BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Amandemen Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar. Sebagai tindak lanjut dari UUD 1945 tersebut, Undang-undang telah menetapkan bahwa anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden
serta Wakil Presiden, dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap 5 lima tahun sekali.
1
Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat tahun 2009 ini merupakan pemilihan langsung yang kedua setelah Pemilu 2004 lalu, yang merupakan sarana
perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2
Dalam penyelenggaraan Pemilu, sangat sulit dihindari terjadinya pelanggaran dan sengketa, karena dalam penyelenggaraan Pemilu banyak sekali kepentingan yang
terlibat, apalagi secara jujur harus di akui, bahwa tingkat kesadaran berdemokrasi masyarakat , relatif masih rendah. Yang perlu di jaga, agar pelanggaran dan sengketa
tersebut tidak menimbulkan gejolak dan tindakan anarkis dalam masyarakat. Jalan
1
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu, Kejaksaan Agung RI, Jakarta 1 Juli 2008, hal.1
2
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang terbaik untuk mengatasi masalah ini, adalah dengan cara menyelesaikan semua pelanggaran dan sengketa melalui jalur hukum, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3
Penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak
ketentuan tentang Pemilihan Umum terutama yang mengatur tindak pidana Pemilu dimana pelaksanaannya didasarkan pada mekanisme hukum acara
pidana. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa politik
harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadaan normal. Atau seberapa besar pengaruh Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu.
4
Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil
Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2008.
5
3
Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, Jakarta : Rajawali Pers 2009 hal.265.
4
Abdul Fickar Hadjar http:www.panwaslusalatiga.comindex.php?option=com_conte ntview=articleid=150Itemid=73 diakses tanggal 3 Agustus 2009
5
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi,
paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan. Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang
penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan
Pengawas Pemilu serta aparat di bawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu
merupakan Undang-undang khusus lex specialis karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP lex generalis juga
telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak
pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang
menghambat terlaksananya Pemilu.
6
Tidak hanya ketat, dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun
6
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal. Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar 40 pasal mengancam penyelenggara
Pemilu tingkat pusat KPU sampai dengan tingkat Desa PPS. Hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan
berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah hukumannya 13 dalam melakukan tindak pidana yang
ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang umum, Pelaksana
Kampanye orang partai atau event organizer, Pejabat Negara seperti KetuaWakil KetuaKetua MudaHakim Agung pada Mahkamah Agung,
KetuaWakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua Anggota BPK, GubernurDeputi Gubernur BI, serta Pejabat
Badan Usaha Milik Negara, PNSTNIPOLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas
Pemilu.
7
7
Ibid, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal
276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah13
satu pertiga dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.
Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP
lex generalis namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme hukum acaranya sendiri lex specialis mengingat segala penyelesaian yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi
dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menentukan batasan penyelesaian perkara pidana pemilu dari
sejak diterimanya laporan kejadian oleh Badan Pengawas Pemilu atau Panwaslu Provinsi atau Panwaslu Kabupaten Kota atau Panwaslu Kecamatan dan atau
Pengawas Pemilu Lapangan sampai dengan putusan pengadilan dan eksekusinya paling lama 59 hari.
Pada tingkat laporan di Bawaslu Panwaslu, laporan dari masyarakat, pemantau atau peserta Pemilu, paling lama 3 tiga hari sejak kejadian perkara;
laporan ditindak lanjuti paling lama 3 sampai dengan 5 lima hari, untuk kemudian ditentukan apakah pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana
Pemilu. Dalam hal pelanggaran administrasi diteruskan kepada KPU dan pelanggaran pidana pemilu diserahkan kepada Penyidik
Kepolisian. Dengan kecepatan dan kekhususan yang demikian, maka dituntut adanya
koordinasi antara lembaga penyelenggara Pemilu dengan instansi-instansi terkait penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan agar penyelesaian perkara pidana Pemilu tidak akan mengganggu jadwal pelaksanaan Pemilu itu sendiri.
