commit to user
Melihat pemaparan fakta-fakta tersebut, nampaknya masih terdapat tumpang tindih dalam konsep desain periklanan even SIEM dan SIPA ini.
Tumpang tindih konsep terletak pada dipadukannya nama acara dengan jargon dan
headline
dalam pesan iklannya. Dengan demikian, peneliti mengusulkan agar dalam konsep pesan iklannya,
digodok
kembali mengenai penggunaan jargon dan headline acara SIEM dan SIPA agar khalayak dapat menerima pesan yang
disampaikan dengan tingkat fidelitas yang tinggi.
B. Penggunaan Logo pada Pesan SIEM dan SIPA
Analisis kedua yang peneliti ajukan adalah tentang penggunaan logo pada pesan iklan
SIEM dan SIPA. Kata “logo” merupakan singkatan dari
logogriphs
. Logo merupakan imbangan berbentuk gambar dari nama merk Danesi,
2004:373. Logo dirancang untuk mengukuhkan sistem signifikasi bagi sebuah produk melalui saluran visual.
Konsep lain tentang logo disampaikan oleh Govani. Govani dalam Decrop, 2007:373 menyebutkan bahwa logo merupakan sebuah design special dari
perusahaan pengiklan atau nama merk; logo sama halnya dengan sebuah tanda tangan atau merk dagang
trademarks
karena merk dagang menginformasikan individualitas dan kesegeraan pengenalan dalam iklan,
packaging
,
point of purchase
serta usaha-usaha promosi yang lain. Ketika logo membantu pembaca mengenali produk-produk atau merk-merk dan menciptakan identitas produk-
produk dan merk-merk tersebut, logo secara bersamaan dapat meningkatkan perhatian pada iklan atau pada produk tersebut Bovee Arens dalam Decrop,
commit to user
2007. Namun bagaimanapun juga, logo memiliki isi yang sangat spesifik dan singkat. Logo juga memiliki nilai informasi yang terbatas. Logo, pada akhirnya
tidak menunjang tujuan perilaku apapun Belch Belch dalam Decrop, 2007. Logo, terkadang dapat berisi sistem signifikasi yang rumit Danesi, 2004:
374. Dapat dikatakan daya tarik dan kekuatan untuk menahan perhatian pembaca dalam sebuah logo yang rumit adalah dari sisi ketaksaan yang dikandungnya.
Malah, ketaksaan adalah hal yang membuat tanda menjadi kuat secara psikologis. Karena kita tidak dapat memastikan bahwa Y ada dalam relasi X = Y, kita mulai
mengalami tanda secara lebih holistik dan karenanya menyematkan signifikasi yang besar padanya. Logo kini telah menjadi bagian dari simbolisme visual
sehari-hari yang mengaitkan produk dengan keseharian kita. Hingga tahun 1970- an, logo biasanya digunakan pada pakaian, disembunyikan di balik kerah atau di
dalam saku. Namun sejak dasawarsa tersebut, logo dipajang secara mencolok. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita kini telah menjadi “sadar logo”.
Dalam perkembangannya saat ini, logo telah diperluas cakupannya. Logo bukan hanya mencakup identitas produk, namun keseluruhan dari sebuah korporasi, dan
bahkan tokoh spesifik, yang melalui satu cara mewakili korporasi. Dikaitkan dengan penelitian tentang SIEM dan SIPA ini, di semua korpus
tercantum logo Pemerintah Kota Pemkot Solo. Paket promosi yang mencantumkan logo Pemkot Solo adalah korpus 1, korpus 2, korpus 3, korpus 4,
korpus 5, korpus 6, korpus 7, dan korpus 8. Seperti yang disampaikan oleh Govani dalam Decrop, 2007 bahwa logo sama halnya dengan sebuah tanda
tangan atau merk dagang
trademarks
karena merk dagang menginformasikan
commit to user
individualitas dan kesegeraan pengenalan dalam iklan,
packaging
,
point of purchase
serta usaha-usaha promosi yang lain. Demikian pula logo Pemkot Solo yang tercantum dalam paket-paket promosi SIEM dan SIPA mengindikasikan
bahwa logo tersebut merupakan tanda tangan dari pemerintah Kota Solo. Logo Pemkot Solo menginformasikan Pemkot Solo sebagai individu sekaligus
memunculkan kesegeraan pengenalan logo tersebut dalam pelaksanaan kegiatan SIEM dan SIPA. Di dalam upaya penciptaan citra untuk sebuah produk terdapat
pembentukan „kepribadian‟ yang dengannya
audience
bisa dengan mudah melakukan identifikasi. Logo merupakan salah satu cara untuk melakukan
identifikasi tersebut selain nama acara atau produk, kemasan, harga dan seluruh penampilan produk. Indetitas-indentitas tersebut menciptakan karakter yang dapat
dikenali yang dimaksudkan untuk menarik minat satu jenis
audience
tertentu Danesi, 2010:227.
Danesi lebih lanjut menyampaikan bahwa kesegeraan pengenalan kepribadian pada logo merupakan salah satu cara pembentukan tatanan pemikiran
sosial selain teknik
positioning
.
