Pajak Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Pajak

Pajak adalah pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pemungutan berdasarkan undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang dapat langsung ditunjukkan penggunaannya Mangkoesoebroto, 1995. Pajak dapat dibagi dua, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya diderita oleh wajib pajak atau orang yang dimaksud dalam undang- undang, contohnya Pajak Penghasilan PPh, Pajak Bumi dan Bangunan PBB, pajak kekayaan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya diharapkan akan ditanggung konsumen, contohnya pajak penjualan, Pajak Pertambahan Nilai PPN, cukai, dan lain-lain.

2.2. Cukai

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu atau pungutan negara terhadap Barang Kena Cukai BKC. Sedangkan yang dimaksud dengan BKC adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Barang kena cukai terdiri dari tiga jenis yaitu: 1. Etil Alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya; etil alkohol adalah barang cair, jernih, dengan rumus kimia C2H5OH yang diperoleh baik secara peragian danatau penyulingan maupun sintesa kimiawi 2. Minuman yang mengandung etil alkohol MMEA dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol; sabagai contoh bir, shandy, anggur, dan lain-lain. MMEA adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman dan mengandung etil alkohol, sedangkan konsentrat yang mengandung etil alkohol adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol 3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai DJBC merencanakan untuk memperluas obyek barang kena cukai, berkaitan dengan semakin berat beban anggaran dan pendapatan negara untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka kesinambungan pembangunan. Sehubungan dengan rencana perluasan obyek cukai tersebut DJBC telah mengadakan kajian atas dua belas obyek yang dianggap layak dikenakan cukai yaitu minuman ringan, semen, sabun, detergen, air mineral, sodium cyclamate dan sacharine, gas alam, methanol , ban, kayu lapis, bahan bakar minyak, dan batere kering. Tujuan kebijakan pemerintah di bidang cukai adalah menjamin keamanan penerimaan cukai, mengontrol dan membatasi tingkat konsumsi serta menciptakan keadilan, dan iklim usaha yang sehat. Sasaran kebijakan cukai adalah berupaya menghasilkan penerimaan cukai secara optimal dan mencapai target, menciptakan dan mempertahankan kesempatan kerja, menciptakan dan membina iklim persaingan yang sehat dan kepastian berusaha serta melindungi dan membina industri khususnya berskala kecil dalam negeri Surjono, 2004. Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan dua cara, yaitu: 1. Tarif ad valorem, dimana cukai dikenakan dengan cara menetapkan besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai. 2. Tarif nominal, dimana cukai dikenakan dengan menetapkan besaran rupiah terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti Rpbatang dan Rpliter. Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase atau tarif nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah. Pada sistem ad varolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan Harga Jual Eceran HJE dan besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan tersebut, maka dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai yaitu perkalian antara prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya volume penjualan. Sedangkan pada sistem tarif nominal, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai hanya ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya volume penjualan. Dengan variabel volume penjualan tersebut, maka penerimaan cukai dapat diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk setiap satuan barang kena cukai dengan besarnya volume penjualan barang kena cukai Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003.

2.2.1. Cukai Hasil Tembakau

Cukai hasil tembakau adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia dimulai sejak tahun 1932 di mana pemerintah masih menggunakan kebijaksanaan induk warisan pemerintah Hindia Belanda sebagai landasan hukum pungutan yaitu Ordonansi Cukai Tembakau 1932. Pada saat itu, cukai tembakau sama untuk semua jenis hasil tembakau yaitu sebesar 20 persen. Namun, sejak tahun 1936 tarif cukai hasil tembakau mulai dibedakan berdasarkan jenis produknya, yaitu: 1. 30 persen untuk semua sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris 2. 20 persen untuk sigaret yang dibuat dengan tangan 3. 30 persen untuk tembakau iris rajangan 4. 20 persen untuk cerutu, klembak menyan dan hasil tembakau lainnya. Kebijakan cukai yang menarik saat itu yakni melarang pemasukan hasil tembakau buatan luar negeri yang dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia dalam upaya mengamankan dan meningkatkan produksi hasil-hasil tembakau dalam negeri kecuali untuk para anggota perwakilan negara asing untuk dipakai sendiri dan untuk hal tersebut masih terbatas jumlahnya. Namun kemudian tahun 1968, hasil tembakau buatan luar negeri diperbolehkan masuk asalkan membayar cukai serta pajak lainnya dan ini berlangsung hingga sekarang.

