meningkatkan jumlah produksinya penawaran rokok meningkat. Jumlah produksi rokok yang meningkat akan menyebabkan pemesanan pita cukai kepada
pemerintah meningkat sehingga penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga meningkat. Konsumsi rokok global terus meningkat signifikan sejak
tembakau diperkenalkan kepada dunia awal abad ke-20. Konsumsi rokok di Indonesia mendapat peringkat kelima tertinggi di dunia setelah Cina, Amerika
Serikat, Jepang, dan Rusia. Mayoritas perokok di Indonesia adalah dari kalangan masyarakat miskin. Survei Bappenas 1995 menunjukkan bahwa orang miskin
mengalokasikan 9 persen total pendapatannya untuk mengkonsumsi rokok. Berdasarkan kedua variabel di atas, variabel GDP memiliki pengaruh yang
lebih besar terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dari pada variabel konsumsi. Peningkatan GDP atau total produksi secara keseluruhan,
termasuk peningkatan produksi rokok akan secara langsung mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan
produksi rokok, maka pemesanan pita cukai kepada pemerintah juga akan meningkat dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga
akan meningkat.
4.3.3. Nilai Tukar
Variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan cukai hasil tembakau yang dapat dilihat dari nilai probabilitas variabel nilai tukar
yang sebesar 0,1663 lebih besar dari taraf nyata 10 persen α= 0,1. Hal ini
ternyata tidak sesuai dengan hipotesis awal pada penelitian. Melalui pengujian secara ekonomi, terdapat hubungan yang negatif antara nilai tukar dengan
penerimaan cukai hasil tembakau. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien nilai tukar sebesar -0,304153, yang artinya peningkatan nilai tukar rupiah terhadap
dolar rupiah terdepresiasi sebesar 1 persen akan menurunkan peneriman cukai hasil tembakau sebesar 0,304153 persen, asumsi cateris paribus. Tetapi estimasi
koefisien regresi pada variabel nilai tukar ini tidak dapat dilakukan karena berdasarkan uji statistik, varibel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Varibel nilai tukar yang tidak signifikan terhadap penerimaan pemerintah
dari cukai hasil tembakau dapat dijelaskan melalui kondisi seperti terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar menyebabkan harga-harga meningkat atau terjadi inflasi. Peningkatan harga- harga pada umumnya akan menyebabkan masyarakat untuk mengurangi
konsumsinya, tetapi hal ini tidak terjadi pada konsumsi rokok. Peningkatan harga tidak menyebabkan masyarakat untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok karena
produk rokok memiliki karakteristik yang cukup unik. Secara khas, rokok bersifat adiktif, yaitu jika seseorang mengkonsumsinya maka akan ada kecederungan
untuk menambah konsumsi dan sulit untuk mengubah kebiasaan konsumsinya. Faktor addiction inilah yang menyebabkan konsumsi rokok tidak dipengaruhi
oleh harga. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil
tembakau.
4.3.4. Dummy Krisis
Variabel dummy krisis tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan cukai rokok. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas variabel dummy krisis
yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen α= 0,1, yaitu sebesar 0,7177.
Berdasarkan hasil uji ekonomi, varibel dummy krisis memiliki pengaruh yang positif, artinya pada saat krisis penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau
justru mengalami peningkatan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa variabel dummy krisis memiliki pengaruh yang negatif.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan kondisi perekonomian secara makro dan industri-industri menjadi tidak stabil. Tetapi
industri rokok menunjukkan kondisi yang cukup dinamis sekalipun pada saat krisis. Jumlah produksi rokok cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Begitu
juga dengan perkembangan jumlah perusahaan dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang menunjukkan kondisi dinamis. Kondisi ini diakibatkan karena
adanya efisiensi internal yang dilakukan industri rokok dengan menekan biaya produksi dan lebih berkonsentrasi pada produksi rokok jenis Sigaret Kretek Mesin
SKM yang bersifat padat modal dibandingkan memproduksi Sigaret Kretek Tangan SKT yang lebih bersifat padat karya. Dengan berkonsentrasi pada
produksi rokok jenis SKM, perusahaan dapat menekan tuntutan para buruh rokok yang selalu menuntut kenaikan upah walaupun jam kerja mereka sama. Selain itu,
tarif cukai rokok jenis SKM adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan tarif cukai rokok jenis SKT dan SPM. Peningkatan produksi rokok jenis SKM yang
tarif cukainya yang paling tinggi di antara rokok jenis SKT dan SPM akan
menyebabkan penerimaan pemerintah meningkat. Oleh karena itu, pada saat krisis, ketika pabrik-pabrik rokok lebih berkonsentrasi pada produksi rokok jenis
SKM, maka penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau tidak mengalami
penurunan dan bahkan mengalami peningkatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN