Analisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG MEMPENGARUHI

PENERIMAAN PEMERINTAH DARI CUKAI HASIL TEMBAKAU

OLEH

SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

SRI BAHADURI M E TAMBUNAN. Analisis Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau (dibimbing oleh HENNY REINHARDT).

Penerimaan pemerintah dari sektor cukai memiliki kontribusi yang penting dalam perekonomian Indonesia. Penerimaan dari sektor cukai menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan dan digunakan untuk menutup defisit anggaran. Barang kena cukai yang paling banyak memberikan kontribusi kepada penerimaan negara adalah hasil tembakau, yaitu sekitar 95 persen.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Faktor-faktor makro yang digunakan dalam penelitian ini yang diduga mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi (diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok), dan dummy krisis.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa gabungan data

time series tahunan dari tahun 1992 sampai 2005 yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), International Finansial Statistic (IFS), dan beberapa jurnal dan literatur lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah

Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Eviews 4.1.

Hasil analisis dalam penelitian menunjukkan bahwa persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9785, artinya 97,85 persen variabel-variabel independen yaitu, GDP, nilai tukar, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, dan dummy krisis dapat menjelaskan variabel penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, sisanya sebesar 2,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Pada hasil uji t, variabel proporsi konsumsi rokok dan GDP signifikan mempengaruhi penerimaan cukai pada taraf nyata 10 persen, sedangkan untuk variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak signifikan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil pengujian ekonometrik yang meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas dapat disimpulkan bahwa model persamaan ini telah memenuhi asumsi Ordinary Least Squared (OLS) yaitu Best Linier Unbiassed Estimatior (BLUE).

Berdasarkan pengujian ekonomi, diketahui bahwa variabel GDP memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai hasil tembakau dengan nilai koefisien 0,72, artinya peningkatan GDP 1 persen akan meningkatkan


(3)

penerimaan cukai sebesar 0,72 persen dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Variabel konsumsi yang dalam penelitian ini diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai rokok dengan nilai koefisien sebesar 0,04, artinya peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar 0,04 persen, faktor lain diasumsikan konstan. Sedangkan variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan cukai rokok.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan penulis yaitu pemerintah harus dapat merangkul dan membina pengusaha rokok ilegal agar mau berusaha dengan benar. Karena penerimaan pemerintah akan semakin meningkat dan nyata jika rokok yang diproduksi oleh pengusaha-pengusaha rokok memesan pita cukai kepada pemerintah. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, karena harga rokok yang diproksi dari nilai tukar tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok, maka alternatif lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya dari cukai hasil tembakau adalah melalui peningkatan tarif cukai rokok.


(4)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG

MEMPENGARUHI PENERIMAAN PEMERINTAH DARI

CUKAI HASIL TEMBAKAU

OLEH

SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departeman Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh, Nama Mahasiswa : Sri Bahaduri M E Tambunan Nomor Registrasi Pokok : H14102011

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Makro yang

Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari

Cukai Hasil Tembakau

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajeman, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Henny Reinhardt, SP, M.Sc H IPB 041093

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 137846872 Tanggal Kelulusan:


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Agustus 2006

Sri Bahaduri M E Tambunan


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sri Bahaduri M E Tambunan lahir pada tanggal 7 Maret 1984 di Rantauprapat, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani. Jenjang pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Methodist II Rantauprapat pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri III Rantauprapat dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri II Rantauprapat dan lulus pada tahun 2002.

Pada tahun 2002, penulis meninggalkan kota Rantauprapat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan pada organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Hipotesa. Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa BBM dari semester 3 pada tahun 2003 sampai semester 8 pada tahun 2006.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Skripsi yang disusun penulis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau”.

Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau merupakan topik yang cukup menarik karena merupakan dilema bagi pemerintah dalam hal pengambilan kebijakan. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan negara dan di sisi lain menimbulkan dampak eksternalitas negatif. Selain dari pada itu, skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Ibu Henny Reinhardt, S.P., M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan membuka wawasan penulis.

2. Ibu Dr. Sri Mulatsih M.S sebagai dosen penguji utama yang telah memberi saran dan kritik.

3. Bapak Jainal M.A sebagai komisi pendidikan yang telah mengajarkan tata cara penulisan yang baik.

4. Kedua orang tua penulis, Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani serta Kakak penulis Febrina dan Adik penulis Boy Oscar dan keluarga besar penulis yang memberi semangat, doa dan kasih sayang.

5. Sahabat-sahabat penulis, KOMKES dan VOE yang telah mengisi hari-hari penulis dengan keceriaan

6. Teman-teman satu bimbingan penulis, Reinhard dan Ruth Bonggasau atas kerjasama dan kebersamaan.

7. Sahabat-sahabat di Gladys yang telah memberi semangat, doa dan kebersamaan.


(9)

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2006

Sri Bahaduri M E Tambunan H14102011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang.... ... 1

1.2. Permasalahan... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Pajak... 9

2.2. Cukai ... 9

2.2.1. Cukai Hasil tembakau ... 12

2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau ... 13

2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran ... 14

2.3. Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau ... 15

2.3.1. Gross Domestic Product ... 16

2.3.2. Nilai Tukar ... 17

2.3.3. Konsumsi ... 17

2.3.4. Variabel Dummy ... 19

2.4. Penelitian Terdahulu ... 20

2.5. Kerangka Pemikiran ... 21

2.6. Hipotesis ... 23

III. METODE PENELITIAN... 24


(11)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG MEMPENGARUHI

PENERIMAAN PEMERINTAH DARI CUKAI HASIL TEMBAKAU

OLEH

SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(12)

RINGKASAN

SRI BAHADURI M E TAMBUNAN. Analisis Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau (dibimbing oleh HENNY REINHARDT).

Penerimaan pemerintah dari sektor cukai memiliki kontribusi yang penting dalam perekonomian Indonesia. Penerimaan dari sektor cukai menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan dan digunakan untuk menutup defisit anggaran. Barang kena cukai yang paling banyak memberikan kontribusi kepada penerimaan negara adalah hasil tembakau, yaitu sekitar 95 persen.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Faktor-faktor makro yang digunakan dalam penelitian ini yang diduga mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi (diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok), dan dummy krisis.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa gabungan data

time series tahunan dari tahun 1992 sampai 2005 yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), International Finansial Statistic (IFS), dan beberapa jurnal dan literatur lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah

Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Eviews 4.1.

Hasil analisis dalam penelitian menunjukkan bahwa persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9785, artinya 97,85 persen variabel-variabel independen yaitu, GDP, nilai tukar, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, dan dummy krisis dapat menjelaskan variabel penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, sisanya sebesar 2,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Pada hasil uji t, variabel proporsi konsumsi rokok dan GDP signifikan mempengaruhi penerimaan cukai pada taraf nyata 10 persen, sedangkan untuk variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak signifikan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil pengujian ekonometrik yang meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas dapat disimpulkan bahwa model persamaan ini telah memenuhi asumsi Ordinary Least Squared (OLS) yaitu Best Linier Unbiassed Estimatior (BLUE).

Berdasarkan pengujian ekonomi, diketahui bahwa variabel GDP memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai hasil tembakau dengan nilai koefisien 0,72, artinya peningkatan GDP 1 persen akan meningkatkan


(13)

penerimaan cukai sebesar 0,72 persen dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Variabel konsumsi yang dalam penelitian ini diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai rokok dengan nilai koefisien sebesar 0,04, artinya peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar 0,04 persen, faktor lain diasumsikan konstan. Sedangkan variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan cukai rokok.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan penulis yaitu pemerintah harus dapat merangkul dan membina pengusaha rokok ilegal agar mau berusaha dengan benar. Karena penerimaan pemerintah akan semakin meningkat dan nyata jika rokok yang diproduksi oleh pengusaha-pengusaha rokok memesan pita cukai kepada pemerintah. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, karena harga rokok yang diproksi dari nilai tukar tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok, maka alternatif lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya dari cukai hasil tembakau adalah melalui peningkatan tarif cukai rokok.


