BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit menular seksual PMS adalah infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak seperti genitor genital, oro genita lmaupun ano-
genital dan kontak non seksual seperti alat suntik, transfusi darah Adhi Djuanda, 1987. Penyakit Menular Seksual PMS dewasa ini kasuanya semakin banyak
diantaranya adalah Gonorea, Sifilis, Hepatitis B, Hepatitis C, HIVAIDS, Kandidiasis dan Trichomonas vaginalis. Trichomonas vaginalis adalah penyakit menular seksual
yang disebabkam oleh serangan protozoa parasit Trichomonas vaginalis yang penyakitnya disebut Trichomoniasis, Trichomoniasis merupakan infeksi yang
biasanya menyerang saluran genitourinari, uretra adalah tempat infeksi yang paling umum pada laki-laki dan vagina adalah tempat yang paling umum pada wanita
Daili, 2007. Penyakit ini dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat baik anak-anak
maupun orang dewasa tetapi prevalensi yang tinggi dijumpai pada mereka yang berada pada masa aktif hubungan kelamin 16-40 tahun terutama pada mereka yang
kurang menjaga kebersihan atau wanita pekerja seks komersial dan orang-orang yang sering menggunakan jasa mereka. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melalui
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku STBP tahun 2011, juga menunjukkan angka PMS seperti sifilis semakin tinggi yang diderita oleh waria 25,
Universitas Sumatera Utara
pekerja seks langsung 10, pria yang berhubungan seks sesama pria 10, pekerja seks tidak langsung 3, dan narapidana 3 STBP, 2011
Angka PMS juga cenderung meningkat di Indonesia penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan pencatatan terhadap penderita
yang ditemukan. Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah sesungguhnya. Di Medan, penyakit menular seksual meningkat tiap tahunnya
3 hingga 4. Penelitian yang dilakukan di Surabaya ternyata 40 mahasiswa telah melakukan hubungan seks pra nikah, 70nya melakukan dengan pasangan tidak
tetap dan 2,5 diantaranya pernah tertular PMS. Oleh karena itu peningkatan penularan PMS pada Pria maka penggunaan kondom merupakan salah satu cara
untuk mengurangi resiko penyebaran kondom Hutagalung, 2002. Kondom berasal dari sebuah kota bernama Condom yang terletak di provinsi
Gascony, sebelah barat daya Perancis. Pria-pria dari kota Condom ini terkenal dengan sifatnya yang menyukai seks, kurang sabar, dan gampang marah, kurang lebih seperti
karakter tokoh Cyrano de Bergerac dalam drama karya sutradara Edmond Rostrands. Di dalam sejarah asal mula kondom oleh Charles Panati, dalam bukunya Sexy
Origins and Intimate Things, sarung untuk melindungi penis telah dipakai sejak berabad silam. Sejarah menunjukkan orang-orang Roma, mungkin juga Mesir,
menggunakan kulit tipis dari kandung kemih dan usus binatang sebagai “sarung”. Kondom primitif itu dipakai bukan untuk mencegah kehamilan tapi menghindari
penyakit kelamin. Untuk menekan kelahiran, sejak dulu pria selalu mengandalkan kaum perempuan untuk memilih bentuk kontrasepsi.
Universitas Sumatera Utara
Hasil evaluasi ‘Cohrane review’ tanggal 25 Mei Tahun 2001 menyimpulkan bahwa penggunaan kondom secara konsisten mempunyai kemampuan mencegah
transmisi HIV dengan efektivitas 80. Penelitian New England Journal of Medicine tahun 1994 menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 254 pasangan yang salah
satunya terinfeksi HIV, pada pasangan yang konsisten menggunakan kondom tidak ditemukan adanya penularan. Sementara pada 121 pasangan lain yang tidak konsisten
menggunakan kondom ditemukan penularan HIV pada 12 orang. Pada penelitian Devincenzy menyimpulkan penggunaan kondom secara konsisten mempunyai
kemampuan mencegah transmisi HIV sebesar 90 Kalichman, 1998. Penggunaan kondom yang baik akan mengurangi resiko terinfeksi penyakit-
penyakit tersebut, bagi mereka yang tidak mampu berpuasa seks. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, kondom lateks sangat efektif dalam pencegahan penularan
penyakit menular seksual, termasuk HIV, karena lubang pori-pori pada kondom lateks terlalu kecil untuk dapat dilalui oleh virus ini. Kondom lateks terbukti efektif
untuk mencegah virus dan kuman penyebab herpes simplex, CMV, hepatitis B, chlamydia dan gonorrhea, dan virus HIV. Pengetahuan dan penyebaran informasi
tentang kondom masih sangat rendah sehingga orang belum menggunakannya secara tepat. Kegagalan kondom lebih sering disebabkan pemakainya tidak
menggunakannya dengan benar, dan bukan karena mutu kondom itu sendiri. Kegagalan penggunaan kondom mungkin disebabkan penyimpanan kondom yang
kurang baik, pemakaian kondom yang sudah kadaluarsa, dan keadaan mabuk hingga tidak tepat pemakaiannya.
Universitas Sumatera Utara
Kebanyakan orang memberikan reaksi emosional atau salah persepsi. Hasil wawancara per telepon dengan responden heterokseksual di beberapa wilayah yang
mempunyai angka penderita AIDS tinggi diketahui bahwa, ketidak-percayaan terhadap kondom lebih banyak pada kalangan pria Afrika, Amerika dan yang
berpendidikan rendah. 54 responden percaya bahwa kondom kemungkinan rusak pada saat digunakan, 41 mengeluh kekurangan sensasi seksual, 35 merasa tidak
nyaman membeli kondom dan 21 merasa tidak nyaman menggunakan kondom Lemme, 1995.
Namun yang menjadi permasalahannya masih banyak pria yang melakukan hubungan seksual terkhususnya bagi yang menggunakan jasa PSK belum
menggunakan kondom, hal ini disebabkan karena keyakinan, sikap, minat yang mempengaruhi perilaku mereka seperti dijelaskan pada Teori of Reasoned Action
TRA. Upaya pencegahan, terutama pada kelompok risiko tinggi di Sumatera Utara belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian BPS
dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan di dua tempat yakni Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan, yaitu hanya 8,3 dari 250 WPS jalanan
yang diteliti mengaku selalu menggunakan dalam setiap melayani hubungan seks dengan pelanggan dan 45 dari 200 WPS tempat hiburan yang diteliti mengaku
selalu melayani hubungan seks dengan pelanggannya menggunakan kondom BPS, 2003.
Secara komprehensif perilaku Menurut Green, dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: faktor predisposing atau faktor pemudah pengetahuan, dan sikap,, faktor
Universitas Sumatera Utara
enabling atau faktor pendukung ketersediaan kondom dan faktor reinforcing atau faktor penguat dukungan petugas kesehatan, dukungan pekersa seksual dan
dukungan media Notoatmodjo, 2007. Perilaku pria melakukan pencegahan PMS dengan menggunakan kondom
merupakan perilaku kesehatan yang dipengaruhi oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan pria tentang penggunaan kondom terutama manfaatnya
dalam mencegah PMS. Dengan pengetahuan ini diharapkan muncul sikap berupa kesadaran dan niat untuk menggunakan kondom serta didukung dengan tersedianya
sarana kondom dan dukungan dari pekerja seksual dan petugas kesehatan. Penelitian Arianto 2005 menyatakan bahwa ada hubungan pengetahuan dengan penggunaan
kondom, Mardiana 2012 menyatakan ada hubungan sikap dengan upaya pencegahan PMS.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Simalungun penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi di Kecamatan Siantar cukup rendah yaitu hanya sebesar 17, 57 dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan kondom sebagai alat untuk mencegah PMS masih relatif kecil. berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan
di lokasisasi Bukit maraja didapatkan dari 10 pria yang menggunakan jasa pekerja seksual hanya 3 orang saja yang menggunakan kondom. Oleh karena hal tersebut
penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom pria dalam pencegahan menular seksual PMS di lokalisasi Bukit Maraja
Kabupaten Simalungun Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Permasalahan