berkaitan dengan bobot moleku suatu minyak.


(20)

4.2 Penelitian Utama

4.2.1 Proses Penyamakan

Proses penyamakan kulit samoa merupakan penyamakan yang dilakukan melalui dua tahap. Penyamakan awal yang dilakukan dengan penyamakan aldehida dan kemudian tahap kedua adalah penyamakan dengan menggunakan minyak. Aldehida yang digunakan pada penelitian ini yaitu Relugan GT 50 yang termasuk ke dalam golongan glutaraldehida. Setelah mengalami proses penyamakan aldehida, kulit yang awalnya berwarna putih berubah menjadi kekuningan. Hal ini disebabkan karena kulit menyerap warna glutaraldehida yang berwarna kuning pucat. Setelah mengalami proses penyamakan aldehida, maka kulit mengalami peningkatan suhu kerut. Suhu kerut adalah suhu ketika kulit mengalami pengerutan paling tinggi pada saat dipanaskan dalam air. Pengujian untuk suhu kerut dilakukan pada kulit awal (pikel), kulit setelah dilakukan penyamakan aldehida (penyamakan awal), dan setelah dilakukan penyamakan minyak. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa suhu kerut kulit pikel sebesar 57oC, sedangkan suhu kerut kulit yang telah dilakukan penyamakan aldehida mengalami kenaikan sebesar 79.8oC (Gambar 7). Adanya kenaikan pada nilai suhu kerut kulit setelah dilakukan penyamakan aldehida (penyamakan awal) menunjukkan bahwa kulit mengalami perubahan struktur menjadi lebih tahan terhadap panas. Hal ini disebabkan karena bahan penyamak minyak glutaraldehida (Relugan GT50) yang digunakan pada proses penyamakan awal mampu melakukan crosslinking atau ikatan silang terhadap gugus amina pada kulit, sehingga struktur kulit yang awalnya terpisah-pisah bergabung menjadi struktur yang lebih kuat.

Gambar 7. Perbandingan suhu kerut kulit pikel dan kulit samak aldehida

Purnomo (1985) menyatakan bahwa kulit yang telah disamak akan mempunyai jumlah ikatan silang yang lebih banyak yang dapat menstabilkan protein kolagen pada kulit sehingga lebih tahan terhadap pengaruh dari luar. Kanagy (1977) menambahkan bahwa kulit yang tersamak sempurna akan mengalami sedikit pengerutan dan lebih tahan terhadap suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak.

Penyamakan tahap kedua adalah penyamakan kulit menggunakan minyak. Penyamakan minyak bertujuan untuk membuat kulit menjadi lentur, lembut, serta mempunyai daya serap air yang tinggi. Penyamakan minyak dilakukan dengan mengoleskan minyak secara merata pada seluruh pemukaan kulit. Setelah dilakukan pengolesan minyak, maka dilakukan oksidasi dengan menggunakan oksidator natrium hipoklorit serta dilakukan oksidasi dengan waktu oksidasi yang telah ditentukan. Setelah dilakukan oksidasi dengan diputar didalam molen serta dibentangkan pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Kulit Pikel Kulit Samak Aldehida

Suhu K

e

r

ut

(


(21)

20 toggle, kulit yang awalnya berwarna putih kekuningan akan berubah menjadi coklat tua. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi reaksi oksidasi minyak yang menempel pada kulit.

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa suhu kerut kulit setelah dilakukan penyamakan minyak berkisar antara 76.5oC-78.5oC (Gambar 8). Hasil ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan suhu kerut setelah penyamakan awal (penyamakan aldehida). Hal ini disebabkan oleh hilangnya sebagian aldehidaa pada kulit akibat proses pencucian akhir kulit menggunakan soaking agent (degreaser). Minyak yang melakukan penetrasi dan mengisi rongga-rongga pada jalinan serat kulit yang mengakibatkan struktur kulit menjadi mengembang, dapat pula menyebabkan suhu kerut kulit menurun. Kulit dengan struktur serat mengembang relatif lebih mudah mengerut dibandingkan kulit dengan struktur serat yang rapat dan padat.

Berdasarkan hasil analisis ragam pada seluruh perlakuan suhu kerut, dapat diketahui bahwa suhu kerut tidak dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam drum berputar (molen) dan waktu oksidasi di luar molen (dibentangkan pada toggle) (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen dan di luar molen tersebut tidak jauh berbeda sehingga struktur kulit yang terbentuk tidak jauh berbeda. Sehingga nilai yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak jauh berbeda. Dengan demikian, suhu kerut yang dimiliki oleh kulit dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam dan di luar tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan percobaan pada semua sampel telah memberikan pengaruh penyamakan terhadap kulit, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Ts.

Pengukuran suhu kerut pada percobaan yang telah dilakukan, pada penyamakan minyak dilakukan dengan berbagai kombinasi waktu oksidasi di dalam molen dan pada saat dibentangkan di toggle. Suhu kerut tertinggi dihasilkan pada saat diputar dalam molen selama 4 jam dan dibentangkan di toggle selama 2 hari yang memilki suhu kerut sebesar 78.25oC. Suhu kerut terendah yang dihasilkan yaitu pada saat diputar dalam molen selama 6 jam dan dibentangkan pada toggle selama 3 hari yang memiliki suhu kerut sebesar 76.5oC. Semakin lama waktu oksidasi, maka suhu kerut kulit akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena minyak yang teroksidasi ke dalam kulit apabila semakin lama waktu oksidasinya, maka struktur kulit mengembang. Semakin lama waktu oksidasi, maka akan semakin banyak matriks polimer minyak yang terbentuk di dalam kulit yang menyebabkan struktur kulit menjadi lebih renggang dan mengembang, sehingga kulit akan semakin mudah mengalami pengerutan.

Pada penyamakan minyak menggunakan minyak biji karet, bahan aktif dalam reaksi oksidasi dapat dimodelkan dengan asam linoleat, karena sebagian besar asam lemak tidak jenuh penyusun minyak biji karet adalah asam linoleat. Asam linoleat akan mengalami oksidasi membentuk linoleat hidroperoksida. Hidroperoksida yang terbentuk selanjutnya mengalami degradasi sekunder yang akan membentuk senyawa-senyawa hidrokarbon dengan berat molekul lebih rendah melalui reaksi polimerisasi. Asam linoleat, CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH, diketahui dapat berpolimerisasi. Ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi kemudian akan membentuk matriks polimer di dalam matriks kolagen yang akan menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan dan menjadi lebih renggang, sehingga dapat memberikan efek penyamakan minyak yaitu berupa kulit samoa yang lembut, halus, serta lebih mudah mengerut bila dibandingkan dengan kulit samak aldehida.


(22)

Gambar 8. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen terhadap suhu kerut

4.2.2. Sifat Fisik Kulit

4.2.2.1. Ketebalan

Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan ketebalan kulit samoa (Lampiran 5) diketahui bahwa ketebalan kulit samoa berkisar antara 0.6 – 0.735 mm dengan rata-rata yang dihasilkan sebesar 0.65 mm (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ketebalan kulit samoa sudah sesuai dengan SNI (BSN 1990), dengan nilai standar ketebalan 0.3 – 1.2 mm.

Gambar 9. Ketebalan kulit samoa rata-rata

Ketebalan kulit samoa mempunyai nilai yang berebeda-beda, ketebalan kulit dapat diatur sesuai dengan keinginan pada waktu pembuatan kulit samoa, yaitu pada saat proses shaving dan buffing. Proses shaving bertujuan untuk menghilangkan bagian rajah (grain) dan daging (flash) serta mengatur ketebalan sesuai dengan yang diinginkan. Proses buffing bertujuan untuk menghaluskan kulit samak, dan dapat digunakan untuk mengatur ketebalan kulit yang dihasilkan. Ketebalan kulit samoa dapat diatur sesuai dengan tujuan penggunaan produk. Pengaturan ketebalan dapat dilakukan melalui proses shaving dan buffing. Proses shaving bertujuan untuk menghilangkan bagian rajah (grain) serta mengatur ketebalan. Waktu oksidasi tidak

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

4 6 8

Suhu k

e

r

ut

(

oC)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8

K

e

te

b

a

la

n

(


(23)

22 mempengaruhi ketebalan dari kulit, tetapi dari proses shaving dan buffing yang dapat mempengaruhi ketebalan kulit.

4.2.2.2 Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik kulit merupakan kekuatan kulit untuk menahan gaya tarikan yang datang dari luar. Pengujian kekuatan tarik kulit dilakukan terhadap bagian kulit parallel (sejajar) dan perpendicular (tegak lurus) dari tulang belakang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kekuatan tarik tidak dipengaruhi oleh faktor waktu oksidasi di dalam molen, waktu oksidasi di luar molen serta interaksi antara kedua faktor tersebut (Lampiran 9). Hal ini mengindikasikan bahwa pada uji kekuatan tarik ini menghasilkan nilai kekuatan tarik yang tidak jauh berbeda antara perlakuan satu dengan lainnya. Adanya hasil analisis ragam yang tidak berbeda secara nyata tersebut dapat dikarenakan nilai sampel kekuatan tarik yang dihasilkan antara satu dan lainnya tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kisaran nilai kekuatan tarik sejajar dengan tulang belakang adalah 30.7 – 43.4 N/mm2. Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar selama 2 hari (Gambar 10).

