Susunan Kepengurusan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan

BAB IV MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 8 Maksud dan tujuan organisasi ini adalah : I. Mempererat tali silahturahmi sesama pedagang buku bekas di sisi timur Lapangan Merdeka Medan dengan memberikan sumbangan bail materiil atau immateriil dalam organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka yang kemudian berkembang sebagai bagian organisasi untuk kesehjahteraan anggota khususnya dan masyarakat umumnya sehingga bermanfaat bagi bangsa dan negara

4.2.1. Susunan Kepengurusan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan

Merdeka Medan P2BLM Berikut ini adalah daftar nama pengurus organisasi P2BLM periode 2013- 2016. Penasihat : Nelson Nicolas Marpaung H.Syamsul Bahri Lubis H.Rujaya Lunik Pasaribu Aliman Batubara Lilik S. Lubis Ketua : Sainan Wakil Ketua : Isdawati Universitas Sumatera Utara Wakil Ketua : Yuan Pasaribu Wakil Ketua : Dedi Syahputra Sekretaris : M. Hasrah Siregar Wakil Sekretaris : M. Lindon Simatupang Wakil Sekretaris : Lina Br. Ginting Wakil Sekretaris : Sandy Sardi Bendahara : Arningsih Wakil Bendahara : Didi Siswanto Sub Bidang :