(14)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG

MEMPENGARUHI PENERIMAAN PEMERINTAH DARI

CUKAI HASIL TEMBAKAU

OLEH

SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departeman Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh, Nama Mahasiswa : Sri Bahaduri M E Tambunan Nomor Registrasi Pokok : H14102011

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Makro yang

Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari

Cukai Hasil Tembakau

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajeman, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Henny Reinhardt, SP, M.Sc H IPB 041093

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 137846872 Tanggal Kelulusan:


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Agustus 2006

Sri Bahaduri M E Tambunan


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sri Bahaduri M E Tambunan lahir pada tanggal 7 Maret 1984 di Rantauprapat, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani. Jenjang pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Methodist II Rantauprapat pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri III Rantauprapat dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri II Rantauprapat dan lulus pada tahun 2002.

Pada tahun 2002, penulis meninggalkan kota Rantauprapat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan pada organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Hipotesa. Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa BBM dari semester 3 pada tahun 2003 sampai semester 8 pada tahun 2006.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Skripsi yang disusun penulis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau”.

Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau merupakan topik yang cukup menarik karena merupakan dilema bagi pemerintah dalam hal pengambilan kebijakan. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan negara dan di sisi lain menimbulkan dampak eksternalitas negatif. Selain dari pada itu, skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Ibu Henny Reinhardt, S.P., M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan membuka wawasan penulis.

2. Ibu Dr. Sri Mulatsih M.S sebagai dosen penguji utama yang telah memberi saran dan kritik.

3. Bapak Jainal M.A sebagai komisi pendidikan yang telah mengajarkan tata cara penulisan yang baik.

4. Kedua orang tua penulis, Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani serta Kakak penulis Febrina dan Adik penulis Boy Oscar dan keluarga besar penulis yang memberi semangat, doa dan kasih sayang.

5. Sahabat-sahabat penulis, KOMKES dan VOE yang telah mengisi hari-hari penulis dengan keceriaan

6. Teman-teman satu bimbingan penulis, Reinhard dan Ruth Bonggasau atas kerjasama dan kebersamaan.

7. Sahabat-sahabat di Gladys yang telah memberi semangat, doa dan kebersamaan.


(19)

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2006

Sri Bahaduri M E Tambunan H14102011


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang.... ... 1

1.2. Permasalahan... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Pajak... 9

2.2. Cukai ... 9

2.2.1. Cukai Hasil tembakau ... 12

2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau ... 13

2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran ... 14

2.3. Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau ... 15

2.3.1. Gross Domestic Product ... 16

2.3.2. Nilai Tukar ... 17

2.3.3. Konsumsi ... 17

2.3.4. Variabel Dummy ... 19

2.4. Penelitian Terdahulu ... 20

2.5. Kerangka Pemikiran ... 21

2.6. Hipotesis ... 23

III. METODE PENELITIAN... 24


(21)

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

3.3. Pengujian Statistik ... 26

3.3.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 26

3.3.2. Uji F-Statistik ... 27

3.3.3. Uji t-Statistik ... 27

3.4. Pengujian Ekonometrik ... 28

3.4.1. Multikolinearitas ... 28

3.4.2. Autokorelasi ... 28

3.4.3. Heteroskedastisitas ... 29

3.4.4. Normalitas ... 29

3.5. Pengujian Ekonomi ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Perkembangan Industri Rokok ... 31

4.2. Hasil Pengujian Ekonometrik ... 34

4.3. Analisis Statistik dan Ekonomi ... 36

4.3.1. Gross Domestic Product ... 38

4.3.2. Konsumsi ... 38

4.3.3. Nilai Tukar ... 40

4.3.4. Dummy Krisis ... 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1. Kesimpulan ... 43

5.2. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Target dan Realisasi Cukai Hasil Tembakau ... 3 1.2. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau terhadap Penerimaan Dalam

Negeri ... 4 1.3. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau terhadap Penerimaan Cukai 4 2.1. Struktur Tarif Cukai dan HJE Minimum Rokok di Indonesia ... ... 14 4.1. Total Produksi dan Nilai Industri Rokok ... 32 4.2. Hasil Uji Multikolinearitas ... 35 4.3. Hasil Uji Autokorelasi ... 35 4.4. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 36 4.5. Hasil Analisis Regresi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penerimaan Cukai Tahun 2000-2005 ... 2 2. Perpotongan Permintaan dan Penawaran ... 19 3. Kerangka Pemikiran... 22


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Penelitian ... 42 2. Data Variabel Penelitian ... 42 3. Hasil Analisis Regresi ... 43 4. Uji Multikolinearitas ... 43 5. Uji Autokorelasi ... ... 43 6. Uji Heteroskedastisitas ... 43 7. Uji Normalitas... 44


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proses pemulihan ekonomi terutama setelah masa krisis harus terus berlangsung. Hampir seluruh sektor yang akan dikembangkan memerlukan dukungan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN, pendapatan negara berasal dari pendapatan dalam negeri dan hibah. Proporsi pendapatan negara yang paling besar adalah berasal dari pendapatan dalam negeri yaitu sekitar 99 persen. Perkembangan pendapatan negara dari tahun 2001 sampai 2003 menunjukkan kinerja yang cukup baik. Membaiknya kinerja pendapatan negara didominasi dari sektor perpajakan. Namun, sebagai rasio terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), pendapatan negara cenderung mengalami penurunan yang disebabkan karena semakin menurunnya rasio penerimaan negara bukan pajak.

Setiap pemerintahan baik dari pusat sampai ke daerah menggunakan pajak untuk meningkatkan pemasukan dalam negeri untuk membiayai berbagai fasilitas publik seperti sarana transportasi, jalan raya, polisi dan jasa pertahanan nasional. Semua ini tidak akan terwujud jika pemerintah tidak memiliki dana dan untuk memperoleh dana itulah pemerintah menggunakan pajak. Oleh karena itu, pajak merupakan instrumen kebijakan yang penting dalam pembangunan perekonomian suatu negara.

Dalam rangka mempercepat perkembangan pendapatan negara pada sektor perpajakan, pemerintah menempuh berbagai kebijakan, diantaranya


(26)

langkah-langkah ekstensifikasi penerimaan perpajakan, penyempurnaan peraturan perpajakan, modernisasi sistem administrasi perpajakan, pemberantasan peredaran rokok polos dan pita palsu.

Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan pajak atas perdagangan internasional. Penerimaan pemerintah dari sektor cukai termasuk ke dalam penerimaan pajak dalam negeri. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting terhadap pembangunan yang tercermin dalam APBN yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, seperti yang terlihat pada Gambar 1.

34 31.5 28.64 23.01 17.06 11.12 25.93 0 53.42 34.88 12.69 10.45 9.99 7.94

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006*

tahun

Penerimaan Cukai (Rp triliun)

Kenaikan (%)

Sumber: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, 2005 *) Target Penerimaan Cukai

Gambar 1. Penerimaan Cukai Tahun 2000-2005

Dari tahun 2001 sampai 2005, penerimaan pemerintah dari sektor cukai terus mengalami peningkatan, walaupun secara persentase terjadi penurunan pada penerimaan cukai. Perkembangan penerimaan cukai tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, diantaranya kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan tarif


(27)

cukai terhadap semua barang kena cukai, peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai, dan pemantauan secara intensif terhadap HJE barang kena cukai di peredaran. Tahun 2006, pemerintah mengajukan kenaikan target penerimaan cukai sebesar Rp. 34 triliun. Hal ini sehubungan dengan kepentingan pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan APBN untuk menutupi defisit anggaran pemerintah yang disebabkan salah satunya dari kenaikan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Di Indonesia, terdapat tiga jenis barang kena cukai, yaitu etil alkohol, minuman yang mengadung etil alkohol, dan hasil tembakau. Penerimaan pemerintah dari sektor cukai didominasi oleh cukai hasil tembakau. Sebagai salah satu andalan penerimaan pemerintah, cukai hasil tembakau menunjukkan kinerja yang baik, seperti yang terlihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Target dan Realisasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Target

(miliar Rp)

Realisasi (miliar Rp)

Pencapaian (%)

2000 10.271,8 13.768,5 134,04 2001 17.600,6 18.266,3 103,78 2002 22.469 23.084 102,73

2003 27,945,6 26.400 94,45

Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003

Pada umumnya target penerimaan cukai hasil tembakau selalu dapat dipenuhi, dan jika tidak tecapai maka kekurangan pencapaiannya tidak begitu signifikan. Pencapaian target penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2000 sampai 2003, secara rata-rata mencapai 108,75 persen.


(28)

Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau terhadap penerimaan dalam negeri mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau Terhadap Penerimaan Dalam Negeri

Tahun Cukai Tembakau (miliar Rp)

Penerimaan dalam Negeri (miliar Rp)

Cukai Tembakau Terhadap Penerimaan

Dalam Negeri (%)

2000 13.768,5 205.335,5 6,7

2001 18.266,3 301.077,7 6,1

2002 23.084 305.151,2 7,6

2003 26.400 336.155,2 7,9

Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003

Peningkatan pendapatan dari cukai hasil tembakau tersebut dapat dilakukan melalui kenaikan HJE, yaitu kenaikan harga jenis hasil tembakau yang ditetapkan pemerintah sebagai harga jual minimum dari produk rokok dan peningkatan tarif cukai rokok, yaitu peningkatan pajak yang dikenakan kepada jenis hasil tembakau sebesar persentase tertentu terhadap harga jual ecerannya.

Perbandingan penerimaan cukai hasil tembakau dengan penerimaan cukai lainnya hampir mencapai tingkat rata-rata 94 persen per tahun pada periode 1990 sampai 2000. Pada tahun 2003, pemerintah berhasil mencapai target penerimaan cukai rokok dan minuman keras sebesar Rp. 27,9 triliun (1,4 persen dari PDB), di mana sekitar 98 persen berasal dari industri rokok. Persentase penerimaan cukai tembakau terhadap total penerimaan cukai dapat dilihat pada Tabel 1.3.


(29)

Tabel 1.3. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau Terhadap Total Penerimaan Cukai

Tahun Cukai Tembakau (Rp miliar)

Semua Cukai (Rp miliar)

Cukai Tembakau Terhadap Semua

Cukai (%)

1999 10.113,3 10.816,4 93,5

2000 13.768,0 14.150,1 97,3

2001 18.266,3 19.494,4 93,7

2002 23.084,0 25.479,0 90,6

Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2002

Untuk meningkatkan penerimaan negara guna menjaga keseimbangan anggaran, salah satu sumber potensialnya adalah dari industri rokok. Perkembangan kondisi industri rokok di Indonesia dapat dilihat dari sisi jumlah perusahaan, produksi rokok, dan tenaga kerja. Pada tahun 1981 sampai 2002, jumlah perusahaan secara total pada industri rokok menunjukkan kondisi yang cukup dinamis. Pertumbuhan jumlah perusahaan rokok secara total tumbuh sebesar rata-rata 3,2 persen per tahun.

Total produksi rokok secara keseluruhan mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang dengan nilai sebesar Rp 22,09 triliun. Perkembangan produksi industri rokok secara rata-rata dari tahun 1981 sampai 2002 sebesar 5,48 persen.

Dilihat dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja per tahun, industri rokok tumbuh sebesar 2,69 persen dari tahun 1981 sampai 2002. Secara keseluruhan, kondisi industri rokok, baik dilihat dari sisi jumlah perusahaan, produksi, dan penyerapan tenaga kerja menunjukkan suatu kondisi yang cukup dinamis.


(30)

Industri rokok memberikan kontribusi yang penting bagi pemerintah. Cukai rokok yang dikenakan oleh pemerintah menjadi salah satu sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan. Selama rentang waktu dari tahun anggaran 1995/1996 hingga semester I tahun anggaran 2003, penerimaan pemerintah cukai hasil tembakau telah meningkat sekitar 7,6 kali, yaitu dari Rp. 3.667,60 miliar menjadi Rp. 26.300 smiliar. Mengingat begitu besarnya peranan cukai hasil tembakau terhadap penerimaan negara sebagai sumber dana pembangunan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau”.

1.2. Permasalahan

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda, sektor cukai mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat luas, khususnya dari para pakar, pengusaha barang kena cukai dan para pejabat eksekutif maupun legislatif. Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap pembangunan dalam bentuk sumbangannya kepada penerimaan negara yang tercermin pada APBN khususnya dalam kelompok penerimaan dalam negeri yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk kegiatan pemerintahan di satu pihak, semakin berfluktuasinya penerimaan negara dari sektor migas, serta semakin sulitnya memperoleh pinjaman luar negeri, maka


(31)

diperlukan upaya peningkatan dana yang berasal dari dalam negeri termasuk penerimaan cukai. Disamping itu, masih rendahnya rasio antara penerimaan cukai terhadap PDB di Indonesia yaitu baru sekitar 0,75 persen, sementara di negara-negara lain telah mencapai rata-rata diatas 2 persen, mengindikasikan bahwa penerimaan cukai masih mungkin untuk terus ditingkatkan. Begitu juga dengan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau yang menunjukkan tren yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada penelitian ini adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi, dan dummy

krisis (Isdijoso, 2004). Oleh karena itu, permasalahan yang dibahas oleh penulis dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor dari sisi makro dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

1.4. Ruang Lingkup

Dalam tulisan ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada faktor-faktor secara makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dari tahun 1992 sampai 2005. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain (Isdijoso, 2004):


(32)

1. Gross Domestic Product (GDP) 2. Nilai tukar

3. Konsumsi 4. Dummy krisis.

Menurut Nusantoro (2004), penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau sebagian besar, sekitar 98 persen berasal dari industri rokok. Oleh karena itu, pengertian cukai hasil tembakau dalam tulisan ini lebih ditekankan kepada cukai rokok untuk semua jenis, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:

1. Bagi penulis, sebagai sarana untuk dapat lebih memahami mengenai faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

2. Bagi pembaca, sebagai salah satu sumber informasi untuk dijadikan literatur mengenai faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

3. Bagi pemerintah, sebagai saran dan bahan masukan dalam membuat langkah-langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau secara optimal.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Pajak

Pajak adalah pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pemungutan berdasarkan undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang dapat langsung ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 1995). Pajak dapat dibagi dua, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya diderita oleh wajib pajak atau orang yang dimaksud dalam undang-undang, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kekayaan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya diharapkan akan ditanggung konsumen, contohnya pajak penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai, dan lain-lain.

2.2. Cukai

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu atau pungutan negara terhadap Barang Kena Cukai (BKC). Sedangkan yang dimaksud dengan BKC adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Barang kena cukai terdiri dari tiga jenis yaitu:

1. Etil Alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya; etil alkohol adalah barang cair,


(34)

jernih, dengan rumus kimia C2H5OH yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun sintesa kimiawi

2. Minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol; sabagai contoh bir, shandy, anggur, dan lain-lain. MMEA adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman dan mengandung etil alkohol, sedangkan konsentrat yang mengandung etil alkohol adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol

3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merencanakan untuk memperluas obyek barang kena cukai, berkaitan dengan semakin berat beban anggaran dan pendapatan negara untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka kesinambungan pembangunan. Sehubungan dengan rencana perluasan obyek cukai tersebut DJBC telah mengadakan kajian atas dua belas obyek yang dianggap layak dikenakan cukai yaitu minuman ringan, semen, sabun, detergen, air mineral, sodium cyclamate dan sacharine, gas alam,


(35)

Tujuan kebijakan pemerintah di bidang cukai adalah menjamin keamanan penerimaan cukai, mengontrol dan membatasi tingkat konsumsi serta menciptakan keadilan, dan iklim usaha yang sehat. Sasaran kebijakan cukai adalah berupaya menghasilkan penerimaan cukai secara optimal dan mencapai target, menciptakan dan mempertahankan kesempatan kerja, menciptakan dan membina iklim persaingan yang sehat dan kepastian berusaha serta melindungi dan membina industri khususnya berskala kecil dalam negeri (Surjono, 2004).

Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan dua cara, yaitu:

1. Tarif ad valorem, dimana cukai dikenakan dengan cara menetapkan besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai.

2. Tarif nominal, dimana cukai dikenakan dengan menetapkan besaran rupiah terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti Rp/batang dan Rp/liter. Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase atau tarif nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah. Pada sistem ad varolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan Harga Jual Eceran (HJE) dan besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan tersebut, maka dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai yaitu perkalian antara prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya volume penjualan. Sedangkan pada sistem tarif nominal, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai hanya ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya volume penjualan. Dengan variabel volume penjualan tersebut, maka penerimaan cukai dapat


(36)

diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk setiap satuan barang kena cukai dengan besarnya volume penjualan barang kena cukai (Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003).