2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Tarif cukai rokok digolongkan berdasarkan produksi tahunan dan jenis rokok yang diproduksi. Terdapat tiga macam jenis rokok di Indonesia, yaitu Sigaret Kretek Mesin SKM atau rokok kretek yang menggunakan filter, Sigaret Kretek Tangan SKT atau rokok kretek tanpa filter, dan Sigaret Putih Mesin SPM atau rokok putih. Sedangkan, produksi rokok tahunan dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai rokok, yang terbagi dalam tiga golongan, yaitu: 1. Golongan I atau produsen berskala besar adalah produsen yang memiliki produksi tahunan lebih dari dua miliar batang per tahun. 2. Golongan II atau produsen skala medium adalah untuk produsen yang memiliki produksi tahunan 500 juta batang hingga dua miliar batang per tahun. 3. Golongan III atau produsen berskala kecil adalah produsen yang memproduksi kurang dari 500 juta batang per tahun. Sesuai dengan golongan produksi tahunan yang dimiliki, tarif cukai rokok yang diberlakukan juga berbeda. Sebagai contoh pada tahun 2003 untuk golongan I jenis SKM dan SPM, masing-masing dikenai cukai sebesar 40 persen. Adapun untuk golongan II jenis yang sama dikenai tarif cukai sebesar 36 persen. Untuk SKT dikenai tarif cukai yang lebih rendah, di mana untuk golongan I sebesar 22 persen dan 16 persen untuk golongan II Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003 Menurut Tjahjaprijadi dan Indarto 2003, tarif cukai rokok yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat majemuk, artinya besarnya tarif cukai dibedakan berdasarkan tiga hal, yaitu: 1. Proses produksi; dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya 2. Besar kecilnya volume penjualan strata volume; kemampuan produksi maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi 3. Harga jual eceran strata harga; penetapan harga jual eceran ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok.

2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran HJE

Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas maksimal dan minimal yang dihasilkan oleh suatu industri rokok yang dapat dijual ke masyarakat, yang ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003. Harga jual eceran juga mencakup harga pokok serta keuntungan produsen, distributor, dan penjual eceran, sebagai tambahan pada cukai dan PPN. Pemerintah juga menetapkan HJE minimum berdasarkan jenis rokok serta golongan produsen rokok. Berdasarkan jenis rokok yang diproduksi, tarif cukai rokok SKT adalah yang paling rendah dibandingkan dengan jenis rokok SKM dan SPM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1. Struktur Tarif Cukai dan HJE Minimum Rokok di Indonesia Tarif Cukai HJE minimum HJE Minimum Rpbatang Skala Perusahaan Rokok yang Dijual batangtahun SKT SKM SPM SKT SKM SPM Besar 2 miliar 22 40 40 340 400 270 Sedang 500 juta - 2 miliar 16 36 36 280 330 210 Kecil 500 juta 8 26 26 270 320 200 Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003 Besarnya tarif cukai dan harga jual eceran minimum akan semakin kecil seiring dengan semakin kecilnya skala usaha produksi rokok. Industri rokok dengan skala produksi lebih besar diberi beban pengenaan cukai lebih besar dibanding industri rokok yang lebih kecil. Contohnya untuk SKM golongan pada skala perusahaan besar, tarif cukai yang dikenakan sebesar 40 persen, pada skala perusahaan sedang, tarif cukai yang dikenakan sebesar 36 persen, dan tarif yang ditetapkan semakin kecil pada skala perusahaan kecil yaitu sebesar 26 persen. Adalah sangat relevan bahwa kemampuan untuk menghasilkan rokok yang lebih besar harus diikuti dengan pengenaan tarif cukai yang lebih tinggi agar penerimaan cukai bagi negara juga dapat lebih besar.

2.3. Faktor-Faktor Makro Yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah

dari Cukai Hasil Tembakau Bidang ekonomi secara tradisional dibagi dalam dua sub bidang luas, yaitu ekonomi mikro dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mengkaji bagaimana rumah tangga dan perusahaan membuat keputusan dan bagaimana mereka berinteraksi di pasar, sedangkan ekonomi makro mengkaji fenomena perekonomian secara luas, seperti inflasi, pengangguran, GDP, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dapat dipengaruhi dari sisi makro maupun sisi mikro. Faktor mikro yang dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau misalnya adalah faktor produksi rokok seperti jumlah bahan baku, pemakaian tenaga kerja, upah buruh rokok dan harga jual eceran rokok, sedangkan asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product GDP, nilai tukar, konsumsi, dan dummy krisis.

2.3.1. Gross Domestic Product GDP

GDP adalah ukuran keluaran total yang mencerminkan jumlah semua nilai tambah yang ada dalam suatu sistem ekonomi. Besarannya merupakan ukuran semua keluaran akhir yang diproduksi oleh semua aktivitas produktif di dalam sistem ekonomi tersebut Lipsey, Courant, Purvis, dan Steiner, 1995. GDP dapat dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. GDP pada sisi pengeluaran merupakan suatu jenis perhitungan GDP yang dilakukan dengan menjumlahkan pengeluaran total setiap komponen utama keluaran final. Pengeluaran total pada keluaran final merupakan jumlah dari empat kategori pengeluaran yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor netto. GDP dari sisi pendapatan adalah jumlah berbagai pendapatan faktor yang dihasilkan pada proses memproduksi keluaran akhir ditambah pajak tidak langsung netto subsidi ditambah dengan penyusutan Lipsey et al, 1995. Besarnya GDP dapat digambarkan sebagai ukuran total output yang diproduksi oleh semua aktifitas ekonomi, maka perubahan GDP dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah. Ketika jumlah produksi secara toal berubah, termasuk produksi rokok, maka penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan berubah. Besarnya produksi rokok tahunan dapat dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai. Jika produksi rokok meningkat, maka pemesanan pita cukai juga akan meningkat dan akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok.

2.3.2. Nilai Tukar

Nilai tukar atau kurs dapat dibedakan menjadi dua yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan yang dimaksud dengan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara Mankiw, 2000. Sistem pokok nilai valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang. Pembedaan ini berdasarkan besar cadangan devisa dan intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada sistem tersebut. Sebelum krisis ekonomi yang diawali dengan krisis nilai tukar, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Ketika sistem ini semakin sulit dipertahankan, otoritas moneter mengubah sistem nilai tukar menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas. Nilai tukar yang terapresiasi atau terdepresiasi dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Perubahan dalam nilai tukar tersebut akan menyebabkan perubahan harga-harga. Karena perubahan harga-harga tersebut maka biaya produksi dan jumlah konsumsi juga berubah. Hal ini akan menyebabkan kapasitas produksi dari perusahaan rokok juga akan berubah dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan berubah.

2.3.3. Konsumsi

Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu, barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa Mankiw, 2000. Produk hasil tembakau khususnya rokok termasuk barang tidak tahan lama karena rokok merupakan barang yang habis dipakai dalam waktu pendek. Menurut WHO, Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 miliar batang rokok setiap tahun setelah Cina 1.697 miliar batang, Amerika Serikat 480 miliar batang, Jepang 230 miliar batang, dan Rusia 230 miliar batang. Jumlah uang yang dibelanjakan penduduk Indonesia untuk tembakau 2,5 kali lipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan 3,2 kali lipat dari biaya kesehatan. Diperkirakan 4 persen rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi rokok. Rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi rokok cenderung meningkat lebih besar terjadi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan. Hal ini tentunya tidak lepas dari lebih besarnya tingkat pendapatan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi rokok di daerah perkotaan. Meskipun rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok di daerah pedesaan lebih kecil dibanding daerah perkotaan, namun tetap menunjukkan bahwa desa memiliki rata-rata pengeluaran terhadap konsumsi rokok yang terus meningkat setiap tahunnya. WHO menyatakan masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan dari insustri rokok karena menggunakan penghasilannya untuk membeli rokok yang justru membahayakan kesehatan. Bahkan di negara maju, jumlah perokok terbanyak berasal dari kelompok masyarakat miskin. Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mempengaruhi besarnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok yang mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan meningkatkan jumlah produksi yang artinya tingkat penawaran rokok meningkat dan akhirnya penerimaan cukai hasil tembakau juga akan meningkat. Sesuai dengan hukum penawaran dengan menganggap faktor lain konstan, kuantitas barang yang ditawarkan akan meningkat ketika harga barang meningkat karena adanya peningkatan permintaan barang. Hal ini juga didukung oleh teori Marshall mengenai keseimbangan permintan dan penawaran di pasar yang dapat dijelaskan pada Gambar 2 di bawah ini. Harga P Penawaran P Permintaan Q1 Q2 Kuantitas Q Gambar 2. Perpotongan Permintaan dan Penawaran Sebagai langkah awal, diasumsikan bahwa harga-harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Melalui mekanisme permintaan- penawaran ini terbentuk keseimbangan harga P pada tingkat dimana permintaan sama dengan penawaran Nicholson, 2002.

2.3.4. Variabel Dummy

Menurut Gujarati 2003, variabel dummy merupakan variabel penjelas yang bersifat kualitatif dalam analisis regresi. Variabel dummy disebut juga variabel biner atau variabel dikotomi karena hanya terdiri dari dua nilai. Dalam penelitian ini, variabel dummy yang digunakan adalah variabel dummy untuk kondisi perekonomian Indonesia, yaitu sebelum dan sesudah krisis ekonomi. Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan kondisi perekonomian secara makro. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan pasar dalam negeri dan juga kondisi industri-industri tidak stabil, termasuk kondisi industri rokok. Ketidakstabilan kondisi industri rokok ini dapat menyebabkan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga tidak stabil.

2.4. Penelitian Terdahulu

Roy 2004 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square OLS dengan menggunakan program Minitab for Windows. Hasil analisis menunjukkan selama periode 1984 sampai 2003, tingkat konsumsi rokok kretek nasional memiliki kecederungan meningkat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rokok kretek antara lain produksi rokok kretek, harga rokok kretek, kebijakan tarif cukai, dan peubah dummy peraturan pemerintah. Dari hasil analisis dilihat bahwa hanya peubah produksi rokok kretek yang memiliki pengaruh nyata dan arahnya positif dengan tingkat konsumsi. Keadaan ini membuat perusahaan rokok kretek Indonesia tidak merasa khawatir untuk memproduksi rokok karena konsumsi yang terus dilakukan seiring dengan adanya produksi. Sedangkan peubah harga rokok kretek dan tarif cukai tidak berpengaruh secara nyata dan arahnya adalah negatif. Pada dasarnya bila tarif cukai dinaikkan akan berimplikasi pada kenaikan harga rokok, karena tarif cukai merupakan pajak yang dibebankan pada konsumen yang dimasukkan pada harga jual eceran rokok. Untuk peubah dummy peraturan pemerintah tidak mengindikasikan adanya perbedaan antara tahun-tahun dikeluarkannya peraturan tersebut. Hal ini terjadi karena belum tersosialisasinya peraturan pemerintah tersebut kepada berbagai pihak dan perusahaan rokok belum merasa siap untuk melaksanakannya. Hasil analisis Putri 2004 tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pangsa pasar terbesar pada industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 2003 diperoleh nilai rasio konsentrasi CR4 sebesar 75,8 persen, yang berarti industri rokok kretek digolongkan ke dalam stuktur pasar oligapoli. Dalam analisis kinerja industri rokok kretek, perkembangan tingkat keuntungan PCM setiap tahunnya cenderung fluktuatif pada tahun tertentu, sedangkan perkembangan tingkat efisiensi internalnya X-eff cenderung tinggi setiap tahun, dan perkembangan tingkat utilitas kapasitas produksi CU setiap tahun cenderung stabil. Hasil analisis hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia, variabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan adalah CR4, efisiensi internal, dan skala ekonomis MES, sedangkan CU tidak memiliki pengaruh nyata. Dari ketiga varibel yang mempengaruhi PCM, efisiensi internal memiliki pengaruh nyata dan nilai koefisien yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan rokok kretek memiliki efisiensi internal yang berperan besar dalam mempengaruhi tingkat keuntungan.

2.5. Kerangka Pemikiran