I. Bidang Diklat , Keanggotaan dan Kaderisasi

1. Manarsar Panjaitan 2. Indra Sakti Lubis

II. Bidang Ekonomi dan Koperasi

1. Agus Eko Muchtarian Lubis 2. Ilham Malagandi Batubara

III. Bidang Sosial , Politik dan Budaya

1. Alizardi 2. Erwin Effendi Universitas Sumatera Utara

IV. Bidang Hubungan Kemasyarakatan dan Lingkungan Hidup

1. Ramot Lubis 2. Fadli Syahputra

V. Bidang Keagamaan

1. M. Yusnan 2. Lisbet Tohang

4.3 Kepentingan Dinas Perumahan dan Permukiman

Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Perkim sebagai pelaksana teknis berencana merelokasi kembali pedagang buku bekas dan buku murah di sisi Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan menjelaskan kepada pedagang bahwa pada kawasan tersebut akan dibangun proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir yang akan terintegrasi dengan Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini menggunakan lahan dengan panjang 244 meter dan lebar 39 meter yang saat itu masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini seperti yang dikatakan Pak Chairul Abidin dari Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan : “Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu salah satu alternatif roda transportasi itu kan di kereta api. Ada pihak dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check in itu kita mau ke bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama. Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau berangkat ke kuala namu atau untuk menurunkan penumpang jadi integrasinya itu disitu”. Wawancara, 06 Februari 2015. Universitas Sumatera Utara Pihak dari Kementrian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar dengan segera menyelesaikan proyek Sky bridge, city check in dan lahan parkir di karenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan. Pedagang berjualan berdasarkan aset Pemko berdasarkan pemerintahan Walikota sebelumnya yaitu, Bapak Drs. Abdillah. Program pembangunan tersebut merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi semua sarana transportasi untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas transportasi pembangunan nasional menjadi dasar bagi pihak pemerintah Kota Medan wajib melaksanakan program tersebut di sisi timur Lapangan Merdeka. Lokasi tersebut merupakan tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah memiliki design lokasi relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang buku awalnya ke Jl. Mandala dan merupakan tanah dari PT.KAI. Program pembangunan tersebut terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk pindah ke lokasi tersebut. Terdapat beberapa allternatif lokasi yang juga ditawarkan kepada pedagang buku seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jl. Pegadaian. Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jl. Mandala dikarenakan lokasi tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang merupakan pusat kota dan lokasi di Jl. Mandala sulit untuk dijangkau masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua ada aturan dan landasan. RTRWK bisa dirubah dengan persetujuan anggota dewan. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Mukhyar : Universitas Sumatera Utara “Sky bridge udah dibuat di perda kita dibangun disitu masalahnya sekarang harus menelusuri Bapeda. Masterplan kereta api orang tu bangunnya dimana kadang-kadang masterplan kami disini, kereta apai disini kan kami harus bersinergi jadi bukan kitab suci yang tidak bisa dirubah, tiap saat bisa berubah namanya produk manusia, siapa bilang RTRWK gak bisa dirubah, ya boleh boleh aja. Kita kan harus ikuti orang itu kereta api. Saya sekedar melanjutkan, di dalam buku perdanya kami bangun disitu, kalo gak kami bangun ngelanggar perda, APBD Kota Medan yang harus kita kerjakan dibahas di anggota dewan. Kalo dia gak tau berarti kan dia gak baca” Wawancara, Januari 2015 Dinas Perkim tidak ingin menjawab pertanyaan secara detail landasan hukum pembangunan sky bridge yang seharusnya di Jl. Jawa, Kecamatan Medan Timur karena bukan merupakan bagian tugas dari mereka, Dinas Perkim ditegaskan hanya sebagai pelaksana teknis. Pemerintah melakukan pendekatan dengan cara sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan pertemuan untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah ke Jl. Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui organisasi Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka ASPEBLAM. ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan mengikuti kemauan pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi diberikan label negatif oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk mendiskreditkan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka P2BLM terisolasi secara sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah streotipe mengenai gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM hanya ingin mendapatkan kios yang banyak untuk keuntungan secara pribadi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Pak Muhkyar: “Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu, semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama Sainan” Wawancara, Januari 2015 Universitas Sumatera Utara Penggusuran secara paksa dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan tersebut. Dinas Perkim menyatakan tidak bisa lagi melakukan penggusuran secara paksa karena melanggar Hak Asasi Manusia. Batalnya penggusuran secara paksa untuk menjadi kekondusifan masyarakat karena berkaitan dengan Pemilu Legislatif untuk menjaga keamanan masyarakat Kota Medan dan dipilih dengan cara negoisasi. Pada saat proses pembangunan pekerja proyek pembangunan dipukul oleh pedagang buku. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Pejabat Pembuat Komitmen Pak Mukhyar : “Kita ajaklah berembuk, kan jamannya pemilu legislatif suasana politik kan memanas, jadi lurah camat dinas perkim satpol pp kan menjaga suasana tetap kondusif. Berapa kali kita mau menggusur gak jadi. Pedagang yang mukuli pekerja yang disitu dipukulin perempuan yang mukul diadu ke polisi asin ceritanya. Indonesia kan ini boleh petugas dipukuli tapi coba masyarakat dipukuli, ini orang gak tau hak dan kewajiban pada saat sedang dibangun. pakar-pakar hukum kita membela itu. Datang satpol pp digusur disorot media dibilang Pemerintah kejam kan jadi dilema kita antara hak dan kewajiban”.Wawancara, januari 2015

