Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada permintaan demand dan kapasitas lahan biocapacity. Permintaan adalah kebutuhan pembudidaya terhadap perairan untuk budidaya rumput laut. Kapasitas lahan adalah wilayah perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Selanjutnya, dilakukan analisis ruang ekologis terhadap dua komponen yang digunakan yaitu permintaan dan kapasitas lahan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan terhadap pengembangan budidaya rumput laut dalam konteks pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi yang digunakan sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Dengan demikian, analisis ruang ekologis merupakan salah satu cara dalam upaya pengelolaan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Secara umum, pulau-pulau kecil PPK memiliki karateristik tersendiri meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati dan jasa lingkungan. Sumberdaya hayati di PPK antara lain terumbu karang, padang lamun, rumput laut mangrove, ikan dan biota laut lainnya. Di samping itu, berbagai keterbatasan di PPK baik dari segi fisik ukuran, ekologi sumberdaya, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, upaya pengelolaan PPK menjadi sangat penting. Menurut Adrianto 2005 bahwa dalam pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu dipertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karateristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi. Selain itu, persoalan lingkungan merupakan salah satu problem dalam pengelolaan PPK. Permasalahan lingkungan PPK dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni 1 permasalahan lingkungan secara umum common environmental problems, seperti limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau, dan 2 persoalan lingkungan lokal local environmental problems antara lain kekurangan air tawar, hilangnya tanah baik secara fisik maupun kualitas, limbah padat dan bahan kimia beracun dan problem spesies langka Hall 1999 in Adrianto 2004a. Terkait dengan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di PPK. Terjadi berbagai kerusakan ekosistem PPK seperti terumbu karang rusak karena penambangan karang untuk bahan bangunan atau karena aktifitas penangkapan ikan seperti penggunaan bom dan racun. Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan di PPK memerlukan pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya serta tidak melebihi daya dukung lingkungannya Adrianto 2005. Wilayah PPK juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat, menyebabkan diperlukan subsidi yang tepat sasaran dalam upaya pengelolaan ekonomi PPK Adrianto 2004a. Beberapa hal yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik smallness antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, keterbatasan kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik Adrianto 2005. Karateristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya mainland. Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa. Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu : 1 hak, 2 ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau, dan 3 sesuai kondisi sosial budaya setempat Dahuri 2003. Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan Bengen 2003.