Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)

yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik smallness antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, keterbatasan kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik Adrianto 2005. Karateristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya mainland. Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa. Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu : 1 hak, 2 ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau, dan 3 sesuai kondisi sosial budaya setempat Dahuri 2003. Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan Bengen 2003. Dalam arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environment Programme UNEP dan Convention Biological Diversity CBD 2004 menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi. Menurut Cicin Sain 1993 in Adrianto 2004a bahwa keseluruhan komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain inextricably linked dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai multiple chain reactions dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers 1992 in Adrianto 2004a menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK Debance 1999 in Adrianto 2004a Dari gambar di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem PPK, terdapat paling sedikit 5 lima proses yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan Debance 1999, yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia. Secara umum, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai negara dalam memanfaatkan sumberdaya alam bagi pertumbuhan ekonominya, kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya Anwar dan Rustiadi 2000. Selanjutnya dinyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain : 1 perbedaan hak-hak entelimen yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, 2 sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka aquasi-open-access resources yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan 3 kekurangan dalam sistem penilaian undervaluation terhadap sumberdaya alam dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosial-ekonomi budaya masyarakat setempat.

2.2 Pendekatan Ruang Ekologis

Ecological Footprint Analysis Dalam memenuhi kebutuhan hidup kita menggunakan sumberdaya alam, kergantungan kita terhadap alam menimbulkan pertanyaan berapa kemampuan alam untuk memenuhi semua kebutuhan kita sampai masa yang akan datang. Secara perspektif ekologi, salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis Ecological Footprint EF. Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari konsep daya dukung carrying capacity kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan EF membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan Wackernagel dan Rees 1996. Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologisjejak kaki ekologis diperkenalkan Wackernagel dan Rees tahun 1995 dimana tingkat kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam diterjemahkan kedalam luasan area yang produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson 1999 in Venetoulis dan Talberth 2008 bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wakernagel dan Loh 2002 in Venetoulis dan Talberth 2008 menggunakan EF untuk menilai berapa banyak areal produktif daratan dan perairan yang diperlukan oleh perorangan, sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski 2005 bahwa setiap orang akan memanfaatan ruangsuatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk menilai hubungan permintaan demand terhadap sumberdaya dan ketersediaan supply sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum optimal. Yang dimaksud ruang ekologi dalam penelitian ini adalah ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut dan ketersediaan ruang yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Kecenderungan pemanfaatan ruang akan meningkat disebabkan perubahan pemanfaatan sumberdaya dimana sebelumnya masyakarat bermatapencaharian sebagai nelayan beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden yang melakukan budidaya rumput laut sebagai kegiatan utama sebesar 79,45 201 orang dan 20,55 52 orang sebagai kegiatan sampingan. Dalam perhitungan daya dukung ruang ekologis terhadap pengembangan rumput laut di bagi kedalam dua bagian yaitu i permintaan terhadap ruang ekologi berdasarkan biomassa yang dihasilkan EF dan ii ketersediaan ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut BC. Sebagaimana disebutkan Schaefer et.al 2006 perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya EF dan ketersediaan sumberdaya biocapacityBC. Ini merupakan gambaran penilaian terhadap periode waktu terpilih misalnya dalam setahun.