makro maupun sisi mikro. Faktor mikro yang dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau misalnya adalah faktor produksi rokok
seperti jumlah bahan baku, pemakaian tenaga kerja, upah buruh rokok dan harga jual eceran rokok, sedangkan asumsi makro yang digunakan dalam
memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product GDP,
nilai tukar, konsumsi, dan dummy krisis.
2.3.1. Gross Domestic Product GDP
GDP adalah ukuran keluaran total yang mencerminkan jumlah semua nilai tambah yang ada dalam suatu sistem ekonomi. Besarannya merupakan ukuran
semua keluaran akhir yang diproduksi oleh semua aktivitas produktif di dalam sistem ekonomi tersebut Lipsey, Courant, Purvis, dan Steiner, 1995. GDP dapat
dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. GDP pada sisi pengeluaran merupakan suatu jenis perhitungan GDP
yang dilakukan dengan menjumlahkan pengeluaran total setiap komponen utama keluaran final. Pengeluaran total pada keluaran final merupakan jumlah dari
empat kategori pengeluaran yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor netto. GDP dari sisi pendapatan adalah jumlah berbagai pendapatan
faktor yang dihasilkan pada proses memproduksi keluaran akhir ditambah pajak tidak langsung netto subsidi ditambah dengan penyusutan Lipsey et al, 1995.
Besarnya GDP dapat digambarkan sebagai ukuran total output yang diproduksi oleh semua aktifitas ekonomi, maka perubahan GDP dapat
mempengaruhi penerimaan pemerintah. Ketika jumlah produksi secara toal berubah, termasuk produksi rokok, maka penerimaan pemerintah dari cukai hasil
tembakau juga akan berubah. Besarnya produksi rokok tahunan dapat dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai. Jika produksi rokok meningkat, maka
pemesanan pita cukai juga akan meningkat dan akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok.
2.3.2. Nilai Tukar
Nilai tukar atau kurs dapat dibedakan menjadi dua yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan
yang dimaksud dengan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara Mankiw, 2000. Sistem pokok nilai valuta asing dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang. Pembedaan ini berdasarkan besar cadangan devisa dan intervensi bank sentral yang diperlukan
untuk mempertahankan kurs pada sistem tersebut. Sebelum krisis ekonomi yang diawali dengan krisis nilai tukar, Indonesia
menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Ketika sistem ini semakin sulit dipertahankan, otoritas moneter mengubah sistem nilai tukar menjadi sistem
nilai tukar mengambang bebas. Nilai tukar yang terapresiasi atau terdepresiasi dapat mempengaruhi
penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Perubahan dalam nilai tukar tersebut akan menyebabkan perubahan harga-harga. Karena perubahan harga-harga
tersebut maka biaya produksi dan jumlah konsumsi juga berubah. Hal ini akan menyebabkan kapasitas produksi dari perusahaan rokok juga akan berubah dan
akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan berubah.
2.3.3. Konsumsi