Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa. Di

(1)

PENGARUH JUMLAH BAHAN PRETANNING DAN MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) TERHADAP MUTU KULIT SAMOA

Oleh: ZAINI FAHROJI

F34104097

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Judul Skripsi : PENGARUH JUMLAH BAHAN PRETANNING DAN MINYAK BIJI KAR ET (Hevea brasiliensis) TERHADAP MUTU KULIT SAMOA

Nama : ZAINI FAHROJI

NIM : F34104097

Menyetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ono Suparno, S.TP, MT 19721203 199702 1 001

Mengetahui : Ketua Departemen,

Prof. D r. Ir. Nastiti Sis wi Indrasti 19621009 198903 2 001


(3)

Zaini Fahroji. F34104097. 2010. Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa. Di bawah bimbingan Ono Suparno.

RINGKASAN

Kulit adalah produk samping yang paling berharga dari industri pemotongan hewan. Sebagian besar kulit diolah menjadi kulit samak melalui proses penyamakan. Proses penyamakan kulit yang populer adalah penyamakan kulit yang menggunakan krom. Dalam penyamakan kulit yang menggunakan krom, sejumlah besar komponen krom dibuang ke lingkungan yang menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan biologi dan ekologi. Oleh karena itulah, industri secara perlahan mulai mengurangi penggunaan krom sebagai bahan penyamak, dan beralih ke bahan penyamak yang lebih ramah lingkungan. Kulit samak yang bebas krom juga dianggap lebih unggul dipasaran terutama di industri otomotif Eropa.

Salah satu produk akhir kulit samak adalah kulit samoa (chamois leather). Kulit samoa dihasilkan dari penyamakan kulit dengan menggunakan minyak yang pada umumnya adalah minyak ikan. Tingginya harga dan adanya kendala bau yang ditimbulkan oleh minyak ikan pada kulit samoa mendorong adanya berbagai penelitian untuk mengganti minyak ikan. Minyak biji karet adalah salah satu bahan yang diduga dapat menggantikan minyak ikan.

Perlakuan pretanning diperlukan untuk meningkatkan penetrasi minyak ke dalam kulit dan mencegah kulit menjadi busuk pada saat berlangsungnya proses oksidasi (Krisnan et al., 2005), sehingga proses penyamakan minyak dapat berlangsung dengan baik. Bahan yang digunakan sebagai bahan pretanning adalah Relugan GT 50. Relugan GT 50 adalah nama komersial produk BASF yang merupakan larutan glutaraldehida dengan konsentrasi sebesar 50%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah persentase Relugan GT 50 dan minyak biji karet terhadap mutu kulit samoa yang dihasilkan. Selain itu, penelitian bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik dari perlakuan yang digunakan serta karakteristik kulit samoa yang dihasilkan.

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara menganalisis persentase kulit biji karet, daging biji karet dan parameter fisiko-kimia minyak biji karet. Penelitian utama dilakukan dengan menyamak kulit berdasarkan perlakuan jumlah Relugan GT 50 pada taraf 1,5%; 3,0%; dan 4,5% dan persentase minyak biji karet 10%, 20%, dan 30% dengan ulangan sebanyak 2 kali. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan, persentase kulit biji karet sebesar 49% dan persentase daging biji karet sebesar 51%. Nilai karakteristik minyak biji karet yang diperoleh adalah: bobot jenis 0,94 (b/v), viskositas 48,4 centistokes, warna 2713 Unit PtCo , bilangan iod 113 g iod/ 100 g minyak, bilangan penyabunan 350 mg KOH/g minyak, bilangan peroksida 24 miliekuivalen/1000 g minyak, bilangan asam 15 mg KOH/g minyak, dan FFA 5,8%.

Hasil pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik dan kimia pada kulit adalah kosentrasi Relugan GT 50 berpengaruh nyata terhadap suhu pengerutan (Ts) dan pH; sedangkan persentase minyak biji karet hanya berpengaruh terhadap sifat


(4)

organoleptik kulit samoa. Perlakuan percobaan yang terpilih adalah penyamakan kulit dengan taraf jumlah Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%. Nilai sifat fisik yang diperoleh adalah: suhu pengerutan 75oC, ketebalan 0,92 mm, kekuatan tarik sebesar 21,50 N/mm2, elongasi putus sebesar 144%, kekuatan sobek sebesar 55,77 N/mm, daya serap air sebesar 266% (2 jam) dan 299% (24 jam). Nilai sifat kimia yang diperoleh adalah: kadar minyak 2,5%, kadar abu 1,2% dan pH 8. Nilai sifat organoleptik yang diperoleh yaitu kehalusan 7–8, warna 8–9, dan bau 8–9.


(5)

Zaini Fahroji. F34104097. 2010. The Effects of Pretanning Agent Concentrations and Rubber Seed (Hevea brasiliensis) Oil Concentrations on Chamois Leather Quality. Supervised by Ono Suparno.

SUMMARY

Animal hides or skins are the most valuable by product of the meat industry. Most of those hides are converted into leather by leather tanning process. Chrome based tanning is the most popular tanning process. At the chrome based tanning process, a lot of amount chrome are throw away into the environment that make a significant effect to the biological and ecological environment damaged. Due to concerns over the use and disposal of chromed tanned leather, the leather industry is now facing increasing scrutiny over its use of chrome as tanning agent. The use of non-chrome tannages has gradually become pre-eminent to producing leather, particularly in the European automotive leather markets.

Chamois leather is one of leather product. It is produced from animal hides/skins by oil tanning process, usually with fish oil. High price and odour problems to the chamois leather that produced using fish oil motivate to do some research to solve that problems. Rubber seed oil is an oil that predicted can substitute fish oil.

Pretanning process is needed to increase the oil penetration and protects the pelt from putrefying during oxidation periods (Khrisnan et al., 2005). Relugan GT 50 is the agent that used on this research. Relugan GT 50 is an aldehyde tanning agent, produced by BASF.

This research was aimed to find out the effects of Relugan GT 50 concentration (offer) and rubber seeds (Hevea brasiliensis) oil to the chamois leather’s quality. Beside that, this research is also aimed to decide the best combination of the factors to produce chamois leather also to know the chamois leather characteristics.

The preliminary research was carried out by analyzing the rubber seed’s kernel and eggshell as well as physico-chemical properties of the rubber seed oil. The main research was done by tanning the skin with Relugan GT 50 in concentrations of 1.5, 3.0 and 4.5% followed by rubber seed oil concentrations of 10, 20, and 30%. The experimental design used was completely randomize factorial design.

The preliminary research shows that rubber seed’s kernel was 49% and rubber seed’s eggshell was 51%. The rubber seed’s oil characterstics were density of 0.94 (g/cm3), viscosity of 48,4 centistokes, colour of 2713 PtCo units, inodine value 113 g iod/ 100 g, peroxide value of 24 miliequivalent/1000 gram oil, acid value of 15 mg KOH/g oil and FFA content of 5.8%.

The research shows that Relugan GT 50 concentration significantly affected shrinkage temperature (Ts) and pH; rubber seed oil concentration significantly affect the organoleptic properties of the leather. The optimum conditions for the tanning were Relugan GT of 3.0% concentration and 10% rubber seeds oil. The physical properties of the leather were shrinkage


(6)

temperature of 75oC, thickness of 0.92 mm, tensile strength of 21.50 N/mm2, elongation at break of 144%, tear strength of 55.77 N/mm, water absorption of 266% (2 hours) and 299% (24 hours). The chemical properties were oil content of 2.5%, ash content of 1.2% and pH of 8. The organoleptic properties were softness of 7–8, colour of 8-9, and odour of 8-9.


(7)

SURAT PERN YATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

PENGARUH JUMLAH BAHAN PRETANNING DAN MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) TERHADAP MUTU KULIT SAMOA

adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor,12 Januari 2010

Zaini Fahroji F34104097


(8)

RIWAYAT HIDUP

Zaini Fahroji dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 18 Juni 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Ahmad Daroini dan Ibu Iswanti. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Putra PKK dan pada tahun yang sama melanjutkan jenjang pendidikan di SD Negeri I Candimulyo dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri I Dolopo dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Geger, Madiun dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri I Geger, Madiun dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di se jumlah lembaga kemahasiswaan seperti Agrifarma sebagai staf Departemen Hubungan Masyarakat (2006-2007), Paguyuban Sedulur Madiun (Pasmad) IPB tahun 2006-2007 sebagai Wakil Ketua, dan UKM Tae Kwon Do IPB pada tahun 2007-2008. Penulis juga pernah mengikuti praktek lapang/magang di PT. Kelola Mina Laut, Gresik serta Magang Kerja di Radar Bogor.

Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa” untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di bawah bimbingan Dr. Ono Suparno S.TP, MT.


