Perkembangan Industri Rokok HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Industri Rokok

Industri rokok di Indonesia telah menjadi kisah panjang tentang jatuh bangun usaha sekelompok manusia dalam memanfaatkan tanaman tembakau. Popularitas rokok di wilayah Kudus yang pada awalnya beredar di kalangan masyarakat bawah pada akhirnya berkembang pesat menjadi satu jaringan industri besar yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja untuk memproduksi rokok, dan bahkan dewasa ini peranan industri rokok sangat berpengaruh dalam menunjang perekonomian negara Subangun dan Tanuwidjojo, 1993. Industri rokok merupakan salah satu industri pengolahan tembakau. Industri pengolahan tembakau mencakup usaha pengeringan daun tembakau, pembuatan rokok yang mengandung cengkeh bunga cengkeh, daun cengkeh, dan aroma cengkeh, rokok putih, cerutu, rokok kelembak menyan, dan rokok klobot. Berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang dari Biro Pusat statistik BPS, pada tahun 1981 industri rokok hanya dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu industri rokok kretek dan industri rokok putih. Mulai tahun 1990, industri rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi dua bagian, yaitu industri rokok kretek yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan SKT dan Sigaret Kretek Mesin SKM, serta industri rokok lainnya yang terdiri dari rokok kelembak menyan, rokok klobot, dan cerutu. Industri rokok di Indonesia memiliki lembaga asosiasi, yaitu Gappri Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia dan Gaprindo Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia. Industri rokok kretek menguasai 87 persen dari total produksi industri rokok. Pembuatan rokok kretek menggunakan tembakau rakyat yang dicampur dengan cengkeh, saus, dan bumbu rokok lainnya. Industri rokok putih memiliki pangsa pasar sebasar 13 persen yang dibuat dengan menggunakan tembakau Virginia tanpa menggunakan cengkeh. Pembuatan rokok putih menggunakan mesin dan disebut dengan Sigaret Putih Mesin SPM. Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981 sampai 2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Perkembangan produksi industri rokok pada kurun waktu tersebut cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Secara rata-rata berdasarkan jenis hasil tembakau yang paling tinggi adalah SKM, yaitu sebesar 11,08 persen. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah SPM, yaitu sebesar 6,7 persen dan diikuti oleh SKT sebesar 4,19 persen. Secara keseluruhan, produksi rokok untuk semua jenis dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Total Produksi dan Nilai Industri Rokok Tahun SKM SKT SPM TOTAL juta batang Nilai juta Rp 1992 80.269 40.029 34.382 156.400 6.634.392 1993 85.958 50.659 34.757 171.967 7.552.242 1994 97.410 60.646 36.421 195.038 9.509.571 1995 109.529 67.313 38.768 216.236 11.344.870 1996 117.734 68.690 45.597 232.663 13.279.731 1997 133.917 58.273 27.204 220.033 14.908.541 1998 135.488 68.960 64.922 269.848 22.087.077 1999 128.823 65.106 59.602 254.168 30.321.613 2000 116.597 77.880 46.727 241.920 33.019.811 2001 111.224 65.024 48.103 224.965 54.768.481 2002 102.649 60.010 44.394 207.621 51.901.026 Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, BPS Tahun 1997 total produksi rokok mengalami penurunan, karena pada saat itu merupakan awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Karenanya, perusahaan- perusahaan rokok menurunkan kapasitas produksinya. Industri rokok mulai melakukan penyesuaian akibat dampak dari awal krisis ekonomi pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 1998, total produksi rokok kembali meningkat dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar dengan nilai sebesar Rp. 22,09 triliun. Industri rokok melakukan efisiensi produksi dengan berkonsentrasi pada produksi rokok SKM dan SPM yang padat modal daripada produksi rokok jenis SKT yang padat karya. Industri rokok memberikan kontribusi yang penting bagi perekonomian dari sisi cukai, tenaga kerja, pertanian, maupun pajak-pajak lainnya. Namun, keberadaan rokok ilegal yang semakin marak belakangan ini jelas sangat merugikan negara, konsumen, industri rokok, pekerja rokok, bahkan hingga petani tembakau dan industri pendukung lainnya seperti kertas, cengkeh, dan percetakan. Keberadaan rokok ilegal dapat mengganggu eksistensi industri rokok legal yang sudah ada, baik berskala kecil, menengah, maupun besar. Keberadaan rokok ilegal juga mengancam kelangsungan hidup tenaga kerja pabrik rokok dan berdampak pada penurunan produksi rokok legal. Ada tiga jenis rokok yang disebut ilegal. Pertama, rokok yang tidak menggunakan pita cukai. Kedua, rokok yang menggunakan cukai palsu, dan ketiga rokok yang menggunakan pita cukai bukan peruntukannya. Pemerintah merupakan pihak yang paling dirugikan dengan beredarnya rokok ilegal karena seharusnya pemerintah mendapat tambahan dana triliunan rupiah dari pemasukan penerimaan cukai. Jumlah pabrik rokok ilegal sangat sulit untuk diprediksi. Menurut perkiraan, jumlah pabrik rokok ilegal mencapai 5 sampai 10 persen dari industri rokok legal. Ada juga yang memperkirakan jumlah rokok ilegal mencapai dua kali lipat dari jumlah pabrik rokok legal. Menurut Departemen Perindustrian, terdapat sekitar 2600 industri rokok legal yang terdaftar. Aspek legal industri rokok diatur dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan, kandungan kadar nikoton dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, dan penetapan kawasan tanpa rokok. Sejak tahun 2005, World Health Organization WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia menerapkan konvensi Framework Convention on Tobacco Control FCTC menjadi hokum internasional. Di ASEAN, Indonesia adalah negara yang satu-satunya belum meratifikasi FCTC. Oleh karena itu, Indonesia menjadi sasaran investasi industri rokok. Tujuan dari FCTC adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap gangguan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi akibat konsumsi tembakau dan paparan asapnya. FCTC menyediakan kerangka upaya pengendalian tembakau untuk dilaksanakan semua pihak di tingkat nasional, regional, dan internasional dengan tujuan mengurangi konsumsi tembakau. Salah satu caranya adalah melalui peningkatan tarif cukai rokok dan larangan iklan di media massa. Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1997 tentang Cukai, batas tarif tertinggi yang boleh dikenakan terhadap barang kena cukai adalah sebesar 55 persen, tetapi tarif cukai rokok yang terjadi di pasar masih sebesar 40 persen. Sementara isi rekomendasi FCTC menerapkan tarif cukai minimum sebesar 23 atau 65 persen dari harga jual eceran rokok. Tarif cukai rokok yang berlaku di Indonesia merupakan yang paling rendah di dunia setelah Kamboja. Di Thailand, tarif cukai rokok mencapai 60 persen, India 70 persen, sementara Nepal, Maldives, dan Myanmar 75 persen. Dalam jangka panjang, langkah yang ditempuh untuk mengurangi konsumsi tembakau adalah melalui larangan iklan rokok. Pada tahun 2008, semua produk rokok tidak diizinkan beriklan dalam bentuk apapun.

4.2. Hasil Pengujian Ekonometrik