diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk setiap satuan barang kena cukai dengan besarnya volume penjualan barang kena cukai
Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003.
2.2.1. Cukai Hasil Tembakau
Cukai hasil tembakau adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,
tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia dimulai sejak tahun 1932 di mana pemerintah masih
menggunakan kebijaksanaan induk warisan pemerintah Hindia Belanda sebagai landasan hukum pungutan yaitu Ordonansi Cukai Tembakau 1932. Pada saat itu,
cukai tembakau sama untuk semua jenis hasil tembakau yaitu sebesar 20 persen. Namun, sejak tahun 1936 tarif cukai hasil tembakau mulai dibedakan berdasarkan
jenis produknya, yaitu: 1.
30 persen untuk semua sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris
2. 20 persen untuk sigaret yang dibuat dengan tangan
3. 30 persen untuk tembakau iris rajangan
4. 20 persen untuk cerutu, klembak menyan dan hasil tembakau lainnya.
Kebijakan cukai yang menarik saat itu yakni melarang pemasukan hasil tembakau buatan luar negeri yang dimasukkan ke dalam daerah pabean
Indonesia dalam upaya mengamankan dan meningkatkan produksi hasil-hasil tembakau dalam negeri kecuali untuk para anggota perwakilan negara asing untuk
dipakai sendiri dan untuk hal tersebut masih terbatas jumlahnya. Namun
kemudian tahun 1968, hasil tembakau buatan luar negeri diperbolehkan masuk asalkan membayar cukai serta pajak lainnya dan ini berlangsung hingga sekarang.
2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Tarif cukai rokok digolongkan berdasarkan produksi tahunan dan jenis rokok yang diproduksi. Terdapat tiga macam jenis rokok di Indonesia, yaitu
Sigaret Kretek Mesin SKM atau rokok kretek yang menggunakan filter, Sigaret Kretek Tangan SKT atau rokok kretek tanpa filter, dan Sigaret Putih Mesin
SPM atau rokok putih. Sedangkan, produksi rokok tahunan dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai rokok, yang terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
1. Golongan I atau produsen berskala besar adalah produsen yang memiliki
produksi tahunan lebih dari dua miliar batang per tahun. 2.
Golongan II atau produsen skala medium adalah untuk produsen yang memiliki produksi tahunan 500 juta batang hingga dua miliar batang per
tahun. 3.
Golongan III atau produsen berskala kecil adalah produsen yang memproduksi kurang dari 500 juta batang per tahun.
Sesuai dengan golongan produksi tahunan yang dimiliki, tarif cukai rokok yang diberlakukan juga berbeda. Sebagai contoh pada tahun 2003 untuk golongan
I jenis SKM dan SPM, masing-masing dikenai cukai sebesar 40 persen. Adapun untuk golongan II jenis yang sama dikenai tarif cukai sebesar 36 persen. Untuk
SKT dikenai tarif cukai yang lebih rendah, di mana untuk golongan I sebesar 22 persen dan 16 persen untuk golongan II Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003
Menurut Tjahjaprijadi dan Indarto 2003, tarif cukai rokok yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat majemuk, artinya besarnya tarif cukai
dibedakan berdasarkan tiga hal, yaitu: 1.
Proses produksi; dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya
2. Besar kecilnya volume penjualan strata volume; kemampuan produksi
maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi
3. Harga jual eceran strata harga; penetapan harga jual eceran ditentukan
berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok.
2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran HJE