4.4 Proses Terbentuknya Organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas

Lapangan Merdeka P2BLM Pedagang buku pada saat berjualan di Titi Gantung memiliki paguyuban sesama pedagang buku bekas. Paguyuban tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan perlawanan menolak relokasi dari Titi Gantung ke sisi timur lapangan merdeka. Pedagang buku direlokasi dikarenakan Titi Gantung merupakan cagar budaya Kota Medan yang harus dijaga dan dilestarikan keindahannya. Mendengar adanya rencana Pemko Medan akan kembali merelokasi, pedagang buku bekas akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi pedagang Universitas Sumatera Utara buku bekas yaitu Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka ASPEBLAM. ASPEBLAM dibentuk juga berdasarkan paguyuban yang berasal dari Titi Gantung dan merubah nama karena lokasinya yang juga sudah berbeda yaitu di sisi timur lapangan merdeka. Pedagang menolak di relokasi dengan alasan Jl. Mandala by pass bukan merupakan pusat inti kota Medan dan lokasinya sangat jauh yang dikhawatirkan akan menurunkan omset penjualan buku bekas. Sainan mengatakan : “Di tahun 2012 itu ada respon dari Pemko Medan untuk merelokasi kami ke Jl. Mandala by pass. Kami tidak menerima relokasi tersebut. Sejak itulah kami pedagang buku melakukan musyawarah dan rembukan untuk membentuk kelompok pedagang buku yang namanya ASPEBLAM yaitu, Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Medan. Itu terbentuk karena adanya Pemko Medan mau merelokasi kami ke Jl. Mandala. Tujuan dibentuknya ASPEBLAM yang itu untuk melakukan satu penelitian maksud dan tujuan Pemko Medan merelokasi apakah itu menguntungkan pedagang atau tidak”. Wawancara, 24 Januari 2015. ASPEBLAM adalah organisasi yang dibentuk oleh pedagang buku bekas untuk menolak relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Medan dan memiliki tugas untuk melakukan kajian apakah relokasi tersebut menguntungkan pihak pedagang atau tidak. Keinginan semua pedagang pada saat akan direlokasi yaitu, mengambil komitmen untuk tetap bertahan di sisi timur Lapangan Merdeka. Hal ini di sepakati pada rapat pedagang buku di Parapat. Hasil rapat tersebut memutuskan bahwa pedagang buku akan bertahan dan menolak relokasi oleh Pemko Medan. Alasan pedagang menolak adalah lokasi tersebut kurang strategis dan merupakan pinggiran kota Medan. Pedagang juga mengatakan karena lahan tersebut merupakan lahan PT. KAI bukan aset dari Pemko Medan ada kemungkinan kios tersebut menggunakan sistem sewa dan pedagang dibebankan untuk membayar uang sewa kios sebesar Rp850 ribu per tahun. Universitas Sumatera Utara Setelah mendapatkan hasil keputusan hasil rapat di Parapat, para pedagang yang awalnya menolak relokasi, namun akhirnya pengurus menyetujui untuk di relokasi tanpa memberitahukan kepada anggota pedagang buku bekas lainnya. Dengan alasan pedagang buku harus mengikuti aturan Pemko Medan. Hal ini karena sesuai dengan aspirasi anggota ASPEBLAM dan lokasi tempat yang akan digunakan sudah representatif serta Pemko Medan menyetujui hal tersebut. Ukuran kios 2 x 2 meter lebih besar dibandingkan di Lapangan Merdeka. Ukuran tempat dan lokasi usaha sejajar, berbeda dengan yang ada di Lapangan Merdeka, kios ada yang bertempat di belakang dan ada yang berada di depan. Kesepakatan syarat yang diajukan pengurus adalah : 1 Biaya relokasi dan pembangunan kios di lokasi baru ditanggung oleh Pemko Medan atau pihak yang ditunjuk Pemko. 2 Perpindahan dilaksanakan secara bersamaan. 