(9)

KATA PENGAN TAR

Alhamdulillahi robbil ’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa” ini dengan baik. Skripsi ini disusun melalui penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Penyamakan Kulit, dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada bebagai pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian, kepada Bapak Dr. Ono Suparno, STP, MT, dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing serta memberikan saran dan arahan kepada penulis selama ini. Penghargaan penulis disampaikan pula kepada Ibu Ega dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II Fakultas Tek nologi Pertanian IPB yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan dalam penyediaan bahan penelitian Selain itu ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk Bapak, Ibu, dan adik tercinta atas segala dukungan, semangat dan kasih sayang, serta teman-teman TIN 41 atas segala bantuan, semangat dan kebersamaannya.

Penulis menyadari banyak kekurangan dan kekhilafan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis k hususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, 12 januari 2010


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan setulus hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT beserta Rasul-Nya atas segala nikmat, rahmat, dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ayah dan Ibu tercinta atas segala harapan, kasih sayang, semangat dan dukungan baik moral maupun materi, serta doa yang tulus kepada penulis. 3. Adik tercinta (Linda Nurul Hidayati) serta seluruh keluarga besa r yang selalu

memberikan doa dan semangat.

4. Oryza Dian Virgostin dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan doa.

5. Bapak Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T, atas segala bimbingan, arahan, nasehat, dan dukungannya.

6. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti dan Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, MSi sebagai dosen penguji atas segala masukannya.

7. Eko Wahyudi dan Fherdes Setiawan, teman satu tim atas segala bantuan dan kerjasamanya.

8. Ibu Ega dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

9. Teman-teman TIN, (Endro, Asif, Farid, Sayfudin, Rendy, Arif, Dego dkk) atas segala bantuan, semangat, dukungannya.

10.Seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu, atas segala bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

I. PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tanaman Karet... 4

B. Biji Karet... 5

C. Minyak Biji Karet... 6

D. Kulit... 7

E. Penyamakan Kulit... 10

F. Penyamakan Aldehida... 12

G. Penyamakan Minyak... 14

H. Kulit Samoa (Chamois Leather)... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN A.BAHAN DAN ALAT... 18

B.WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN... 18

C.TATA LAKSANA... 19

D.METODE PENELITIAN... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.PENELITIAN PENDAHULUAN... 24

1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet.... 24

2. Karakterisasi Minyak Biji Karet.... 25

B. PENELITIAN UTAMA... 27

1. Proses Penyamakan Kulit... 27

2. Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik... 33

3. Penentuan Perlakuan Terbaik Berdasarkan Mutu Kulit Samoa... 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN A.KESIMPULAN... 52

B. SARAN... 53

DAFTAR PUSTAKA..... 54


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia daging biji karet... 6

Tabel 2. Gugus amino yang terdapat pada kulit... 10

Tabel 3.Persyaratan mutu kulit samoa menurut SNI 06-1752-1990... 17

Tabel 4. Tahapan Proses penyamakan ... 21

Tabel 5.Persentase kulit dan daging biji karet... 24

Tabel 6.Karakteristik minyak biji karet... 25


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman karet (Hevea brasiliensis)... 4

Gambar 2. Biji karet... 5

Gambar 3. Struktur kulit secara makroskopis... 7

Gambar 4. Penampang kulit... 8

Gambar 5. Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi)... 11

Gambar 6. Reaktifitas glutaraldehida... 13

Gambar 7. Kulit samoa (chamois leather)... 16

Gambar 8a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah pretanning... 29

Gambar 8b.Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah penyamakan minyak... 31

Gambar 9a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik perpendicular... 35

Gambar 9b.Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik paralel... 37

Gambar 9c. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik rata-rata perpendicular paralel... 35

Gambar 10.Penampang kulit secara vertikal... 37

Gambar 11.Arah jaringan serat kolagen pada kulit ... 37

Gambar 12a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel perpendicular... 39

Gambar 12b. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel paralel... 40

Gambar 12c. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus rata-rata sampel perpendicular dan paralel... 40


(14)

Gambar 13a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase

minyak dan kekuatan sobek perpendicular... 41

Gambar 13b. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek paralel... 41

Gambar 13c. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek rata-rata perpendicular paralel... 41

Gambar 14. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan daya serap air... 44

Gambar 15. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kadar minyak... 45

Gambar 16. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kadar abu... 47

Gambar 17. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan pH... 49

Gambar 18. Histogram hubungan antara perlakuan penyamakan dengan nilai organoleptik (kehalusan, warna, dan bau)... 50

Gambar 19. Bentuk dan ukuran sampel uji kekuatan tarik... 84

Gambar 20. Skema alat uji sobek... 85

Gambar 21. Skema alat uji daya serap air... 86

Gambar 22. Skema alat pengujian suhu pengerutan... 87


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1a.Rekapitulasi data uji suhu pengerutan setelah pretanning ... 59

Lampiran 1b. Hasil analisis ragam uji suhu pengerutan setelah pretanning... 59

Lampiran 1c.Uji lanjut uji suhu pengerutan setelah pretanning... 59

Lampiran 2a.Rekapitulasi data uji suhu pengerutan setelah penyamakan minyak……….……….…... 60

Lampiran 2b. Hasil analisis ragam uji suhu pengerutan setelah penyamakan minyak... 60

Lampiran 2c.Uji lanjut uji suhu pengerutan setelah penyamakan minyak... 60

Lampiran 3. Rekapitulasi data uji ketebalan... 61

Lampiran 4a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik perpendicular... 62

Lampiran 4b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik perpendicular …...…….62

Lampiran 4c.Uji lanjut uji kekuatan tarik perpendicular... 62

Lampiran 5a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik paralel... 63

Lampiran 5b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik perpendicular ………….63

Lampiran 5c.Uji lanjut uji kekuatan tarik perpendicular... 63

Lampiran 6a.Rekapitulasi data uji kekuatan tarik rata-rata... 64

Lampiran 6b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik rata-rata…….………… 64

Lampiran 7a.Rekapitulasi data elongasi putus perpendicular... 65

Lampiran 7b. Hasil analisis ragam elongasi putus perpendicular …......….65

Lampiran 7c.Uji lanjut elongasi putus perpendicular... 65

Lampiran 8a. Rekapitulasi data uji elongasi putus paralel... 66

Lampiran 8b. Hasil analisis ragam elongasi putus paralel………...…66


(16)

Lampiran 9a.Rekapitulasi data uji elongasi putus rata-rata... 67

Lampiran 9b. Hasil analisis ragam elongasi putus rata-rata………..…...…. 67

Lampiran 10a.Rekapitulasi data uji kekuatan sobek perpendicular... 68

Lampiran 10b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek perpendicular…....68

Lampiran 10c.Uji lanjut uji kekuatan sobek perpendicular...68

Lampiran 11a.Rekapitulasi data uji kekuatan sobek paralael... 69

Lampiran 11b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek paralel…...… 69

Lampiran 11c.Uji lanjut uji kekuatan sobek perpendicular... 69

Lampiran 12a.Rekapitulasi data uji kekuatan sobek rata-rata... 70

Lampiran 12b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek rata-rata...… 70

Lampiran 13a.Rekapitulasi data uji daya serap air 2 jam... 71

Lampiran 13b. Hasil analisis ragam uji daya serap air 2 jam...… 71

Lampiran 14a.Rekapitulasi data uji daya serap air 24 jam... 72

Lampiran 14b. Hasil analisis ragam uji daya serap air 24 jam...… 72

Lampiran 15a.Rekapitulasi data uji kadar minyak...73

Lampiran 15b. Hasil analisis ragam uji kadar minyak......… 73

Lampiran 16a.Rekapitulasi data uji kadar abu...73

Lampiran 16b. Hasil analisis ragam uji kadar abu....… 74

Lampiran 17a.Rekapitulasi data uji pH...75

Lampiran 17b. Hasil analisis ragam uji pH......… 75

Lampiran 17c.Uji lanjut uji pH... 75

Lampiran 18a.Rekapitulasi data uji organoleptik... 76

Lampiran 18b. Hasil analisis ragam uji organoleptik kehalusan....… 77


(17)

Lampiran 18d. Rekapitulasi data uji organoleptik warna... 78

Lampiran 18e.Hasil analisis ragam uji organoleptik warna....… 78

Lampiran 18f.Uji lanjut uji organoleptik warna... 78

Lampiran 18g. Rekapitulasi data uji organoleptik bau... 79

Lampiran 18h. Hasil analisis ragam uji organoleptik bau......… 79


(18)

1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kulit adalah produk samping yang paling berharga dari industri pemotongan hewan. Sebagian besar kulit diolah menjadi kulit samak. Salah satu produk kulit samak yang populer adalah kulit samoa (chamois leather). Kulit samoa dapat digunakan sebagai lap pembersih kendaraan bermotor, alat-alat optik, alat-alat pengering (handuk), filtrasi gasoline kualitas tinggi, alat pembungkus perhiasan/kristal dan masih banyak kegunaan lainnya.

Penyamakan kulit dapat dilakukan dengan berbagai bahan penyamak, bahan penyamak tersebut bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak (Anonim,2008). Pada umumnya, penyamakan kulit dibedakan menjadi dua yaitu penyamakan kulit yang menggunakan krom

(chrome-based leather tanning) dan penyamakan dengan selain krom

(chrome-free leather tanning).

Krom adalah kontaminan terbesar dalam limbah pada proses penyamakan kulit. Dalam penyamakan kulit menggunakan krom, sejumlah besar komponen krom dibuang ke lingkungan yang menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan biologi dan ekologi (Shanker, 2009). Oleh karena itulah, industri secara perlahan mulai mengurangi penggunaan krom sebagai bahan penyamak. Penyamakan kulit yang bebas krom lebih ramah lingkungan baik dari segi proses produksi maupun produk yang dihasilkannya. Kulit samak yang bebas krom juga dianggap lebih unggul dipasaran industri otomotif Eropa (Liu, 2007).Penggunaan produk kulit samak yang bebas krom mulai digalakkan terutama untuk tujuan-tujuan khusus seperti produk perawatan kesehatan, produk yang berhubungan dengan anak-anak dan sebagainya (Liu, 2007)

Salah satu bahan penyamak selain krom yang sering digunakan dalam proses pretanning kulit adalah aldehida seperti misalnya adalah Relugan GT 50. Relugan GT 50 adalah produk BASF. Angka 50 menunjukkan konsentrasi dari glutaraldehida tersebut. Bahan penyamak ini dapat digunakan untuk segala jenis kulit sebagai bahan penyamak tunggal ataupun kombinasi,


(19)

2 mempunyai karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, mempunyai permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (BASF, 2009), sehingga sangat cocok digunakan untuk proses pembuatan kulit samoa.

Saat ini, kulit samoa banyak diproduksi dengan menggunakan minyak ikan sebagai bahan baku utama dalam proses penyamakan. Beberapa jenis minyak ikan yang biasa digunakan adalah minyak ikan cod, sardine, herring, dan hiu (Krishnan et al., 2005a). Akan tetapi, penyamakan dengan menggunakan minyak ikan memiliki beberapa kekurangan seperti ketidakseragaman akibat keragaman dalam distribusi dan bau yang berhubungan dengan minyak ikan, selain itu harga minyak ikan juga cukup mahal.

Minyak biji karet diduga dapat digunakan sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samoa (chamois leather), karena minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit (Suparno, 2006). Namun demikian biji karet sedikit terkendala musim, karena tanaman karet hanya berbuah pada musim- musim tertentu.

Dalam industri pemrosesan lateks, biji karet tidak secara intensif dikumpulkan untuk tujuan komersial. Total perkebunan karet di Indonesia mencapai 3 juta hektar lebih, terluas didunia. Sayangnya lahan karet yang luas tidak diimbangi dengan pengolahan yang memadai akibatnya prtoduktifitasnya menjadi rendah (Zuhra, 2006). Melihat kegunaan serta pemanfaatannya, minyak biji karet mempunyai peluang yang cukup potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian terhadap pengaruh persentase bahan pretanning (Relugan GT 50) dalam proses penyamakan kulit samoa.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh jumlah bahan pretanning Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet terhadap mutu kulit samoa.


(20)

3 2. Menentukan perlakuan terbaik dari berbagai perlakuan yang digunakan. 3. Mengetahui karakteristik kulit samoa yang dihasilkan.


(21)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Karet

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk ke dalam divisi

Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, keluarga

Euphorbiaceae, dan genus Hevea (Tim Penebar Swadaya, 1992).

Gambar 1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) (Anonim, 2009). Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Tim Penebar Swadaya, 1992). Selain menghasilkan getah, tanaman karet juga menghasilkan biji (Iskandar, 1993).

Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona 15 oLS dan 15 oLU. Bila ditanam di luar zona tersebut, pertumbuhannya agak lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat. Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2.000 mm. Optimal antara 2.500-4.000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100-150 hari hujan (Setyamidjaja, 1993).

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1-600 meter diatas permukaan laut, dengan suhu harian 25-30oC. Derajat


(22)

5 keasaman tanah yang paling cocok untuk ditanami tanaman karet adalah 5-6 (Tim Penebar Swadaya, 1992).

Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah, yakni pada ketinggian sampai 200 meter di atas permukaan laut. Semakin tinggi letak tempat, pertumbuhannya semakin lambat dan hasilnya lebih rendah. Ketinggian lebih dari 600 meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk tanaman karet. Selain itu, tanaman karet juga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis maupun vulkanis tua, aluvial, dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja, 1993).

B. Biji Karet

Bobot biji karet sekitar 3-5 gram tergantung dari varietas, umur biji dan kadar air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967).

Gambar 2. Biji karet (Anonim, 2009).

Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jumlah biji biasanya tiga, kadang-kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (Tim Penebar Swadaya, 1992).

Biji karet terdiri atas 45-50% kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55% daging biji yang berwarna putih (Nadarajah, 1969). Biji karet segar terdiri atas 34,1% kulit, 41,2% isi dan 24,4% air, sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41,6% kulit, 8% kadar air, 15,3% minyak dan 35,1% bahan kering (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967).


(23)

6 Tabel 1. Komposisi kimia daging biji karet

Komponen Komposisi (%)

A B C

Kadar air Kadar lemak Kadar serat kasar Kadar protein Kadar abu 14,50 49,50 3,80 22,50 3,50 7,60 39,00 2,80 21,70 3,10 6,10 50,56 15,30 18,60 3,21 Sumber : A = Bahasuan (1984)

B = Stosic dan Kaykay (1981) C = Silam (1998)

C. Minyak Biji Karet

Minyak biji karet adalah minyak yang diperoleh dari ekstraksi biji yang berasal dari tanaman karet. Dalam industri pemrosesan lateks, biji karet tidak secara intensif dikumpulkan untuk tujuan komersial. Kandungan minyak dalam daging biji karet atau inti biji karet adalah 45-50 persen (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976). Analisis saat ini menunjukkan bahwa minyak biji karet banyak mengandung asam lemak jenuh (18,9%) yang terdiri dari asam palmitat (10,2%) dan asam stearat (8,7%) serta asam lemak tidak jenuh (80,5%) yang terdiri dari asam oleat (24,6%), asam linoleat (39,6%) dan asam linolenat (16,3%) (Anonim, 2009).

Studi pendahuluan mengenai kemungkinan penggunaan minyak biji karet sebagai minyak goreng memberikan hasil bahwa minyak biji karet dapat digunakan sebagai minyak goreng asalkan proses pembuatan minyak biji karet dilakukan dengan baik. Hasil analisis kimianya menunjukkan, bahwa sifat kimianya hampir sama dengan s ifat minyak kacang tanah, tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa minyak biji karet Indonesia apabila didasarkan pada standar AOCS untuk minyak kelapa, baik sebelum maupun sesudah pemurnian tidak dapat digunakan sebagai minyak goreng (Anonim, 1984).

Pemakaian minyak biji karet dalam industri nonpangan antara lain untuk bahan pembuat sabun, bahan cat sebagai minyak mengering,


(24)

7 bahan pelengkap kosmetik, damar alkid, faktis, dan lain sebagainya (Anonim, 1984).

Minyak biji karet juga diduga dapat digunakan sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samoa (chamois leather), karena minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit (Suparno, 2006).

D. Kulit

Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al., 2008).

Menurut Judoamidjojo (1974), struktur kulit hewan dapat dibedakan secara makroskopis dan mikroskopis (histology). Secara makroskopis, kulit hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon (crupon), kepala dan leher, serta daerah kaki, ekor dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis.

Gambar 3. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008)

Keterangan : A, B Bag ian kepala dan leher ; C, D Krupon ; EF Ekor, perut, dan ka ki


(25)

8 Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan kualitas kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini, terdapat jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23% dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah kepala dan leher relatif lebih tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari daerah krupon. Daerah kaki, perut dan ekor, meliputi 22% dari seluruh kulit. Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif tipis dan jaringannya longgar, sedangkan daerah kaki kulit lebih tebal dan jaringan lebih padat (Judoamidjojo, 1974).

Kulit hewan secara mikroskoskopis (histologis) dibagi berdasarkan struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium merupakan tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses-proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelok-kelok dalam berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman atau tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian besar terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin.

Gambar 4. Penampang kulit (Suardana et al., 2008).

Keterangan :1. Ra mbut, 2. Lubang ra mbut, 3. Ke lenjar le mak, 4. Kantong rambut, 5. Kelen jar keringat, 6. Sel le mak, 7.Pe mbuluh darah, 8. Syaraf, 9. Serat Collagen, 10. Tenunan lema k,


(26)

9 Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein dan golongan non protein. Protein berbentuk terdiri dari kolagen, elastin, dan keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit, karena kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan kimia dalam kulit yaitu: air 65%, lemak 1,8%, bahan mineral 0,2% dan protein 33% (Judoamidjojo, 1974).

Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein (polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian, sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang paling sedikit adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang memiliki kandungan air paling banyak adalah korium. Lipid paling banyak terdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagian garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat; sedikit SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo, 1985).

Ketika hewan hidup, kulitnya sangat lembut, fleksibel dan sangat kuat. Kulit mereka memiliki kemampuan untuk terjadinya penguapan air ke luar kulit, namun sebaliknya air tidak bisa masuk ke dalamnya. Ketika mereka mati, mereka kehilangan karakteristik tersebut. Jika mereka basah maka mereka akan busuk, dan jika mereka kering maka mereka akan mengeras dan rapuh. Tujuan dari proses penyamakan adalah untuk mempertahankan karakteristik alami kulit, mempertahankan kestabilan dan sekaligus mencegah terjadinya pembusukan (Mann, 2000).


(27)

10 Tabel 2. Gugus amino yang terdapat pada kulit (Mann,

2000).

E. Penyamakan Kulit

Kulit tersusun dari banyak sekali ikatan jaringan serat yang dapat bergerak dan berikatan antar satu sama lain ketika hewan masih hidup. Ketika hewan sudah mati, jaringan tersebut cenderung mengerut dan menjadi keras. Pada dasarnya, tujuan utama dilakukan proses penyamakan adalah untuk menetapkan jaringan serat kolagen melalui proses kimiawi, melumasi mereka sehingga mereka dapat bergerak dan berika tan satu sama lain. Oleh karena itulah melalui proses penyamakan dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan kulit (Mann, 2000).

Penyamakan adalah perubahan kulit mentah yang sifatnya tidak stabil menjadi lebih stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti


(28)

11 aksi bakteri, zat kimia, dan perlakuan fisik (Fahidin, 1977). Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005).

Penyamakan merupakan perpaduan antara ilmu dan seni untuk mengubah kulit hewan yang sangat mudah rusak menjadi kulit samak. Rangkaian proses ini merupakan proses yang sangat tua untuk memproduksi berbagai produk garmen yang mewah serta beberapa produk kulit. Sampai saat ini tidak ada yang dapat menggantikan ataupun menyerupai karakteristik dari kulit samak (Churchill, 1983).

Penyamakan adalah perubahan kulit mentah yang sifatnya tidak stabil menjadi lebih stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti aksi bakteri, zat kimia, dan perlakuan fisik (Fahidin, 1977). Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005).

Gambar 5. Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi) (Mann, 2000).


(29)

12 Penyamakan dilakukan dengan menggunakan bahan pernyamak

(tanning agent). Pada proses penyamakan kulit jaringan kolagen distabilkan oleh tanning agent dari sifat asli kulit seperti misalnya sifat kulit yang sangat rentan terhadap pembusukan. Di dalam prosesnya, jaringan kolagen distabilkan melalui pembentukan crosslink dengan

tanning agent. Selanjutnya dimensi kestabilannya akan meningkat, lebih tahan terhadap aksi mekanis, dan terhadap suhu.

Kulit samak yang telah digunakan orang untuk berbagai keperluan sejak ribuan tahun lalu mempunyai sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan alami maupun bahan buatan manusia yang lain. Kulit samak dapat mengeras tetapi dapat pula sangat lembut dan lugas seperti tekstil. Kulit samak tidak hanya kuat, tahan lama serta lugas tetapi juga mempunyai struktur berpori yang unik sehingga memiliki permeabilitas udara yang baik (Judoamidjojo, 1981).

F. Penyamakan Aldehida

Bahan penyamak sangat banyak jenisnya, bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak (Anonim, 2008). Penggunanan bahan penyamak ini tergantung dari karakte r produk yang ingin dihasilkan.

Beberapa golongan aldehida memiliki sifat reaktif terhadap kolagen dan mencegah pembusukan kulit. Glutaraldehida (OCH-(CH2)3 -CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan sebagai bahan pretanning. Glutaraldehida bebentuk ikatan semiacetal dengan gugus hidroksil dari hidroksiprolin, hidroksilin dan serin. Dengan fenol, dia akan membentuk komponen yang tidak larut (insoluble), sehingga glutaraldehida tidak bisa digunakan dengan bahan penyamak nabati. Glutaraldehida menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tahan terhadap peluh, tahan pencucian, lebih sempurna dan densitas yang lebih baik. Glutaraldehida membentuk polimer di dalam larutan, gugus hidroksil dari polimer akan aktif dan akan bereaksi dengan gugus amino. Penyamakan aldehida menghasilkan kulit


(30)

13 samak dengan stabilitas hidrotermal mencapai maksimum 85oC (Covington, 1997).

Bahan penyamak aldehida digunakan untuk membuat produk kulit yang sangat lembut, berwarna keputihan, dan biasanya digunakan untuk menyamak kulit domba dengan lapisan grain yang dihilangkan. Kulit samak yang dihasilkan dapat dicuci (Natesan, 1998)

Relugan GT 50 adalah gluteraldehyde-tanning agent yang merupakan produk BASF. Angka 50 menunjukkan konsentrasi dari glutaraldehida tersebut. Bahan penyamak ini dapat digunakan untuk segala jenis kulit sebagai bahan penyamak tunggal, kombinasi, maupun penyamak ulang. Bahan ini mempunyai karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Anonim, 2009). Bahan penyamak ini dapat menghasilkan produk dengan karakter spesial seperti misalnya kemampuan mencuci yang permanen, sangat lembut dan stabil. Karakter spesialnya tersebut memungkinkan untuk digunakan dalam lingkungan medis. Kulit samak yang dihasilkan berwarna kuning keemasan (Anonim, 2008).

Gambar 6. Reaktifitas glutaraldehida (Covington, 1997).

Walaupun reaksi crosslink antara kolagen dengan aldehida telah lama dipelajari, namun mekanisme rekasinya belum dapat diketahui

n

H2CO

CH2

CH2

C

C H O O H

H2CO

CH2

CH2

C C

OH O OH

H2CO

CH2

CH2

C C O O O

H2CO

CH2

CH2

C C O O O

H2CO

CH2

CH2

C C O O O


(31)

14 dengan pasti. Sebagian besar peneliti sepakat bahwa gugus aldehidik berikatan dengan gugus amino bebas dari lisin dan membentuk ikatan silang (Covington, 1997).

Bahan penyamak aldehida, glutaraldehida dapat digunakan untuk menyamak kulit domba. Dengan jenis penyamakan ini, kulit domba dapat menghasilkan berbagai produk yang sangat berguna untuk clothing yang dapat dicuci seperti pakaian dan pada umumnya sangat tahan terhadap pengerutan pada kondisi dibawah normal. Bahan penyamak ini juga mempunyai kemampuan untuk menjaga stabilitas kulit dari pembusukan, peluh dan dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan (Churchill, 1983).

G. Penyamakan Minyak

Penyamakan minyak adalah penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samoa (chamois leather). Metode tradisional pembuatan kulit chamois adalah mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam

fulling stocks dan kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharphouse, 1981; Dewhurst, 2004). Dalam finishing, kulit diwarnai dengan bahan pewarna (dye) untuk meningkatkan keindahannya atau untuk keperluan mode (fashion). Umumnya, warna diperoleh dengan cara menggunakan pewarna asam atau

premetallised yang menghasilkan warna-warna cerah (Covington et al.,

2005).

Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur


(32)

15 (delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak

cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharphouse, 1985).

Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung dalam dua fase, mula- mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus amino dari kolagen.

Minyak yang dibutuhkan dalam penyamakan tergantung dari jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Minyak tersebut akan melakukan

crosslink dengan protein yang ada di kulit untuk membentuk kulit samak. (Suparno, 2006).

Serat kolagen adalah komponen utama yang akan bereaksi dengan minyak sehingga kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan penyamak disesuaikan dengan jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air basa hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke

finishing (Sharphouse, 1981; Dewhurst, 2004).

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecilpun mudah mengalami proses oksidasi. Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam molekul trigliserida terdiri dari asam oleat (mengandung 1 ikatan


(33)

16 rangkap), asam linoleat (2 ikatan rangkap), dan asam linolenat (3 ikatan rangkap) (Ketaren, 1986).

H. Kulit Samoa (Chamois Leather)

Kulit samoa merupakan artikel kulit yang populer dalam perdagangan (Sharphouse, 1995). Permintaan akan kulit samoa di pasaran global terus meningkat (Krishnan et al., 2005). Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt)dan lapisan grain.

Gambar 7. Kulit samoa (chamois leather) (Anonim, 2009).

Kulit samoa dibuat dari kulit domba atau anak sapi dengan lapisan

grain yang dihilangkan. Kulit samoa disamak dengan menggunakan minyak ikan untuk membuat kulit tersebut menjadi sangat lembut dan lemas. Kulit ini sangat lunak pada kedua sisinya. Kulit samoa tidak mahal dan sangat umum digunakan untuk penyaringan minyak bumi dan industri alat-alat optik. Kulit Samoa juga bisa digunakan untuk industri garmen (Natesan, 1998)

Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, yakni memiliki berat jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann, 1999). Penggunaan utama kulit samoa adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan diantaranya adalah kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharphouse, 1995; John, 1996).


(34)

17 Persyaratan-persyaratan penting kulit chamois yang diperlukan, misalnya persyaratan kulit samoa menurut SNI disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan mutu kulit samoa menurut SNI 06-1752-1990. Parame ter Satuan

Persyaratan

Ke terangan Mi ni mal Maksimal

Sifat Ki mi a:

 Kadar minyak (%)

 Kadar Abu (%)

 pH - - - - - - 10 5 8 - - sesudah disarikan minyaknya

Parame ter Satuan

Persyaratan

Ke terangan Mi ni mal Maksimal

Sifat Fisis:  Tebal

 Kekuatan tarik

 Ke muluran putus (%)

 Kekuatan jahit

 Kekuatan sobek

 Penyerapan air (%) - 2 ja m

- 24 ja m

mm N/ mm

- N/ mm2 N/ mm2

- - 0,3 7,5 50 40 15 100 200 1,2 - - - - - - - - - - - - - Organole ptis:  Keadaan kulit

 Warna

- -

halus

kuning muda/ mendekat i putih

- seperti beledu


(35)

18

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Relugan GT 50, minyak biji karet dan kulit domba pikel. Relugan GT adalah nama produk BASF yang termasuk ke dalam bahan penyamak aldehida. Minyak biji karet diperoleh dari ekstraksi biji karet yang dibeli dari Ciseeng, Bogor. K ulit domba pikel diperoleh dari pabrik kulit di Ciluar, Bogor.

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium karbonat, asam formiat, NaCl dan Eusapon S (sejenis

degreaser). Selain itu juga digunakan berbagai bahan kimia yang diperlukan untuk pengujian seperti n-heksan, katalis (CuSO4:Na2SO4 = 1,2:1), H2SO4 pekat, NaOH 50%, HCl 0,002 N, indikator mengsel, NaOH 0,02 N, H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, aseton, ak uades, khloroform, larutan Wijs, KI 15%, natrium tiosulfat 0,1 N, indikator pati, alkohol 95%, KOH 0,1 N, KI jenuh, asam asetat glasial, KOH beralkohol 0,5 N, indikator phenolpthalein, dan HCl 0,5 N.

2. Alat

Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah hydraulic press,

hammer mill, drum pemutar (mesin molen), mesin shaving, mesin

buffing, staking, toggle dryer, shaker dan pH meter. Alat yang digunakan untuk pengujian adalah alat uji suhu pengerutan, uji ketebalan, daya serap air, uji kekuatan tarik dan kekuatan sobek.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Sepetember 2009 di :

1. Balai Pasca Panen, Bogor. Ekstraksi minyak biji karet dilakukan di balai tersebut.

2. Laboratorium Penyamakan Kulit Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB.


(36)

19 3. Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Bio Industri dan Laboratorium Pengemasan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB. Laboratorium-laboratorium tersebut digunakan untuk pengujian kulit samoa.

C. TATA LAKSANA

Tahapan proses penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu : penjemuran biji karet, ekstraksi minyak biji karet, karakterisasi minyak biji karet, proses penyamakan kulit, karakterisasi kulit samak yang dihasilkan dan pengolahan data.

D. METODE PENELITIAN 1. Penje muran Biji Karet

Penjemuran biji karet dilakukan selama 3 hari berturut-turut, dengan waktu penjemuran selama 5 jam tiap harinya. Tujuan dari penjemuran ini adalah untuk menurunkan kadar air biji serta mengurangi aktivitas enzim dan mikroorganisme, sehingga biji lebih tahan lama jika disimpan.

2. Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian ini dilakukan penentuan persentase bagian-bagian biji karet yaitu persentase kulit biji dan daging biji karet. Kemudian dilakukan juga analisis komposisi kimia daging biji karet yang meliputi penentuan kadar air dan kadar abu. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 19.

Setelah itu dilakukan pengeringan biji karet dengan menggunakan oven. Sebelum dikeringkan, biji karet (masih memiliki tempurung) disortir terlebih dahulu. Tujuan penyortiran ini adalah untuk memisahkan biji karet yang baik dan biji karet yang rusak. Meskipun dengan penyortiran seperti ini belum tentu biji karet yang dari luar kelihatan baik daging bijinya pasti baik. Setelah penyortiran biji karet dipanaskan dalam oven dengan suhu 70 oC selama 1 jam.


(37)

20 Tahap selanjutnya adalah menggiling biji karet dengan menggunakan alat penggiling biji (hammer mill). Setelah itu, biji dibungkus dengan kain saring dan selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan alat pengempa hidrolik pada suhu 65 + 2 oC selama + 90 menit atau sampai sudah tidak ada lagi minyak yang keluar. Setelah itu dilakukan karakterisasi terhadap minyak biji karet yang dihasilkan. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis adalah warna, viskositas, berat jenis, bilangan iod, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan penyabunan dan kadar asam lemak bebas (FFA). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 19.

3. Penelitian Utama

Proses Penyamakan Kulit

Pada penelitian utama dilakukan proses penyamakan kulit. Secara keseluruhan tahapan proses penyamakan kulit disajikan pada Tabel 4.


(38)

21 Tabel 4. Tahapan proses penyamakan

Proses Bahan kimia Jumlah Durasi Catatan

Pencucian NaCl 8 -10% kulit 20 menit Ukur min. 8 oBe,

jika kurang dari 8 tambahkan NaCl

Air 200% kulit

Pencucian ke 2

NaCl 8-10% kulit 10 menit  Ukur min. 8

oBe, < 8,

tambahkan garam  Cek pH min. 3,

>3, tambahkan asam formiat

air 100% kulit

Pretanning Relugan GT 50 1,5% ; 3,0% ; 4,5% 3x15 + 30 menit

Air 300% Relugan GT

50

Melarutkan Relugan GT 50

Natrium formiat 1% 4x10 + 20

menit

Air 1000% air Melarutkan Relugan

GT 50 Natrium

Karbonat

2% kulit 3x15 menit

Air 10% kulit 1 jam Cek pH, min 8

Shaving

Pencucian Air 200% kulit shaving 3x10 menit Natrium

Karbonat

05% 10 menit

Air 100% 10 menit Cek pH, baik = 8-9

Horse up ± 12 jam

Penyamakan minyak

Minyak biji karet

10% ; 20%; 30%

Natrium karbonat

0,5%

Air 300% Natrium

karbonat

Melarutkan Natrium karbonat

1 jam Putar di molen

Oksidasi 10 hari Bentangkan di

toggle

Pencucian I Air 300% 60 menit

Natrium karbonat

4% Eusapon S 2%

Air 1000% 15 menit

Setting out

Pencucian II Air 1000% 60 menit

Natrium karbonat

2% Eusapon S 1%

Air 1000% 15 menit

Setting out

Pengeringan 2 x 24 jam

Staking Melenturkan kulit

Buffing Ketebalan 0,3-1,2

cm


(39)

22

Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik

Setelah proses penyamakan dilakukan dan kulit samoa didapatkan, selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengujian sifat fisik meliputi uji ketebalan, uji kekuatan tarik, uji kemuluran putus, uji kekuatan sobek dan uji daya serap air. Pengujian sifat kimia meliputi pH, kadar minyak dan kadar abu. Pengujian sifat organoleptik meliputi kehalusan, bau dan warna kulit samoa. Prosedur pengujian sifat fisik dan kimia disajikan pada Lampiran 19.

Rancangan pe rcobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan menggunakan dua faktor, dima na faktor pertama dan faktor kedua masing- masing terdiri dari tiga taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan.

Faktor pertama adalah persentase Relugan GT 50 yang terdiri dari tiga taraf yaitu 1,5% (A1), 3,0% (A2), dan 4,5% (A3). Faktor kedua adalah persentase minyak (faktor B) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 10% (B1), 20% (B2), dan 30% (B3).

Dari 9 kombinasi perlakuan dengan dua kali ulangan tiap kombinasi perlakuan diperoleh 18 satuan percobaan.

Model matematika yang digunakan adalah (Mattjik, 2002) : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + ijk

dimana: i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2

Yijk = Respon dari pengaruh faktor A ke-i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh faktor A (petak utama) ke- i Bj = Pengaruh faktor B (anak petak) ke-j


(40)

23 ijk = Galat dari faktor A ke- i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k

Pengolahan Data

Setelah data sifat fisik, kimia dan organoleptik diperoleh maka selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh dari berbagai perlakuan yang digunakan. Analisis statistik dilakukan dengan software SAS (Statistic Analysis System). Jika hasilnya berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Uji wilayah ini bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi perlakuan.


(41)

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEN ELITIAN PENDAHULUAN 1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet

Biji karet yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet yang diperoleh dari Ciseeng, Bogor. Biji karet tersebut masih dalam keadaan belum dikupas (masih memiliki tempurung). Biji karet kemudian ditentukan persentase bagian-bagiannya. Penentuan persentase bagian-bagian biji karet dilakukan dengan cara mengambil biji karet sebanyak 15 buah secara acak dengan 3 kali ulangan. Biji karet dipecahkan, dipisahkan antara daging biji dan tempurungnya kemudian dilakukan penimbangan. Hasil yang didapatkan tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5.Persentase kulit dan daging biji karet

No.

Bobot 15 Biji Karet (gram)

Daging Biji (gram)

Kulit Biji (tempurung)

(gram)

Daging Biji (%)

Kulit Biji (tempurung

) (%)

1 34,26 17,48 16,78 51,02 48,98

2 35,82 18,31 17,51 51,12 48,88

3 34,62 17,68 16,94 51,07 48,93

Rat a-rata

34,90 17,82 17,08 51,07 48,93

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa biji karet yang digunakan dalam penelitian memiliki persentase daging biji yang sedikit lebih besar daripada persentase kulit bijinya. Hal ini hampir sama dengan penelitian Andayani (2008) yang menyatakan bahwa persentase daging biji karet terdiri dari sekitar 51 persen daging biji dan sekitar 49 persen kulit biji, namun agak sedikit berbeda dengan hasil penelitian Silam (1999), yang menyatakan bahwa biji karet memiliki persentase daging biji yang lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase kulit bijinya, yaitu secara umum dalam setiap biji karet terdiri dari 48-50 persen daging biji dan 50-52 persen kulit biji. Hal ini bisa saja terjadi karena persentase daging dan kulit


(42)

25 biji karet ini dapat berbeda-beda tergantung dari jenis klon, lama penyimpanan biji karet, dan kadar air biji karet (Nadarajapillat & Wijewantha, 1967).

2. Karakterisasi Minyak Biji Karet

Minyak yang diperoleh kemudian di uji sifat fisiko dan kimianya. Beberapa sifat fisiko-kimia tersebut adalah bobot jenis, viskositas, warna, bilangan asam, persen FFA, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan peroksida. Sifat Fisiko-kimia minyak merupakan parameter yang menujukkan kualitas minyak. Data hasil penelitian sifat kimia minyak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik minyak biji karet dan minyak ikan

No Sifat fisika kimia Nilai A B Minyak ikan*

1 2 3 4 5 6 7 8

Bobot jenis (g/cm3)

Viskositas (centistokes) Warna (unit PtCo)

Bilangan iod (g iod/100 g minyak) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bilangan peroksida (meq/1000 g minyak) Bilangan asam (mg KOH/g minyak) Persen FFA (%)

0,94 48,4 2713 113 350 24 15 5,8 0,93 67,3 2713 115 357 23 12 5,8 0,92 160 4077 146 185 30 2 1 0,92 - 6106 148 168 14 0,19 5,8 Sumber : A = Setawan (2009)

B = Andayani (2008) * = Suparno (2009a)

Bilangan iod adalah parameter penting yang menentukan apakah minyak bisa digunakan untuk proses penyamakan atau tidak. Dari hasil penelitian pada Tabel 6 di atas, diperoleh bilangan iod sebesar 113 g iod/100 g minyak. Nilai tesebut lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Andayani (2008) yaitu 146 g iod/100 g minyak dan Setiawan (2009) yaitu 115 g iod/ 100 g minyak. Menurut Suparno (2006), minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit. Nilai bilangan iod yang lebih rendah ini dimungkinkan karena minyak biji karet telah mengalami kerusakan, baik pada saat sebelum ekstraksi, saat ekstraksi maupun setelah ekstraksi.


(43)

26 Kerusakan pada minyak sebelum ekstraksi dapat terjadi misalnya karena penyimpanan. Ketika minyak masih dalam jaringan biji, kerusakan dapat disebabkan oleh aktivitas enzim, dan mikroorganisme dalam biji yang menyebabkan terjadinya proses hidrolisis. Biji karet yang diperoleh dalam penelitian ini tidak diketahui berapa lama telah disimpan. Hal ini tidak dapat dipastikan karena keterbatasan/sulitnya memperoleh biji karet yang masih baru pada saat penelitian, sehingga minyak biji karet yang dihasilkan juga mempunyai mutu yang lebih rendah. Kerusakan yang lain juga dapat terjadi pada saat proses ekstraksi maupun karena penyimpanan minyak.

Reaksi yang sering terjadi dan menurunkan kualitas minyak adalah reaksi oksidasi dan polimerisasi. Proses oksidasi dapat terjadi pada proses ekstraksi minyak. Adanya kontak dengan udara luar, pemanasan, oksigen akan berikatan dengan ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Proses tersebut mengakibatkan ketidakjenuhan minyak berkurang karena ikatan rangkap pada asam lemak menjadi ikatan tunggal sehingga nilai bilangan iodnya berkurang. Semakin tinggi pemanasan yang diberikan maka semakin banyak minyak yang teroksidasi. Proses oksidasi merupakan proses utama yang berperan dalam menurunkan ketidakjenuhan minyak. Proses ini dapat dipercepat oleh suhu yang tinggi, adanya senyawa peroksida (termasuk minyak yang teroksidasi), enzim lipoksidase, katalis logam, dan katalis Fe-organik (Lea, 1962).

Berdasarkan Tabel 6, nilai bilangan penyabunan adalah sebesar 350 mg KOH/g minyak. Nilai tersebut sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Andayani (2008), besarnya bilangan penyabunan minyak biji karet adalah sebesar 185 mg KOH/g minyak. Namun tidak jauh berbeda dengan penelitian Setiawan (2009) yaitu sebesar 357 mg KOH/g minyak. Perbedaan nilai yang diperoleh dengan penelitian Andayani (2008) dimungkinkan disebabkan karena sebagian besar asam lemak yang terekstraksi adalah asam lemak yang berantai pendek, sehingga bobot molekul minyak rendah. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986).


(44)

27 Bilangan peroksida yang diperoleh pada penelitian ini adalah 24 tidak berbeda jauh dengan penelitian Setiawan (2008) yaitu sebesar 23 meq/1000 g minyak (Tabel 6). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi pada minyak mempengaruhi nilai bilangan peroksida yang diperoleh. Peroksida yang terbentuk pada minyak disebabkan beberapa faktor sebagaimana faktor yang mempengaruhi nilai bilangan iod. Jika pada pengukuran bilangan iod, kerusakan minyak dilihat dari penurunan jumlah ikatan rangkap pada minyak, sedangkan pada pengujian bilangan peroksida dilihat dari banyaknya oksigen yang terikat pada asam lemak tidak jenuh akibat proses oksidasi.

Berdasarkan Tabel 6, bilangan asam yang diproleh dari minyak biji karet adalah sebesar 15 mg KOH/g minyak. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Setiawan (2008) yaitu 12 mg KOH/g minyak, namun sangat jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Andayani (2008) yaitu 2 mg KOH/g minyak. Bilangan asam menunjukkan seberapa banyak jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak akibat proses hidrolisis. Semakin tinggi nilai bilangan asam suatu minyak, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerusakannya karena jumlah molekul trigliserida yang terhidrolisisnya pun lebih banyak. Dengan demikian, kualitas dari minyak tersebut akan semakin rendah. Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan bahan).

B. PEN ELITIAN UTAMA 1. Proses Penyamakan Kulit

Penyamakan dapat dilakukan dengan menggunakan satu bahan penyamak (single tanning) atau beberapa bahan penyamak. Setiap bahan penyamak akan menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tertentu. Suatu bahan penyamak dapat menghasilkan karakteristik yang baik pada sifat tertentu namun kurang baik pada sifat lainnya. Untuk itulah perlu digunakan bahan penyamak lebih dari satu. Sehingga dengan menggunakan


(45)

28 bahan penyamak lebih dari satu diharapkan dapat menggabungkan sifat-sifat baik dari bahan penyamak yang digunakan.

Zat penyamak sangat banyak jenisnya, bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak (Anonim, 2008). Penggunanan bahan penyamak ini tergantung dari karakter produk yang ingin dihasilkan.

Pada penelitian ini digunakan dua bahan penyamak. Bahan penyamak yang pertama adalah Relugan GT 50 yang termasuk ke dalam jenis penyamak aldehida. Relugan GT 50 digunakan sebagai bahan penyamak awal/pretanning. Bahan penyamak ini menghasilkan kulit samak dengan karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, mempunyai permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Anonim, 2009). Namun, kulit samak yang dihasilkan adalah tipis dan mempunyai daya serap air yang kurang baik.

Bahan penyamak kedua adalah minyak biji karet. Penyamakan minyak menghasilkan kulit samak yang lebih halus, lebih tebal, dan daya serap air yang lebih tinggi. Kulit yang telah berhasil disamak minyak, akan berwarna coklat tua, setelah melalui proses oksidasi.

Keberhasilan proses penyamakan dapat dilihat dari suhu pengerutan (Ts) kulit samak. Suhu pengerutan didefinisikan sebagai suhu dimana terjadi pengerutan kulit yang paling ekstrim. Suhu pengerutan kulit samak aldehida adalah 80-85oC (Suparno, 2009b). Semakin tinggi suhu pengerutan, maka mutu kulit samak akan semakin baik, yang menunjukkan stabilitas hidrothermal kulit tersebut tinggi.

Pada penelitian, ini shrinkage temperature test kulit samak dilakukan sebanyak dua kali, yaitu setelah pretanning dan setelah penyamakan minyak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dari masing- masing bahan penyamak tersebut.


(46)

29 0

20 40 60 80

S

uhu

P

e

ng

e

rut

a

n

(

o C)

1.5 3 4.5

Konsentrasi Relugan GT 50 (%)

a. Suhu Pengerutan Setelah Pretanning

Pada pengukuran suhu pengerutan setelah Pretanning dari berbagai persentase Relugan GT 50 yang digunakan menunjukkan nilai yang berkisar antara 70 oC sampai dengan 80 oC. Nilai suhu pengerutan tertinggi yaitu dihasilkan pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% sedangkan suhu pengerutan terendah terjadi pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5%. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 8a.

Gambar 8a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50 dan suhu pengerutan setelah pretanning.

Hasil analisis ragam, setelah pretanning untuk parameter

shrinkage temperature test seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor bahan pretanning Relugan GT 50 berpengaruh terhadap suhu pengerutan kulit samak yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan dari ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50, konsentrasi 1,5%; konsentrasi 3,0%; dan konsentrasi 4,5% menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% adalah konsentrasi terbaik yang akan memberikan nilai suhu pengerutan tertinggi.

Menurut Mann (2000) pada proses penyamakan, didapatkan keuntungan yang lain. Karena terjadinya proses penyamakan, kulit menjadi lebih tahan terhadap kenaikan suhu. Sifat ini merupakan salah satu sifat yang sangat penting dari penggunaan kulit samak.

Dari hasil analisis ragam setelah penyamakan minyak untuk parameter suhu pengerutan seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor


(47)

30 bahan pretanning Relugan GT 50 berpengaruh sangat nyata terhadap suhu pengerutan, sedangkan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap suhu pengerutan kulit samak, begitu juga dengan interkasinya dengan Relugan GT 50. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50, konsentrasi 1,5%, 3,0%, dan 4,5% menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata, semakin tinggi persentase Relugan GT maka suhu pengerutan juga akan mengalami peningkatan.

Pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% proses pretanning

berlangsung lebih sempurna. Proses pretanning bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan kulit pada saat proses oksidasi sekaligus mempersiapkan kulit agar lebih mudah tersamak pada proses penyamakan minyak. Kulit yang tersamak sempurna hanya mengalami sedikit pengerutan dan lebih tahan terhadap suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak (Kana gy, 1977). Kulit yang telah disamak akan mempunyai jumlah ikatan silang yang lebih banyak yang dapat menstabilkan protein kolagen pada kulit, sehingga lebih tahan terhadap pengaruh perlakuan dari luar (Purnomo, 1985).

Semakin tinggi suhu pengerutan, maka semakin baik mutu kulit samak yang dihasilkan. Suhu pengerutan kolagen berkaitan erat dengan kestabilannya. Ketika kestabilan berkurang karena kehilangan ikatan hidrogen, adanya zat yang dapat memecah ikatan hidrogen atau kerusakan yang disebabkan oleh zat kimia, maka akan lebih sedikit energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan hidrogen tersebut, dan suhu pengerutan juga akan menurun. Sebaliknya adanya bahan yang dapat memicu terjadinya ikatan antarkolagen, seperti misalnya pada proses penyamakan akan meningkatkan ketahanan enzimatis dan suhu pengerutan (Brown, 1958). Oleh karena itulah, semakin besar persentase Relugan GT 50 yang digunakan maka suhu pengerutan juga semakin meningkat. Persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% menghasilkan kulit samak yang lebih stabil dibandingkan dengan konsentrasi lebih rendah.


(48)

31 0 20 40 60 80 S uhu P e ng e rut a n ( o C)

1.5 3 4.5

Konsentrasi Relugan GT 50 (%)

kons entra s i Mi nya k 10 % kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %

Namun demikian, seperti pada proses penyamakan minyak dengan minyak ikan bahwa proses penyamakan minyak cenderung tidak meningkatkan nilai suhu pengerutan dan sekaligus suhu pengerutan bukanlah satu-satunya faktor yang mentukan mutu kulit samoa, maka penelitian utama tetap dilakukan pada seluruh taraf Relugan GT 50 yang digunakan. Diharapkan dengan kegiatan tersebut akan didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengaruh jumlah Relugan GT 50 terhadap mutu kulit samoa, interaksinya dengan minyak biji karet dan pada akhirnya dapat ditentukan jumlah Relugan GT 50 terbaik dari berbagai taraf yang digunakan, yang bisa digunakan dalam proses penyamakan minyak.

b. Suhu Pengerutan Setelah Penyamakan Minyak

Pada pengukuran suhu pengerutan setelah penyamakan minyak dari berbagai persentase Relugan GT 50 yang digunakan menunjukkan nilai yang berkisar antara 69,5 oC sampai dengan 76,5 oC. (Gambar 8b). Pada umumnya lebih rendah jika dibandingan sebelum dilakukan penyamakan minyak. Nilai suhu pengerutan tertinggi dihasilkan pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 20%, sedangkan suhu pengerutan terendah terjadi pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 20%.

Gambar 8b. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah penyamakan minyak.

Penggunaan minyak akan meningkatkan beberapa parameter mutu kulit samoa, seperti kehalusan kulit yang lebih baik dan daya


(49)

32 serap air yang lebih tinggi. Namun sampai pada taraf tertentu penambahan minyak justru akan menurunkan mutu kulit samak, misalnya sifat fisik kulit samak. Hal ini terlihat dari sifat fisik kulit samak seperti misalnya suhu pengerutan yang pada taraf penambahan minyak biji karet sebesar 10% dan 20% suhu pengerutannya tetap, namun pada taraf 30% nilai suhu pengerutan mengalami sedikit penurunan. Selain menurunkan nilai suhu pengerutan, penggunaan minyak juga akan berpengaruh terhadap bau dan warna kulit samoa, semakin tinggi jumlah minyak yang digunakan maka nilai bau dan warna kulit samoa akan semakin menurun.

Menurut Suparno (2009b), bahan aktif penyamakan minyak adalah minyak tak jenuh, yang dapat d imodelkan dengan asam linoleat. CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2OH yang diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi tersebut berbasiskan pada pembentukan senyawa-senyawa aldehida, terutama karena proses tersebut diikuti dengan pelepasan akrolein, CH2=CHCHO, yang telah digunakan sebagai salah satu elemen pengendalian mutu. Namun, akrolein sendiri tidak dapat digunakan dalam pembuatan kulit samoa (Covington, 2009).

Sharphouse (1985), menyimpulkan penyamakan minyak sebagai fiksasi produk-produk oto-oksidasi resin atau minyak terhadap serat protein dalam bentuk seperti pembungkus. Hal ini mungkin dalam bentuk polimer dan tahan terhadap air pencuci basa dan pelarut-pelarut umum.

Menurut Suparno (2009b), hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matriks polimer dalam matriks kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian, sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan- ikatan hidrokarbon terpolimerisasi, menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sebagai suatu bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah struktur serat tersebut bersatu dan lengket.


(50)

33 Menurut Covington di dalam Suparno (2009b) model tersebut memberikan sebuah rasional untuk menerangkan tiga ciri penting kulit samoa :

1. Stabilitas hidrotermal. Suhu pengerutan kulit samoa adalah sedikit lebih tinggi daripada bahan awalnya. Dengan demikian, pandangan konvensional mengenai penyamakan tidak berlaku. Pada penyamakan minyak, sedikit interaksi antara bahan penyamak dan serat kolagen. Ini merupakan salah satu contoh bahan penyamak yang memiliki afinitas lebih besar untuk dirinya sendiri daripada untuk substratnya.

2. Retensi air. Efek menjaga struktur serat berjauhan berarti kolagen dapat dihidrasi dan menahan air berlebih dalam matrik minyak polimerisasi hidrofobik.

3. Efek Ewald. Kulit samoa adalah satu dari sedikit kasus yang kulit samak menunjukkan suatu reversibilitas pengerutan hidrotermal. Jika kulit tersebut direndam dalam air panas, pada atau di atas suhu pengerutannya, kulit tersebut akan mengerut sebagaima na diharapkan. Namun jika kulit tersebut segera dimasukkan ke dalam air dingin, kulit tersebut kembali mendapatkan sekitar 90% dari luas awalnya.

4. Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik a. Sifat Fisik Kulit

1. Ketebalan (Thickness)

Dari pengukuran ketebalan kulit samoa didapatkan ketebalan kulit berkisar antara 0,66-0,93 mm dengan ketebalan rata-rata adalah 0,79 mm (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan kulit samoa pada penelitian ini telah memenuhi SNI (BSN, 1990), yakni 0,3-1,2 mm.

Ketebalan kulit domba pada umumnya berkisar antara 1-2 mm dengan jalinan serat kolagen pada lapisan corium yang relatif lebih halus serta lapisan grain yang hampir setengah dari ketebalan kulit total (Haines, 1975). Ketebalan kulit dapat disesuaikan dengan


(51)

34 0 5 10 15 20 25 30 K e k ua ta n T a ri k (N / m m 2 )

1.5 3 4.5

Konsentrasi Relugan GT 50 (%)

kons entra s i Mi nya k 10 % kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %

mudah sesuai dengan keinginan pada waktu pembuatan kulit samoa. Pada proses shaving selain bertujuan untuk menghilangkan bagian rajah (grain) kulit serta daging (flash), kegiatan ini juga dapat mengatur ketebalan kulit sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu pada proses buffing selain bertujuan untuk menghaluskan kulit samak, pada proses ini juga dapat mengatur ketebalan kulit. Ketebalan kulit awal dapat berbeda-beda menurut umur, jenis kelamin, dan tebal tipisnya bulu hewan. Semakin tua hewannya, makin tebal bulunya dan makin tipis, lapisan papilarisnya (Purnomo, 1985).

2. Kekuatan Tarik (Tensile Strength)

Berdasarkan data hasil penelitian, nilai kekuatan tarik sampel perpendicular berkisar antara 22,63-28,13 N/mm2. Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada perlak uan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak sebesar 30%, sedangkan nilai kekuatan tarik terendah terdapat pada perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak sebesar 10% (Gambar 9a)

Gambar 9a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik perpendicular. Pada sampel paralel, nilai kekuatan tarik berada pada kisaran 13,11-16,71 N/mm2. Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan


(1)

93 Lampiran 20. Foto-foto hasil penelitian

Biji karet


(2)

94 Minyak Biji Karet


(3)

Zaini Fahroji. F34104097. 2010. Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa. Di bawah bimbingan Ono Suparno.

RINGKASAN

Kulit adalah produk samping yang paling berharga dari industri pemotongan hewan. Sebagian besar kulit diolah menjadi kulit samak melalui proses penyamakan. Proses penyamakan kulit yang populer adalah penyamakan kulit yang menggunakan krom. Dalam penyamakan kulit yang menggunakan krom, sejumlah besar komponen krom dibuang ke lingkungan yang menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan biologi dan ekologi. Oleh karena itulah, industri secara perlahan mulai mengurangi penggunaan krom sebagai bahan penyamak, dan beralih ke bahan penyamak yang lebih ramah lingkungan. Kulit samak yang bebas krom juga dianggap lebih unggul dipasaran terutama di industri otomotif Eropa.

Salah satu produk akhir kulit samak adalah kulit samoa (chamois leather). Kulit samoa dihasilkan dari penyamakan kulit dengan menggunakan minyak yang pada umumnya adalah minyak ikan. Tingginya harga dan adanya kendala bau yang ditimbulkan oleh minyak ikan pada kulit samoa mendorong adanya berbagai penelitian untuk mengganti minyak ikan. Minyak biji karet adalah salah satu bahan yang diduga dapat menggantikan minyak ikan.

Perlakuan pretanning diperlukan untuk meningkatkan penetrasi minyak ke dalam kulit dan mencegah kulit menjadi busuk pada saat berlangsungnya proses oksidasi (Krisnan et al., 2005), sehingga proses penyamakan minyak dapat berlangsung dengan baik. Bahan yang digunakan sebagai bahan pretanning adalah Relugan GT 50. Relugan GT 50 adalah nama komersial produk BASF yang merupakan larutan glutaraldehida dengan konsentrasi sebesar 50%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah persentase Relugan GT 50 dan minyak biji karet terhadap mutu kulit samoa yang dihasilkan. Selain itu, penelitian bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik dari perlakuan yang digunakan serta karakteristik kulit samoa yang dihasilkan.

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara menganalisis persentase kulit biji karet, daging biji karet dan parameter fisiko-kimia minyak biji karet. Penelitian utama dilakukan dengan menyamak kulit berdasarkan perlakuan jumlah Relugan GT 50 pada taraf 1,5%; 3,0%; dan 4,5% dan persentase minyak biji karet 10%, 20%, dan 30% dengan ulangan sebanyak 2 kali. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan, persentase kulit biji karet sebesar 49% dan persentase daging biji karet sebesar 51%. Nilai karakteristik minyak biji karet yang diperoleh adalah: bobot jenis 0,94 (b/v), viskositas 48,4 centistokes, warna 2713 Unit PtCo , bilangan iod 113 g iod/ 100 g minyak, bilangan penyabunan 350 mg KOH/g minyak, bilangan peroksida 24 miliekuivalen/1000 g minyak, bilangan asam 15 mg KOH/g minyak, dan FFA 5,8%.

Hasil pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik dan kimia pada kulit adalah kosentrasi Relugan GT 50 berpengaruh nyata terhadap suhu pengerutan (Ts) dan pH; sedangkan persentase minyak biji karet hanya berpengaruh terhadap sifat


(4)

organoleptik kulit samoa. Perlakuan percobaan yang terpilih adalah penyamakan kulit dengan taraf jumlah Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%. Nilai sifat fisik yang diperoleh adalah: suhu pengerutan 75oC, ketebalan 0,92 mm, kekuatan tarik sebesar 21,50 N/mm2, elongasi putus sebesar 144%, kekuatan sobek sebesar 55,77 N/mm, daya serap air sebesar 266% (2 jam) dan 299% (24 jam). Nilai sifat kimia yang diperoleh adalah: kadar minyak 2,5%, kadar abu 1,2% dan pH 8. Nilai sifat organoleptik yang diperoleh yaitu kehalusan 7–8, warna 8–9, dan bau 8–9.


(5)

Zaini Fahroji. F34104097. 2010. The Effects of Pretanning Agent Concentrations and Rubber Seed (Hevea brasiliensis) Oil Concentrations on Chamois Leather Quality. Supervised by Ono Suparno.

SUMMARY

Animal hides or skins are the most valuable by product of the meat industry. Most of those hides are converted into leather by leather tanning process. Chrome based tanning is the most popular tanning process. At the chrome based tanning process, a lot of amount chrome are throw away into the environment that make a significant effect to the biological and ecological environment damaged. Due to concerns over the use and disposal of chromed tanned leather, the leather industry is now facing increasing scrutiny over its use of chrome as tanning agent. The use of non-chrome tannages has gradually become pre-eminent to producing leather, particularly in the European automotive leather markets.

Chamois leather is one of leather product. It is produced from animal hides/skins by oil tanning process, usually with fish oil. High price and odour problems to the chamois leather that produced using fish oil motivate to do some research to solve that problems. Rubber seed oil is an oil that predicted can substitute fish oil.

Pretanning process is needed to increase the oil penetration and protects the pelt from putrefying during oxidation periods (Khrisnan et al., 2005). Relugan GT 50 is the agent that used on this research. Relugan GT 50 is an aldehyde tanning agent, produced by BASF.

This research was aimed to find out the effects of Relugan GT 50 concentration (offer) and rubber seeds (Hevea brasiliensis) oil to the chamois leather’s quality. Beside that, this research is also aimed to decide the best combination of the factors to produce chamois leather also to know the chamois leather characteristics.

The preliminary research was carried out by analyzing the rubber seed’s kernel and eggshell as well as physico-chemical properties of the rubber seed oil. The main research was done by tanning the skin with Relugan GT 50 in concentrations of 1.5, 3.0 and 4.5% followed by rubber seed oil concentrations of 10, 20, and 30%. The experimental design used was completely randomize factorial design.

The preliminary research shows that rubber seed’s kernel was 49% and

rubber seed’s eggshell was 51%. The rubber seed’s oil characterstics were density of 0.94 (g/cm3), viscosity of 48,4 centistokes, colour of 2713 PtCo units, inodine value 113 g iod/ 100 g, peroxide value of 24 miliequivalent/1000 gram oil, acid value of 15 mg KOH/g oil and FFA content of 5.8%.

The research shows that Relugan GT 50 concentration significantly affected shrinkage temperature (Ts) and pH; rubber seed oil concentration significantly affect the organoleptic properties of the leather. The optimum conditions for the tanning were Relugan GT of 3.0% concentration and 10% rubber seeds oil. The physical properties of the leather were shrinkage


(6)

temperature of 75oC, thickness of 0.92 mm, tensile strength of 21.50 N/mm2, elongation at break of 144%, tear strength of 55.77 N/mm, water absorption of 266% (2 hours) and 299% (24 hours). The chemical properties were oil content of 2.5%, ash content of 1.2% and pH of 8. The organoleptic properties were softness of 7–8, colour of 8-9, and odour of 8-9.


Dokumen yang terkait

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

0 43 86

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

9 88 81

Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu

2 55 78

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muall, Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora casiicola Berk &amp; Curt.) di Lapangan

0 34 64

Respon Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Terhadap Pemotongan Akar Tunggang Dan Pemberian Air Kelapa

2 37 54

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

0 23 84

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium

0 48 59

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Uji Resistensi Beberapa Genotipe Plasma Nutfah Karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Laboratorium

0 30 53