8
Ketentuan yang membatasi laporan pelanggaran pidana Pemilu paling lama tiga hari sejak terjadinya perkara dapat menimbulkan problem, utamanya
bagi kejadian-kejadian atau perkara pidana Pemilu yang baru diketahui setelah melewati batas waktu tiga hari. UU Pemilu Nomor 10 tahun 2008 tidak
menjelaskan mengenai hal ini, padahal pada realitasnya banyak kecurangan- kecurangan baru diketahui setelah Pemilu selesai dilaksanakan.
9
Jika mengacu pada UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, maka konsekwensi dari
pemberlakuannya sebagai lex specialis, tindak pidana Pemilu yang diketahui pasca Pemilu selesai menjadi kadaluarsa. Hasil putusannya menjadi tidak
relevan, meski sebagai keputusan hukum harus juga tetap ditegakkan. Apalagi bagi putusan-putusan pengadilan yang berpengaruh terhadap perolehan suara
akan gugur pasca ditetapkannya hasil Pemilu nasional oleh KPU. Kemungkinan yang akan terjadi terhadap tindak pidana Pemilu pasca
Pemilu selesai adalah penuntutannya tetap dilakukan karena secara hukum tindak pidana ini tidak gugur. Hanya saja penuntutannya tidak didasarkan atas
UU Pemilu tetapi dengan mengggunakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam KUHP yaitu Pasal 148 sampai dengan 153.
8
Ardianti Yunita, http:www.hukumonline.comklinik_detail.asp?id=6926
diakses tanggal 4 Agustus 2009
9
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Karena pada prinsipnya ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam UU Nomor 102008 masih dapat diakomodir oleh ketentuan-ketentuan pidana
Pemilu dalam KUHP. Sedangkan bagi tindak pidana yang mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu akan dimasukkan pada wilayah pelanggaran lain
yaitu sengketa hasil Pemilu yang kewenangan memutusnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi.
Persoalan lain, potensi konflik antara lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum KPU dengan Badan Pengawas
Pemilu BAWASLU. Dari 51 pasal UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang mengatur tindak pidana
Pemilu, mayoritas bahkan hampir keseluruhan ketentuannya mengancam penyelenggara Pemilu sampai ke tingkat desa. Dari mulai KPU, KPU Provinsi,
KPU KabupatenKota, PPK Kecamatan, PPS DesaKelurahan dan PPLN Luar Negeri jika lalai dalam melaksanakan tugas atau tidak mengindahkan
rekomendasi-rekomendasi Bawaslu Panitia Pengawas, maka jerat hukum membentang di hadapan mereka.
Demikian juga Bawaslu Panwaslu Provinsi, Panwaslu KabupatenKota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar
Negeri yang tidak mengindahkan menindak lanjuti temuan laporan KPU menghadapi persoalan yang sama yaitu jerat hukum yang ancaman hukuman
maksimalnya 3 tiga tahun. Kewenangan mengawasi yang begitu besar disisi lain juga dapat melahirkan ketegangan-ketegangan antara KPU dengan Bawaslu
Universitas Sumatera Utara
yang pada gilirannya bila tidak disadari akan menghambat pelaksanaan Pemilu itu sendiri.
10
Problem selanjutnya adalah bahwa dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, di lihat pengawasan
dana kampanye belum menjadi fokus perhatian. Dari 51 ketentuan tindak pidana Pemilu tiga belas pasal diantaranya mengatur tentang kampanye, dan hanya satu
ketentuan yaitu Pasal 281 yang mengatur tentang laporan dana kampanye. Ini berarti bahwa pengawasan terhadap dana kampanye, yang berdasarkan
pengalaman penyelenggaraan Pemilu pada waktu-waktu yang lalu menimbulkan banyak masalah, justru hanya diatur melalui “pengawasan laporan”.
