Pengaruh waktu oksidasi terhadap mutu kulit Samoa pada proses penyamakan minyak yang dipercepat dengan Hidrogen Peroksida

(1)

THE EFFECTS OF OXIDATION TIMES ON THE CHAMOIS LEATHER

QUALITY IN OIL TANNING PROCESS ACCELERATED BY HYDROGEN

PEROXIDE

Shiva Amwaliya and Ono Suparno

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University (IPB), Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, West Java,

Indonesia.

Phone: 62 856 97439175, e-mail: shivaamwaliya@yahoo.com

ABSTRACT

Leather tanning is a process of modifying the structure of collagen fibres, so as to transform animal skin that decay easily, into leather which is durable and stable to the environmental influences. One of the leather products is oil tanned leather, known as chamois leather. It has unique uses for cleaning, drying, and filtration. It can be produced by using rubber seed oil and oxidizing agent of hydrogen peroxide. The best condition for the tanning needs to be applied in order to improve process efficiency and to obtain good quality leather. In this research, optimizations of oxidation times inside and outside the rotary drum in chamois tanning were investigated. The objectives of the research were to determine the best condition of oxidation time inside and outside the rotary drum for tanning process. The experiment was conducted by tanning of goat pickle pelts for 4, 6, and 8 hours of oxidation times inside the rotary drum and 1, 2, and 3 days of oxidation times outside the rotary drum. The chemical, physical, and organoleptic properties of the leather were measured. This study shows that the chemical, physical, and organoleptic properties met the quality requirements for the chamois leather. The best conditions for the tanning were an oxidation time of 8 hours inside the rotary drum and 1 day outside the rotary drum. The chemical properties of the leathers were oil content of 2.75%, ash content of 1.92%, and pH of 6.88. Their physical properties were thickness of 0.6 mm, shrinkage temperature of 71.63oC, water absorption of 291.36% (2 hours) and 323.89% (24 hours), tear strength of 59.45 N/mm, tensile strength of 26.18 N/mm2, and elongation at break of 163.33%. The organoleptic properties of the leathers, i.e. softness, colour, and odour were considered good.


(2)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Produk kulit hasil penyamakan merupakan produk yang banyak memiliki kegunaan dan nilai jual yang tinggi. Hal ini karena proses penyamakan telah mengubah kulit mentah yang mudah membusuk menjadi kulit samak yang awet dan stabil terhadap pengaruh fisik, biologis, serta kimia, sehingga kulit samak dapat dijadikan berbagai produk. Salah satu produk akhir kulit samak adalah kulit samak minyak atau dikenal dengan kulit samoa (chamois leather). Dalam metode tradisional, pembuatan kulit samoa adalah dengan mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak (Suparno, 2009).

Kulit samoa merupakan produk kulit olahan yang populer dalam perdagangan karena berdaya guna serta memiliki nilai estetika. Permintaan akan kulit samoa di pasaran global terus meningkat (Khrisnan et al., 2005). Penggunaan kulit samoa semakin meluas dan beragam. Kulit samak minyak (kulit samoa) mempunyai penggunaan khusus dalam penyaringan bensin bermutu tinggi, pembersihan alat-alat optik, pembuatan sarung tangan, garmen, dan orthopaedic leather. Produk kulit samoa juga digunakan sebagai alat pencuci untuk pembersih jendela, badan kendaraan, kaca mata, dan sebagainya.

Penyamakan dengan bahan penyamak minyak memiliki kelemahan, yaitu memerlukan waktu oksidasi yang cukup lama. Proses oksidasi pada tahap penyelesaian membutuhkan waktu rata-rata 1-2 minggu. Hal ini mengakibatkan waktu produksi secara keseluruhan relatif lama, sehingga dapat berpengaruh pada efisiensi proses dan secara langsung ikut mempengaruhi kapasitas produksi di industri kulit.

Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa penambahan hidrogen peroksida (H2O2) mampu mempersingkat waktu oksidasi yaitu menjadi 2 hari. Hidrogen peroksida merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Hidrogen peroksida tidak berwarna, berbau khas agak keasaman, dan larut dengan baik dalam air. Saat ini belum diketahui waktu oksidasi yang terbaik untuk penyamakan kulit menggunakan minyak biji karet dan oksidator hidrogen peroksida. Waktu oksidasi yang terbaik dalam penyamakan sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi proses. Waktu oksidasi yang terbaik juga dapat memperbaiki karakteristik kulit samoa (karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik) agar mutu kulit samoa yang dihasilkan menjadi lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kegunaan dan nilai jual.

1.2

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh dari perlakuan waktu oksidasi di dalam dan di luar drum berputar (molen) terhadap mutu kulit samoa yang dihasilkan.

2. Mencari kombinasi waktu oksidasi yang paling tepat untuk memperoleh kulit samoa terbaik dari proses penyamakan kulit menggunakan minyak biji karet dan oksidator hidrogen peroksida.


(3)

2

1.3

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penelitian ini antara lain:

1. Penelitian pendahuluan, yaitu karakterisasi atau analisis sifat fisiko-kimia minyak biji karet. 2. Penelitian utama yang meliputi:

a. Proses penyamakan minyak menggunakan kombinasi waktu oksidasi di dalam molen (4 jam, 6 jam, dan 8 jam) dan waktu oksidasi di luar molen (1 hari, 2 hari, dan 3 hari).

b. Analisis sifat kulit samoa yang dihasilkan yang meliputi sifat fisik, kimia, dan organoleptik. c. Kajian mikroskopis serat kulit pikel dan kulit samoa hasil perlakuan terbaik.


(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

KULIT

Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia, kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al., 2008).

Kulit hewan (skin dan hide) merupakan bahan mentah kulit samak (leather). Kulit tersebut berupa tenunan serat yang terbentuk dari sel-sel hidup dan hasil-hasilnya. Cara pembuatan kulit samak diantaranya adalah dengan mengeluarkan tenunan yang tidak dapat disamak, kemudian menyamak tenunan yang tertinggal sedemikian rupa sehingga akan diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki (Judoamidjojo, 1981).

Struktur kulit hewan dapat dibedakan secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, kulit hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon, kepala, dan leher serta daerah kaki, ekor, dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidermis, korium, dan subkutis (Fahidin dan Muslich, 1999).

Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan mutu kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini terdapat jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23% dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah ini relatif lebih tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari krupon. Daerah kaki, perut, dan ekor meliputi 22% dari seluruh kulit. Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif lebih tipis dan jaringannya longgar, sedangkan kulit pada daerah kaki lebih tebal dan jaringannya lebih padat (Fahidin dan Muslich, 1999). Struktur kulit secara makroskopis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008)

Kulit hewan secara mikroskopis (histologis) dibagi berdasarkan struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis disebut juga sebagai lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium adalah tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelok-kelok dalam berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman dan tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan

bagian-Keterangan : A,B : Bagian kepala dan leher C,D : Krupon


(5)

4 bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian besar terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin (Fahidin dan Muslich, 1999). Penampang kulit hewan secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penampakan kulit secara mikroskopis (Suardana et al., 2008)

Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein dan golongan non protein. Protein berbentuk terdiri atas kolagen, elastin, dan keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit karena kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan kimia dalam kulit yaitu air 65%, lemak 1.8%, bahan mineral 0.2%, dan protein 33% (Fahidin dan Muslich, 1999).

Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein (polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian, sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang paling sedikit mengandung air adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang memiliki kandungan air yang paling banyak adalah korium. Lipid paling banyakterdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagian garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat; sedikit SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo, 1985).

2.2

MINYAK BIJI KARET

Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil). Minyak biji karet mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren, 2008). Minyak biji karet umumnya digunakan di dalam industri non pangan, antara lain sebagai bahan pembuat sabun, bahan cat sebagai minyak mengering, bahan pelengkap kosmetik, damar alkid, faktis, dan lain sebagainya (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976).

Keterangan :

1. Rambut, 2. Lubang rambut, 3. Kelenjar lemak, 4. Kantong rambut, 5. Kelenjar keringat, 6. Sel lemak, 7. Pembuluh darah, 8. Syaraf, 9. Serat Collagen, 10. Tenunan lemak


(6)

5 Kandungan minyak dalam daging biji karet adalah sekitar 40-60% (Pradeep dan Sharma, 2005) dengan komposisi 17-22% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77-82% yang terdiri atas asam oleat, linoleat, dan linolenat (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976).

Minyak biji karet merupakan minyak nabati yang bersifat nonedible dan dapat digunakan sebagai alternatif untuk memproduksi biodiesel (Ramadhas et al., 2005). Selain itu, minyak biji karet juga sangat potensial sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samak minyak (kulit samoa). Hal ini disebabkan oleh tingginya bilangan iod yang dimiliki minyak biji karet yaitu >120 g/100 g minyak. Bilangan iod merupakan parameter utama dari minyak untuk penyamakan kulit. Kelebihan lain minyak biji karet adalah tidak meninggalkan residu warna dan bau dalam jumlah yang berlebih pada kulit (Suparno, 2006).

2.3

PENYAMAKAN KULIT

Kulit tersusun dari banyak sekali ikatan jaringan serat yang dapat bergerak dan berikatan satu sama lain ketika hewan masih hidup. Ketika hewan sudah mati, jaringan tersebut cenderung mengerut dan menjadi keras. Pada dasarnya tujuan utama dilakukan proses penyamakan adalah untuk menetapkan jaringan serat kolagen melalui proses kimiawi, melumasi jaringan sehingga dapat bergerak dan berikatan satu sama lain. Oleh karena itu melalui proses penyamakan dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan kulit (Mann dan McMillan, 2000).

Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen (komponen utama kulit) dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tannin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal dan ketahanan kulit terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005). Stabilitas hidrotermal kulit ditunjukkan dengan suhu kerut (shrinkage temperature, Ts).