Gambar 10. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kekuatan tarik sejajar tulang belakang

Pada sampel kulit tegak lurus dengan tulang belakang, nilai kekuatan tarik kulit mempunyai nilai pada kisaran antara 14.4 – 22.9 N/mm2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa antara faktor waktu oksidasi di dalam molen dan waktu oksidasi di luar molen tidak berbeda nyata, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut berbeda nyata. Uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa waktu oksidasi di dalam molen selama 8 jam dan di luar molen selama 2 hari berbeda nyata dengan sampel waktu oksidasi di dalam selama 4 jam dan di luar 2 hari, serta waktu oksidasi di dalam selama 8 jam dan di luar selama 1 hari (Lampiran 10). Hal ini mengindikasikan bahwa pada uji kekuatan tarik ini terdapat faktor-faktor luar yang menyebabkan interaksi antara kedua perlakuan tersebut berbeda secara nyata. Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam molen selama 8 jam dan waktu oksidasi di luar selama 1 hari (Gambar 11). Uji kekuatan tarik,

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

4 6 8

K

e

ku

a

ta

n

t

a

r

ik (

N

/mm

2)

Waktu Oksidasi di DalamMolen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(24)

seharusnya dengan semakin lama waktu oksidasi maka akan menjadikan serat kulit semakin kuat sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan juga tinggi. Kekuatan tarik yang dihasilkan mempunyai nilai yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh komposisi protein serat di dalam kulit.

Gambar 11. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kekuatan tarik tegak lurus tulang belakang

Nilai kekuatan tarik rata-rata antara sampel sejajar dengan sampel tegak lurus tulang belakang adalah pada kisaran 22.5 – 30.2 N/mm2. Secara keseluruhan nilai kekuatan tarik sudah memenuhi SNI (BSN 1990), yaitu minimal mempunyai nilai kekuatan sobek 7.5 N/mm2.

Gambar 12. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kekuatan tarik rata-rata

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam molen dan waktu oksidasi di luar molen tidak berbeda nyata terhadap nilai kekuatan tarik yang dihasilkan, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut berbeda nyata terhadap nilai kekuatan tarik yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa sampel dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 8 jam dan di luar selama 1 hari berbeda nyata dengan sampel di dalam molen selama 4 jam dan di luar molen selama 1 hari serta di dalam molen selama 8 jam dan di luar selama 2 hari (Lampiran 11). Hal ini

0 5 10 15 20 25

4 6 8

K e ku a ta n T a r ik (N /mm 2)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 hari 2 hari 3 hari 0 5 10 15 20 25 30 35

4 6 8

K e ku a ta n T a r ik (N /mm 2)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(25)

24 mengindikasikan bahwa pada uji kekuatan tarik ini terdapat faktor-faktor luar yang menyebabkan interaksi antara kedua perlakuan tersebut berbeda secara nyata. Hal ini berarti pengaruh waktu oksidasi di dalam dan di luar molen tidak berbeda nyata dengan nilai kekuatan tarik kulit samoa yang dihasilkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan waktu oksidasi di dalam dan di luar molen yang digunakan tidak terlalu berbeda sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan pun tidak berbeda secara nyata, serta pada kedua interaksi antara kedua faktor tersebut tidak dapat ditentukan faktor mana saja yang berbeda secara nyata dikarenakan tidak dapat dilakukan uji lanjut Duncan. Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar selama 2 hari (Gambar 12)

Secara keseluruhan, rata-rata nilai kekuatan tarik sejajar tulang belakang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik tegak lurus tulang belakang. Menurut Haines et al. (1975), susunan atau jalinan serat kolagen selain dipengaruhi oleh ketebalan kulit, juga dipengaruhi oleh lokasinya pada kulit tersebut. Besar kecilnya kekuatan tarik dipengaruhi oleh berbagai faktor, menurut Haines et al. (1975), sudut yang kecil antara arah jalinan serat-serat kolagen terhadap permukaan grain kulit memungkinkan gaya tarik dapat didistribusikan lebih menyebar ke seluruh sumbu jalinan serat, sehingga kekuatan tarik menjadi lebih besar. Kanagy (1997) menjelaskan bahwa tingginya nilai kekuatan tarik kulit dipengaruhi oleh tingginya komposisi protein serat di dalam kulit. Kulit pada bagian krupon memiliki jalinan serat kolagen yang lebih rapat dibandingkan dengan bagian bahu dan perut sehingga nilai kekuatan tariknya juga lebih tinggi. Haines dan Barlow (1975) menjelaskan bahwa sudut yang kecil antara arah jalinan serat-serat kolagen terhadap permukaan grain kulit menyebabkan gaya tarik dapat didistribusikan lebih menyebar ke seluruh sumbu jalinan serat, sehingga kekuatan tarik kulit menjadi lebih besar. O’Flaherty et al. (1960) menambahkan bahwa kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga mempunyai daya regang dan kekuatan tarik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang lebih tebal.

4.2.2.3 Kemuluran Putus (

Elongation at Break

)

Kemuluran putus merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan mutu kulit samoa. Tingkat kemuluran putus menunjukkan nilai elastisitas kulit samoa. Kulit samoa yang memiliki nilai kemuluran putus tinggi memungkinkan kulit tersebut tidak mudah sobek atau putus pada saat digunakan. Oleh karena itu, semakin tinggi nilai kemuluran putus kulit samoa maka akan semakin baik pula mutu kulit tersebut. Pengujian untuk nilai kemuluran putus kulit samoa terdiri dari dua arah yaitu sejajar dan tegak lurus terhadap tulang belakang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kemuluran putus kulit samoa untuk sampel sejajar mempunyai kisaran nilai antara 69.8 – 106.3%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam molen, waktu oksidasi di luar molen serta interaksi antara dua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kemuluran putus sejajar tulang belakang (Lampiran 12). Hal ini mengindikasikan bahwa pada uji kemuluran putus ini menghasilkan nilai kekuatan sobek yang tidak jauh berbeda antara perlakuan satu dengan lainnya. Nilai kemuluran putus tertinggi pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam molen 8 jam dan waktu oksidasi di luar selama 3 hari (Gambar 13). Semakin lama waktu oksidasi minyak, maka susunan serat akan semain kompak sehingga nilai kemuluran kulit akan semakin tinggi. Oleh karena itu, waktu oksidasi di dalam molen dan di luar 3 hari mempunyai nilai kemuluran putus paling tinggi.


(26)

Gambar 13. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kemuluran sejajar tulang belakang Pada sampel tegak lurus dengan tulang belakang, nilai kemuluran putus yang dihasilkan mempunyai nilai pada kisaran 211.1 – 263.6 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai kemuluran putus tegak lurus terhadap tulang belakang tidak dipengaruhi oleh faktor waktu oksidasi di dalam molen, waktu oksidasi di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor tersebut (Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kemuluran putus kulit samoa. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pada uji kemuluran putus ini menghasilkan nilai kekuatan sobek yang tidak jauh berbeda antara perlakuan satu dengan lainnya. Nilai tertinggi terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 8 jam dan di luar molen selama 3 hari (Gambar 14).

Gambar 14. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kemuluran tegak lurus tulang belakang Secara keseluruhan, nilai kemuluran putus rata-rata antara sampel sejajar dan tegak lurus terhadap tulang belakang terdapat pada kisaran 144.7 – 184.93 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai kemuluran putus rata-rata tidak dipengaruhi faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar

0 20 40 60 80 100 120

4 6 8

K e m ul ur a n P ut us ( %)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari 2 Hari 3 Hari 0 50 100 150 200 250 300

4 6 8

K e m ul ur a n P ut us ( %)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(27)

26 molen serta interaksi antara keduanya (Lampiran 14). Hal ini mengindikasikan bahwa pada uji kemuluran putus ini menghasilkan nilai kekuatan sobek rata-rata yang tidak jauh berbeda antara perlakuan satu dengan lainnya. Nilai kemuluran putus tertinggi terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 8 jam dan di luar molen selama 3 hari. (Gambar 15).

Gambar 15. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kemuluran rata-rata

Perbandingan nilai kemuluran untuk sampel sejajar dengan tegak lurus terhadap tulang belakang maka terdapat perbedaan yang cukup besar diantara keduanya. Kemuluran putus pada sampel tegak lurus terhadap tulang belakang mempunyai nilai rata-rata lebih besar dibandingkan dengan kemuluran putus sejajar tulang belakang. Hal ini berbanding terbalik dengan kekuatan tarik, yaitu sampel sejajar mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan dengan sampel tegak lurus terhadap tulang belakang. Bagian kulit dengan arah tegak lurus terhadap arah tarikan pada pengujian mempunyai nilai kemuluran putus yang lebih tinggi diakibatkan pada bagian tersebut (kearah perut) lebih sering digunakan hewan untuk berkontraksi menahan beban perut dan makanan semasa hidupnya sehingga elastisitasnya lebih tinggi.

Besar kecilnya kemuluran kulit samak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kulit yang tersamak dengan baik akan memiliki nilai elastisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak. Proses penyamakan minyak terjadi ketika berpenetrasi ke dalam kulit dan mengalami proses oksidasi yang mengakibatkan terjadinya ikatan antara minyak dan protein kolagen pada kulit. Kemuluran kulit samak juga sangat dipengaruhi oleh susunan serat dan ketebalan kolagen dan ketebalan kulit seperti faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik.

4

.

2.2.4 Kekuatan Sobek

Kekuatan sobek kulit merupakan kemampuan kulit untuk menahan sobekan yang berasal dari luar. Pengujian untuk kekuatan sobek kulit dilakukan pada dua arah tarikan yaitu parallel (sejajar dengan tulang belakang) dan perpendicular (tegak lurus terhadap tulang belakang). Dua jenis pengujian ini sama seperti dengan pengujian pada kekuatan tarik dan kemuluran putus. Berdasarkan uji yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa nilai kekuatan sobek dengan arah sejajar dengan tulang belakang berkisar antara 51.5 – 65.7 N/mm (Gambar 16).

Berdasarkan hasil analisis ragam pada seluruh perlakuan kekuatan sobek sejajar tulang belakang, dapat diketahui bahwa kekuatan sobek tidak dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam drum berputar (molen), waktu oksidasi di luar molen (dibentangkan pada toggle), serta interaksi antara

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

4 6 8

K

e

m

ul

ur

a

n

P

ut

us

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(28)

keduanya (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen, di luar molen serta interaksi antara keduanya tersebut tidak jauh berbeda, serta pada uji kemuluran putus ini menghasilkan nilai kekuatan sobek yang tidak jauh berbeda antara perlakuan satu dengan lainnya. Dengan demikian, kekuatan sobek yang dimiliki oleh kulit dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam dan di luar molen tersebut tidak berbeda nyata. Nilai kekuatan sobek tertinggi terdapat pada perlakuan dengan waktu oksidasi di dalam drum selama 4 jam dan di luar selama 3 hari, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar (dibentangkan pada toggle) selama 1 hari (Gambar 16). Perbedaan yang didapatkan pada beberapa perlakuan diduga karena pengaruh luar. Pada bagian-bagian tertentu, kulit memiliki tenunan serat protein yang berbeda, sehingga nilai kekuatan sobek yang diperoleh pada masing-masing bagian tersebut juga berbeda.

Gambar 16. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kekuatan sobek sejajar tulang

belakang

Pada sampel dengan arah tegak lurus tulang belakang, nilai kekuatan sobek yang dihasilkan berkisar antara 69.9 – 85.8 N/mm. Hasil analisis ragam untuk kekuatan sobek tegak lurus tulang belakang menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam dan di luar molen tidak berpengaruh nyata dengan nilai kekuatan sobek tegak lurus yang dihasilkan, sedangkan untuk faktor interaksi antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen menunjukkan berpengaruh nyata terhadap nilai kekuatan sobek tegak lurus yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen 6 jam dan di luar molen 2 hari berbeda nyata terhadap semua kombinasi waktu oksidasi di dalam dan luar molen, yaitu waktu oksidasi di dalam molen selama 6 jam dan 3 hari serta waktu oksidasi di dalam molen selama 4 jam dan di luar molen selama 1 hari (Lampiran 7). Hal ini mengindikasikan bahwa pada uji kekuatan sobek tegak lurus tulang belakang ini terdapat faktor-faktor luar yang menyebabkan interaksi antara kedua perlakuan tersebut berbeda secara nyata. Nilai tertinggi yang dihasilkan terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam drum selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar drum selama 2 hari, sedangkan nilai kekuatan sobek terendah terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam drum selama 4 jam dan di luar drum selama 1 hari (Gambar 17).

0 10 20 30 40 50 60 70

4 6 8

K

e

ku

a

ta

n

s

o

b

e

k

(N

/mm

)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(29)

28 Gambar 17. Hubungan antara waktu oksidasi dan kekuatan sobek tegak lurus tulang belakang

Nilai kekuatan sobek rata-rata antara sampel sejajar dan tegak lurus terhadap tulang belakang berkisar antara 62.8 – 75.5 N/mm. Berdasarkan hasil analisis ragam pada seluruh perlakuan kekuatan sobek rata-rata, dapat diketahui bahwa kekuatan sobek tidak dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam drum berputar (molen), waktu oksidasi di luar molen (dibentangkan pada toggle), serta interaksi antara keduanya (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen, di luar molen, serta interaksi antara keduanya tersebut tidak jauh berbeda. Dengan demikian, kekuatan sobek rata-rata yang dimiliki oleh kulit dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam dan di luar tersebut tidak berbeda nyata. Analisis ragam yang tidak berbeda secara nyata tersebut dapat dikarenakan nilai kekuatan sobek yang dihasilkan tidak jauh berbeda antara sampel satu dengan yang lain. Nilai tertinggi terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar selama 2 hari. Nilai terendah terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam selama 4 jam dan di luar selama 1 hari (Gambar 18). Secara keseluruhan nilai kekuatan sobek sudah memenuhi SNI (BSN 1990), yaitu nilai kekuatan sobek diatas 15 N/mm. Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa semakin lama waktu oksidasi di dalam drum akan meningkatkan nilai kekuatan sobek kulit samoa. Secara keseluruhan, nilai rata-rata kekuatan sobek sampel tegak lurus tulang belakang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel sejajar dengan tulang belakang.

Gambar 18. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kekuatan sobek rata-rata 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

4 6 8

K e k ua ta n So be k ( N /m m )

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari 2 Hari 3 Hari 0 10 20 30 40 50 60 70 80

4 6 8

K e k ua ta n So be k ( N /m m )

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(30)

Nilai kekuatan sobek yang dihasilkan dipengaruhi oleh ketebalan kulit, arah serat kolagen, sudut antar serat dengan lapisan grain dan lokasi sampel pada kulit. Ketebalan kulit mempengaruhi nilai kekuatan sobek karena kulit yang tebal memiliki tenunan serat-serat kolagen yang berikatan lebih banyak. Selain itu, kulit pada bagian-bagian tertentu memiliki komposisi protein serat yang berbeda, sehingga nilai kekuatan sobek yang dihasilkan pun akan berbeda.

4.2.2.5 Daya Serap Air

Daya serap air yaitu kemampuan kulit untuk menyerap air per satuan bobot kulit dan hasilnya dinyatakan dalam persen. Daya serap air merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu kulit samoa. Hal ini dikarenakan terkait dengan fungsi dari kulit samoa yaitu untuk menyerap air dan kotoran, maka semakin tinggi nilai daya serap air maka semakin baik mutunya. Pengukuran daya serap air dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada waktu 2 jam pertama dan 24 jam. Mekanisme dari proses daya serap air yaitu kulit yang terpasang pada alat daya serap air yang telah berisi air akan didiamkan selama 2 jam dan 24 jam berikutnya, lalu dilihat pengurangan dari volume air pada alat daya serap air tersebut. Pengukuran ini didasarkan pada SNI. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai daya serap pada 2 jam pertama mempunyai hasil pada kisaran 287.6 – 374.4 %.

Gambar 19. Hubungan antara waktu oksidasi dan daya serap air 2 jam 0

50 100 150 200 250 300 350 400

4 6 8

D

aya

S

e

r

ap

A

ir

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(31)

30

Gambar 20. Hubungan antara waktu oksidasi dan daya serap air 24 jam

Berdasarkan hasil analisis ragam pada kedua perlakuan tersebut (daya serap air 2 jam dan 24 jam), dapat diketahui bahwa daya serap air tidak dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam drum berputar (molen) dan waktu oksidasi di luar molen (dibentangkan pada toggle) (Lampiran 16 dan Lampiran 17). Hal ini menunjukkan bahwa struktur kulit yang terbentuk tidak jauh berbeda. Dengan demikian, daya serap air yang dimiliki oleh kulit dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam dan di luar tersebut tidak berbeda nyata. Analisis ragam yang tidak bebrbeda nyata tersebut dapat disebabkan karena nilai daya serap air yang dihasilkan tidak jauh berbeda antara perlakuan satu dengan lainnya.

Nilai tertinggi daya serap untuk pengukuran 2 jam pada perlakuan dengan waktu oksidasi di dalam drum selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar drum selama 3 hari, dan nilai terendah terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam drum selama 4 jam dan waktu oksidasi di luar drum selama 2 hari (Gambar 19). Nilai daya serap air untuk pengukuran 24 jam mempunyai nilai pada kisaran 321.2 - 406.3%. Nilai tertinggi daya serap untuk pengukuran 24 jam pada perlakuan dengan waktu oksidasi di dalam drum selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar drum selama 3 hari, dan nilai terendah terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam drum selama 6 jam dan waktu oksidasi di luar drum selama 2 hari (Gambar 20).

Hasil tertinggi untuk kedua perlakuan, yaitu 2 jam dan 24 jam menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada sampel dengan waktu oksidasi di dalam drum selama 6 jam dan di luar drum selama 3 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan kombinasi tersebut memberikan efek oksidasi minyak yang paling optimal dalam pembentukan matriks polimer hidrokarbon, sehingga sifat retensi airnya menjadi paling baik. Hal ini juga dapat dikarenakan semakin lamanya waktu oksidasi penyamakan minyak menyebabkan kulit mempunyai pori-pori yang lebih besar sehingga kemampuan untuk menyerap air lebih besar.

Secara keseluruhan, nilai daya serap air kulit samoa pada penelitian yang telah dilakukan ini telah memenuhi SNI (BSN 1990), yaitu minimal 100% (2 jam) dan 200% (24 jam). Jika dibandingkan dengan nilai daya serap air antara waktu pengujian 2 jam dengan 24 jam, maka dapat dilihat bahwa nilai daya serap air dengan waktu uji 24 jam mempunyai nilai daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan waktu uji penyerapan 2 jam. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu penyerapan maka akan semakin banyak air yang terserap ke dalam air sampai titik tertentu dimana kulit sudah jenuh terhadap air dan tidak dapat menyerap air lagi.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

4 6 8

D

aya

S

e

r

ap

A

ir

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(32)

4.2.3. Sifat Kimia Kulit

4.2.3.1 pH

Uji pH merupakan salah satu uji sifat kimia dalam penentuan mutu dari kulit samoa. Berdasarkan data hasil penelitian, dapat diketahui bahwa nilai pH yang dihasilkan dari semua sampel mempunyai nilai pada kisaran 7.01 – 7.55.

Gambar 21. Hubungan antara waktu oksidasi dengan pH

Hasil analisis ragam pengujian seluruh perlakuan uji pH menunjukkan bahwa nilai F hitung faktor waktu oksidasi di dalam molen dan interaksi antara keduanya lebih besar dari pada nilai F tabel atau nilai Pr > F (peluang nyata)-nya lebih kecil dari nilai α (0.05), sedangkan nilai F hitung faktor waktu oksidasi di luar molen tidak lebih besar dari pada F tabel (Lampiran 20). Hal ini menunjukkan bahwa faktor waktu okisdasi di luar molen pada masing-masing taraf berpengaruh nyata terhadap nilai pH kulit samoa, sedangkan faktor waktu oksidasi di dalam molen (drum berputar) dan interaksi antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Nilai pH tertinggi terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam drum selama 8 jam dan di luar drum selama 3 hari, dan nilai terendah terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam selama 4 jam dan di luar drum selama 1 hari (Gambar 21). Secara keseluruhan, nilai pH kulit samoa pada penelitian ini sudah memenuhi dengan SNI (BSN 1990), yaitu dengan nilai pH maksimal 8.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai pH terendah terdapat pada perlakuan dengan waktu oksidasi di luar molen selama 2 hari yaitu mempunyai nilai rata-rata 7.0325, sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada perlakuan dengan faktor waktu oksidasi di luar molen selama 3 hari yaitu 7.52833. Nilai pH hasil perlakuan waktu oksidasi di luar selama 3 hari berbeda nyata dengan pH hasil perlakuan waktu oksidasi di luar selama 1 hari dan 2 hari. Hal ini menunjukkan bahwa waktu oksidasi pada saat dibentangkan pada toogle selama 3 hari memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Nilai pH yang dihasilkan pada saat di luar molen mengalami kenaikan. Semakin lama waktu oksidasi di luar molen maka kulit akan semakin basa, sehingga nilai pH semakin tinggi. Hal ini dapat disebabkan semakin lama waktu oksidasi di luar molen, maka akan semakin besar kemungkinan natrium karbonat terserap ke dalam kulit dan berikatan dengan serat kulit, sehingga dapat meningkatkan nilai pH kulit.

0 2 4 6 8

4 6 8

pH

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(33)

32

4.2.3.2 Kadar Minyak

Pengujian kadar minyak pada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui banyaknya minyak yang terdapat pada kulit, terutama minyak yang masih tersisa di dalam kulit pada saat proses penyamakan minyak. Mutu kulit samoa yang baik yaitu kulit dengan kandungan minyak yang rendah (<10%) (BSN 1990). Adanya kandungan minyak pada kulit yang tinggi dapat berakibat pada timbulnya efek bau, lengket dan tidak nyaman pada saat digunakan.

Gambar 22. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kadar minyak

Berdasarkan hasil analisis ragam pada seluruh perlakuan kadar minyak, dapat diketahui bahwa kadar minyak tidak dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam drum berputar (molen) dan waktu oksidasi di luar molen (dibentangkan pada toggle) (Lampiran 18). Hal ini menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen dan di luar molen tersebut tidak jauh berbeda sehingga struktur kulit yang terbentuk tidak jauh berbeda serta waktu oksidasi di luar dan di dalam molen mampu mengoksidasi minyak dengan baik, dengan demikian baik minyak yang berpenetrasi ke dalam kulit maupun yang tertinggal pada permukaan kulit tidak berbeda jauh. Dengan demikian, kadar minyak yang dimiliki oleh kulit dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam dan di luar tersebut tidak berbeda nyata.

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, terlihat bahwa kadar minyak kulit samoa yang digunakan berada pada kisaran 4.1 – 8.2%. Nilai tertinggi terdapat pada sampel dengan perlakuan waktu oksidasi di dalam drum selama 6 jam dan di luar drum selama 2 hari, dan nilai kadar minyak terendah kulit terdapat pada sampel dengan perlakuan di dalam drum selama 6 jam dan di luar drum selama 3 hari (Gambar 22). Secara keselruhan kadar minyak kulit samoa yang dihasilkan sudah memenuhi SNI (BSN 1990) yaitu maksimal 10%.

Kadar minyak pada kulit samoa sangat dipengaruhi oleh proses pencucian akhir pada kulit menggunakan air hangat (40oC). Proses ini berguna untuk menghilangkan sisa-sisa minyak yang masih menempel pada kulit. Penggunaan air hangat ini bertujuan untuk menyabunkan minyak sehingga dapat terbuang bersama air. Pencucian kulit secara tidak sempurna menyebabkan masih adanya minyak yang menempel pada kulit. Pada penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa dengan nilai tertinggi pada sampel waktu oksidasi di dalam 6 jam di dalam molen dan di luar molen 2 hari menunjukkan bahwa minyak yang tertinggal pada kulit masih banyak dibandingkan dengan kulit lain. Hal ini dapat disebabkan karena pencucian yang kurang sempurna. Selain itu, banyak tidaknya minyak juga dipengaruhi pada saat proses pengapuran pada tahap penyamakan. Proses pengapuran

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

4 6 8

K

ad

ar

M

in

yak

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(34)

salah satunya berguna untuk menyabunkan lemak yang terdapat pada kulit asal hewan. Dengan demikian, proses pengapuran yang sempurna akan menyebabkan minyak yang tertinggal pada kulit menjadi minimum.

4.2.3.3. Kadar Abu

Uji kadar abu yang dilakukan pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui banyaknya mineral nonrganik yang terkandung dalam suatu bahan. Kadar abu kulit samoa yang dilakukan pada penelitian ini berkisar antara 1.57 – 2.575%. Secara keseluruhan kadar abu yang dihasilkan sudah memenuhi nilai dari SNI (BSN 1990), yaitu maksimal 5%.