11
Aturan mengenai pengawasan dana kampanye Pemilu nampaknya memang sengaja tidak dibuat oleh para anggota DPR, karena pada kenyataannya
banyak pengusaha yang memberikan suntikan dana terhadap partai politik terutama pada partai yang besar. Hal ini tentu menguntungkan parpol besar, dan
tidak untuk partai kecil. Demikian juga mengenai besaran dana yang digunakan untuk kampanye juga tidak dapat diawasi oleh Bawaslu, karena ia tidak memiliki
kewenangan dalam mengawasi dana kampanye. Dana kampanye bukan merupakan tahapan Pemilu, karenanya tidak diwasi oleh Bawaslu. Dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tugas Bawaslu hanya mengawasi Pemilu saja.
10
Achmad Mudatsir R http:www.legalitas.org?q=contentkecerobohan-pansus-uu- nomor-10-tahun-2008 diakses tanggal 5 Agustus 2009
11
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Di sisi lain, meskipun ketentuan mengenai dana kampanye memberikan kebebasan menerima sumbangan dari perseorangan, kelompok dan atau
perusahaan, namun juga membatasi penerimaan sumbangan dari badan usaha milik negara pemerintah. Realitas politik praktis yang memungkinkan para
pejabat negara termasuk pejabat BUMND berasal dari orang partai politik justru menjadi potensi penyimpangan berupa pemberian sumbangan ilegal yang
diberikan oleh Instansi BUMN yang dipimpinnya. Peluang penyimpangan dana kampanye ini memang sangat potensial terjadi. Oleh sebab itu, pengawasan dana
kampanye partai politik menjadi sangat penting, mengingat audit terhadap dana kampanye partai politik ini baru diserahkan ke KPU sekitar empat puluh lima
hari setelah pemungutan suara, maka akan menjadi sangat penting jika masyarakat dapat melaporkan indikasi penyimpangan ini kepada pengawas
pemilu sehingga dapat diantisipasi sejak awal. Sistem penegakan hukum tindak pidana Pemilu yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara Pemilu yang
diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta Pemilu pada setiap tahapan pemilu. Di sisi lain “nuansa cepat” dalam
pelaksanannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat
umum.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana Pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka untuk
memperbaiki kualitas demokrasi dan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan tidak akan terhindarkan. Jika bandul kekuatan
politik sarat mewarnai sistem perundangan Pemilu yang mengarah pada negasi pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, jangan khawatir, masyarakat dan
Mahkamah Konstitusi akan melawannya. Menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI disingkat
MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, selain
Mahkamah Agung disingkat MA dengan seluruh badan peradilan yang bernaung di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer
dan peradilan tata usaha negara.
12
Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disingkat UU MK menegaskan bahwa keberadaan MKRI adalah ”sebagai lembaga
negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak dan cita-cita demokrasi”. Sesuai dengan keberadaan, kedudukan dan fungsinya tersebut, MKRI diberi
wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945
12
Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konsitusi,Jakarta : Konsititusi Press dan Jogyakarta : Citra Media, 2006. Hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
yang ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 UU MK, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat disebut
menguji konstitusionalitas undang-undang; 2.
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau memutus sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara; 3.
memutus pembubaran partai politik; 4.
memutus perselisihan hasil pemilihan umum Pemilu; dan 5.
memberi putusan atau pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD disingkat Impeachment
DPR. Untuk melaksanakan ke lima kewenangan MKRI tersebut catatan : memutus
soal Impeachment disebut oleh UUD 1945 sebagai kewajiban MK, hukum acaranya telah diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 85 UU MK, meskipun masih bisa
dilengkapi oleh MK vide Pasal 86 UU MK lewat Peraturan Mahkamah Konstitusi PMK.
Hukum Acara MK bersifat umum dan khusus. Hukum Acara yang bersifat umum berlaku untuk semua kewenangan MK, sedangkan Hukum Acara yang bersifat
khusus hanya berlaku khusus untuk masing-masing kewenangan MK.
13
13
Abdul Mukhtie Fadjar, Disampaikan dalam acara Temu Wicara dengan guru SMA dan SMK Provinsi DKI Jakarta “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, 11 Agustus
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah