Pendekatan Ruang Ekologis Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah)

produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson 1999 in Venetoulis dan Talberth 2008 bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wakernagel dan Loh 2002 in Venetoulis dan Talberth 2008 menggunakan EF untuk menilai berapa banyak areal produktif daratan dan perairan yang diperlukan oleh perorangan, sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski 2005 bahwa setiap orang akan memanfaatan ruangsuatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk menilai hubungan permintaan demand terhadap sumberdaya dan ketersediaan supply sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum optimal. Yang dimaksud ruang ekologi dalam penelitian ini adalah ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut dan ketersediaan ruang yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Kecenderungan pemanfaatan ruang akan meningkat disebabkan perubahan pemanfaatan sumberdaya dimana sebelumnya masyakarat bermatapencaharian sebagai nelayan beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden yang melakukan budidaya rumput laut sebagai kegiatan utama sebesar 79,45 201 orang dan 20,55 52 orang sebagai kegiatan sampingan. Dalam perhitungan daya dukung ruang ekologis terhadap pengembangan rumput laut di bagi kedalam dua bagian yaitu i permintaan terhadap ruang ekologi berdasarkan biomassa yang dihasilkan EF dan ii ketersediaan ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut BC. Sebagaimana disebutkan Schaefer et.al 2006 perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya EF dan ketersediaan sumberdaya biocapacityBC. Ini merupakan gambaran penilaian terhadap periode waktu terpilih misalnya dalam setahun. Lebih lanjut, penilaian EF dalam pengembangan budidaya rumput laut merujuk pada konsumsi sumberdaya ruang perairan. Perhitungan konsumsi ini didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumsi Domestic ExtractionDE , produktivitas baik lokal maupun regional YieldY dan kegiatan impor IM – ekspor EX. Tingkat konsumsi diperoleh dari jumlah produksi rumput laut kering per orang dalam setahun. Nilai produktivitas berasal dari perbandingan jumlah produksi rumput laut dengan luas perairan yang digunakan. Sedangkan impor – ekspor berasal dari perdagangan rumput laut antar pulau di Gugus Pulau Salabangka. Komponen dalam penilaian EF di Gugus Pulau Salabangka dapat dilihat pada Gambar 3. Gugus Pulau Salabangka P1 P2 P3 P4 P5 P6 EX IM Pasar Koperasi Keterangan : P : Jumlah pembudidaya DE : Tingkat Konsumsi Domestic Exctraction Y : Produktivitas IM : Impor EX : Ekspor DE DE DE DE DE DE Yl okal Yl okal Yl okal Yl okal Yl okal Yl okal Y regional EX IM Gambar 3 Komponen Penilaian Ecological Footprint EF per kapita merupakan rata-rata ruang perairan yang digunakan per orang untuk budidaya rumput laut, sehingga total ruang ekologi hektar merupakan total luasan perairan diperlukan untuk memproduksi rumput laut berdasarkan jumlah pembudidaya rumput laut Wang dan Bian 2007. Menurut Venetoulis et.al 2004 jika total nilai EF bernilai positif atau negatif mengindikasikan bahwa adanya kelebihan atau kekurangan luasan yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya. Sedangkan pernilaian BC didasarkan pada ruang perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Total BC hektar menunjukkan total ruang perairan yang secara ekologi sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. BC per kapita menggambarkan ketersediaan ruang perairan budidaya rumput laut per orang Wang dan Bian 2007. Hasil analisis melalui pendekatan ruang ekologi dapat menggambarkan pemanfaatan terhadap sumberdaya belum optimal atau telah melebihi daya dukung ekologi. Meskipun suatu wilayah memiliki ketersediaan sumberdaya alam, tetapi secara lokal dapat mengalami defisit Schaefer et.al 2006 . Menurut Chambers et.al 2001 defisit ekologi suatu wilayah dimana tingkat kebutuhan terhadap sumberdaya melebihi kemampuan ekologis wilayah tersebut. Dengan kata lain, jika hasil penilaian EF lebih besar dibandingkan BC, maka kondisi ini disebut defisit.

2.3 Budidaya Rumput Laut

Salah satu jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya PPK adalah budidaya perikanan. Jenis budidaya yang dikembangkan pada setiap pulau akan berbeda satu dengan yang lain tergantung dari kondisi biofisik pulau tersebut. Salah satu jenis budidaya yang mulai dikembangkan di Gugus Pulau Salabangka adalah budidaya rumput laut. Rumput laut sea weed merupakan alga makro bentik yang hidup di laut dan termasuk kedalam tumbuhan tingkat rendah phylum thallophta, yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun atau dengan bagian tumbuhan secara keseluruhan merupakan “batang” yang disebut thallus. Kelompok tumbuhan ini memiliki bentuk beraneka ragam mulai dari bulat, silindris, pipih atau lembaran, filamen seperti rambut dan bersifat keras karena substansi mengandung zat kapur, lunak seperti tulang rawan, kenyal seperti gel atau fleksibel seperti bunga karang, serta mempunyai fungsi yang berbeda-beda sepeti perekat pada substrat, sebagai batang dan sebagai daun Atmadja et.al in Sulistijo dan Atmadja 1996. Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, lumpur berpasir dan berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya, baik terbentuk secara alamiah atau buatan. Alga bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di wilayah kajian adalah Eucheuma sp. Pada umumnya, rumput laut hidup berasosiasi dengan hewan karang, sehingga habitat rumput laut senantiasa berada disekitar terumbu karang. Menurut Kadi dan Atmadja 1988 in Iksan 2005 menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp. memiliki thallus berbentuk bulat silindris dengan permukaan licin, berwarna merahmerah-cokelat atau hijau, memiliki percabangan tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan blunt nodule atau duri spine pada thallus, subtansi thallus gelatinus dan atau kartilagenus. Lebih lanjut disebutkan bahwa spesies ini lebih banyak terdapat di daerah pasang surut intertidal atau pada daerah yang selalu terendam oleh air subtidal dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu, karang mati, karang hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Pertumbuhan jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh faktor oseanografi meliputi parameter fisika, kimia dan biologi Puslitbangkan 1991. Untuk Eucheuma alvarezii berwarna coklat memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan Eucheuma alvarezii berwarna hijau Kadi 2004. Terkait dengan kondisi lingkungan fisika untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air atau gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak seperti perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau didepannya Puslitbangkan 1991. Umumnya pertumbuhan Eucheuma sp. lebih baik pada dasar perairan yang stabil terdiri dari pecahan karangpotongan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur. Kondisi dasar perairan yang demikian menunjukkan daerah tersebut selalu dilalui oleh arus yang cukup. Mempunyai gerakan air arus yang cukup berkisar 20 – 40 cmdtk.