Gambar 23. Hubungan antara waktu oksidasi dengan kadar abu

Hasil analisis ragam pengujian seluruh perlakuan uji kadar abu menunjukkan bahwa nilai F hitung faktor interaksi antara waktu oksidasi di dalam molen dan waktu oksidasi di luar molen lebih besar dari pada nilai F tabel atau nilai Pr > F (peluang nyata)-nya lebih kecil dari nilai α (0.05), sedangkan nilai F hitung faktor waktu oksidasi di luar molen tidak lebih besar dari pada F tabel (Lampiran 19). Hal ini menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen (drum berputar) dan waktu okisdasi di luar molen (toggle) pada masing-masing taraf berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu kulit samoa, sedangkan faktor interaksi antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu.

Hasil uji lanjut Duncan faktor A (waktu oksidasi di dalam molen) nilai terendah terdapat pada perlakuan dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 4 jam yaitu mempunyai nilai rata-rata 1.76, sedangkan nilai kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan dengan faktor waktu oksidasi di dalam molen selama 8 jam yaitu 2.2567. Nilai kadar abu hasil perlakuan faktor waktu oksidasi di dalam molen selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari menunjukkan bahwa waktu oksidasi di dalam molen tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya. Hasil uji lanjut Duncan faktor B (waktu oksidasi di luar molen) nilai terendah terdapat pada perlakuan dengan waktu oksidasi di dalam molen selama 1 hari

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

4 6 8

K

a

da

r

A

bu

(%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

Waktu Oksidasi di Luar Molen 1 Hari

2 Hari 3 Hari


(1)

Lampiran 20. Hasil Pengukuran dan Analisis Kadar pH

Kombinasi perlakuan

pH Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2 (%)

A1B1 6.93 7.09 7.01

A1B2 6.98 7.06 7.02

A1B3 7.495 7.46 7.4775

A2B1 7.09 7.04 7.065

A2B2 7.045 7.04 7.0425

A2B3 7.55 7.55 7.55

A3B1 7.12 7.17 7.145

A3B2 6.955 7.115 7.035

A3B3 7.41 7.705 7.5575

Sumber keragaman

Db JK KT F Hitung

(α=0.05)

P Fitung Pr > F

A 2 0.01817 0.00909 2.14 0.1983

Ragam (a) 3 0.05001 0.01667

B 2 0.90908 0.45454 107.27 <.0001*

A*B 4 0.00858 0.00214 0.51 0.7340

Ragam (b) 6 0.0254 0.0042

Ket : * = berpengaruh nyata

Uji Lanjut Duncan faktor B

Pengelompokkan Duncan

Nilai Rata-Rata

N B

A 7.52833 6 B3

B 7.07333 6 B1


(2)

Lampiran 21. Hasil Pengukuran Sifat Organoleptik

Perlakuan Kehalusan Warna Bau

P1 P2 Nilai Skala P1 P2 Nilai Skala P1 P2 Nilai Skala

A1B1

6 6 6 Cukup 9 9 9

Sangat

Baik 8 7 7-8

Baik

A1B2 7 7 7 Baik 8 8 8 Baik 8 7 7-8 Baik

A1B3 9 8 8 -9 Baik 7 7 7 Baik 8 7 7-8 Baik

A2B1

9 8 8 - 9 Baik 9 9 9

Sangat

Baik 8 7 7-8

Baik

A2B2 6 7 6 -7 Baik 8 8 8 Baik 8 7 7-8 Baik

A2B3 5 6 5-6 Cukup 7 7 7 Baik 8 7 7-8 Baik

A3B1

6 7 6-7 Baik 9 9 9

Sangat

Baik 8 7 7-8

Baik

A3B2 9 9 9 Sangat Baik 8 8 8 Baik 8 7 7-8 Baik A3B3 9 9 9 Sangat Baik 7 7 7 Baik 8 7 7-8 Baik

Uji Analisis Ragam untuk Faktor Kehalusan

Sumber keragaman

Db JK KT F Hitung

(α=0.05)

P Fitung Pr > F

A 2 5.7778 2.8889 17.33 0.0170*

Ragam (a) 3 0.5000 0.1667

B 2 1.4444 0.7222 2.17 0.1958

A*B 4 22.556 0.563889 16.92 0.0020*

Ket : * = berpengaruh nyata

Uji Lanjut Duncan faktor A

Pengelompokkan Duncan

Nilai Rata-Rata

N B

A 6.8333 6 A2


(3)

Uji Lanjut Duncan faktor interaksi A dan B

Perlakuan Nilai

Rata-Rata N Pengelompokkan Duncan

A2B3 5.50 2 A

A1B1 6.00 2 ab

A2B2 6.50 2 ab

A3B1 6.50 2 ab

A1B2 7.00 2 bc

A1B3 8.50 2 bcd

A2B1 8.50 2 bcd

A3B2 9.00 2 D


(4)

Lampiran 22. Foto-foto Peralatan Yang digunakan

Drum Putar (molen)

Mesin buffing

Kuda- kuda

Toggle dryer

Mesin shaving


(5)

SEM tipe JSM-5000

Thickness gauge Timbangan

Alat stacking

UTM Instron


(6)

Alat suhu kerut Alat daya serap air