2.2.1. Cukai Hasil Tembakau

Cukai hasil tembakau adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia dimulai sejak tahun 1932 di mana pemerintah masih menggunakan kebijaksanaan induk warisan pemerintah Hindia Belanda sebagai landasan hukum pungutan yaitu Ordonansi Cukai Tembakau 1932. Pada saat itu, cukai tembakau sama untuk semua jenis hasil tembakau yaitu sebesar 20 persen. Namun, sejak tahun 1936 tarif cukai hasil tembakau mulai dibedakan berdasarkan jenis produknya, yaitu:

1. 30 persen untuk semua sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris

2. 20 persen untuk sigaret yang dibuat dengan tangan 3. 30 persen untuk tembakau iris rajangan

4. 20 persen untuk cerutu, klembak menyan dan hasil tembakau lainnya. Kebijakan cukai yang menarik saat itu yakni melarang pemasukan hasil tembakau buatan luar negeri yang dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia dalam upaya mengamankan dan meningkatkan produksi hasil-hasil tembakau dalam negeri kecuali untuk para anggota perwakilan negara asing untuk dipakai sendiri dan untuk hal tersebut masih terbatas jumlahnya. Namun


(37)

kemudian tahun 1968, hasil tembakau buatan luar negeri diperbolehkan masuk asalkan membayar cukai serta pajak lainnya dan ini berlangsung hingga sekarang.

2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Tarif cukai rokok digolongkan berdasarkan produksi tahunan dan jenis rokok yang diproduksi. Terdapat tiga macam jenis rokok di Indonesia, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM) atau rokok kretek yang menggunakan filter, Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau rokok kretek tanpa filter, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) atau rokok putih. Sedangkan, produksi rokok tahunan dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai rokok, yang terbagi dalam tiga golongan, yaitu:

1. Golongan I atau produsen berskala besar adalah produsen yang memiliki produksi tahunan lebih dari dua miliar batang per tahun.

2. Golongan II atau produsen skala medium adalah untuk produsen yang memiliki produksi tahunan 500 juta batang hingga dua miliar batang per tahun.

3. Golongan III atau produsen berskala kecil adalah produsen yang memproduksi kurang dari 500 juta batang per tahun.

Sesuai dengan golongan produksi tahunan yang dimiliki, tarif cukai rokok yang diberlakukan juga berbeda. Sebagai contoh pada tahun 2003 untuk golongan I jenis SKM dan SPM, masing-masing dikenai cukai sebesar 40 persen. Adapun untuk golongan II jenis yang sama dikenai tarif cukai sebesar 36 persen. Untuk SKT dikenai tarif cukai yang lebih rendah, di mana untuk golongan I sebesar 22 persen dan 16 persen untuk golongan II (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003)


(38)

Menurut Tjahjaprijadi dan Indarto (2003), tarif cukai rokok yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat majemuk, artinya besarnya tarif cukai dibedakan berdasarkan tiga hal, yaitu:

1. Proses produksi; dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya

2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume); kemampuan produksi maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi

3. Harga jual eceran (strata harga); penetapan harga jual eceran ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok.

2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran (HJE)

Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas maksimal dan minimal yang dihasilkan oleh suatu industri rokok yang dapat dijual ke masyarakat, yang ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok (Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003). Harga jual eceran juga mencakup harga pokok serta keuntungan produsen, distributor, dan penjual eceran, sebagai tambahan pada cukai dan PPN. Pemerintah juga menetapkan HJE minimum berdasarkan jenis rokok serta golongan produsen rokok. Berdasarkan jenis rokok yang diproduksi, tarif cukai rokok SKT adalah yang paling rendah dibandingkan dengan jenis rokok SKM dan SPM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.


(39)

Tabel 2.1. Struktur Tarif Cukai dan HJE Minimum Rokok di Indonesia Tarif Cukai

(% HJE minimum)

HJE Minimum (Rp/batang) Skala

Perusahaan

Rokok yang Dijual (batang/tahun)

SKT SKM SPM SKT SKM SPM Besar > 2 miliar 22 40 40 340 400 270 Sedang <500 juta - >2 miliar 16 36 36 280 330 210 Kecil < 500 juta 8 26 26 270 320 200

Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003

Besarnya tarif cukai dan harga jual eceran minimum akan semakin kecil seiring dengan semakin kecilnya skala usaha produksi rokok. Industri rokok dengan skala produksi lebih besar diberi beban pengenaan cukai lebih besar dibanding industri rokok yang lebih kecil. Contohnya untuk SKM golongan pada skala perusahaan besar, tarif cukai yang dikenakan sebesar 40 persen, pada skala perusahaan sedang, tarif cukai yang dikenakan sebesar 36 persen, dan tarif yang ditetapkan semakin kecil pada skala perusahaan kecil yaitu sebesar 26 persen. Adalah sangat relevan bahwa kemampuan untuk menghasilkan rokok yang lebih besar harus diikuti dengan pengenaan tarif cukai yang lebih tinggi agar penerimaan cukai bagi negara juga dapat lebih besar.

2.3. Faktor-Faktor Makro Yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau

Bidang ekonomi secara tradisional dibagi dalam dua sub bidang luas, yaitu ekonomi mikro dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mengkaji bagaimana rumah tangga dan perusahaan membuat keputusan dan bagaimana mereka berinteraksi di pasar, sedangkan ekonomi makro mengkaji fenomena perekonomian secara luas, seperti inflasi, pengangguran, GDP, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dapat dipengaruhi dari sisi


(40)

makro maupun sisi mikro. Faktor mikro yang dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau misalnya adalah faktor produksi rokok seperti jumlah bahan baku, pemakaian tenaga kerja, upah buruh rokok dan harga jual eceran rokok, sedangkan asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi, dan dummy krisis.

2.3.1. Gross Domestic Product (GDP)

GDP adalah ukuran keluaran total yang mencerminkan jumlah semua nilai tambah yang ada dalam suatu sistem ekonomi. Besarannya merupakan ukuran semua keluaran akhir yang diproduksi oleh semua aktivitas produktif di dalam sistem ekonomi tersebut (Lipsey, Courant, Purvis, dan Steiner, 1995). GDP dapat dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. GDP pada sisi pengeluaran merupakan suatu jenis perhitungan GDP yang dilakukan dengan menjumlahkan pengeluaran total setiap komponen utama keluaran final. Pengeluaran total pada keluaran final merupakan jumlah dari empat kategori pengeluaran yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor netto. GDP dari sisi pendapatan adalah jumlah berbagai pendapatan faktor yang dihasilkan pada proses memproduksi keluaran akhir ditambah pajak tidak langsung netto subsidi ditambah dengan penyusutan (Lipsey et al, 1995).

Besarnya GDP dapat digambarkan sebagai ukuran total output yang diproduksi oleh semua aktifitas ekonomi, maka perubahan GDP dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah. Ketika jumlah produksi secara toal berubah, termasuk produksi rokok, maka penerimaan pemerintah dari cukai hasil


(41)

tembakau juga akan berubah. Besarnya produksi rokok tahunan dapat dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai. Jika produksi rokok meningkat, maka pemesanan pita cukai juga akan meningkat dan akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok.

2.3.2. Nilai Tukar

Nilai tukar atau kurs dapat dibedakan menjadi dua yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan yang dimaksud dengan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara (Mankiw, 2000). Sistem pokok nilai valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang. Pembedaan ini berdasarkan besar cadangan devisa dan intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada sistem tersebut.

Sebelum krisis ekonomi yang diawali dengan krisis nilai tukar, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Ketika sistem ini semakin sulit dipertahankan, otoritas moneter mengubah sistem nilai tukar menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas.

Nilai tukar yang terapresiasi atau terdepresiasi dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Perubahan dalam nilai tukar tersebut akan menyebabkan perubahan harga-harga. Karena perubahan harga-harga tersebut maka biaya produksi dan jumlah konsumsi juga berubah. Hal ini akan menyebabkan kapasitas produksi dari perusahaan rokok juga akan berubah dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan berubah.


(42)

2.3.3. Konsumsi

Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu, barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa (Mankiw, 2000). Produk hasil tembakau khususnya rokok termasuk barang tidak tahan lama karena rokok merupakan barang yang habis dipakai dalam waktu pendek.

Menurut WHO, Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 miliar batang rokok setiap tahun setelah Cina (1.697 miliar batang), Amerika Serikat (480 miliar batang), Jepang (230 miliar batang), dan Rusia (230 miliar batang). Jumlah uang yang dibelanjakan penduduk Indonesia untuk tembakau 2,5 kali lipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan 3,2 kali lipat dari biaya kesehatan. Diperkirakan 4 persen rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi rokok.

Rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi rokok cenderung meningkat lebih besar terjadi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan. Hal ini tentunya tidak lepas dari lebih besarnya tingkat pendapatan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi rokok di daerah perkotaan. Meskipun rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok di daerah pedesaan lebih kecil dibanding daerah perkotaan, namun tetap menunjukkan bahwa desa memiliki rata-rata pengeluaran terhadap konsumsi rokok yang terus meningkat setiap tahunnya. WHO menyatakan masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan dari insustri rokok karena menggunakan penghasilannya untuk


(43)

membeli rokok yang justru membahayakan kesehatan. Bahkan di negara maju, jumlah perokok terbanyak berasal dari kelompok masyarakat miskin.

Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mempengaruhi besarnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok yang mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan meningkatkan jumlah produksi yang artinya tingkat penawaran rokok meningkat dan akhirnya penerimaan cukai hasil tembakau juga akan meningkat. Sesuai dengan hukum penawaran dengan menganggap faktor lain konstan, kuantitas barang yang ditawarkan akan meningkat ketika harga barang meningkat karena adanya peningkatan permintaan barang. Hal ini juga didukung oleh teori Marshall mengenai keseimbangan permintan dan penawaran di pasar yang dapat dijelaskan pada Gambar 2 di bawah ini.

Harga (P)

Penawaran

P*

Permintaan Q1 Q2 Kuantitas (Q) Gambar 2. Perpotongan Permintaan dan Penawaran

Sebagai langkah awal, diasumsikan bahwa harga-harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Melalui mekanisme


(44)

permintaan-penawaran ini terbentuk keseimbangan harga (P*) pada tingkat dimana permintaan sama dengan penawaran (Nicholson, 2002).

2.3.4. Variabel Dummy

Menurut Gujarati (2003), variabel dummy merupakan variabel penjelas yang bersifat kualitatif dalam analisis regresi. Variabel dummy disebut juga variabel biner atau variabel dikotomi karena hanya terdiri dari dua nilai. Dalam penelitian ini, variabel dummy yang digunakan adalah variabel dummy untuk kondisi perekonomian Indonesia, yaitu sebelum dan sesudah krisis ekonomi.

Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan kondisi perekonomian secara makro. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan pasar dalam negeri dan juga kondisi industri-industri tidak stabil, termasuk kondisi industri rokok. Ketidakstabilan kondisi industri rokok ini dapat menyebabkan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga tidak stabil.

2.4. Penelitian Terdahulu

Roy (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Minitab for Windows. Hasil analisis menunjukkan selama periode 1984 sampai 2003, tingkat konsumsi rokok kretek nasional memiliki kecederungan meningkat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rokok kretek antara lain produksi rokok kretek, harga rokok kretek, kebijakan tarif cukai, dan peubah dummy peraturan pemerintah. Dari hasil analisis dilihat bahwa hanya peubah produksi rokok kretek yang memiliki pengaruh nyata


(45)

dan arahnya positif dengan tingkat konsumsi. Keadaan ini membuat perusahaan rokok kretek Indonesia tidak merasa khawatir untuk memproduksi rokok karena konsumsi yang terus dilakukan seiring dengan adanya produksi. Sedangkan peubah harga rokok kretek dan tarif cukai tidak berpengaruh secara nyata dan arahnya adalah negatif. Pada dasarnya bila tarif cukai dinaikkan akan berimplikasi pada kenaikan harga rokok, karena tarif cukai merupakan pajak yang dibebankan pada konsumen yang dimasukkan pada harga jual eceran rokok. Untuk peubah

dummy peraturan pemerintah tidak mengindikasikan adanya perbedaan antara tahun-tahun dikeluarkannya peraturan tersebut. Hal ini terjadi karena belum tersosialisasinya peraturan pemerintah tersebut kepada berbagai pihak dan perusahaan rokok belum merasa siap untuk melaksanakannya.

Hasil analisis Putri (2004) tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pangsa pasar terbesar pada industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 2003 diperoleh nilai rasio konsentrasi (CR4) sebesar 75,8 persen, yang berarti industri rokok kretek digolongkan ke dalam stuktur pasar oligapoli. Dalam analisis kinerja industri rokok kretek, perkembangan tingkat keuntungan (PCM) setiap tahunnya cenderung fluktuatif pada tahun tertentu, sedangkan perkembangan tingkat efisiensi internalnya (X-eff) cenderung tinggi setiap tahun, dan perkembangan tingkat utilitas kapasitas produksi (CU) setiap tahun cenderung stabil.

Hasil analisis hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia, variabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan adalah CR4, efisiensi internal, dan skala ekonomis (MES), sedangkan CU tidak


(46)

memiliki pengaruh nyata. Dari ketiga varibel yang mempengaruhi PCM, efisiensi internal memiliki pengaruh nyata dan nilai koefisien yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan rokok kretek memiliki efisiensi internal yang berperan besar dalam mempengaruhi tingkat keuntungan.

2.5. Kerangka Pemikiran

Masalah-masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia menuntut pemerintah agar lebih cermat lagi dalam menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk memulihkan perekonomian. Untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi, dibuat penyesuaian-penyesuaian alat kebijakan agar dapat digunakan secara tepat, bermanfaat, dan mencapai sasarannya. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan dan menstabilkan perekonomian adalah melalui peranan kebijakan fiskal. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak. Penerimaan pemerintah dari sektor pajak terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

Penerimaan pemerintah dari sektor cukai termasuk ke dalam penerimaan pajak dalam negeri. Ada tiga jenis barang kena cukai, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Dari ketiga barang kena cukai tersebut yang paling besar peranannya dalam penerimaan pemerintah adalah cukai hasil tembakau yang terdiri dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yaitu sekitar 95 persen. Asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah GDP, nilai tukar, konsumsi, dan dummy krisis.


(47)

Pajak

Penerimaan Pemerintah

Bukan Pajak

Faktor-Faktor Makro: 1.GDP 2.Nilai Tukar 3.Konsumsi 4.Dummy Krisis

Pajak Dalam Negeri Pajak Perdagangan

Internasional

Cukai Hasil Tembakau Gambar 3. Kerangka Pemikiran

2.6. Hipotesis

Rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dari tulisan ini berdasarkan teori dan konsep adalah:

1. GDP, diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

2. Nilai tukar, diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

3. Konsumsi, diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

4. Variabel dummy kondisi perekonomian Indonesia, sebelum dan sesudah krisis, diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.


(48)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa gabungan dari data runtun waktu (time series) tahunan dari tahun 1992-2005. Data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), International Finansial Statistic (IFS), dan beberapa jurnal serta literatur lain yang relevan berhubungan dengan penelitian ini.

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini adalah metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program

Eviews 4.1. Menurut Gujarati (2003) terdapat beberapa asumsi yang digunakan dalam metode OLS, yaitu:

1. Nilai rata-rata bersyarat dari ui, tergantung pada Xi tertentu adalah nol. 2. Varian bersyarat dari ui adalah konstan (homoskedastisitas).

3. Tidak ada korelasi berurutan (autokorelasi).

4. Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik yaitu, tetap dalam penyampelan berulang.

5. Tidak ada linier sempurna antara variabel independen (multikolinieritas). 6. u didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varian yang diberikan


(49)

Jika asumsi di atas dipertahankan maka penduga kuadrat terkecilnya merupakan penduga linier tak bias terbaik atau Best Linier Unbiassed Estimator (BLUE).

Dalam penelitian ini metode OLS digunakan untuk menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, yaitu:

1. Gross Domestic Product (miliar rupiah)

2. Konsumsi, diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok (persen)

3. Nilai tukar Rp/$ (rupiah) 4. Dummy krisis

Secara matematis hubungan antara penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

t t t

t t

t b bLGDP b KR b LER b DK u LCU = 0+ 1 + 2 + 3 + 4 +

dimana:

LCU = Penerimaan cukai

LGDP = Gross Domestic Product

KR = Proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebagai proksi dari konsumsi (persen)

LER = Nilai tukar Rp/$

DK = Dummy krisis, dimana

DK = 0, sebelum krisis


(50)

bo = intersep

b1,..., b4 = koesisien kemiringan parsial

u = unsur gangguan stokastik

t = observasi ke-t

Setelah menspesifikasikan model, maka yang selanjutnya dilakukan adalah mengestimasi model persamaan tersebut untuk mendapatkan hasil yang seakurat mungkin. Oleh karena itu, dilakukan beberapa kriteria pengujian terhadap model persamaan tersebut, yaitu pengujian statistik, ekonometrik, dan ekonomi.

3.3. Pengujian Statistik

Pengujian statistik meliputi uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi secara serentak (uji F), dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t).

3.3.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji R2 digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat. R2 merupakan besaran non negatif dan besarannya adalah 0≤R2≤1. Jika R2 bernilai satu berarti variabel dependen bisa dijelaskan secara sempurna oleh variabel independen, sedangkan jika R2 bernilai nol berarti varibel dependen tidak bisa dijelaskan oleh variabel independen. R2 dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini.

JKT JKR R2 =

dimana:

R2 = koefisien determinasi


(51)

JKT = jumlah kuadrat total

3.3.2. Uji F-Statistik

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara keseluruhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Langkah-langkah pengujian meliputi:

Hipotesis: H0: bi = 0

H1: minimal ada salah satu bi≠ 0 Kriteria uji:

Probabilitas F-statistik < taraf nyata, maka tolak H0 Probabilitas F-statistik > taraf nyata, maka terima H0

Jika H0 ditolak berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dan sebaliknya jika H0 diterima berarti tidak ada satu pun variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

3.3.3. Uji t-Statistik

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Langkah-langkah pengujian meliputi:

Hipotesis:

H0: bi = 0 i = 1, 2, 3,...., k H1: bi≠ 0


(52)

Kriteria uji:

Probabilitas t-statistik < taraf nyata, maka tolak H0 Probabilitas t-statistik > taraf nyata, maka terima H0

Jika H0 ditolak berarti variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dan sebaliknya jika H0 diterima berarti variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

3.4. Pengujian Ekonometrik

Pengujian ekonometrik digunakan untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap asumsi klasik pada penggunaan metode OLS. Pengujian ekonometrik meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Apabila terjadi pelanggaran maka diperoleh hasil estimasi yang tidak valid.

3.4.1. Multikolinearitas

Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linier diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Adanya multikolinear dalam model regresi akan menyebabkan penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan meskipun nilai koefisien determinasi sangat tinggi. Nilai-nilai dugaan koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dengan metode kuadrat terkecil dan penduga koefisien regresi mempunyai simpangan baku yang sangat besar. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinear adalah melalui uji correlation matrix.


(53)

3.4.2. Autokorelasi

Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan melalui deret waktu. Adanya gejala autokorelasi dalam suatu persamaan akan menyebabkan suatu persamaan akan memiliki selang kepercayaan yang semakin besar dan pengujian menjadi kurang akurat, mengakibatkan hasil uji t, uji F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan. Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah uji Durbin Watson Statistic atau Breusch-Godfrey Serial LM Test. Uji Durbin Watson Statistic

digunakan untuk data dengan jumlah pengamatan yang kecil. Pengujian dengan

Breusch-Godfrey Serial LM Test dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared.

Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata tertentu maka persamaan tidak memiliki autokorelasi. Sebaliknya, jika nilai probabilitas

Obs*R-squared kurang dari taraf nyata tertentu, maka persamaan memiliki autokorelasi

3.4.3. Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi pokok dalam model regresi adalah bahwa varian setiap

disturbance term yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai varibel-variabel bebas adalah berbentuk suatu nilai konstan. Inilah yang disebut dengan asumsi

homoscedasticity atau varian yang sama.

Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Pengujian dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared lebih


(54)

besar dari taraf nyata tertentu, maka persamaan tidak memiliki heteroskedastisitas. Begitu juga sebaliknya, jika nilai probabilitas Obs*R-squared kurang dari taraf nyata tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas.

3.4.4. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan karena jumlah data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal. Pada software Eviews, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

Descriptive Statistic Test. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka model persamaan tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi secara normal.

3.5. Pengujian Ekonomi

Dalam pengujian ekonomi, hasil pendugaan dalam persamaan disesuaikan dengan teori ekonomi. Pada uji ekonomi yang dilihat adalah tanda serta nilai dari koefisien masing-masing variabel independen dari hasil analisis regresi. Jika tanda dari koefisien varibel independen positif, maka hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen adalah positip dan sebaliknya jika tanda dari koefisien variabel independen adalah negatif maka hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen adalah negatif. Besar dari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dilihat dari nilai masing-masing koefisien variabel independen.


(55)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Industri Rokok

Industri rokok di Indonesia telah menjadi kisah panjang tentang jatuh bangun usaha sekelompok manusia dalam memanfaatkan tanaman tembakau. Popularitas rokok di wilayah Kudus yang pada awalnya beredar di kalangan masyarakat bawah pada akhirnya berkembang pesat menjadi satu jaringan industri besar yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja untuk memproduksi rokok, dan bahkan dewasa ini peranan industri rokok sangat berpengaruh dalam menunjang perekonomian negara (Subangun dan Tanuwidjojo, 1993).

Industri rokok merupakan salah satu industri pengolahan tembakau. Industri pengolahan tembakau mencakup usaha pengeringan daun tembakau, pembuatan rokok yang mengandung cengkeh (bunga cengkeh, daun cengkeh, dan aroma cengkeh), rokok putih, cerutu, rokok kelembak menyan, dan rokok klobot. Berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang dari Biro Pusat statistik (BPS), pada tahun 1981 industri rokok hanya dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu industri rokok kretek dan industri rokok putih. Mulai tahun 1990, industri rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi dua bagian, yaitu industri rokok kretek yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), serta industri rokok lainnya yang terdiri dari rokok kelembak menyan, rokok klobot, dan cerutu.

Industri rokok di Indonesia memiliki lembaga asosiasi, yaitu Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia) dan Gaprindo


(56)

(Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia). Industri rokok kretek menguasai 87 persen dari total produksi industri rokok. Pembuatan rokok kretek menggunakan tembakau rakyat yang dicampur dengan cengkeh, saus, dan bumbu rokok lainnya. Industri rokok putih memiliki pangsa pasar sebasar 13 persen yang dibuat dengan menggunakan tembakau Virginia tanpa menggunakan cengkeh. Pembuatan rokok putih menggunakan mesin dan disebut dengan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981 sampai 2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Perkembangan produksi industri rokok pada kurun waktu tersebut cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Secara rata-rata berdasarkan jenis hasil tembakau yang paling tinggi adalah SKM, yaitu sebesar 11,08 persen. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah SPM, yaitu sebesar 6,7 persen dan diikuti oleh SKT sebesar 4,19 persen. Secara keseluruhan, produksi rokok untuk semua jenis dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Total Produksi dan Nilai Industri Rokok Tahun SKM SKT SPM

TOTAL (juta batang)

Nilai (juta Rp) 1992 80.269 40.029 34.382 156.400 6.634.392 1993 85.958 50.659 34.757 171.967 7.552.242 1994 97.410 60.646 36.421 195.038 9.509.571 1995 109.529 67.313 38.768 216.236 11.344.870 1996 117.734 68.690 45.597 232.663 13.279.731 1997 133.917 58.273 27.204 220.033 14.908.541 1998 135.488 68.960 64.922 269.848 22.087.077 1999 128.823 65.106 59.602 254.168 30.321.613 2000 116.597 77.880 46.727 241.920 33.019.811 2001 111.224 65.024 48.103 224.965 54.768.481 2002 102.649 60.010 44.394 207.621 51.901.026


(57)

Tahun 1997 total produksi rokok mengalami penurunan, karena pada saat itu merupakan awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Karenanya, perusahaan-perusahaan rokok menurunkan kapasitas produksinya. Industri rokok mulai melakukan penyesuaian akibat dampak dari awal krisis ekonomi pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 1998, total produksi rokok kembali meningkat dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar dengan nilai sebesar Rp. 22,09 triliun. Industri rokok melakukan efisiensi produksi dengan berkonsentrasi pada produksi rokok SKM dan SPM yang padat modal daripada produksi rokok jenis SKT yang padat karya.

Industri rokok memberikan kontribusi yang penting bagi perekonomian dari sisi cukai, tenaga kerja, pertanian, maupun pajak-pajak lainnya. Namun, keberadaan rokok ilegal yang semakin marak belakangan ini jelas sangat merugikan negara, konsumen, industri rokok, pekerja rokok, bahkan hingga petani tembakau dan industri pendukung lainnya seperti kertas, cengkeh, dan percetakan. Keberadaan rokok ilegal dapat mengganggu eksistensi industri rokok legal yang sudah ada, baik berskala kecil, menengah, maupun besar. Keberadaan rokok ilegal juga mengancam kelangsungan hidup tenaga kerja pabrik rokok dan berdampak pada penurunan produksi rokok legal. Ada tiga jenis rokok yang disebut ilegal. Pertama, rokok yang tidak menggunakan pita cukai. Kedua, rokok yang menggunakan cukai palsu, dan ketiga rokok yang menggunakan pita cukai bukan peruntukannya. Pemerintah merupakan pihak yang paling dirugikan dengan beredarnya rokok ilegal karena seharusnya pemerintah mendapat tambahan dana triliunan rupiah dari pemasukan penerimaan cukai. Jumlah pabrik rokok ilegal


(58)

sangat sulit untuk diprediksi. Menurut perkiraan, jumlah pabrik rokok ilegal mencapai 5 sampai 10 persen dari industri rokok legal. Ada juga yang memperkirakan jumlah rokok ilegal mencapai dua kali lipat dari jumlah pabrik rokok legal. Menurut Departemen Perindustrian, terdapat sekitar 2600 industri rokok legal yang terdaftar. Aspek legal industri rokok diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan, kandungan kadar nikoton dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, dan penetapan kawasan tanpa rokok.

Sejak tahun 2005, World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menerapkan konvensi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) menjadi hokum internasional. Di ASEAN, Indonesia adalah negara yang satu-satunya belum meratifikasi FCTC. Oleh karena itu, Indonesia menjadi sasaran investasi industri rokok. Tujuan dari FCTC adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap gangguan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi akibat konsumsi tembakau dan paparan asapnya. FCTC menyediakan kerangka upaya pengendalian tembakau untuk dilaksanakan semua pihak di tingkat nasional, regional, dan internasional dengan tujuan mengurangi konsumsi tembakau. Salah satu caranya adalah melalui peningkatan tarif cukai rokok dan larangan iklan di media massa.

Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1997 tentang Cukai, batas tarif tertinggi yang boleh dikenakan terhadap barang kena cukai adalah sebesar 55 persen, tetapi


(59)

tarif cukai rokok yang terjadi di pasar masih sebesar 40 persen. Sementara isi rekomendasi FCTC menerapkan tarif cukai minimum sebesar 2/3 atau 65 persen dari harga jual eceran rokok. Tarif cukai rokok yang berlaku di Indonesia merupakan yang paling rendah di dunia setelah Kamboja. Di Thailand, tarif cukai rokok mencapai 60 persen, India 70 persen, sementara Nepal, Maldives, dan Myanmar 75 persen. Dalam jangka panjang, langkah yang ditempuh untuk mengurangi konsumsi tembakau adalah melalui larangan iklan rokok. Pada tahun 2008, semua produk rokok tidak diizinkan beriklan dalam bentuk apapun.

4.2. Hasil Pengujian Ekonometrik

Kriteria uji ekonometrika berdasarkan hasil estimasi ditunjukkan bahwa pada uji multikolinearitas (korelasi yang kuat antar variabel bebas), persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau tidak mengalami multikolinearitas. Uji Klein menyatakan bahwa apabila nilai dari koefisien multikolinieritas tersebut tidak lebih besar dari nilai R2, maka multikolinearitas dapat diabaikan. Hasil dari uji multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Hasil Uji Multikolinearitas

LGDP KR LER DK

LGDP 1,000000 0,756556 0,945265 0,863464

KR 0,756556 1,000000 0,704986 0,678364

LER 0,945265 0,704986 1,000000 0,958546 DK 0,863464 0,678364 0,958546 1,000000

Pada Tabel 4.2, korelasi yang paling tinggi terdapat di antara variabel ER dan DK yaitu sebesar 0,958546, namun multikolinearitas ini dapat diabaikan


(60)

karena nilai R2 sebesar 0,978489 lebih besar dari nilai korelasi di antara variabel- variabel independen tersebut.

Sementara itu nilai probabilitas Obs*R-squared pada uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test adalah sebesar 0,670419. Nilai ini lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (α= 0,1), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi pada model persamaan penerimaan cukai. Hasil uji autokorelasi dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini.

Tabel 4.3. Hasil Uji Autokorelasi

F-statistic 0,104849 Probabilitas 0,754389

Obs*R-squared 0,181113 Probabilitas 0,670419

Pada uji White Heteroscedasticity Test, nilai probabilitas Obs*R-squared

adalah sebesar 0,449247. Nilai ini lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (α= 0,1), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas pada model persamaan. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah ini.

Tabel 4.4. Hasil Uji Heteroskedastisitas

F-statistic 0,811148 Probabilitas 0,609108

Obs*R-squared 6,807010 Probabilitas 0,449247

Selanjutnya uji ekonometerika yang terakhir adalah uji normalitas. Pengujian terhadap masalah normalitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas

Jarque-Bera yaitu sebesar 0,921595 lebih besar dari taraf nyata 10 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah ketidaknormalan dalam data (Lampiran 7). Setelah keempat pengujian tersebut dilakukan maka dapat


(61)

disimpulkan bahwa model persamaan penerimaan cukai telah memenuhi asumsi OLS dan menghasilkan penduga kuadrat terkecilnya merupakan penduga linier tak bias terbaik atau Best Linier Unbiassed Estimator (BLUE).

4.3. Analisis Statistik dan Ekonomi

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, yaitu Gross Domestic Product (GDP), konsumsi (proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok), nilai tukar (Rp/$), dan dummy krisis dapat dijelaskan melalui Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Hasil Analisis Regresi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau

Variabel Koefisien Probabilitas

C 1,746090 0,0800

LGDP 0,717431 0,0001

KR 0,045497 0,0829

LER -0,304153 0,1663

DK 0,067284 0,7177

R-squared = 0,978489 F-statistic = 102,3479

Adjusted R-squared = 0,968929

Durbin-Watson stat = 1,946060

Prob(F-statistic)= 0,000000

Keterangan: taraf nyata = 10 persen

Berdasarkan hasil analisis regresi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau (CU) dengan GDP, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok (KR), nilai tukar (ER), dan dummy krisis (DK) seperti yang terdapat pada Tabel 4.1, maka dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

LCU = 1,746090 + 0,717431 LGDP + 0,045497 KR - 0,304153 LER +

0,067284 DK

Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.1, persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9785,


(62)

artinya 97,85 persen variabel-variabel independen yang terdapat dalam model yaitu, GDP, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, nilai tukar, dan dummy

krisis dapat menjelaskan variabel penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, sisanya sebesar 2,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan.

Pengujian terhadap variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama dapat dilakukan melalui uji F. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistik. Analisis regresi pada penelitian ini menggunakan taraf nyata sebesar 10 persen, artinya tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (α= 0,1), maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada taraf nyata 10 persen.

4.3.1. Gross Domstic Product

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa variabel GDP memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0001 (lebih kecil dari taraf nyata 10 persen) dan besarnya nilai koefisien adalah 0,717413. Berdasarkan nilai probabilitas dan koefisien tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel GDP memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, artinya peningkatan GDP sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau sebesar 0,717413 persen dengan asumsi cateris paribus


(63)

Besarnya GDP dapat digambarkan sebagai ukuran total output yang diproduksi oleh semua aktifitas ekonomi. Ketika GDP atau total output yang diproduksi meningkat, termasuk produksi rokok, maka pemesanan pita cukai rokok kepada pemerintah akan meningkat dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal pada penelitian. Produksi rokok cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2004), sekitar 2600 industri rokok legal yang terdaftar di Departemen Perindustrian menghasilkan rokok sekitar 203,88 miliar batang setiap tahun. Produksi industri rokok mengalami masa kejayaan pada tahun 1998, dimana produksi rokok hampir mencapai 270 miliar batang.

4.3.2. Konsumsi

Variabel konsumsi yang dalam penelitian ini diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai rokok. Berdasarkan Tabel 4.3 variabel konsumsi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0829 (lebih kecil dari taraf nyata 10 persen) dan besarnya nilai koefisien sebesar 0,045497. Peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar 0,045497 persen, asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dan teori permintaan dan penawaran oleh Marshall yang terdapat pada tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Ketika terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, yang dapat mengindikasikan terjadi peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan


(64)

meningkatkan jumlah produksinya (penawaran rokok meningkat). Jumlah produksi rokok yang meningkat akan menyebabkan pemesanan pita cukai kepada pemerintah meningkat sehingga penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga meningkat. Konsumsi rokok global terus meningkat signifikan sejak tembakau diperkenalkan kepada dunia awal abad ke-20. Konsumsi rokok di Indonesia mendapat peringkat kelima tertinggi di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia. Mayoritas perokok di Indonesia adalah dari kalangan masyarakat miskin. Survei Bappenas (1995) menunjukkan bahwa orang miskin mengalokasikan 9 persen total pendapatannya untuk mengkonsumsi rokok.

Berdasarkan kedua variabel di atas, variabel GDP memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dari pada variabel konsumsi. Peningkatan GDP atau total produksi secara keseluruhan, termasuk peningkatan produksi rokok akan secara langsung mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan produksi rokok, maka pemesanan pita cukai kepada pemerintah juga akan meningkat dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan meningkat.

4.3.3. Nilai Tukar

Variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan cukai hasil tembakau yang dapat dilihat dari nilai probabilitas variabel nilai tukar yang sebesar 0,1663 lebih besar dari taraf nyata 10 persen (α= 0,1). Hal ini ternyata tidak sesuai dengan hipotesis awal pada penelitian. Melalui pengujian secara ekonomi, terdapat hubungan yang negatif antara nilai tukar dengan


(1)

dari cukai hasil tembakau tidak mengalami penurunan bahkan meningkat dan sumber dana untuk kegiatan pembangunan juga dapat bertambah.

Selain itu, rata-rata tarif cukai rokok di Indonesia merupakan tarif cukai rokok yang paling rendah di dunia setelah Kamboja. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terbuka peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan tarif cukai rokok. Dengan meningkatkan tarif cukai rokok maka harga rokok juga akan meningkat. Pada jangka panjang, peningkatan harga rokok ini diharapkan akan membatasi kemampuan kelompok masyarakat miskin dan remaja untuk mengkonsumsi rokok karena pada dasarnya kelompok masyarakat inilah yang paling banyak mengkonsumsi rokok baik di negara sedang berkembang seperti Indonesia maupun pada negara maju.

Penelitian ini tidak membahas berapa besaran tarif cukai rokok yang harus ditetapkan untuk mendapatkan penerimaan pemerintah yang optimal dari sektor cukai hasil tembakau. Oleh karena itu penulis menyarankan agar pada penelitian selanjutnya membahas tentang besaran tarif cukai yang harus ditetapkan agar penerimaan pemerintah dapat optimal dan industri rokok dapat terus berkembang.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 1992-2005. Statistik Kesejahteraan Rakyat 1992-2005. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1995. Survei Kesehatan Rumah Tangga. BPS, Jakarta.

Departemen Keuangan Republik Indonesia, Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional. 2004. Perkembangan dan Belanja Negara. Bapekki, Jakarta.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/NK%202004/III%20NK04.pdf Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Mc Graw-Hill. Singapore.

Isdijoso, B. 2004. “Studi Alternatif Penerimaan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau” http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/kajian5%Cbrahmantio%20. Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar

Makro Ekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta.

Mangkoesoebroto, G. 1995. Ekonomi Publik. BPFE. Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi. Erlangga. Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makro Ekonomi. Erlangga. Jakarta.

Muhtadi, D. 21 Januari 2006. “Rokok Ilegal Makin Meracuni Bangsa”. Kompas: 49.

Nusantoro, E. 2004. “Cukai dan Rokok”. [kompas online].

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/25/finansial/932467.htm [25 Maret 2004].

Nicholson, W. 2002. “Teori Ekonomi Mikro: Prinsip Dasar dan Pengembangannya”. Rajawali Pers. Jakarta.

Putri, I. 2004. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Rokok Kretek di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(3)

Rachmawati, R. 2004. “Konsumsi Rokok Indonesia Lima Besar Dunia”. [tempo online].

http://www.tempointeraktif.com.hg/nasional/2004/05/31/brk,20040531-22,id.html [31 Mei 2004].

Roy, M. I. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Subangun, E. dan D. Tanuwidjoyo. 1993. Industri Hasil Tembakau: Tantangan

dan Peluang. PT. Sinar Cemerlang. Jakarta.

Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Surjono, N. D. 2004. Pengaruh Kebijakan Cukai Terhadap Permintaan Rokok dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Nasional [tesis]. Depok: Universitas Indonesia, Fakultas Ekonomi.

Tjahjaprijadi, C. dan W. D. Indarto. 2003. “Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan Sigaret Putih Mesin”. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 7:104-115.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.

Wibowo, T. 2003. ”Potret Industri Rokok di Indonesia”. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 7:83-84.


(4)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Penelitian

Tahun Penerimaan CHT (miliar Rp) GDP (miliar Rp) Konsumsi Rokok (%) Nilai Tukar (Rp/$) Dummy 1992 6269.166 282395 4.95 2062 0 1993 6659.351 329776 5.64 2110 0 1994 6583.687 382220 6.24 2200 0 1995 7832.365 454514 4.89 2308 0 1996 8536.819 532568 4.44 2383 0 1997 9698.822 627695 7.34 4650 1 1998 9322.716 955753 5.39 8025 1

1999 10496.3 1099730 5.33 7085 1

2000 13770 1389770 6.75 9595 1

2001 15685.54 1684280 8.59 10400 1

2002 18693.54 1863270 6.8 8940 1

2003 19779.64 2036350 8.79 8465 1 2004 20648.99 2261720 8.27 9290 1 2005 20893.15 2729710 8.13 9830 1

Lampiran 2. Data Variabel Penelitian

Tahun LCU LGDP LER KR DK 1992 8.743399 12.55106 7.631432 4.95 0 1993 8.803777 12.70617 7.654443 5.64 0 1994 8.79235 12.85375 7.696213 6.24 0 1995 8.96602 13.02698 7.744137 4.89 0 1996 9.052144 13.18547 7.776115 4.44 0 1997 9.17976 13.34981 8.444622 7.34 1 1998 9.140209 13.77025 8.990317 5.39 1 1999 9.258778 13.91058 8.865735 5.33 1 2000 9.530248 14.14465 9.168997 6.75 1 2001 9.660494 14.33685 9.249561 8.59 1 2002 9.835933 14.43784 9.098291 6.8 1 2003 9.892408 14.52667 9.043695 8.79 1 2004 9.935422 14.63164 9.136694 8.27 1 2005 9.947177 14.81971 9.193194 8.13 1 Keterangan:

LCU = Log Penerimaan Cukai Hasil Tembakau LGDP = Log GDP


(5)

KR = Proporsi Pengeluaran untuk Konsumsi Rokok DK = Dummy Krisis

Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi

Dependent Variable: LCU Method: Least Squares Date: 07/09/06 Time: 23:30 Sample: 1992 2005

Included observations: 14

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.746090 0.884992 1.973000 0.0800

LGDP 0.717431 0.109390 6.558443 0.0001

KR 0.045497 0.023323 1.950685 0.0829

LER -0.304153 0.201960 -1.506003 0.1663

DK 0.067284 0.180338 0.373098 0.7177

R-squared 0.978489 Mean dependent var 9.338437 Adjusted R-squared 0.968929 S.D. dependent var 0.451619 S.E. of regression 0.079607 Akaike info criterion -1.950972 Sum squared resid 0.057036 Schwarz criterion -1.722737 Log likelihood 18.65681 F-statistic 102.3479 Durbin-Watson stat 1.946060 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 4. Uji Multokolinearitas

KR LGDP LER DK

KR 1.000000 0.756556 0.704986 0.678364 LGDP 0.756556 1.000000 0.945265 0.863464 LER 0.704986 0.945265 1.000000 0.958546 DK 0.678364 0.863464 0.958546 1.000000

Lampiran 5. Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.104849 Probability 0.754389

Obs*R-squared 0.181113 Probability 0.670419

Lampiran 6. Uji Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.811148 Probability 0.609108


(6)

Lampiran 7. Uji Normalitas

0 1 2 3 4 5 6 7

-0.1 0.0 0.1

Series: Residuals Sample 1992 2005 Observations 14

Mean -9.81E-16 Median 0.008704 Maximum 0.122292 Minimum -0.118498 Std. Dev. 0.066237 Skewness -0.032947 Kurtosis 2.475025 Jarque-Bera 0.163299 Probability 0.921595