BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI PARA PENEGAK HUKUM
DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMILU
A. Potensi Problem Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu
Dalam taliannya dengan UU Nomor 10 Tahun 2008, ternyata jauh lebih banyak mengatur ketentuan pidana untuk mencegah perbuatan curang dari peserta
Pemilu. Kendatipun demikian, ini tidak mencegah orang untuk berbuat curang, yang potensi-potensi pelanggaran menganga dalam praktiknya di lapangan. Sebagai
contoh, perbuatan seseorang yang pada masa tenang memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih dengan maksud agar pemilih tersebut
memilih calon atau peserta pemilu tertentu.
95
Pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur sanksi pidana terhadap KPPS yang secara sengaja tidak memberikan
salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu danatau Pengawas Pemilu. Namun, UU ini tidak secara jelas mengatur sanksi
bagi PPK, KPU kabupatenkota, KPU provinsi, dan KPU, bila pada akhirnya mereka tidak memberikan berita acara dan sertifikat rekapitulasi perolehan suara kepada saksi
peserta Pemilu dan pengawas Pemilu.
96
Penegakan hukum Pemilu sering terhambat karena perbedaan penafsiran Penyidik Polri atas tugas dan fungsi jajaran Pengawas Pemilu terkait ketentuan Pasal
95
Nur Hidayat Sardini, Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, Jakarta 2009.www.Nur Hidayat Sardini.com., Catatan Harian Ketua Bawaslu.
96
Ibid
Universitas Sumatera Utara
247 ayat 6 jo ayat 9 yang pada pokoknya menyatakan dalam hal laporan pelanggaran terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupatenkota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjutinya dengan meneruskan laporan
pelanggaran pidana Pemilu kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagian aparat penyidik Polri berpendapat bahwa Pengawas Pemilu harus
dapat mengumpulkan bukti-bukti untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pidana Pemilu. Dengan keterbatasan waktu hanya 5 hari untuk
menindak-lanjuti sebuah laporan sejak diterima dari pelapor, mustahil bagi jajaran Pengawas Pemilu untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk memastikan bahwa
laporan tersebut memenuhi unsur pidana Pemilu, apalagi sumber daya manusia yang tersedia sangat sedikit serta kewenangan yang sangat terbatas.
Selain itu, Pasal 257 mengatur bahwa putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut UU ini dapat memengaruhi perolehan suara
peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilihan umum secara nasional. Pasal yang semula dimaksudkan untuk
mempercepat proses penanganan pelanggaran tersebut sehingga tidak mempengaruhi proses penyelesaian penanganan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi,
pada akhirnya justru menjadi persoalan tersendiri bagi pengawas pemilu dalam menindaklanjuti temuan dan laporan kepada penyidik polri.
Laporan dari pengawas pemilu di daerah menyatakan mereka kesulitan untuk meneruskan laporan dan temuan kepada penyidik, terutama sejak 15 April 2009.
Universitas Sumatera Utara
Dilaporkan pula bahwa kasus-kasus dugaan tindak pidana pemilu selepas tanggal tersebut dinilai sudah melampaui batas waktu; sementara batas waktu yang
ditentukan tersebut adalah 5 lima hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional, yang jatuhnya paling lambat harus selesai pada 4 Mei 2009 karena
hasil Pemilu harus sudah ditetapkan secara nasional pada 9 Mei 2009.
97
Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP lex
generalis namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme hukum acaranya sendiri lex specialis mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu
temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam mengisi
fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya.
98
Putusan pengadilan pelanggaran pidana pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus diselesaikan paling lama 5 lima hari
sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Dengan kecepatan dan kekhususan yang demikian, maka dituntut adanya
koordinasi antara lembaga penyelenggara pemilu ic KPU dengan instansi-instansi terkait penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan dam Mahkamah Agung, hal ini
97
Ibid.
98
Abdul Fickar Hadjar, Op Cit.
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan agar penyelesaian perkara pidana pemilu tidak akan mengganggu jadwal pelaksaan pemilu itu sendiri.