Penyamakan pada prinsipnya merupakan proses yang bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mempunyai sifat tidak stabil, yaitu mudah rusak oleh pengaruh biologis, fisik dan kimia, menjadi kulit tersamak yang mempunyai sifat stabil dan tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme proses penyamakan kulit dimulai dari usaha memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan serat kulit. Selanjutnya mengusahakan agar terjadi ikatan kimia antara jaringan serat kulit dengan bahan penyamak yang ditambahkan. Tujuan pokok dari penyamakan kulit adalah untuk menghasilkan kulit samak yang sesuai dengan mutu kulit yang dikehendaki (Purnomo, 1992).

Menurut Purnomo (1992), proses penyamakan kulit secara garis besar meliputi proses prapenyamakan, proses penyamakan, proses pascapenyamakan, dan proses penyelesaian. Penyamakan dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung bahan yang digunakan. Secara praktis penyamakan dapat digolongkan menjadi lima, yaitu:

a. Penyamakan nabati, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuhan, contohnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni, dan kayu quebracho (Anonim, 1996).

b. Penyamakan mineral, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak mineral, contohnya kromium, ferum, kobalt, dan zirconium (Judoamidjojo, 1981).

c. Penyamakan aldehida, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak aldehida, contohnya formaldehida, glutaraldehida, dan oksazolidin (Suparno, 2009).

d. Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain (Suparno, 2009).

e. Penyamakan sintetis, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak sintetis. Bahan penyamak sintetis terdiri dari dua bagian, yaitu bahan penyamak sintetis alifatis dan bahan sintetis aromatis (Judoamidjojo, 1981).


(7)

6

2.4

PENYAMAKAN AWAL (ALDEHIDA)

Suparno (2009) menyebutkan bahwa bahan penyamak yang digunakan untuk penyamakan awal dalam produksi kulit samoa adalah formaldehida, glutaraldehida atau oksazolidin. Bahan-bahan tersebut dapat berfungsi sebagai penyamak tunggal atau kombinasi. Suhu kerut kulit samak aldehida adalah 80-85oC.

Glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Karena penggunaan formaldehida dalam penyamakan kulit menurun, penggunaan glutaraldehida sebagai bahan pengganti meningkat. Gambar 3 menunjukkan struktur dialdehida alifatik tersebut dalam larutan. Struktur tersebut merupakan sebuah struktur penghubung antara dua molekul glutaraldehida yang bereaksi. Gambar 4 menunjukkan reaksi yang terjadi antara glutaraldehida dengan protein (Covington, 2009).

Glutaraldehida menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tahan terhadap peluh, tahan pencucian, lebih sempurna, dan densitas yang lebih baik. Glutaraldehida membentuk polimer di dalam larutan, gugus hidroksil dari polimer akan aktif dan bereaksi dengan gugus amino. Walaupun reaksi crosslink antara kolagen dengan aldehida telah lama dipelajari, namun mekanisme reaksinya belum dapat diketahui dengan pasti. Sebagian besar peneliti sepakat bahwa gugus aldehidik berikatan dengan gugus amino bebas dari lisin dan membentuk ikatan silang (Covington, 2009). Reaksi antara senyawa beraldehida dengan gugus amino bebas lisin adalah sebagai berikut (Suparno, 2009):

Collagen-NH2 + HCHO  Collagen-NH-CH2OH

Grup N-hidroksimetil sangat reaktif dan reaksi crosslinking terjadi pada grup amino kedua. Kekuatan serat kolagen tergantung atas hubungan silang di dalam dan di antara molekul. Reaksinya adalah sebagai berikut:

Collagen-NH-CH2OH + H2N-Collagen  Collagen-NH-CH2-NH-Collagen

Gambar 3. Polimerisasi glutaraldehida (Covington, 2009)


(8)

7 Seperti formaldehida, kulit yang disamak dengan glutaraldehida adalah tahan cuci dan hidrofilik serta suhu kerutnya mirip. Namun warnanya berbeda, glutaraldehida menghasilkan warna kuning. Turunan glutaraldehida telah ditawarkan ke industri, yakni Relugan GTW, turunan tambahan bisulfit. Bahan tersebut menghasilkan kulit samak lebih pucat, tetapi tetap menghasilkan warna kuning. Produk lainnya adalah Relugan GT50, yang merupakan larutan 50% dari glutaraldehida yang digunakan sebagai pretanning, selftanning, dan retanning agents untuk seluruh jenis kulit samak. Bahan penyamak ini mempunyai karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Suparno, 2009).

2.5

PENYAMAKAN MINYAK

Penyamakan minyak adalah penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samak minyak (chamois leather). Metode tradisional pembuatan kulit chamois adalah mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharpouse 1981; Dewhurst 2004). Penyamakan minyak merupakan salah satu contoh proses leathering, karena walaupun kulit samak minyak tahan terhadap serangan mikroorganisme, suhu kerut (shrinkage temperature/Ts)-nya tidak meningkat secara signifikan di atas suhu kerut kulit tersebut sebelum disamak. Proses tersebut melibatkan pengisian kulit basah dengan minyak tak jenuh, kemudian polimerisasi minyak in situ dengan oksidasi (Suparno, 2009).

Minyak yang dibutuhkan dalam penyamakan tergantung dari jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Minyak tersebut akan melakukan cross-link dengan protein yang ada di kulit untuk membentuk kulit samak (Suparno, 2006). Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharpouse, 1985).

Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung dalam dua fase, mula-mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus asam amino dari kolagen.

Menurut Covington (2009), reaksi dalam proses penyamakan minyak adalah belum jelas. Bahan aktifnya adalah minyak tak jenuh yang dapat dimodelkan dengan asam linoleat, CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH, yang diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi tersebut berbasiskan pada pembentukan senyawa-senyawa aldehida, terutama karena proses tersebut diikuti oleh pelepasan akrolein, CH2=CHCHO, yang telah digunakan sebagai salah satu elemen pengendali mutu. Namun akrolein sendiri tidak dapat digunakan dalam pembuatan kulit samoa.

Sharpouse (1985) menyimpulkan bahwa penyamakan minyak sebagai fiksasi produk-produk otooksidasi resin atau minyak terhadap serat protein dalam bentuk seperti pembungkus. Selanjutnya


(9)

8 Suparno (2009) menyebutkan bahwa hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matriks polimer dalam matriks kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian, sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi, menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sebagai sebuah bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah struktur serat tersebut bersatu dan lengket (Covington, 2009).

2.6

KULIT SAMAK MINYAK (KULIT SAMOA)

Kulit samoa merupakan produk kulit olahan yang popular dalam perdagangan (Sharphouse, 1995). Permintaan akan kulit samoa di pasaran global terus meningkat. Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dan lapisan grain. Kulit samak minyak mempunyai penggunaan khusus dalam penyaringan bensin bermutu tinggi dan pembersihan alat-alat optik.

Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, antara lain memiliki bobot jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann, 1999). Penggunaan utama kulit samoa adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan yaitu kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharphouse, 1995; John, 1996). Persyaratan mutu kulit samoa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan mutu kulit samoa (SNI 06-1752-1990)*

No. Uraian Satuan

Persyaratan

Keterangan Min. Maks.

1. Sifat Kimia

- Kadar minyak % 10

- Kadar abu % 5 Sesudah disarikan

minyaknya

- pH - 8

2. Sifat Fisik

- Ketebalan mm 0.3 1.2

- Kekuatan tarik N/mm2 7.5

- Kemuluran % 50

- Kekuatan jahit N/mm2 40

- Kekuatan sobek N/mm 15

- Penyerapan air


(10)

9

*Badan Standarisasi Nasional (1990)

2.7

HIDROGEN PEROKSIDA

Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). H2O2 tidak berwarna, berbau khas agak keasaman, dan larut dengan baik dalam air. Dalam kondisi normal (kondisi ambient), hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun (Skuler, 2007).

Mayoritas pengunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen. Pada tahap produksi hidrogen peroksida, bahan stabilizer kimia biasanya ditambahkan dengan maksud untuk menghambat laju dekomposisinya, termasuk dekomposisi yang terjadi selama produk hidrogen peroksida dalam penyimpanan. Selain menghasilkan oksigen, reaksi dekomposisi hidrogen peroksida juga menghasilkan air (H2O) dan panas. Reaksi dekomposisi eksotermis yang terjadi adalah sebagai berikut:

H2O2 H2O + O2 + 23.45 kcal/mol Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi dekomposisi hidrogen peroksida adalah: 1. Bahan organik tertentu, seperti alkohol dan bensin.

2. Katalis, seperti Pd, Fe, Cu, Ni, Cr, Pb, Mn.

3.Temperatur, laju reaksi dekomposisi hidrogen peroksida naik sebesar 2.2 kali setiap kenaikan 10oC (dalam rentang temperatur 20-100oC).

4. Permukaan container yang tidak rata (active surface).

5. Padatan yang tersuspensi, seperti partikel debu atau pengotor lainnya. 6. Semakin tinggi pH (makin basa), laju dekomposisi semakin tinggi.

7. Radiasi, terutama radiasi dari sinar dengan panjang gelombang yang pendek (Skuler, 2007). Hidrogen peroksida bisa digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent pada industri pulp, kertas, dan tekstil. Senyawa ini juga biasa digunakan pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis serta industri elektronika (pembuatan PCB) (Skuler, 2007).

Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidasinya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH atau soda api. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi (Skuler, 2007).

Tabel 1. Persyaratan mutu kulit samoa (SNI 06-1752-1990)* (Lanjutan)

No. Uraian Satuan Persyaratan Keterangan

Min. Maks.

• 24 jam % 200

3. Organoleptik - Keadaan kulit

- Halus Seperti beludru

- Warna

- Kuning


(11)

10

2.8

PROSES OKSIDASI

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan, sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil pun mudah mengalami proses oksidasi. Produk primer dari proses oksidasi adalah persenyawaan hidroperoksida yang terbentuk dari hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen, sedangkan produk sekunder dihasilkan dari proses degradasi produk primer (hidroperoksida). Hasil degradasi hidroperoksida ini terdiri dari alkohol, aldehida dan asam, serta persenyawaan tidak jenuh dengan berat molekul lebih rendah (Ketaren, 2008). Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh), sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam molekul trigliserida terdiri atas asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Asam-asam tidak jenuh ini jika dioksidasi maka masing-masing akan membentuk oleat hidroperoksida, linoleat hidroperoksida, dan linolenat hidroperoksida yang bersifat reaktif. Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan akan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerasi atau polimerisasi, dan akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah (Ketaren, 2008).

Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung dalam dua fase, mula-mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus asam amino dari kolagen.

Selama proses oksidasi, minyak akan mengalami beberapa perubahan kimia dan beberapa hasil dari oksidasi tersebut memiliki kemampuan untuk berikatan dengan serat kulit (kolagen) sehingga akan memberikan efek penyamakan pada kulit. Sangat penting untuk mengusahakan agar proses oksidasi terjadi secara in situ pada serat kulit. Dalam proses oksidasi, mula-mula akan terbentuk peroksida dan hidroperoksida, dan reaksinya dengan protein kulit akan memberikan karakteristik penyamakan ‘full oil’. Selanjutnya, minyak yang tidak terikat dapat teroksidasi lebih lanjut menjadi aldehida yang menguap atau aldehida tidak menguap, kemudian akan mengalami perubahan kimia seperti polimerisasi, membentuk produk yang lebih kental. Produk ini juga dapat berikatan dengan serat kulit selama pembentukannya (Sharphouse, 1995).

Pada penyamakan minyak menggunakan minyak biji karet, bahan aktif dalam reaksi oksidasi dapat dimodelkan dengan asam linoleat, karena sebagian besar asam lemak tidak jenuh penyusun minyak biji karet adalah asam linoleat. Asam linoleat akan mengalami oksidasi membentuk linoleat hidroperoksida. Reaksi pembentukan hidroperoksida dapat dilihat pada Gambar 5. Hidroperoksida yang terbentuk selanjutnya mengalami degradasi sekunder yang akan membentuk senyawa-senyawa hidrokarbon dengan berat molekul lebih rendah melalui reaksi polimerisasi. Asam linoleat, CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH, diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi polimerisasi asam lemak tidak jenuh dapat dilihat pada Gambar 6. Ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi kemudian akan membentuk matriks polimer di dalam matriks kolagen yang akan menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sehingga dapat memberikan efek penyamakan minyak yaitu berupa kulit samoa yang lembut dan halus, lebih mudah mengerut bila dibandingkan dengan kulit samak aldehida, serta mampu menyerap air.


(12)

11 Gambar 5. Reaksi oksidasi pada minyak/lemak (Winarno, 1992)


(13)

12

III.

METODE PENELITIAN

3.1

BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah kulit kambing pikel dan minyak biji karet sebagai bahan penyamak. Bahan pembantu adalah bahan-bahan kimia yang digunakan selama proses penyamakan dan analisis kimia (minyak dan kulit). Bahan pembantu penyamakan adalah degreaser (soaking agent), natrium formiat, natrium karbonat (Na2CO3), hidrogen peroksida (H2O2), NaCl, dan Relugan GT50. Bahan pembantu analisis minyak dan kulit adalah alkohol 95%, KOH 0.1 N dan 0.5 N, indikator PP, KI 15%, indikator pati, natrium tiosulfat, aquades, HCl 0.5 N, heksan, khloroform, dan larutan Wijs.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat penyamak, alat analisis (minyak dan kulit tersamak), dan alat ukur fisik kulit. Alat yang digunakan selama penyamakan adalah molen (drum berputar), alat stacking, mesin buffing, mesin shaving, mesin sammying, toggle dryer, dan kuda-kuda penjemur kulit. Alat untuk analisis kimia adalah grinder, shaker, oven, desikator, tanur, timbangan, pH meter, kertas saring, gelas ukur, labu erlenmeyer, gelas piala, labu ukur, dan buret. Alat ukur fisik kulit adalah thickness gauge, kubelka glass apparatus, tensile strength tester, jangka sorong, mistar, dan gunting. Foto-foto peralatan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai bulan Maret sampai dengan Juli 2011. Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah Laboratorium Penyamakan Kulit, Laboratorium DIT, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB; Laboratorium UTM Instron Departemen Teknologi Hasil Hutan Fahutan IPB; dan Unit Zoologi LIPI Cibinong Bogor.

3.3

METODE PENELITIAN

3.3.1

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah karakterisasi minyak biji karet yang akan digunakan sebagai bahan penyamak. Karakterisasi tersebut meliputi analisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, warna, dan bobot jenis. Prosedur analisis minyak biji karet disajikan pada Lampiran 2.

3.3.2

Penelitian Utama

3.3.2.1

Penyamakan Awal (Aldehida)

Penyamakan awal dilaksanakan dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Suparno et al. (2009a), seperti yang tersaji pada Tabel 2. Proses penyamakan awal dimulai dengan pencucian kulit


(14)

13 pikel dengan menggunakan drum berputar (molen). Sebelum dicuci, kulit ditimbang untuk menentukan jumlah bahan pencuci yang akan digunakan sesuai dengan persentase yang sudah ditetapkan. Persentase bahan yang akan digunakan berbasis bobot total bahan (kulit pikel). Kulit pikel dicuci dengan menggunakan NaCl sebanyak 8% dan air sebanyak 200%. Selanjutnya, kulit pikel yang telah bercampur dengan bahan pencuci diputar di dalam molen selama 20 menit. Kecepatan putaran drum pada proses penyamakan awal dan penyamakan minyak adalah sebesar 12 rpm.

Proses selanjutnya adalah mengeluarkan air hasil pencucian dan menggantinya dengan bahan pencuci baru, yaitu 10% NaCl dan 100% air. Molen kemudian diputar kembali selama 10 menit. Setelah pemutaran selesai, pengecekan pH dilakukan dengan standar nilai sebesar 3. Selanjutnya, ditambahkan bahan pretanning yaitu Relugan GT50 sebanyak 3% dari bobot bahan. Relugan yang ditambahkan sebelumnya diencerkan dalam 9% air dan dimasukkan ke dalam molen dengan tiga kali tahap pemasukan setiap 15 menit. Pemutaran drum dilanjutkan selama 30 menit dengan kecepatan putaran yang sama yaitu 12 rpm. Penambahan bahan berikutnya adalah 1% natrium formiat. Natrium formiat diencerkan dalam air dengan perbandingan 1:10 (air 10%). Penambahan tersebut dilakukan dengan empat tahap pemasukan dengan selang waktu 10 menit. Pemutaran drum dilanjutkan selama 20 menit. Selanjutnya, ditambahkan Na2CO3 sebanyak 2% yang telah dilarutkan dalam air sebanyak 10%. Penambahan dilakukan dengan tiga kali tahap pemasukan setiap selang waktu 15 menit. Selain itu, air ditambahkan sebanyak 10% dan selanjutnya dilakukan pemutaran drum kembali selama 60 menit. Setelah pemutaran selesai, dilakukan pengecekan pH dengan nilai standar sebesar 8. Jika pH yang terukur kurang dari 8 maka perlu ditambahkan Na2CO3 kembali. Tahap selanjutnya adalah pemeraman kulit selama 24 jam. Setelah itu, kulit di-shaving menggunakan mesin shaving dengan tujuan untuk mengurangi ketebalan kulit dan menghilangkan lapisan grain pada kulit. Diagram alir proses penyamakan awal disajikan pada Lampiran 3.

3.3.2.2

Penyamakan Minyak

Penyamakan minyak dilakukan dengan menggunakan metode yang dimodifikasi dari Suparno et al. (2009a), seperti yang tersaji pada Tabel 3. Modifikasi yang dilakukan adalah waktu oksidasi pada tahap penyamakan lanjutan (4 jam, 6 jam, dan 8 jam) dan tahap oksidasi di toggle (1 hari, 2 hari, dan 3 hari).

Setiap kulit yang telah di-shaving kemudian ditimbang untuk diketahui bobotnya. Bobot tersebut yang akan dijadikan sebagai acuan dalam penentuan persentase bahan-bahan yang akan digunakan dalam penyamakan. Kulit yang telah ditimbang selanjutnya dimasukkan ke dalam molen untuk proses pencucian ulang dengan menggunakan air sebanyak 200%. Penambahan dan penggantian air sebanyak tiga kali dengan selang waktu 10 menit. Setelah selesai, air pencucian dibuang dan diganti dengan air yang baru sebanyak 100% dan Na2CO3 sebanyak 0.5%, kemudian diputar selama 10 menit. Setelah itu, dilakukan pengecekan pH dengan standar nilai pH 8-9. Proses selanjutnya adalah penirisan kulit pada kuda-kuda selama 1 jam dan dilanjutkan dengan setting out, yaitu proses untuk menghilangkan air yang masih tersisa pada kulit.

Kulit yang telah di-setting out selanjutnya disamak dengan menggunakan bahan penyamak yang merupakan campuran antara minyak biji karet sebanyak 30%, natrium karbonat sebanyak 0.5%, dan air sebanyak 1.5%. Penyamakan dilakukan dengan mengoleskan bahan penyamak secara merata ke seluruh permukaan kulit, selanjutnya kulit diperam selama 24 jam pada kotak penyimpan kulit.

Pada hari kedua setelah 24 jam pemeraman, kulit kemudian diputar di dalam molen selama 8 jam untuk penetrasi minyak ke dalam kulit. Setelah itu, dilakukan penambahan hidrogen peroksida (H2O2) sebanyak 6% yang telah dilarutkan dalam 70% air. Perhitungan masing-masing persentase


(15)

14 tersebut disesuaikan dengan bobot minyak biji karet yang digunakan. Molen kemudian diputar dengan kecepatan 12 rpm selama 4 jam, 6 jam, dan 8 jam. Proses selanjutnya adalah mengeluarkan kulit dari dalam molen kemudian membentangkan atau menggantungnya pada toggle dryer selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari. Hal ini bertujuan agar minyak yang menempel pada kulit dapat teroksidasi.

Setelah penggantungan selama 1 hari, 2 hari, atau 3 hari, kulit kemudian dicuci melalui dua tahap pencucian dalam molen. Pencucian pertama menggunakan air sebanyak 300%, natrium karbonat sebanyak 4%, dan degreaser sebanyak 2%. Pemutaran drum dilakukan selama 60 menit. Selanjutnya, bahan pencuci tersebut dikeluarkan dan diganti dengan air sebanyak 1000% lalu pemutaran molen dilanjutkan selama 15 menit. Setelah pemutaran selesai, air cucian dibuang dan kulit dikeluarkan dari molen untuk kemudian di-setting out. Pada tahap pencucian kedua, kulit yang telah di-setting out dimasukkan kembali ke dalam molen dan dilakukan penambahan air sebanyak 1000%, natrium karbonat sebanyak 2%, dan degreaser sebanyak 1%. Molen kemudian diputar selama 60 menit. Selanjutnya, bahan pencuci tersebut dikeluarkan dan diganti dengan air sebanyak 1000% dan pemutaran molen dilanjutkan selama 15 menit. Setelah pemutaran selesai, air cucian dibuang dan kulit dikeluarkan dari molen untuk kemudian di-setting out.

Kulit yang telah dicuci kemudian dikeringkan dalam ruangan dengan cara digantung selama 2x24 jam. Setelah kulit tersebut kering, selanjutnya kulit diketun menggunakan alat stacking dengan tujuan agar kulit menjadi lemas dan lentur. Pada tahap terakhir dilakukan proses buffing. Proses ini bertujuan untuk menghaluskan permukaan kulit terutama lapisan grain pada kulit. Selain itu, buffing juga ditujukan untuk mengurangi ketebalan kulit, sehingga sesuai dengan tujuan pembuatan produk akhirnya. Diagram alir proses penyamakan minyak disajikan pada Lampiran 4.

Tabel 2. Proses penyamakan awal kulit (Suparno et al., 2009a)

Proses Bahan Kimia

Jumlah (% kulit pikel)

(b/b)

Waktu Keterangan

Penimbangan

Pencucian 1

NaCl 8-10

20 menit

Derajat Baumé diukur min. 8o Baumé, jika kurang dari 8 maka ditambahkan NaCl

Air 200

Pencucian 2

NaCl 8-10

10 menit

• Diukur min. 8o Baumé, jika kurang dari 8 maka ditambahkan NaCl

• pH dicek min. 3, jika kurang maka ditambahkan asam formiat


(16)

15 Tabel 2. Proses penyamakan awal kulit (Suparno et al., 2009a) (Lanjutan)

Proses Bahan Kimia

Jumlah (% kulit pikel)

(b/b)

Waktu Keterangan

Pretanning

Glutaraldehida

(Relugan GT50) 3 3x15 menit

+ 30 menit

Relugan GT50 diencerkan dengan air, perbandingan 1:3

Air 9

Natrium formiat 1

4x10 menit + 20 menit

Natrium formiat diencerkan dengan air, perbandingan 1:10

Air 10

Natrium karbonat 2

3x15 menit

Air 10

Air 10 1 jam

pH dicek min. 8, jika kurang maka ditambahkan natrium karbonat

Shaving Ketebalan 0.8-0.9

mm

Tabel 3. Proses penyamakan minyak (modifikasi dari Suparno et al., 2009a)

Proses Bahan Kimia

Jumlah (% kulit shaving)

(b/b)

Waktu Keterangan

Penimbangan

Pencucian 1 Air 200 3x10 menit Air cucian dibuang

Prapenyamakan ulang

Natrium karbonat 0.5

10 menit pH dicek, nilai standar: 8-9

Air 100

Penirisan 1 jam

Setting out

Penyamakan minyak

Minyak biji karet 30 Penyamakan yaitu

dengan mengoleskan bahan penyamak pada kulit Natrium karbonat 0.5


(17)

16 Tabel 3. Proses penyamakan minyak (modifikasi dari Suparno et al., 2009a) (Lanjutan)

Proses Bahan Kimia

Jumlah (% kulit shaving)

(b/b)

Waktu Keterangan

Pemeraman Semalam Disimpan dan

didiamkan

Penetrasi minyak 8 jam Diputar di dalam

molen Penyamakan lanjutan H2O2 6% dari minyak biji

karet 4 jam, 6 jam, dan 8

jam

Diputar di dalam molen

Air

70% dari minyak biji

karet

Oksidasi di toggle

1 hari, 2 hari, atau 3

hari

Dibentangkan pada toggle dryer

Pencucian 2

Air 300

60 menit

• Digunakan air hangat (40oC)

• Air sisa cucian dibuang Natrium karbonat 4

Degreaser 2

Pencucian 3 Air 1000 15 menit

• Digunakan air hangat (40oC)

• Air sisa cucian dibuang Setting out

Pencucian 4

Air 1000

60 menit

• Digunakan air hangat (40oC)

• Air sisa cucian dibuang Natrium karbonat 2

Degreaser 1

Pencucian 5 Air 1000 15 menit

• Digunakan air hangat (40oC)

• Air sisa cucian dibuang Setting out

Pengeringan 2x24 jam


(18)

17 Tabel 3. Proses penyamakan minyak (modifikasi dari Suparno et al., 2009a) (Lanjutan)

Proses Bahan Kimia

Jumlah (% kulit shaving)

(b/b)

Waktu Keterangan

Buffing

Ketebalan 0.3-1.2 mm (SNI 06-1752-1990)

3.3.2.3

Analisis Karakteristik Kulit Samoa

Kulit samoa hasil penyamakan dianalisis karakteristiknya yang meliputi sifat fisik, kimia, dan orgnoleptik. Analisis sifat fisik meliputi ketebalan, suhu kerut, daya serap air, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan kemuluran putus (elongation at break). Analisis sifat kimia meliputi kadar minyak, kadar abu, dan pH, sedangkan sifat organoleptik yang diamati meliputi kehalusan, warna dan bau. Metode pengujian karakteristik kulit samoa dapat dilihat pada Lampiran 5.

3.3.2.4

Kajian Mikroskopis Kulit Samoa

Pengujian mikroskopi kulit samoa dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) tipe JSM-5000. Prosedur pengujian mikroskopi kulit samoa disajikan pada Lampiran 5.

3.3.3

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan petak terpisah (split plot design) dengan menggunakan dua faktor, dimana faktor pertama (petak utama) dan faktor kedua (anak petak) masing-masing terdiri dari tiga taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan.

Faktor pertama (petak utama) adalah waktu oksidasi di dalam drum berputar (faktor A) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 4 jam (A1), 6 jam (A2), dan 8 jam (A3). Faktor kedua (anak petak) adalah waktu oksidasi di luar drum berputar (faktor B) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 1 hari (B1), 2 hari (B2), dan 3 hari (B3).

Dari 9 kombinasi perlakuan dilakukan dua kali ulangan pada tiap kombinasi sehingga diperoleh 18 satuan percobaan. Terhadap setiap satuan percobaan dilakukan pengujian sifat fisik dan kimia kulit. Model perhitungan rancangan percobaan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2006):

Yijk = µ + Ai + ik + Bj + ABij + ijk dengan:

Yijk = Respon percobaan karena faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j pada ulangan ke-k

µ = Rata-rata yang sebenarnya

Ai = Pengaruh faktor A (petak utama) pada taraf ke-i ik = Galat petak utama


(19)

18 ABij = Pengaruh interaksi dari faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j

ijk = Galat dari faktor A ke-i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k

Uji statistik yang digunakan adalah analisis ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan, maka akan dilakukan uji perbandingan berganda Duncan. Uji tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi perlakuan.


(20)

19

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah karakterisasi minyak biji karet yang digunakan sebagai bahan penyamak. Tujuan karakterisasi minyak biji karet adalah untuk menganalisis kelayakan minyak sebagai bahan penyamak, yaitu dengan mengukur bilangan iod minyak. Bilangan iod merupakan parameter utama yang menentukan kelayakan minyak biji karet sebagai bahan penyamak. Minyak biji karet yang baik digunakan dalam penyamakan adalah minyak yang memiliki bilangan iod cukup tinggi, yaitu >120 g iod/100 g minyak. Analisis sifat fisiko-kimia yang lain dilakukan untuk mengetahui sifat minyak secara keseluruhan. Hasil karakterisasi minyak biji karet disajikan pada Tabel 4. Nilai tersebut dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suparno et al. (2009a).

Tabel 4. Sifat fisiko-kimia minyak biji karet

Sifat Fisiko-Kimia Nilai Nilai*

Warna (PtCo) 3493 4076

Bobot jenis (g/cm3) 0.92 0.92

Bilangan iod (g I/100 g minyak) 138.85 146

Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 14.72 2.08

Bilangan peroksida (meq/kg) 10.99 31.33

Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) 186.08 185

*Suparno et al. (2009a)

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa nilai warna minyak adalah sebesar 3493 unit PtCo. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai warna minyak biji karet hasil penelitian Suparno et al. (2009a) yaitu sebesar 4076 unit PtCo. Semakin tinggi nilai warna minyak menunjukkan bahwa minyak semakin berwarna gelap. Minyak biji karet yang digunakan pada penelitian ini cenderung berwarna kuning kecoklatan. Warna minyak dan lemak disebabkan oleh adanya pigmen, karena asam lemak dan gliserida-gliseridanya tidak berwarna (Djatmiko dan Widjaja, 1985). Zat

warna yang secara alami terdapat dalam minyak antara lain α dan β karoten, xantofil, klorofil, dan

antosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan, dan kemerah-merahan. Pigmen berwarna merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak. Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh. Jika minyak dihidrogenasi, karoten tersebut juga ikut terhidrogenasi, sehingga intesitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu tinggi, dan jika minyak dialiri uap panas, maka warna kuning akan hilang (Ketaren, 2008).

Pengujian terhadap bobot jenis minyak biji karet memberikan hasil bahwa minyak biji karet memiliki bobot jenis sebesar 0.92 g/cm3. Hasil yang diperoleh ini sama dengan hasil penelitian Suparno et al. (2009a). Menurut Ketaren (2008), bobot jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh pada suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.


(21)

20 Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram minyak atau lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa iod. Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar (Ketaren, 2008). Bilangan iod menunjukkan ukuran ketidakjenuhan atau banyaknya ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang menyusun gliserida dari suatu minyak atau lemak. Jumlah ikatan rangkap yang semakin banyak ditunjukkan oleh bilangan iod yang tinggi (Hamilton dan Rossel, 1987). Bilangan iod dapat digunakan untuk menggolongkan jenis minyak pengering dan minyak bukan pengering. Minyak pengering mempunyai bilangan iod yang lebih dari 130, sedangkan minyak yang memiliki bilangan iod antara 100-130 bersifat setengah mengering (Djatmiko dan Widjaja, 1985). Menurut Ketaren (2008), minyak biji karet termasuk ke dalam golongan minyak mengering yang memiliki bilangan iod lebih dari 130 g I/100 g minyak. Selanjutnya, Suparno et al. (2008) menyatakan bahwa bilangan iod minyak biji karet cukup tinggi (>120), sehingga memenuhi syarat sebagai minyak untuk penyamakan kulit (oil tanning). Pengujian terhadap bilangan iod memberikan hasil bahwa minyak biji karet yang digunakan memiliki bilangan iod sebesar 138.85 g I/100 g minyak. Nilai bilangan iod yang cukup tinggi menunjukkan bahwa minyak biji karet ini layak digunakan sebagai bahan penyamak, tetapi nilai yang diperoleh ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Suparno et al. (2009a) yaitu bilangan iod minyak biji karet sebesar 146 g I/100 g minyak.

Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam digunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak, serta dihitung berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Semakin tinggi nilai bilangan asam yang terkandung dalam minyak, semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak tersebut (Ketaren, 2008). Pengujian terhadap bilangan asam memberikan hasil bahwa minyak biji karet yang digunakan memiliki bilangan asam sebesar 14.72 mg KOH/g minyak. Hasil yang diperoleh ini lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparno et al. (2009a), yaitu bilangan asam minyak biji karet sebesar 2.08 mg KOH/g minyak. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan oleh minyak biji yang digunakan telah mengalami penyimpanan yang cukup lama. Minyak nabati hasil ekstraksi dari biji-bijian atau buah yang disimpan dalam jangka panjang dan terhindar dari proses oksidasi akan mengandung bilangan asam yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh kombinasi kerja enzim lipase dalam jaringan dan enzim yang dihasilkan oleh kontaminasi mikroba (Ketaren, 2008).

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya, sehingga membentuk peroksida (Ketaren, 2008). Peroksida tersebut selanjutnya akan mendorong terjadinya proses oksidasi minyak lebih lanjut, sehingga dihasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti aldehida, keton, dan asam-asam lemak dengan berat molekul lebih rendah. Pada pengukuran bilangan iod, kerusakan minyak dilihat dari penurunan jumlah ikatan rangkap pada minyak, sedangkan pada pengujian bilangan peroksida dilihat dari banyaknya oksigen yang terikat pada asam lemak tidak jenuh akibat proses oksidasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi pada minyak mempengaruhi nilai bilangan peroksida yang diperoleh. Pengujian terhadap bilangan peroksida memberikan hasil bahwa minyak biji karet ini memiliki bilangan peroksida sebesar 10.99 meq/kg, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suparno et al. (2009a) yaitu sebesar 31.33 meq/kg. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan minyak biji karet yang digunakan pada penelitian ini masih cukup rendah.

Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan


(22)

21 KOH berlebihan dalam alkohol, maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat diketahui. Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi dibandingkan minyak yang mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 2008). Pengujian terhadap bilangan penyabunan memberikan hasil bahwa minyak biji karet yang digunakan memiliki bilangan penyabunan sebesar 186.08 mg KOH/g minyak. Hasil yang diperoleh ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Suparno et al. (2009a), yaitu bilangan penyabunan minyak biji karet sebesar 185 mg KOH/g minyak.

4.2

PENELITIAN UTAMA

4.2.1

Sifat Fisik Kulit

4.2.1.1

Ketebalan

Pengukuran terhadap ketebalan kulit samoa memberikan hasil bahwa kulit samoa yang dihasilkan memiliki rata-rata ketebalan kulit sebesar 0.61 mm, dengan rentang ketebalan 0.53-0.72 mm (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan kulit samoa pada penelitian ini telah memenuhi standar sesuai dengan SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu ketebalan kulit berkisar antara 0.3-1.2 mm.

Ketebalan kulit samoa dapat diatur sesuai dengan tujuan penggunaan produk. Pengaturan ketebalan dapat dilakukan melalui proses shaving dan buffing. Proses shaving bertujuan untuk menghilangkan bagian rajah (grain) serta mengatur ketebalan. Pada proses ini, umumnya ketebalan diatur antara 0.8-0.9 mm agar setelah proses buffing, kulit tidak menjadi terlalu tipis. Proses buffing bertujuan untuk menghaluskan permukaan kulit samak, sehingga dapat pula digunakan untuk mengatur ketebalan kulit yang dihasilkan. Proses buffing yang sempurna menjadikan permukaan kulit samak seperti beludru dan tidak dapat lagi dibedakan antara kulit bagian grain dan kulit bagian dalam (flesh).

4.2.1.2

Suhu Kerut

Suhu kerut (Ts) adalah suhu ketika kulit mengalami derajat kerut paling tinggi atau saat kulit mengerut 0.3% dari panjang awalnya. Pengukuran suhu kerut dilakukan terhadap kulit pikel, kulit samak aldehida, dan kulit samak minyak untuk melihat pengaruh proses penyamakan terhadap kulit tersebut.

Pengujian terhadap Ts kulit pikel (kulit awal) memberikan hasil bahwa kulit pikel memiliki Ts sebesar 47oC. Setelah disamak menggunakan aldehida, Ts kulit meningkat menjadi 78.8oC (Gambar 7). Adanya kenaikan Ts ini menunjukkan bahwa proses penyamakan menggunakan aldehida telah mengubah struktur kulit menjadi lebih tahan terhadap panas. Peningkatan nilai Ts disebabkan oleh reaksi yang kompleks, yaitu glutaraldehida membentuk basa Schiff dengan protein (kolagen kulit) dan kemudian distabilisasi oleh molekul-molekul glutaraldehida lain. Tiga molekul glutaraldehida difiksasi per grup amino lisyne. Ikatan collagen-[glutaraldehida]-collagen menyebabkan kulit menjadi lebih tahan terhadap pengaruh luar


(23)

22 termasuk suhu, struktur kulit yang awalnya terpisah-pisah bergabung menjadi struktur yang lebih kuat dan kompak.

Pengujian terhadap Ts kulit samak minyak (kulit samoa) memberikan hasil bahwa rata-rata Ts kulit samoa adalah 70.8oC (Gambar 7). Ts kulit samoa mengalami sedikit penurunan dibandingkan Ts kulit samak aldehida. Hal ini dapat disebabkan oleh minyak yang melakukan penetrasi ke dalam kulit lalu membentuk matriks polimer di dalam matriks kolagen, sehingga mengakibatkan ikatan antar jalinan serat kolagen-aldehida menjadi lebih renggang yang menjadikan kulit lebih mudah untuk mengerut. Kulit dengan struktur serat yang renggang relatif lebih mudah mengalami kerut dibandingkan struktur serat yang rapat dan kompak. Selain itu, pengaruh penambahan minyak dan bahan-bahan kimia terutama oksidator juga dapat mengganggu kestabilan ikatan hidrogen, sehingga energi yang dibutuhkan untuk memecah ikatan tersebut lebih sedikit dan Ts pun menjadi menurun.

Covington (2009) menyatakan bahwa Ts kolagen berkaitan erat dengan kestabilannya. Ketika kestabilan berkurang karena kehilangan ikatan hidrogen, adanya zat yang dapat memecah ikatan hidrogen atau kerusakan yang disebabkan oleh zat kimia, maka akan lebih sedikit energi yang diperlukan untuk memecah ikatan hidrogen tersebut, dan Ts juga akan menurun. Sebaliknya adanya bahan yang dapat memicu terjadinya ikatan antar kolagen, seperti misalnya pada proses penyamakan, akan meningkatkan ketahanan enzimatis dan Ts.

Gambar 7. Suhu kerut kulit pikel, kulit samak aldehida, dan kulit samak minyak Pengukuran Ts kulit samoa dilakukan pada berbagai kombinasi waktu oksidasi di dalam molen dan waktu oksidasi di luar molen. Pengukuran ini memberikan hasil bahwa Ts kulit samoa berada pada kisaran 69.88-71.63oC (Gambar 8).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Kulit Pikel Kulit Samak Aldehida

Kulit Samak Minyak

Suhu K

e

r

ut

(

oC)


(24)

23 Gambar 8. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta suhu kerut

Hasil analisis ragam pada pengujian seluruh perlakuan Ts menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam molen dan waktu oksidasi di luar molen tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap Ts, begitu pula dengan interaksi antara kedua faktor (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan percobaan pada semua sampel telah memberikan pengaruh penyamakan terhadap kulit, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Ts. Reaksi oksidasi minyak yang dihasilkan oleh kombinasi perlakuan waktu oksidasi memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap Ts.

Pada penyamakan minyak menggunakan minyak biji karet, bahan aktif dalam reaksi oksidasi dapat dimodelkan dengan asam linoleat, karena sebagian besar asam lemak tidak jenuh penyusun minyak biji karet adalah asam linoleat. Asam linoleat akan mengalami oksidasi membentuk linoleat hidroperoksida. Hidroperoksida yang terbentuk selanjutnya mengalami degradasi sekunder yang akan membentuk senyawa-senyawa hidrokarbon dengan berat molekul

yang lebih rendah melalui reaksi polimerisasi. Asam linoleat,

CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH, diketahui dapat berpolimerisasi. Ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi kemudian akan membentuk matriks polimer di dalam matriks kolagen yang akan menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan dan menjadi lebih renggang, sehingga dapat memberikan efek penyamakan minyak yaitu berupa kulit samoa yang lembut, halus, serta lebih mudah mengerut bila dibandingkan dengan kulit samak aldehida.

4.2.1.3

Daya Serap Air

Daya serap air merupakan kemampuan kulit untuk mengabsorpsi air (ml) per satuan bobot kulit (gram) dan hasilnya dinyatakan dalam persen. Daya serap air merupakan parameter terpenting dalam menentukan mutu kulit samoa, karena penggunaan utama kulit samoa adalah sebagai alat pencuci dan pengering yang memiliki kelebihan, yaitu kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi. Semakin tinggi daya serap air kulit samoa, maka akan semakin baik mutunya.

Pengukuran daya serap air dilakukan pada waktu 2 jam dan 24 jam pertama, sesuai dengan SNI. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa daya serap air pada waktu 2 jam pertama berada pada kisaran 291.36-357.62% (Gambar 9). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa daya serap air 2 jam dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam molen, sedangkan waktu oksidasi di luar

0 10 20 30 40 50 60 70 80

4 6 8

Suhu K

e

r

ut

(

oC)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(25)

24 molen dan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap nilai daya serap air yang dihasilkan (Lampiran 8).

Berdasarkan uji lanjut wilayah berganda Duncan, terlihat bahwa perlakuan waktu oksidasi 4 jam di dalam molen memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan waktu oksidasi 6 jam. Waktu oksidasi 4 jam memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 344.02% (Lampiran 8). Hal ini dapat disebabkan semakin lama waktu oksidasi di dalam molen dapat mengakibatkan reaksi oksidasi lebih banyak terjadi pada permukaan kulit, sehingga pada saat kulit dioksidasi di udara terbuka (luar molen), oksigen dari udara tidak dapat mengoksidasi minyak pada lapisan terdalam kulit karena terhalang oleh hasil oksidasi minyak yang banyak terdapat di permukaan kulit.

Gambar 9. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta daya serap air 2 jam

Pengukuran daya serap air pada waktu 24 jam pertama memberikan hasil bahwa daya serap air berada pada kisaran 316.19-400.36% (Gambar 10). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa daya serap air 24 jam tidak dipengaruhi oleh waktu oksidasi di dalam molen, waktu oksidasi di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor (Lampiran 9). Hal ini dikarenakan penyerapan air yang cukup lama yaitu selama 24 jam telah mengakibatkan kulit cukup jenuh terhadap air, sehingga kemampuan kulit untuk menyerap air pada masing-masing perlakuan tidak lagi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai daya serap.

0 50 100 150 200 250 300 350 400

4 6 8

D

aya

S

e

r

ap

A

ir

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(26)

25 Gambar 10. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta daya serap air

24 jam

Secara keseluruhan, nilai daya serap air kulit samoa pada penelitian ini telah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu daya serap air minimal 100% untuk waktu 2 jam pertama dan 200% untuk waktu 24 jam pertama. Jika dibandingkan nilai daya serap air antara waktu pengujian 2 jam dan 24 jam maka dapat dilihat bahwa nilai daya serap air dengan waktu uji 24 jam lebih tinggi dibandingkan nilai daya serap air dengan waktu uji 2 jam. Hal ini disebabkan semakin lama waktu penyerapan (semakin lama waktu kontak kulit dengan air), maka akan semakin banyak air yang diserap sampel sampai pada titik tertentu saat kulit tersebut sudah jenuh oleh air dan tidak terjadi penyerapan air lagi.

4.2.1.4

Kekuatan Sobek

Kekuatan sobek kulit menggambarkan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk merobek kulit per satuan mm ketebalan kulit. Semakin besar nilai kekuatan sobek menunjukkan bahwa semakin besar pula nilai ketahanan kulit terhadap sobekan. Pengujian kekuatan sobek dilakukan pada dua jenis sampel, yaitu sampel dengan arah sejajar tulang belakang (parallel) dan tegak lurus tulang belakang (perpendicular).

Berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa nilai kekuatan sobek pada sampel dengan arah parallel berkisar antara 47.68-62.84 N/mm (Gambar 11). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kekuatan sobek sampel parallel (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan sobek sampel parallel tidak dipengaruhi oleh perlakuan waktu oksidasi. Perbedaan nilai kekuatan sobek yang terjadi pada beberapa perlakuan diduga karena pengaruh faktor luar seperti perbedaan mutu kulit yang menjadi bahan utama dalam proses penyamakan. Mutu kulit hewan dipengaruhi oleh kesehatan, nutrisi, umur dan jenis kelamin. Selain itu, perbedaan nilai tersebut juga dapat disebabkan oleh perbedaan posisi pengambilan sampel.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

4 6 8

D

aya

S

e

r

ap

A

ir

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(27)

26 Gambar 11. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai kekuatan

sobek sejajar tulang belakang

Pada sampel dengan arah perpendicular, nilai kekuatan sobek berkisar antara 67.32-78.78 N/mm (Gambar 12). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kekuatan sobek sampel perpendicular (Lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan sobek sampel perpendicular tidak dipengaruhi oleh perlakuan waktu oksidasi. Perbedaan nilai kekuatan sobek yang tidak signifikan diduga karena pengaruh faktor luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kekuatan sobek sampel perpendicular sama dengan Faktor-faktor-Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan sobek sampel parallel.

Gambar 12. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai kekuatan sobek tegak lurus tulang belakang

Nilai kekuatan sobek rata-rata sampel parallel dan perpendicular berada pada kisaran 58.40-70.81 N/mm (Gambar 13). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan sobek rata-rata (Lampiran 12). 0 10 20 30 40 50 60 70

4 6 8

K e k ua ta n So be k ( N /m m )

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

4 6 8

K e k ua ta n So be k ( N /m m )

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari

Waktu Oksidasi di Luar Molen

Waktu Oksidasi di Luar Molen


(28)

27 Berdasarkan uji lanjut wilayah berganda Duncan terhadap interaksi antara kedua faktor, dapat terlihat bahwa perlakuan waktu oksidasi 6 jam di dalam molen dan 2 hari di luar molen memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan 8 jam di dalam molen dan 3 hari di luar molen. Perlakuan 8 jam di dalam molen dan 3 hari di luar molen memberikan nilai rata-rata tertinggi yaitu 70.81 N/mm (Lampiran 12). Saat oksidasi di luar molen, proses oksidasi dibantu oleh oksigen udara sehingga minyak dapat lebih banyak teroksidasi. Selain itu, saat oksidasi di luar molen, kulit dibentangkan pada toggle dryer, sehingga ada aliran udara kering yang mengenai kedua sisinya yang menyebabkan kulit menjadi lebih kaku, kering, dan semakin kuat sejalan dengan meningkatnya waktu oksidasi di dalam dan di luar molen. Secara keseluruhan, nilai kekuatan sobek sudah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu kekuatan sobek minimal 15 N/mm.

Gambar 13. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai kekuatan sobek rata-rata

Apabila dibandingkan antara kedua jenis sampel, maka rata-rata nilai kekuatan sobek sampel perpendicular lebih tinggi dibandingkan nilai kekuatan sobek sampel parallel. Hal ini dikarenakan pada sampel perpendicular, arah serat kulit sejajar dengan arah gaya sobekan sehingga gaya yang dibutuhkan untuk melepaskan jalinan serat menjadi lebih besar. Sebaliknya, pada sampel parallel, arah serat tegak lurus terhadap arah gaya sobekan sehingga gaya yang dibutuhkan untuk merobek atan membuka tenunan serat menjadi lebih kecil. Selain dipengaruhi oleh faktor mutu kulit dan arah serat, kekuatan sobek juga dipengaruhi oleh susunan atau jalinan serat kolagen. Hubungan antara arah serat dan posisi pengambilan sampel kekuatan sobek dapat dilihat pada Gambar 14. Menurut Haines dan Barlow (1975), susunan atau jalinan serat kolagen dipengaruhi oleh ketebalan kulit dan lokasinya pada kulit tersebut. Kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga mempunyai daya regang dan kekuatan sobek yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang lebih tebal. Lokasi pengambilan sampel pada kulit juga menggambarkan susunan atau jalinan serat kolagen. Pada kulit bagian krupon, jalinan serat kolagen lebih kuat dan rapat sehingga kekuatan sobek pada kulit bagian krupon akan lebih baik bila dibandingkan dengan kulit bagian perut yang jalinan serat kolagennya lebih longgar.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

4 6 8

K e k ua ta n So be k ( N /m m )

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(29)

28 Gambar 14. Hubungan antara arah serat dan posisi pengambilan sampel kekuatan sobek

4.2.1.5

Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik merupakan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit sampai terputus. Semakin besar nilai kekuatan tarik menunjukkan semakin besar pula ketahanan kulit terhadap gaya tarikan. Pengujian kekuatan tarik kulit dilakukan pada dua jenis sampel, yaitu sampel dengan arah sejajar tulang belakang (parallel) dan tegak lurus tulang belakang (perpendicular).

Berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa nilai kekuatan tarik pada sampel dengan arah parallel berkisar antara 33.32-44.32 N/mm2 (Gambar 15). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kekuatan tarik sampel parallel (Lampiran 13). Nilai kekuatan tarik sampel parallel yang berbeda walaupun tidak signifikan dapat disebabkan oleh perbedaan mutu bahan baku (kulit hewan). Mutu kulit hewan dipengaruhi oleh kesehatan, nutrisi, umur dan jenis kelamin. Selain itu, kulit pada bagian-bagian tertentu pada tubuh hewan memiliki komposisi protein serat yang berbeda, sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan pada masing-masing bagian juga akan berbeda.


(30)

29 Gambar 15. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai kekuatan

tarik sejajar tulang belakang

Pada sampel dengan arah perpendicular, nilai kekuatan tarik berkisar antara 16.26-21.05 N/mm2 (Gambar 16). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kekuatan tarik sampel perpendicular (Lampiran 14). Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tarik sampel perpendicular tidak dipengaruhi oleh perlakuan waktu oksidasi. Perbedaan nilai kekuatan tarik yang tidak signifikan diduga karena pengaruh faktor luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kekuatan tarik sampel perpendicular sama dengan Faktor-faktor-Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik sampel parallel.

Gambar 16. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai kekuatan tarik tegak lurus tulang belakang

Nilai kekuatan tarik rata-rata sampel parallel dan perpendicular berada pada kisaran 24.97-32.68 N/mm2 (Gambar 17). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh

0 10 20 30 40 50

4 6 8

K e ku a ta n T a r ik (N /mm 2)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari 0 5 10 15 20 25

4 6 8

K e ku a ta n T a r ik (N /mm 2)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di

Luar Molen

Waktu Oksidasi di Luar Molen


(31)

30 yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kekuatan tarik rata-rata (Lampiran 15). Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tarik rata-rata juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan waktu oksidasi. Perbedaan nilai kekuatan tarik yang tidak signifikan dapat disebabkan oleh pengaruh faktor luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kekuatan tarik rata-rata sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik sampel parallel dan perpendicular. Secara keseluruhan, nilai kekuatan tarik sudah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu kekuatan tarik minimal 7.5 N/mm2.

Gambar 17. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai kekuatan tarik rata-rata

Apabila dibandingkan antara kedua jenis sampel, maka rata-rata nilai kekuatan tarik sampel parallel lebih tinggi dibandingkan nilai kekuatan tarik sampel perpendicular. Hal ini dikarenakan pada sampel perpendicular, arah serat kulit sejajar dengan arah gaya tarikan sehingga kulit menjadi lebih mudah ditarik yang mengakibatkan gaya tariknya pun menjadi lebih kecil. Sebaliknya, pada sampel parallel, arah serat tegak lurus terhadap arah gaya tarikan sehingga gaya yang dibutuhkan untuk menarik dan memutuskan kulit menjadi lebih besar. Nilai kekuatan tarik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor mutu kulit. Hubungan antara arah serat dan posisi pengambilan sampel kekuatan tarik dapat dilihat pada Gambar 18. Menurut Kanagy (1977), tingginya nilai kekuatan tarik kulit dipengaruhi oleh tingginya komposisi protein serat di dalam kulit. Komposisi protein serat terkait dengan lokasi pengambilan sampel. Kulit yang diambil pada bagian krupon akan memiliki kekuatan tarik yang lebih baik bila dibandingkan dengan kulit yang diambil pada bagian bahu dan perut karena kulit pada bagian krupon memiliki jaringan kolagen yang lebih kuat, rapat, dan kompak. Nilai kekuatan tarik juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit. Kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga mempunyai daya regang dan kekuatan tarik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang lebih tebal (O’Flaherty dan Lollar, 1960).

0 5 10 15 20 25 30 35

4 6 8

K

e

ku

a

ta

n

T

a

r

ik

(N

/mm

2)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(32)

31 Gambar 18. Hubungan antara arah serat dan posisi pengambilan sampel kekuatan tarik

4.2.1.6

Kemuluran Putus (

Elongation at Break

)

Kemuluran putus menunjukkan nilai elastisitas kulit yang dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi nilai kemuluran putus maka mutu kulit akan semakin baik karena kulit menjadi tidak mudah sobek atau putus saat digunakan. Pengujian kemuluran putus kulit dilakukan pada dua jenis sampel, yaitu sampel dengan arah sejajar tulang belakang (parallel) dan tegak lurus tulang belakang (perpendicular).

Berdasarkan pengujian terhadap kemuluran putus kulit, kemuluran putus sampel dengan arah parallel berkisar antara 81.07-107.21% (Gambar 19). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kemuluran putus sampel parallel (Lampiran 16).


(33)

32 Gambar 19. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta kemuluran

putus sejajar tulang belakang

Pada sampel dengan arah perpendicular, kemuluran putus berkisar antara 191.35-260.91% (Gambar 20). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kemuluran putus sampel perpendicular (Lampiran 17).

Gambar 20. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta kemuluran putus tegak lurus tulang belakang

Nilai kemuluran putus rata-rata sampel parallel dan perpendicular berada pada kisaran 138.34-175.70% (Gambar 21). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen, serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kemuluran putus rata-rata (Lampiran 18). Secara keseluruhan, nilai kemuluran putus sudah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu kemuluran putus minimal 50%. 0 20 40 60 80 100 120

4 6 8

K e m ul ur a n P ut us ( %)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari 0 50 100 150 200 250 300

4 6 8

K e m ul ur a n P ut us ( %)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di

Luar Molen

Waktu Oksidasi di Luar Molen


(34)

33 Gambar 21. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta kemuluran

putus rata-rata

Perlakuan waktu oksidasi yang memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap nilai kemuluran putus menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya nilai kemuluran putus dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar perlakuan penyamakan. Kulit yang tersamak dengan baik akan memiliki nilai elastisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak. Proses penyamakan minyak terjadi ketika minyak berpenetrasi ke dalam kulit dan mengalami proses oksidasi yang mengakibatkan terjadinya ikatan antara minyak dan protein kolagen pada kulit melalui pembentukan matriks polimer. Kemuluran kulit samak juga sangat dipengaruhi oleh mutu kulit, susunan serat kolagen dan ketebalan kulit seperti faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik dan kekuatan sobek.

Apabila dibandingkan antara kedua jenis sampel, maka rata-rata kemuluran putus sampel perpendicular lebih tinggi dibandingkan kemuluran putus sampel parallel. Hal ini berbanding terbalik dengan nilai kekuatan tarik, dimana sampel parallel memiliki kekuatan tarik yang lebih besar dibandingkan sampel perpendicular. Tingginya kemuluran putus sampel perpendicular dikarenakan pada sampel ini, arah serat kulit sejajar dengan arah gaya tarikan sehingga kulit menjadi lebih mudah mengalami perpanjangan atau kemuluran dan pada akhirnya kulit akan putus. Sebaliknya, pada sampel parallel, arah serat tegak lurus terhadap arah gaya tarikan sehingga pada saat ditarik, kulit menjadi sulit mengalami kemuluran karena kurang elastis atau lentur. Hal ini yang menyebabkan pada sampel parallel dibutuhkan gaya tarik (kekuatan tarik) yang lebih besar.

4.2.2

Sifat Kimia Kulit

4.2.2.1

Kadar Minyak

Kadar minyak kulit merupakan residu minyak setelah kulit mengalami proses pencucian. Minyak tersebut tidak menempel atau terikat pada serat kolagen (Suparno, 2010). Pengujian kadar minyak dilakukan untuk mengetahui banyaknya minyak yang tidak tercuci dan akhirnya tersisa pada kulit. Mutu kulit samoa yang baik ditunjukkan oleh kadar minyaknya yang rendah

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

4 6 8

K e m ul ur a n P ut us ( %)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(35)

34 yaitu kurang dari 10% (BSN, 1990). Kadar minyak yang tinggi pada kulit mengakibatkan timbulnya efek bau yang berlebih, lengket, serta tidak nyaman saat digunakan.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa kadar minyak kulit samoa berada pada kisaran 2.12-4.25% (Gambar 22). Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar minyak kulit (Lampiran 19). Hal ini dikarenakan kadar minyak umumnya dipengaruhi oleh proses pencucian kulit setelah oksidasi serta proses setting out untuk mengeluarkan air sisa pencucian. Secara keseluruhan, kadar minyak kulit samoa ini sudah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu kadar minyak maksimal 10%.

Gambar 22. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta kadar minyak Minyak yang berlebih pada proses penyamakan minyak dapat dihilangkan melalui proses pencucian dengan menggunakan air alkalin hangat. Penggunaan air alkalin hangat ditujukan untuk menyabunkan minyak sehingga dapat terbuang bersama air. Dalam proses pencucian, pengeluaran sisa minyak dalam kulit dibantu dengan perlakuan mekanis yaitu setting out. Dengan demikian, kandungan minyak yang masih tertinggal dalam kulit hasil penyamakan minyak sangat tergantung pada proses pencucian serta proses setting out yang dilakukan. Selain itu, kadar minyak pada kulit juga dipengaruhi oleh proses prapenyamakan (proses rumah basah/beam house), misalnya tahap pengapuran kulit. Proses pengapuran bertujuan untuk melarutkan epidermis dan menghidrolisis lemak serta zat-zat yang tidak diperlukan pada proses penyamakan sehingga sewaktu proses pengapuran sebagian lemak pada kulit akan terbuang (Suparno, 2010).

4.2.2.2

Kadar Abu

Kadar abu suatu bahan menunjukkan banyaknya mineral anorganik yang terkandung di dalam bahan tersebut. Pengujian terhadap kadar abu kulit samoa memberikan hasil bahwa kadar abu kulit samoa berada pada kisaran 1.58-2.91% (Gambar 23). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar abu (Lampiran 20). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan waktu oksidasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan

0 1 2 3 4 5

4 6 8

K

ad

ar

M

in

yak

(

%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(36)

35 terhadap kadar abu, karena umumnya kadar abu pada kulit dipengaruhi oleh bahan mineral yang terkandung dalam kulit. Bahan mineral tersebut antara lain kalium, kalsium, besi, fosfor, dan umumnya terdapat di dalam kulit sebagai garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat. Selain itu terdapat pula SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S dalam jumlah yang sedikit (Suparno, 2010). Secara keseluruhan, kadar abu kulit samoa ini sudah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu kadar abu maksimal 5%.

Gambar 23. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta kadar abu

4.2.2.3

pH

Hasil pengujian terhadap pH memberikan hasil bahwa pH kulit samoa berada pada kisaran 6.80-7.22 (Gambar 24). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di luar molen memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH, sedangkan faktor waktu oksidasi di dalam molen dan interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Tetapi hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan tidak membuktikan bahwa waktu oksidasi di luar molen berpengaruh nyata terhadap nilai pH (Lampiran 21). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan waktu oksidasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH kulit, karena umumnya nilai pH pada kulit dipengaruhi oleh proses pencucian kulit setelah oksidasi serta proses setting out untuk mengeluarkan air sisa pencucian yang banyak mengandung basa dari natrium karbonat. Secara keseluruhan, nilai pH kulit samoa ini sudah memenuhi SNI 06-1752-1990 (BSN, 1990), yaitu nilai pH maksimal 8.

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5

4 6 8

K

a

da

r

A

bu

(%)

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(37)

36 Gambar 24. Hubungan antara waktu oksidasi di dalam dan di luar molen serta nilai pH

4.2.3

Sifat Organoleptik Kulit

Sifat organoleptik merupakan salah satu parameter utama yang digunakan untuk menentukan mutu kulit samoa, karena sifat ini berkaitan dengan sifat fisik atau penampilan kulit yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung oleh konsumen atau calon pengguna. Sifat organoleptik ini juga terkait dengan kenyamanan saat menggunakan produk kulit samoa. Sifat organoleptik kulit samoa yang paling penting antara lain kehalusan, warna, dan bau.

Kehalusan pada kulit samoa sangat penting untuk mencegah barang atau benda yang dibersihkan tergores atau lecet, karena umumnya kulit samoa digunakan sebagai alat pembersih. Selain itu, kulit yang halus cenderung meningkatkan daya serap air dan kelenturan kulit, sehingga akan memberikan rasa nyaman saat digunakan.Warna kulit menunjukkan tingkat kecerahan dan kebersihan kulit. Warna kulit samoa yang baik adalah warna kuning muda mendekati putih. Bau yang terdapat pada kulit samoa umumnya disebabkan oleh residu minyak yang tertinggal pada kulit akibat proses pencucian yang kurang sempurna. Bau yang tidak dikehendaki dapat mengurangi daya tarik konsumen terhadap produk. Hasil penilaian organoleptik secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 22.

Berdasarkan Gambar 25, dapat dilihat bahwa nilai kehalusan kulit berada pada kisaran 4-9. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor waktu oksidasi di dalam molen memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kehalusan kulit, sementara faktor waktu oksidasi di luar molen dan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (Lampiran 23). Hal ini dikarenakan pertama kali ditambahkannya oksidator H2O2 adalah pada saat di dalam molen sehingga kemampuan H2O2 untuk mengoksidasi minyak di dalam molen lebih optimum dibandingkan dengan kemampuan oksidasi H2O2 pada saat kulit dibiarkan di udara terbuka (luar molen).

Berdasarkan hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan, dapat dilihat bahwa waktu oksidasi 4 jam di dalam molen memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan waktu oksidasi 8 jam di dalam molen. Waktu oksidasi 8 jam di dalam molen memberikan nilai rata-rata kehalusan tertinggi, yaitu 8.17 (Lampiran 23).

0 1 2 3 4 5 6 7 8

4 6 8

pH

Waktu Oksidasi di Dalam Molen (Jam)

1 hari 2 hari 3 hari Waktu Oksidasi di


(1)

72 Lampiran 21. Hasil pengukuran dan analisis nilai pH

Kombinasi Perlakuan

Nilai pH

Rata-Rata

Ulangan 1 Ulangan 2

A1B1 6.98 7.03 7.00

A1B2 7.26 7.15 7.20

A1B3 7.08 7.25 7.16

A2B1 6.85 6.76 6.80

A2B2 7.22 7.03 7.13

A2B3 7.10 7.25 7.17

A3B1 7.00 6.77 6.88

A3B2 7.34 7.00 7.17

A3B3 7.21 7.23 7.22

Hasil analisis ragam nilai pH

Sumber

Keragaman db JK KT F Hitung

F Tabel (α = 0.05)

A 2 0.0234 0.0117 0.64 9.55

Galat (a) 3 0.0545 0.0182

B 2 0.3109 0.1554 11.03* 5.14

A*B 4 0.0254 0.0064 0.45 4.53

Galat (b) 6 0.0846 0.0141

Total 17 0.4988

Keterangan : * = berbeda nyata

Uji lanjut Duncan faktor B (waktu oksidasi di luar molen)

Faktor B Nilai Rata-Rata N Pengelompokkan Duncan

B1 6.8950 6 A

B2 7.1642 6 A

B3 7.1825 6 A

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom pengelompokkan Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.


(2)

73 Lampiran 22. Hasil penilaian uji organoleptik

Kombinasi Perlakuan

Kehalusan Warna Bau

P1 P2 Nilai P1 P2 Nilai P1 P2 Nilai

A1B1 4 5 4-5 8 8 8 8 7 7-8

A1B2 7 6 6-7 7 7 7 8 7 7-8

A1B3 7 6 6-7 7 7 7 8 7 7-8

A2B1 9 7 7-9 7 8 7-8 8 7 7-8

A2B2 6 8 6-8 8 7 7-8 8 7 7-8

A2B3 6 8 6-8 7 7 7 8 7 7-8

A3B1 9 7 7-9 8 8 8 8 7 7-8

A3B2 8 8 8 7 7 7 8 7 7-8

A3B3 8 9 8-9 7 7 7 8 7 7-8

Keterangan: Nilai:

1 = sangat kurang 10 = sangat baik


(3)

74 Lampiran 23. Hasil analisis organoleptik kehalusan

Kombinasi Perlakuan

Kehalusan

Rata-Rata Panelis 1 Panelis 2

A1B1 4 5 4.5

A1B2 7 6 6.5

A1B3 7 6 6.5

A2B1 9 7 8

A2B2 6 8 7

A2B3 6 8 7

A3B1 9 7 8

A3B2 8 8 8

A3B3 8 9 8.5

Hasil analisis ragam nilai organoleptik kehalusan

Sumber

Keragaman db JK KT F Hitung

F Tabel (α = 0.05)

A 2 16.7778 8.3889 25.17* 9.55

Galat (a) 3 1.0000 0.3333

B 2 0.7778 0.3889 0.26 5.14

A*B 4 6.2222 1.5556 1.04 4.53

Galat (b) 6 9.0000 1.5000

Total 17 33.7778

Keterangan : * = berbeda nyata

Uji lanjut Duncan faktor A (waktu oksidasi di dalam molen)

Faktor A Nilai Rata-Rata N Pengelompokkan Duncan

A1 5.8333 6 A

A2 7.3333 6 AB

A3 8.1667 6 B

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom pengelompokkan Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.


(4)

75 Lampiran 24. Hasil analisis organoleptik warna

Kombinasi Perlakuan

Warna

Rata-Rata Panelis 1 Panelis 2

A1B1 8 8 8

A1B2 7 7 7

A1B3 7 7 7

A2B1 7 8 7.5

A2B2 8 7 7.5

A2B3 7 7 7

A3B1 8 8 8

A3B2 7 7 7

A3B3 7 7 7

Hasil analisis ragam nilai organoleptik warna

Sumber

Keragaman db JK KT F Hitung

F Tabel (α = 0.05)

A 2 0.0000 0.0000 0.00 9.55

Galat (a) 3 0.0000 0.0000

B 2 2.3333 1.1667 7.00* 5.14

A*B 4 0.6667 0.1667 1.00 4.53

Galat (b) 6 1.0000 0.1667

Total 17 4.0000

Keterangan : * = berbeda nyata

Uji lanjut Duncan faktor B (waktu oksidasi di luar molen)

Faktor B Nilai Rata-Rata N Pengelompokkan Duncan

B3 7.0000 6 A

B2 7.1667 6 A

B1 7.8333 6 A

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom pengelompokkan Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.


(5)

76 Lampiran 25. Hasil analisis organoleptik bau

Kombinasi Perlakuan

Bau

Rata-Rata Panelis 1 Panelis 2

A1B1 8 7 7.5

A1B2 8 7 7.5

A1B3 8 7 7.5

A2B1 8 7 7.5

A2B2 8 7 7.5

A2B3 8 7 7.5

A3B1 8 7 7.5

A3B2 8 7 7.5

A3B3 8 7 7.5


(6)

77 Lampiran 26. Foto-foto kulit samoa hasil perlakuan waktu oksidasi

4 jam di dalam molen dan 1 hari di luar molen

4 jam di dalam molen dan 2 hari di luar molen

4 jam di dalam molen dan 3 hari di luar molen

6 jam di dalam molen dan 1 hari di luar molen

6 jam di dalam molen dan 2 hari di luar molen

6 jam di dalam molen dan 3 hari di luar molen

8 jam di dalam molen dan 1 hari di luar molen

8 jam di dalam molen dan 2 hari di luar molen

8 jam di dalam molen dan 3 hari di luar molen