3 Lokasi baru bagi pedagang harus sah secara hukum. Usulan dan syarat disepakati oleh Pemko Medan dan Dinas Perumahan dan Permukiman agar menyiapkan dengan segera alas hukum lokasi yang akan di tempati pedagang buku bekas. Kebijakan pengurus yang awalnya menolak dan tiba-tiba sepakat untuk pindah mulai menimbulkan kecurigaan dan kekecewaan dari beberapa pedagang buku karena telah mengingkari hasil keputusan di rapat. Berdasarkan penuturan Bapak Fadli Syahputra sebagai berikut : “Setelah pulang dari Parapat terjadi perbedaan kebijakan yang menyatakan kepengurusan rela di relokasi, karena alasan pengurus sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah jadi kita harus mengikuti pemerintah, kita awalnya bertahan nah kenapa tiba-tiba jadi kita setuju sama relokasi itu, awalnya disinyalir adalah sesuatu yang tidak bisa kita pastikan . Yang jelas komitmen itu berubah dari awalnya bertahan hingga setuju untuk pindah”. Wawancara, tanggal 15 Januari 2015. Universitas Sumatera Utara Kesepakatan tersebut ternyata hanya janji-janji belaka, karena Pemko Medan dianggap mengingkari hasil kesepakatan dengan pedagang, dikarenakan tidak kunjung jelas alas hukum lokasi kios yang akan dipakai dan sudah diberi surat pemberitahuan untuk mengosongkan kios. Hal ini menimbulkan amarah dan kekecewaan pedagang. Realisasi dari kekecewaan pedagang buku untuk kembali menolak relokasi yaitu, adanya aksi turun ke jalan dan melakukan demonstrasi. Aksi tersebut diikuti oleh pedagang buku, agar aspirasi mereka didengarkan pedagang memblokir Jalan. Stasiun, seputaran Lapangan Merdeka, Medan. Aksi ini dengan membakar ban bekas serta kayu untuk dibakar. Aksi ini untuk menolak relokasi ke Jl. Pegadaian dan segera membuat alas hukum bagi pedagang jika akan di relokasi. Aksi pada tanggal 29 Oktober 2012 ini mendapat perhatian dari pengguna arus lalu lintas dan mengundang perhatian media massa untuk meliput mereka. Aksi ini sempat terjadi keributan antara Satpol PP dengan pedagang, hal ini dikarenakan Satpol PP berusaha untuk memadamkan api. Untuk menghindari bentrok Satpol PP akhirnya membiarkan aksi tersebut dan tidak jadi melakukan pemadaman api tersebut. Aksi bakar ban bekas dan kayu ini berada di 3 titik sepanjang Jalan Stasiun. Tumpukan kayu dan ban bekas ditumpuk untuk dibakar hingga menciptakan asap hitam mengepul ke udara. Pedagang juga mengeluarkan spanduk bertuliskan “Kami Menolak Relokasi, Jangan Gadaikan Kami Dengan Lapangan Parkir”. Kemacetan tak terhindarkan karena lokasi pedagang buku melakukan aksi di pusat kawasan kota tepat di depan stasiun kereta api. Kecurigaan dan ketidakpercayaan anggota terhadap pengurus memuncak dengan adanya rencana Pemko Medan untuk membangun pondasi di lapangan Universitas Sumatera Utara merdeka. Bangunan pondasi tersebut harus menghancurkan tempat pedagang sebanyak 20 kios. Pengurus pada saat itu menyepakati hak tersebut dengan syarat perusahaan pengembang menyatakan akan membayar ganti rugi biaya harian yaitu sebesar Rp.50.000, - lima puluh ribu rupiah perhari kepada 20 pedagang yang kiosnya akan dirusak, dan apabila pada tanggal tersebut pelaksanaan pembangunan 180 kios belum selesai maka perusahaan akan memberikan tambahan biaya harian tersebut sebanyak 10 kali lipat dari biaya harian yang telah disepakati yaitu menjadi Rp.500.000, - lima ratus ribu rupiah per hari. Namun, para pedagang 20 kios tersebut hanya menerima biaya harian selama 21 hari sebanyak Rp.700.000, tujuh ratus ribu rupiah yaitu 19 Desember 2012 sd 10 Januari 2013, selebihnya yaitu sampai dengan Maret 2013 para pedagang ini tidak lagi menerima uang harian tersebut. Sampai dengan 18 Maret 2013 dan lokasi berjualan mereka belum kunjung selesai juga dibangun di Jl. Pegadaian serta alas hukum yang belum jelas. Hal ini beradasarkan penuturan dari Bapak M. Hasrah Siregar yang kiosnya termasuk dihancurkan di awal menyatakan : “Awalnya 20 kios ini akan dijanjikan dengan ganti rugi Rp.50.000 per hari oleh pihak developer pengembang dan dibantu oleh kepengurusan masa itu. Alasan kami untuk meminta ganti rugi ya mau makan apa kami, belum lagi anak, istri kami, kalo cuman segitunya pendapatan kami. Maka dari itu, kami terima kios kami dihancurkan dengan