Selain Kepolisian dan kejaksaan dalam kaitan begitu singkatnya penanganan perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan dibandingkan dengan hukum acara
dalam KUHAP, dalam kaitan ini sangat urgent peranan Mahkamah Agung dalam membuat ketentuan dan kriteria “hakim khusus” yang akan menangani perkara-
perkara pemilu. Namun demikian dengan pengaturan yang bernuansa cepat dalam
penyelesaian perkara pidana pemilu ini, aturan ini masih menyimpan beberapa potensi problem didalamnya yang dapat diihat sebagai berikut:
Pertama, ketentuan yang membatasi laporan pelanggaran pidana pemilu paling lama tiga hari sejak terjadinya perkara dapat menimbulkan problem, utamanya
bagi kejadian-kejadian atau perkara pidana pemilu yang baru diketahui setelah melewati batas waktu tiga hari. UU No. 10 Tahun 2008 tidak menjelaskan mengenai
hal ini, padahal pada realitasnya banyak kecurangan-kecurangan baru diketahui setelah pemilu selesai dilaksanakan. Pertanyaannya bagaimana penyelesaian terhadap
tindak pidana pemilu yang diketahui setelah pemilu selesai Jika mengacu pada UU No. 10 Tahun 2008, maka konsekwensi dari
pemberlakuannya sebagai lex specialist, tindak pidana pemilu yang diketahui pasca pemilu selesai menjadi kadaluarsa dalam pengertian tidak tunduk lagi pada hukum
acara yang diatur oleh UU No.10 Tahun 2008, hasil putusannya menjadi tidak relevan, meski sebagai keputusan hukum harus juga tetap ditegakkan. Apalagi bagi
Universitas Sumatera Utara
putusan-putusan pengadilan yang berpengaruh terhadap perolehan suara akan gugur pasca ditetapkannya hasil pemilu nasional oleh KPU. Kerap kali hukum itu tidak
ditegakkan sebagaimana mestinya karena adanya intrevensi kekuatan politik
99
99
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Polilitk dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal.3
Kemungkinan yang akan terjadi terhadap tindak pidana pemilu pasca pemilu selesai adalah penuntutannya tetap dilakukan karena secara hukum tindak pidana ini
tidak gugur. Hanya saja penuntutannya tidak didasarkan atas UU Pemilu tetapi dengan mengggunakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan umum
dalam KUHP yaitu Pasal 148 sampai dengan 153. Karena pada prinsipnya ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 masih dapat diakomodir oleh
ketentuan pidana pemilu dalam KUHP. Sedangkan bagi tindak pidana yang mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu akan dimasukkan pada wilayah
pelanggaran lain yaitu sengketa hasil pemilu yang kewenangan memutusnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, potensi konflik antara lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum KPU dengan Badan Pengawas Pemilu
BAWASLU. Dari 51 pasal yang mengatur tindak pidana pemilu, mayoritas bahkan hampir keseluruhan ketentuannya mengancam penyelennggara pemilu sampai
ketingkat desa. Dari mulai KPU, KPU Propinsi, KPU KabupatenKota, PPK Kecamatan, PPS Desakelurahan dan PPLN Luar Negeri jika lalai dalam
melaksanakan tugas atau tidak mengindahkan rekomendasi Bawaslu Panitia
Universitas Sumatera Utara
Pengawas, maka jerat hukum membentang di hadapan mmereka. Demikian juga BawasluPanwaslu Propinsi, Panwaslu KabupatenKota, panwaslu Kecamatan atau
Panwaslu lapanganLuar Negeri yang tidak mengindahkanmenindak lanjuti temuanlaporan KPU menghadapi persoalan yang sama yaitu jerat hukum yang
ancaman hukuman maksimalnya tiga tahun. Kewenangan mengawasi yang begitu besar di sisi lain juga dapat melahirkan
ketegangan-ketegangan antara KPU dengan Bawaslu yang pada gilirannya bila tidak disadari
akan menghambat pelaksanaan pemilu itu sendiri. Problem ketiga, adalah bahwa dalam UU No. 10 Tahun 2008 pengawasan
dana kampanye belum menjadi fokus perhatian. Dari 51 lima puluh satu ketentuan tindak pidana pemilu tiga belas pasal diantaranya mengatur tentang kampanye, dan
hanya satu ketentuan yaitu Pasal 281 yang mengatur tentang laporan dana kampanye. Ini berarti bahwa pengawasan terhadap dana kampanye, yang berdasarkan
pengalaman penylenggaraan pemilu pada waktu-waktu yang lalu menimbulkan banyak masalah, justru
hanya diatur
melalui “pengawasan laporan”.
Aturan mengenai pengawasan dana kampanye pemilu nampaknya memang sengaja tidak dibuat oleh para anggota DPR, karena pada kenyataannya banyak
pengusaha yang memberikan suntikan dana terhadap partai politik terutama pada partai yang besar. Hal ini tentu menguntungkan parpol besar, dan tidak untuk partai
kecil. Demikian juga mengenai besaran dana yang digunakan untuk kampanye juga tidak dapat diawasi oleh BAWASLU, karena Badan Pengawas Pemilu Bawaslu
tidak memiliki kewenangan dalam mengawasi dana kampanye.
Universitas Sumatera Utara
Dana kampanye bukan merupakan tahapan pemilu, karenanya tidak diwasi oleh Bawaslu, dalam UU No 10 Tahun 2008, tugas Bawaslu hanya mengawasi
pemilu saja. Di sisi yang lain ketentuan meskipun ketentuan mengenai dana kampanye
memberikan kebebasan menerima sumbangan dari perseorangan, kelompok dan atau perusahaan, namun juga membatasi penerimaan sumbangan dari badan usaha milik
negarapemerintah. Realitas politik praktis yang memungkinkan para pejabat negara termasuk pejabat BUMND berasal dari orang partai politik justru menjadi potensi
penyimpangan berupa pemberian sumbangan ilegal yang diberikan oleh InstansiBUMN yang dipimpinnya. Peluang penyimpangan dana kampanye ini
memang sangat potensial terjadi. Oleh sebab itu, pengawasan dana kampanye partai politik menjadi sangat penting, mengingat audit terhadap dana kampanye partai
politik ini baru diserahkan ke KPU sekitar empat puluh lima hari setelah pemungutan suara, maka akan menjadi sangat penting jika masyarakat dapat melaporkan indikasi
penyimpangan ini kepada pengawas pemilu sehingga dapat diantisipasi sejak awal. Dalam konteks pelaksanaan kampanye terdapat sejumlah potensi
penyimpangan yang tidak terakomodasi dalam ketentuan pidana pemilu, sehingga kesadaran dari para pejabat yang berasal dari partai politik untuk memilah antara
jabatan dan posisinya di partai politik menjadi sangat penting. Sama pentingnya dengan sikap profesional, tidak memihak, dan tegas dari para pengawas dan penegak
hukum yang diperintahkan oleh undang-undang untuk mengawal aturan main pemilu.
Universitas Sumatera Utara
B. Hambatan Yang Dihadapi Para Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu