Budidaya Rumput Laut Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)

Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, lumpur berpasir dan berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya, baik terbentuk secara alamiah atau buatan. Alga bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di wilayah kajian adalah Eucheuma sp. Pada umumnya, rumput laut hidup berasosiasi dengan hewan karang, sehingga habitat rumput laut senantiasa berada disekitar terumbu karang. Menurut Kadi dan Atmadja 1988 in Iksan 2005 menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp. memiliki thallus berbentuk bulat silindris dengan permukaan licin, berwarna merahmerah-cokelat atau hijau, memiliki percabangan tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan blunt nodule atau duri spine pada thallus, subtansi thallus gelatinus dan atau kartilagenus. Lebih lanjut disebutkan bahwa spesies ini lebih banyak terdapat di daerah pasang surut intertidal atau pada daerah yang selalu terendam oleh air subtidal dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu, karang mati, karang hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Pertumbuhan jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh faktor oseanografi meliputi parameter fisika, kimia dan biologi Puslitbangkan 1991. Untuk Eucheuma alvarezii berwarna coklat memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan Eucheuma alvarezii berwarna hijau Kadi 2004. Terkait dengan kondisi lingkungan fisika untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air atau gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak seperti perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau didepannya Puslitbangkan 1991. Umumnya pertumbuhan Eucheuma sp. lebih baik pada dasar perairan yang stabil terdiri dari pecahan karangpotongan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Kondisi dasar perairan yang demikian menunjukkan daerah tersebut selalu dilalui oleh arus yang cukup. Mempunyai gerakan air arus yang cukup berkisar 20 – 40 cmdtk. Dengan menggunakan metode rawai longline dan sistem jalur kedalaman perairan yang mendukung pertumbuhan Eucheuma sp. adalah 5 m pada saat surut terendah. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada saat surut terendah dan memperoleh mengoptimalkan penetrasi sinar matahari secara langsung pada saat air pasang Anonim 2004c. Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan sehingga rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20 – 28 o C dengan fluktuasi harian maksimum 4 o C Puslitbangkan 1991. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari dapat masuk kedalam perairan. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut Puslitbangkan 1991. Kondisi kimia perairan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Pertumbuhan rumput laut tidak dapat mentolerir salinitas dibawah 25 ppt. Beberapa penyebab penurunan salinitas antara lain adanya air tawar yang masuk ke perairan melalui aliran sungai dan adanya hujan, hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Selain itu faktor nutrient atau unsur hara dalam perairan sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut meliputi kandungan nitrat dan fosfat. Menurut Sulistijo dan Atmadja 1996 menyebutkan bahwa kisaran fosfat optimal untuk pertumbuhan rumput laut antara 0,02 ppm sampai 0,1 ppm, sedangkan kadar nitrat yang baik mendukung kehidupan alga 0,001 – 5 mgl Luning 1990. Faktor lainnya yang menjadi indikator kualitas perairan yang baik adalah perairan bebas dari bahan pencemar yang bersumber dari limbah rumah tangga, industri maupun limbah kapal. Hal tersebut dikarenakan bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut Anonim 2004c. Indikator biologi juga merupakan salah satu faktor dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut, dimana perairan secara alami ditumbuhi oleh kominitas dari berbagai makro alga seperti Ulva sp., Caulerpa sp., Padina sp., Hypnea sp. dan lain-lain. Selanjutnya perairan lokasi budidaya harus bebas dari hewan air lainnya yang bersifat herbivora terutama ikan baronanglingkis Sigarus sp., penyu laut Chelonia mydas dan bulu babi yang dapat memakan rumput laut Puslitbangkan 1991. Menurut Indriani dan Sumarsih 1999 bahwa beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya antara lain : 1 harus bebas dari pengaruh angin topan, 2 tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, 3 areal disekitarnya terdapat makanan untuk tumbuh rumput laut, 4 perairan harus berkondisi mudah menerapkan budidaya, 5 mudah terjangkau sehingga meminimalkan biaya transportasi, 6 dekat dengan sumber tenaga kerja. Penerapan metode budidaya yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Beberapa metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut meliputi 1 metode lepas dasar, yang dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patokpancang; 2 metode rakit apung, dimana cara pembudidayaan dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambukayu; 3 metode longline, dimana menggunakan tali panjang yang dibentangkan; 4 metode jalur merupakan kombinasi dari metode rakit dan metode longline; 5 metode keranjang kantung dimana rumput laut diletakkan dalam kantung dan metode ini tergolong baru DKP 2003. Dari kelima metode tersebut, metode long line sampai saat ini yang dipilih petani di wilayah Gugus Pulau Salabangka, karena metode ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain biaya yang dikeluarkan lebih murah dan masih terjangkau oleh pembudidaya, dan kemudahan dalam penanam, pemelihara serta panen. Lebih lanjut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga P2O-LIPI di Pulau Pari Kepulauan Seribu dan Pulau Samaringa Sulawesi Tengah bahwa jenis Eucheuma spinosum menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik dengan menggunakan metode apung dibandingkan dengan metode sistem lepas dasar Iksan 2005. Berdasarkan penerapan tingkat teknologi, budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi sederhana yaitu dengan mengikatkan rumpun bibit rumput laut pada kerangka tali nilon atau dapat juga menggunakan sistem lepas dasar patok dan tali, rakit bambu dan tali atau rawai monoline dengan pelampung botol plastik Kadi 2004. Selanjutnya dalam penggunaan bibit, kebutuhan bibit dalam setiap musim tanam tergantung dari luas areal budidaya dan jarak tanam antar bibit pada setiap liris. Setiap 1 hektar luas areal budidaya dengan jarak tanam sekitar 20 cm, berat sekitar 100 – 150 gr per liris akan memerlukan bibit sekitar 1200 kg. Sedangkan menurut Kadi 2004 dengan menggunakan metode rawai, dengan panjang tali 50 – 100 m, jarak tanam 50 cm dan berat bibit per ikatan 200 – 300 gr akan memerlukan bibit sekitar 20 – 60 kg. Untuk masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen dengan metode lepas dasar umumnya berkisar antara 1,5 – 2 bulan Kolang et al. 1996 in Syahputra 2005. Hasil produksi untuk jenis Euceheuma cottonii dengan berat awal + 125 gram menggunakan metode apung dapat mencapai sekitar 500 – 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 , sehingga dalam setahun dengan 6 kali penanaman untuk luasan 1 hektar dapat dihasilkan 144 ton rumput laut basah atau kurang lebih 11 ton rumput laut kering Aslan 1998. Menurut Hidayat 1994 hasil produksi dalam ton per hektar dengan metode apung adalah sebesar 504 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering atau dengan perbandingan 13 : 1. Sedangkan menurut Indriani dan Sumarsih 1999 perbandingan antara berat basah dengan berat kering apabila di panen pada usia dua bulan adalah 6 : 1 dan jika dipanen pada usia 1 bulan perbandingannya 8 : 1. 2.4 Sistem Informasi Geografis Geografis Information System-GIS Menurut Zetka 1985 in Amarullah 2007 menyebutkan bahwa ekosistem pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui Sistem Informasi Geografis SIG dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir. Menurut Rice20; Gistut94 in Prahasta 2002 definisi SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan capturing, menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi lokasi dengan karateristik- karateristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Pemanfaatan SIG merupakan salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan perencanaan terkait pemanfaatan ruang perairan untuk budidaya perikanan. SIG juga bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karateristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa, sehingga data terserbut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan Soebagio 2005. Berbagai penelitian terkait dengan pemanfaatan SIG antara lain Radiarta et .al 2003 mengaplikasikan SIG untuk penentuan lokasi pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat; Winarso et.al 1999 in Trisakti et.al 2004 melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Bambang et.al 2003 in Trisakti et.al 2004 memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk analisis kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual survei langsung ke lapangan yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati lahan pesisir di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas Trisakti et.al 2004. Dalam penelitian ini, SIG digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan perairan untuk budidaya rumput laut, dengan tujuan optimalisasi lahan perairan dalam budidaya rumput laut. Beberapa hasil penggunaan SIG dalam penelitian ini antara lain peta sebaran ekosistem pesisir, peta kontur kedalaman, peta-peta tematik untuk parameter fisika kimia yang mempengaruhi budidaya rumput laut dan luas area pemanfaatan perairan saat ini. III METODOLOGI Penelitian ini dimasudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang PPK untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai potensi dan daya dukung lingkungan dengan pendekatan ecological footprint. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan cara menentukan kesesuaian perairan untuk budidaya berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang ecological footprint rumput laut dan ketersediaan ruang biocapacity. Untuk menghitung kebutuhan ruang didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumi, produktivitas dan kegiatan impor – ekspor. Hasil yang diperoleh berupa besaran hakapita, yang berarti setiap orang membutuhkan area perairan untuk budidaya rumput laut didasarkan pada pemanfaatan saat ini. Sedangkan perhitungan ketersediaan ruang perairan didasarkan pada metode skoring dan tumpang susun overlay terhadap parameter yang mendukung untuk budidaya rumput laut. Kemudian hasil yang diperoleh berupa besaran ha. Adapun masing-masing nilai EF dan BC dinormalisasikan dengan equivalence factor EqF. Nilai EqF adalah 0,06 merupakan nilai EqF berdasarkan tipe ekosistem laut Warren-Rhodes dan Koenig 2001 Selanjutnya kedua mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat kebutuhan ruang EF terhadap ketersediaan ruang BC yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Jika nilai EF BC maka disebut overshoot dimana tingkat kebutuhan ruang telah melebihi kemampuan ruang untuk mendukung budidaya rumput laut, demikian pula sebaliknya jika nilai EF BC maka disebut undershoot Schaefer et.al 2006 . Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar 4.

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Maret – Mei 2007, di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5. Ruang Ekologi Pulau-Pulau Kecil Gugus Pulau Salabangka Identifikasi Pemanfaatan Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Analisis Ketersediaan Ruang BiocapacityBC Budidaya Rumput Laut Analisis Kebutuhan Rumput Laut Ecological FootprintEF Rumput Laut Data Footprint Rumput Laut : - Data Tingkat Konsumsi Domestic ExtractionDE - Data Produktivitas Y - Data Impor IM – Ekspor EX Data Digital Data Sekunder Data Primer Interpolasi Data Peta Tematik -ii Peta Tematik -n Peta Tematik -i Basis Data Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut Peta Kesesuaian Peraian untuk Budidaya Rumput Laut Analisis Spasial Analisis Data Ketersediaan Ruang BiocapacityBC Budidaya Rumput Laut Kebutuhan Rumput Laut Ecological FootprintEF Rumput Laut Oseanografi : - Kecepatan arus - Kecerahan - Kedalaman - Keterlindungan - Dasar perairan - Salinitas - Suhu - pH - Oksigen Terlarut - Nutrient Analisis Ruang Ekologi Budidaya Rumput Laut EF BC Overshoot atau EF BC Undershoot Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka Gambar 4 Alur Kerangka Analisis