3. Aliansi dengan kekuatan di ranah politik partai politik dan ekonomi
perusahaan.
Hal seperti ini dapat saja dianggap aneh karena gerakan sosial sebenarnya merupakan upaya organisasi civil society dalam mengupayakan atau
menentang perubahan sosial yang seringkali tidak mendapat perhatian dari kedua ranah tersebut. Beragamnya organisasi dan kelompok yang berada
di ranah politik dan ekonomi tersebut sehingga masih membuka peluang untuk keja sama.
4. Penekanan pada ranah politik.
Masalah yang dibahas dalam gerakan sosial berkaitan dengan keputusan politik formal seperti UU. Dalam hal ini, organisasi civil society dapat
mencapai tujuan gerakan sosial dengan melakukan penekanan pada aktor dalam ranah politik, misalnya anggota legislatif DPRD. Penekanan
dapat berupa petisi atau “class actions” sehungga para aktor yang mempunyai otoritas politik tersebut dipaksa untuk menghasilkan suatu
kebijakan baru yang sesuai dengan aspirasi civil society yang pada awalnya dilakukan melalui gerakan sosial. Sujatmiko dalam Triwibowo
2006: xxiv
2.2. Perlawanan Resistensi
Scott 2000:381 menjelaskan tidak mudah untuk menentukan di mana kerelaan berakhir dan perlawanan di mulai, karena keadaan menjadikan banyak
orang miskin menyelubungi perlawanan mereka dalam bahasa konformitas
Universitas Sumatera Utara
publik. Arti kata kerja ‘melawan’ to resist sebagaimana tertera di kamus adalah ‘mengusahakan sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan atau efek
dari’. Perlawanan kelas memuat tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim
misalnya: sewa, pajak, gengsi yang dibuat oleh kelas atas tuan tanah, petani kaya, negara berhadapan dengan kaum yang kalah itu. Perlawanan berfokus pada
basis materi hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas, berlaku baik sebagai tindakan perlawanan perorangan maupun kolektif, juga bentuk-bentuk
perlawanan ideologi yang menentang definisi situasi yang dominan menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Akhirnya, perlawanan berfokus pada
maksud ketimbang pada konsekuensi, sehingga di mana ada bukti kuat untuk
maksud di balik aksi, maka perlawanannya, sesuai dengan itu, diperkuat.
Perlawanan menurut Zubir 2002 dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di
tengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai gerakan sosial atau
social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.
Timbulnya perlawanan menurut Alisjahbana 2005:167-169 terurai ketika menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan
mereka yang tidak berkuasa, antara mereka yang memiliki aksesbilitas dengan mereka yang tidak memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil, terus
terjadi dalam setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah dalam pengembangan kota. Pada dasarnya sektor informal lebih suka berdialog dibandingkan harus
Universitas Sumatera Utara
melakukan perlawanan resistensi. Resistensi dilakukan ketika mereka harus dihadapkan pada sebuah perlakuan yang menurut mereka keterlaluan atau diluar
batas kewajaran. Keberanian kelompok ini melakukan perlawanan resistensi adalah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakangi, antara
lain: 1. Adanya model penataan sektor informal yang selalu menggunakan pendekatan
represif, bukan persuasif. 2. Adanya sikap ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberadaan sektor
informal sehingga selalu dimarginalkan. 3. Terbungkamnya suara sektor informal. Budaya top down dalam setiap
pembuatan kebijakan yang mengatur sektor informal menyebabkan terjadinya resistensi terhadap kebijakan pemerintah kota.
4. Adanya kesan negatif yang ditempelkan pemerintah terhadap keberadaan sektor informal.
5. Berhembusnya era reformasi, era reformasi memberikan ruang kepada sektor informal untuk mengadakan resistensi.
Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana 2005:39-41 dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab
secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan
oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi.
Universitas Sumatera Utara
Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakukan secara terang-terangan.
Alisjahbana 2005:130 mengatakan perlawanan yang dilakukan oleh
sektor informal berdasarkan perlawanannya dapat ditipologikan menjadi dua : a Resistensi perlawanan secara terang-terangan.
Ini identik dengan perlawanan secara terbuka dalam artian sektor informal siap untuk berhadap-hadapan secara langsung dengan pemerintah,
resistensi ini bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan
membakar alat peraga, mengintimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan kekerasan, kemudian dengan sengaja berjualan ditempat-tempat
terlarang, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi camat dan meminta izin secara paksa
b Resistensi perlawanan tersembunyi, Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari
konfrontasi langsung dengan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam
resistensi main kucing-kucingan dengan aparat penertiban, kongkalikong dengan “orang dalam”, menebus barang dagangan untuk berjualan lagi,
mencari tempat yang agak tersembunyi, membatasi jumlah sektor informal oleh sektor informal “senior”, membetuk paguyuban sektor informal dan
mengumpulkan iuran untuk ‘keamanan’, mencari dukungan Lembaga
Universitas Sumatera Utara
Swadaya Masyarakat LSM dan mahasiswa, dan melawan kekuatan modal.
Scott dalam Alisjahbana 2005:130 menjelaskan resistensi secara terang- terangan tersebut dikategorikan sebagai resistensi yang sungguh-sungguh karena :
1 terorganisasi, sistematis, dan kooperatif, 2 berprinsip atau tanpa pamrih, 3 mempunyai akibat-akibat revolusioner, 4 mengandung gagasan atau tujuan
untuk meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Bentuk resistensi lainnya adalah resistensi sehari-hari, yaitu melahirkan bentuk resistensi yang khas dan
digunakan dengan cara yang paling praktis demi mengatasi permasalahan secara seketika, cepat, dan bisa selamat. Resistensi sehari-hari bersifat insidental atau
epifenomenal bercirikan : 1 tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, 2 bersifat untung-untungan dan berpamrih nafsu akan kemudahan, 3 tidak
mempunyai akibat-akibat revolusioner dan 4 dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada. Contoh
perlawanan bersifat insidental adalah petani Asia Tenggara yang menyembunyikan padi dan harta miliknya dari pandangan mata sang kolektor
pajak, memprotes pengenaan pajak yang tinggi, tetapi ia juga berupaya untuk memastikan bahwa untuk keluarganya ada cukup banyak padi.
Scott 2000:51-52 mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol. Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan
berjiwa sosial yang namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang mereka berikan pada tindak tanduk mereka.
Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan
Universitas Sumatera Utara
latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun
mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi mereka. Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus
adalah suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan” unmoved
movers. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, sebagaimana adanya untuk mempengaruhi kesadaran, dan dari sinilah timbul intensi dan aksi
selanjutnya. Aksi perlawanan dan pemikiran tentang atau makna dari perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Kedua, itikad atau
kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk yang seluruhnya sama dengan dunia materi sebagaimana perilaku. Akhirnya bagaimana kita dapat memahami
bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari itu tanpa merujuk pada itikad intensi, gagasan, dan bahasa manusia-manusia yang mempraktekkannya.
Gerakan perlawanan wong cilik atau pedagang berbeda dengan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ataupun buruh. Banyak perlawanan yang
diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pedagang memang tidak jarang menimbulkan kekerasan.
Semakin represif model penataan yang dilakukan oleh pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang diberikan oleh Pedagang Kaki Lima PKL. Sebaliknya,
semakin keras sikap PKL terhadap pemerintah, semakin keras pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan yang dilakukan PKL meliputi tiga
kategori:
Universitas Sumatera Utara
1 Perlawanan yang dikembangkan utuk menolak lahirnya peraturan daerah, dilakukan dengan cara demonstrasi, memimta izin secara paksa kepada
camat dan lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan dan mahasiswa.
2 Perlawanan terhadap program relokasi berupa melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban dan mencari dukungan LSM dan mahasiswa.
3 Perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat dan melakukan
demonstrasi.http:repository.library.uksw.edubitstreamhandle1234567 89737D_902009006_BAB20I.pdf?sequence=2
Untuk kejadian sektor informal, kasus di Kodya Malang sebagian menunjukkan hal tersebut. Di mana sektor informal bekerja sama dengan
mahasiswa, lewat ormas kemahasiswaan seperti: HMI, PMII, PEMKRI dan GMKI, yang tergabung dalam kelompok Cipayung memeperjuangkan nasibnya
kepada walikota Malang, bahkan LSM pun turut bekerja sama dengan mereka. Destabilistas sosial tersebut bisa terjadi apabila bentuk kerja sama tersebut telah
mencapai tahap dimana masing-masing pihak tersebut merasa bahwa artikulasi- artikulasi keinginan dan kepentingan mereka tidak pernah didengar dan diwadahi
secara proporsional oleh pengambil kebijakan, Yustika 2000 : 203.
Universitas Sumatera Utara
Balridge dalam Alisjahbana 2005:54-57 mengklasifikasikan gerakan perlawanan akan mengalami serangkaian kondisi atau fase-fase tertentu yaitu :
1. Fase Pragerakan Premovement Stage Fase ini muncul karena ada tekanan dan diskriminasi sosial. Kondisi ini
bersinergi dengan meningkatnya harapan. Fase pragerakan adalah suatu fase merasakan adanya tekanan struktur atau kondisi sosial yang tidak
memuaskan yang dialami oleh individu.
2. Fase Membangun Kesadaran Awakening Stage Pada fase ini sedikitnya ada dua faktor yang mampu membantu
membangunkan kesadaran untuk melakukan mobilisasi, yaitu para pemimpin yang kharismatik dan proses resosialisasi. Resosialisasi
diperlukan sebab kelompok terhimpit sering menerima begitu saja dan benar-benar percaya bahwa mereka lebih rendah dan tidak berharga.
Usaha ini untuk membawa kelompok tertindas menghargai kekuatan sendiri dan dengan begitu, mereka tergugah serta mampu melakukan
gerakan resistensi
3. Fase Membangun Gerakan Movement Building Stage Fase ini meliputi pengorganisasian gerakan, perumusan tujuan, dan
strategi mobilisasi aksi. Dalam proses pengorganisasian diusahakan terwujud perilaku yang terstruktur, kepemimpinan semakin jelas, tujuan
semakin konkret, serta kegiatan terencana secara rutin.
Universitas Sumatera Utara
4. Fase Mempengaruhi Kelompok Sasaran Influence Stage Pada fase ini diharapkan terbentuk semacam ideologi atau cita-cita
perubahan. Pada fase ini tugas gerakan adalah mengubah “publik lawan” menjadi partisipan dan mendorong partisipan pasif menjadi kekuatan aktif
serta melakukan proses perekrutan dan anggota simpatisan tambahan
5. Fase Capaian Keluaran Outcome Stage Fase ini dilakukan pengkonsolidasian atau pelestarian hasil capaian. Fase
ini akan muncul apabila gerakan yang dilakukan berhasil dan mampu diintegrasikan ke dalam sejumlah struktur sosial masyarakat.
Hobshawn dalam Alsijahbana 2005:139 menjelaskan tujuan resistensi adalah untuk menjalankan sistem demi kerugian minimal bagi dirinya. Resistensi
dengan tujuan bisa memukul balik, kemudian bisa menghasilkan negoisasi tentang Pemerintah Kota dan dalam waktu tertentu dapat mempengaruhi kebijakan sistem
yang berjalan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam dan menggali
informasi tentang permasalahan gerakan perlawanan pedagang buku P2BLM.. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai
kondisi, berbagai situasi realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, Bungin 2007:68.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun. Adapun yang menjadi alasan peneliti untuk memilih lokasi
penelitian ini adalah dikarenakan pedagang buku bekas merupakan cagar budaya Kota Medan dan merupakan pedagang buku bekas yang terpusat di sisi timur
lapangan merdeka yang sekarang berada di Jalan Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun.
3.3. Unit Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian dalam unit analisis dapat berupa kelompok ataupun
individu. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah pedagang
Universitas Sumatera Utara