catatan, apabila sampai dengan 21 hari kios kami belum selesai dan seluruh pedagang belum juga pindah maka ganti ruginya 10 kali lipat per hari jadi nya Rp. 500.000,- lima ratus ribu rupiah per hari. Logikanya kan gini gak mungkin kami bisa cari makan di pegadaian 20 kios ini sedangkan yang rame itu di masih di Lapangan Merdeka”. Wawancara, 16 Januari 2015. Pedagang yang 20 kiosnya dihancurkan mengadukan nasib mereka kepada pengurus, tetapi tidak di respon dengan baik. Pedagang dijanjikan oleh pengurus Universitas Sumatera Utara apabila dalam jangka waktu yang dekat tidak juga dibayar maka pedagang buku akan melakukan demonstrasi. Hal itu tidak kunjung terjadi, tuntutan ganti rugi pedagang buku berlalu begitu saja tanpa ada kejelasan dari pihak pengembang. Berdasarkan kejadian tersebut memicu pedagang buku untuk membuat organisasi baru, karena merasa aspirasi mereka sudah tidak di dengarkan lagi oleh pengurus ASPEBLAM. Awal pertemuan anggota yang tidak sepakat berawal di Taman Sri Deli dengan diam-diam tanpa diketahui oleh pengurus ASPEBLAM. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Bapak Didi Siswanto yang mengatakan bahwa : “Pengurus aspeblam ini udah gak betul, karena udah melanggar kesepakatan yang ada di aspeblam itu. Berarti ini ada udang di balik peyek kan gitu istilahnya kan pada saat itulah kami dan kawan-kawan yang tidak sepaham dengan aspeblam mengadakan pertemuan di Taman Sri Deli dengan tujuan membicarakan ketidaksetujuan kami dengan keputusan ASPEBLAM tadi. Itulah awal mulanya terbentuk Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka P2BLM”. Wawancara, Januari 2015. Kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan Balridge sebagai fase pragerakan premovement stage. Pedagang buku sebagai individu merasakan adanya tekanan sruktur dari Pemko Medan dan dari pengurus ASPEBLAM agar segera setuju untuk di relokasi. Fase pragerakan ditandai dengan berkumpulnya beberapa pedagang yang memiliki minat yang sama untuk berkumpul, yang merasakan kebencian, diskriminasi dan membentuk organisasi P2BLM sebagai awal gerakan. Terdapat dua penyebab terbentuknya Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka yaitu : 1 Kecewa dengan kebijakan pengurus Aspeblam yang menyetujui relokasi ke Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, serta mengingkari hasil rapat di Prapat. Universitas Sumatera Utara 2 Anggota menganggap pengurus tidak bertanggung jawab atas ganti rugi terhadap penghancuran 20 kios awal yang diperuntukkan untuk pondasi awal sky bridge. 3 Anggota pedagang buku ingin tetap berjualan di sisi timur Lapangan Merdeka Kondisi ini di pertegas dengan pernyataan Ibu Isdawati yang mengatakan kecewa terhadap pengurus ASPEBLAM dan tidak ada tanggung jawab dari pengurus untuk mengakomodir suara anggota pedagang buku. Berikut kutipan pernyataan beliau : “Pengurus selalu mengambil keputusan sendiri, tidak ada kompromi dengan anggota. Pengurus semacam punya ambisi dan membodohi anggota yang lainnya. Seharusnya setiap dia ketemu dengan siapapun kalo mengambil suatu keputusan dan lain-lain mereka tidak berhak mengambil keputusan sendiri harus melalui keputusan anggota kalau sudah keputusan anggota kan berarti keputusan yang akurat ketidakcocokan pemikiran. Karena kita kan organisasi, itu yang membuat kita pecah, karena sebenarnya yang anggota mau bagaimana organisasi ini berjalan dengan prosedur yang ada tanpa ada embel-embel dan maksud tertentu. Karena ada keganjalan-keganjalan dalam organisasi itu maka kami memisahkan diri. Karena kita positif kalau kita lihat pengurus keluar jalur kita lebih bagus membangun organisasi yang baru dari hati ke hati bukan dari ambisi. Tidak ada kecocokan pengurus dan anggota lainnya. Dibentuknya P2BLM itu adalah wadah yang betul-betul menjalankan wadah organisasi itu yang sebenarnya. ” Wawancara, 17 Januari 2015.

4.5 Tindakan Diskriminasi Penghancuran Kios Terhadap Pedagang Buku

Pada hari Kamis, tanggal 19 September 2013 telah terjadi peristiwa pengrusakan dan pengancaman intimidasi yang diduga dilakukan oleh Supriadi dan kawan-kawan yang mengaku di suruh Pemko Medan. Oknum yang mengklaim di suruh oleh Pemko Medan ini membawa martil, cangkul dan Universitas Sumatera Utara sejumlah alat berat lainnya. Pada hari itu pedagang buku seperti biasa sedang membuka aktifitas transaksi jual beli buku di sisi timur Lapangan Merdeka. Saat pedagang buku memulai usaha mereka, terdapat sekelompok orang yang bernama Supriadi dengan membawa cangkul, martil dan alat berat lainnya masuk ke lokasi kios pedagang buku. Pedagang pada saat itu mengira bahwa mereka adalah pekerja proyek bangunan sky bridge yang lokasinya bersebelahan dengan kios pedagang buku. Sekitar pukul 11.36 wib, tiba-tiba Supriadi menyuruh kawan-kawan merusak salah satu kios pedagang buku, dimana peristiwa pengrusakan tersebut membuat para pedagang terkejut dan panik lalu beramai-ramai mendatangi salah satu kios yang dirusak tersebut, sehingga sejumlah orang yang diperintah oleh Supriadi tersebut berhenti menghancuri kios. Para pedagang menanyakan kenapa kalian supriadi dan kawan-kawan merusak kios, lantas di jawab para perusak tersebut bahwa mereka melakukan pengrusakan karena disuruh oleh Supriadi dan mereka juga menyampaikan bahwa Supriadi sebagai kordinator lapangan yang memberi perintah untuk menghancurkan kios. Para pedagang yang tergabung dalam Persatuan Pedagang Lapangan Merdeka P2BLM menemui Supriadi yang juga berada di tempat kejadian perkara dan mengatakan kenapa danatau apa dasar kalian untuk merusak kios pedagang buku, lalu dijawab Supriadi atas dasar perintah Pemko, lalu kembali di tanya salah seorang pedagang kalau memang benar ini atas dasar suruhan Pemko mana bukti surat perintah tugas untuk menghancurkan kios ini, Supriadi tidak bisa menjawab. Para pedagang kemudian meminta kepada Supriadi dan kawan – kawan supaya menghentikan pengrusakan. Universitas Sumatera Utara Sekitar pukul 12.10 wib, Supriadi dan kawan-kawan selanjutnya mengambil posisi mundur dan mengehentikan aksi penghancuran kios milik Yuan Pasaribu, begitupun dikarenakan sikap yang sangat tidak manusiawi melakukan pengrusakan yang dilakukan para perusak menimbulkan perasaan yang sama dari para pedagang untuk mempertahan hak untuk mencari kehidupannya, dan selanjutnya para pedagang tetap mengawasi serta berjaga untuk menghindari aksi pengrusakan susulan. Sekitar Pukul 14.17 wib, Supriadi dan kawan - kawan kembali melakukan penghancuran salah satu kios, hingga membuat para pedagang secara spontan mendatangi dan menghadang lalu meminta kepada Supriadi dan kawan-kawan agar supaya menghentikan pengrusakan, lalu salah seorang suruhan Supriadi memerintahkan kepada kawan-kawanya untuk masuk ke dalam proyek yang bersebelahan dengan kios para pedagang buku bekas Lapangan Merdeka Medan. Terjadi bentrok dengan aksi saling dorong antara pedagang buku dengan oknum yang mengaku dari Pemko Medan. Kejadian tersebut beradasarkan pernyataan Fadli Syahputra : “Pada saat itu pihak Kontraktor pernah melakukan memanggil orang bayaran untuk menghancurkan atau mengahantam kami pedagang P2BLM. Itu dengan turunya sekian ratus orang yang di fasilitasi sama pihak Kontraktor dengan menggunakan jasa tukang batu untuk memasuki lahan dan menghancurkan kios. Itu sempat terjadi kontak dengan pedagang. Kami mennyikapinya secara spontanitas aja. Cara masuk orang itu pun tidak diketahui sama pedagang. Orang itu gak sekalian datang banyak, satu- satu, ya kita pikir mereka itu pekerja yang udah diambil lahan ama pengembang itu 17,5 meter. P2BLM ini tidak mau memulai, walaupun pun sudah dicurigai, tapi dibilang waktu itu ama ketua kita belum ada tindakan jangan pernah membuat tindakan. Kita sabar, lalu tiba-tiba banyak berani mereka hancurkan kios, udah ada satu itu yang dipukul mereka kek, martil, linggis, godam, ketauan sama Universitas Sumatera Utara pedagang ya ributlah. Menjerit pedagang, kumpul semua pedagang, bentrok belum sempat puku-pukulan cuman tolak-tolakan aja, gak lama itu datang pihak kepolisian medan barat di tengahi sama mereka yang sedikit beratnya ke kontraktor”. Wawancara, Januari 2015 Berdasarkan kejadian tersebut pedagang buku membuat laporan pengaduan ke pihak kepolisian. Pihak pelapor sebagai korban pengancaman dan pengrusakan kios pedagang buku yang tergabung dalam Pesatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka P2BLM merupakan tempat korban berjualanberdagangjual beli buku untuk mencari nafkah. Bersama dengan Kuasa Hukum P2BLM yaitu, Taufik Umar Dhani, pedagang memberikan surat pengaduan laporan. Pedagang menyatakan bahwa mereka yang cenderung untuk diperiksa dan di proses. Pihak Kepolisian secara tidak langsung membela oknum pihak Pemko atau Kontraktor, Supriadi. Ini sesuai dengan yang dikatakan Bapak Sainan : “Kita yang melapor malah kita yang diperiksa sama pihak kepolisian dan penyidik, kita jumpa langsung dengan Polsek Medan Barat, sewaktu jaman Pak Nico. Malah kita yang diproses dan disidik. Nah pada saat itu untungnya kita membawa tim advokasi kita yaitu bang Taufik Umar Dhani. Nah, diliiatnya pembicaraan itu sudah tidak mengarah lagi kepada kita membuat pengaduan, malah kita yang di proses, dihentikan Dia terus. Awalnya kan kita mau ngadu kios kita di rusak, lama-lama kenapa kita yang disidik, kita langsung keluar dan gak mau lagi kami buat surat laporan lagi. Nah, disitu kan nampak bahwa pihak kepolisian membantu pihak pengembang”. Wawancara, Januari 2015

4.6 Awal Membangun Gerakan

Pada fase ini sesuai dengan apa yang dikatakan Baldrige sebagai fase membangun gerakan movement building stage yaitu, dimana pengorganisasian gerakan dikumpulkan untuk mempunyai maksud dan tujuan. Perumusan strategi aksi dan membolisir massa diperlukan untuk langsung mengenai sasaran. Organisasi pedagang awalnya terbentuk adalah berdasarkan berkumpulnya Universitas Sumatera Utara mereka yang memiliki tujuan yang sama dan bukanlah organisasi formal berlandaskan perjuangan. Hal ini seperti apa yang dikatakan Koordinator Kontras “Oleh karena itu, langkah yang kita bangun pertama adalah, membenahi organisasi pedagang dari organisasi STM serikat tolong menolong bahasa saya itu kemudian menjadi satu organisasi perjuangan” Wawancara, Januari 2015 Organisasi pedagang yang awalnya tidak memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADRT kini memiliki hal tersebut. Ini bertujuan untuk mengubah organisasi pedagang buku ke arah yang lebih formal. Inilah yang dikatakan sebagai gerakan sosial karena pedagang awalnya tidak memiliki perencanaan yang matang. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perlawanan yang bermaksud untuk mengeliminasi perubahan sosial yang tidak dikehendaki. Digelarnya kegiatan diskusi rutin antara pedagang dan Kontras untuk menentukan arah organisasi mengenai permasalahan relokasi sebagai perilaku yang terstruktur. Mulai menentukan pemimpin organisasi dan strukur badan pengurus organisasi P2BLM. Gerakan perlawanan pedagang memiliki tujuan untuk mempertahankan hak-hak hidup mereka yaitu berjualan di sisi Timur Lapangan Merdeka. Pedagang melakukan perlawanan karena terancam hak-hak untuk hidup, menghalangi usaha mereka berjualan untuk meningkatkan taraf hidup serta menolak perubahan yaitu untuk di relokasi. Perlawanan ini melalui pendekatan gerakan yaitu, antara ekonomi politik, dan pedekatan moral ekonomi. Hal ini berdasarkan perhitungan untung dan rugi pedagang melakukan perlawanan mempertahankan berjualan buku. Dari pendekatan moral ekonomi ditandai dengan dilakukan adalah reaksi dari komunitas pedagang buku bekas untuk Universitas Sumatera Utara mendapatkan eksistensi pedagang buku, mendapatkan perhatian publik serta mendapatkan ruang untuk tetap bertahan hidup. Pedagang buku memiliki beberapa tuntutan terhadap Pemko Medan yaitu, Pedagang buku bekas yang tergabung dalam P2BLM memiliki beberapa tuntutan terhadap Pemko Medan, yaitu : 1. Menolak Pemko Medan melakukan relokasi terhadap pedagang buku bekas lapangan merdeka, dan menuntut Pemko Medan untuk melakukan Revitalisasi. 2. Membatalkan Keputusan Walikota Medan Nomor: 511.31982 K2012 tentang Penetapan Lokasi Pemindahan Pedagang Buku dari Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan Ke Lokasi Jalan Pegadaianan, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun Milik P.T. Kereta Api Indonesia tertanggal 25 Oktober 2012. 3. Menghentikan Tahapan Pembangunan City Check In, Sky Bird, Dan City Card Bandara Internasional Kuala Namu Dengan Berdasarkan SK Walikota Medan Nomor: 511.31982 K2012 Tertanggal 25 Oktober 2012. 4. Mengembalikan Lokasi Peruntukan Yang Sebenarnya Atas Pembangunan City Check In, Sky Bridge, Dan City Card Bandara Internasional Kuala Namu diatas lahan Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Medan Pemko Medan Di Jalan Jawa Medan. 5. Menghentikan Tindakan Diskriminasi dan Perbuatan Melawan Hukum yang telah diduga diperbuat atau dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan dengan sengaja menerbitkan suatu Surat Keputusan Walikota Medan Nomor: 511.31982 K2012 tentang Penetapan Lokasi Pemindahan Universitas Sumatera Utara Pedagang Buku dari Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan Ke Lokasi Jalan Pegadaianan, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun Milik P.T. Kereta Api Indonesia tertanggal 25 Oktober 2012.

4.7 Perlawanan Secara Terang-Terangan

Gerakan perlawanan ini ditafsirkan sebagai perlawanan secara langsung dan terbuka yang ditujukkan kepada pihak Pemko Medan. Keberanian pedagang buku bekas untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan merupakan akumulasi kekecewaan ketika tuntutan mereka tidak diakomodir dengan baik oleh pemerintah. Pedagang berani melakukan tindakan perlawanan dikarenakan yakin tidak menyalahi aturan dan di advokasi oleh Kontras yang di dukung oleh kelompok elemen masyarakat. Perlawanan ini ditujukan semata-mata kepada Pemko Medan bukan ditujukan kepada ASPEBLAM. Gerakan perlawanan yang dilakukan secara terbuka ini untuk menyampaikan aspirasi pedagang buku untuk diikutsertakan berpartisipasi dalam penyusunan konsep penataan pedagang buku. Perlawanan terbuka pedagang buku ini sesuai dengan apa yang di kategorikan Scott sebagai perlawanan terbuka. Hal ini dilihat dengan membenahi organisasi pedagang buku itu sendiri yang diprakarsai oleh Kontras, rutin melakukan diskusi, melakukan konsolidasi sesama pedagang yang mengalami perasaan senasib sepenanggungan yang bersifat melawan secara terbuka. Perlawanan ini memiliki prinsip sekali berjuang harus menang, tanpa pamrih, karena meninggalkan usaha jual buku demi melakukan perjuangan mendapatkan hak-hak mereka. Bersifat konfrontatif untuk mencapai tujuan secara revolusioner Universitas Sumatera Utara dengan melakukan aksi terbuka secara terus menerus yang bertujuan untuk menghilangkan budaya top-down dan menganggap bahwa Pemko Medan serta pedagang harus bersatu mewujudkan pemerintahan yang adil. Perlawanan secara terang-terangan ini dimulai dengan, menolak relokasi, melakukan demonstrasi dan menerobos masuk gedung DPRD.

4.7.1. Menolak Relokasi