Positioning
merupakan penempatan atau disasarkannya suatu produk untuk orang-orang yang tepat.
Berbicara mengenai penciptaan kepribadian, Danesi membicarakan pula kaitannya dengan upaya untuk penciptaan citra. Di dalam upaya penciptaan citra
ini, sebuah produk membentuk „kepribadian‟ yang dengannya para konsumen tertentu bisa dengan mudah melakukan identifikasi. Dengan demikian jelas bahwa
gagasan di balik penciptaan citra bagi sebuah produk adalah upaya untuk berbicara secara langsung ke satu jenis pribadi tertentu, bukan kepada setiap
commit to user
orang, sehingga para individu ini bisa melihat kepribadian mereka terwakili di dalam citra gaya hidup yang diciptakan oleh iklan dari satu produk tertentu.
Citra merek ini tertanam semakin dalam melalui teknik mitologisasi. Teknik mitologisasi merupakan strategi untuk secara sengaja mengaitkan nama, logo,
rancangan produk, iklan dan komersial suatu merek dengan makna mitis tertentu. Sebagai contoh, ada beragam tema mitis yang digunakan dalam upaya
mendapatkan citra tertentu untuk menjelaskan tentang kecantikan yang diperoleh setelah menggunakan sebuah produk kecantikan tertentu. Pada kasus ini, strategi
yang sering secara harfiah terlihat pada orang-orang yang tampil dalam iklan komersial. Biasanya mereka adalah orang-orang yang cantik, dan memiliki
kualitas kecantikan yang „tidak nyata‟ dan nyaris seperti dewa.
Contoh lain misalnya iklan komersial deterjen. Dalam iklan ini dijelaskan mengenai noda yang menempel pada baju. Disebutkan bahwa jenis noda ini
adalah jenis noda yang membandel yang sulit untuk dihilangkan. Dalam iklan kemudian dijelaskan bahwa dengan menggunakan deterjen ini, maka noda yang
membandel langsung hilang seketika. Dengan demikian, makna mitis yang digunakan pada iklan ini adalah bahwa deterjen ini sangat sempurna
menghilangkan noda didukung dengan waktu menghilangkan noda yang sangat cepat.
Cara lain yang dipakai oleh pembuat iklan dalam menanamkan mitologi produk menurut Danesi 2010 adalah melalui rancangan logo. Dicontohkan
misalnya logo busur emas McDonald. Saat ini, sebagian besar orang yang pergi ke restoran cepat saji untuk berkumpul bersama keluarga atau teman-teman adalah
commit to user
untuk mendapatkan makanan dengan cepat dan karena suasana yang nyaman dalam restoran tersebut. Banyak orang juga mengakui makanan di restoran
McDonald tersebut murah dan pelayanannya yang cepat dan sopan. Bahkan mungkin sekarang banyak yang merasa betah untuk berada di restoran tersebut.
Hal ini sebenarnya adalah merupakan kunci semiotika untuk membuka makna yang ingin diciptakan oleh logo McDonald. Busur menggambarkan simbolisme
mitis, mengajak orang-orang baik agar lewat dibawahnya dengan penuh kemenangan untuk memasuki surga keteraturan, kebersihan, suasana ramah,
kenyamanan, kerja keras, disiplin diri dan nilai-nilai keluarga. Di satu sisi, McDonald bisa disetarakan dengan agama terorganisasi. Dari
menu sampai seragamnya, McDonald menerapkan dan memastikan adanya keseragaman, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan agama-agama dunia
yang terorganisasi menerapkan interpretasi yang distandarkan pada teks-teks kitab suci serta keseragaman dalam hal penampilan dan perilaku para pemimpin
agamanya. Oleh karena itu, pesan yang diciptakan secara tidak sadar oleh logo busur emas bahwa seperti layaknya surge, McDonald adalah tempat yang akan
„melakukan segalanya bagi Anda‟ sebagaimana yang pernah disampaikan dalam salah satu slogan perusahaan makanan cepat saji ini.
commit to user
Gambar 5.8. Mitologi kejayaan pada logo Pemkot Solo dengan teknik rancangan logo Diunduh dari http:pemkotska.blogspot.com
Gambar diatas merupakan lambang Kota Solo. Lambang ini mewakili Pemkot Solo dalam pesan iklan SIEM dan SIPA. Hampir keseluruhan pesan iklan
SIEM dan SIPA mencantumkan logo ini sebagai sebuah penciptaan kepribadian Pemkot Solo. Dari kedelapan pesan iklan SIEM dan SIPA, kesemuanya
mencantumkan logo Pemkot Solo ini. Kedelapan korpus tersebut adalah korpus 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8. Logo, disebut juga sebagai simbol atau lambang, memiliki
fungsi sebagai identitas yang secara denotatif mewakili suatu benda atau produk. Sementara di sisi lain, logo secara konotatif mewakili suatu konsep Suwardikun,
2006. Memperluas konsep yang disampaikan oleh Suwardikun mengenai logo,
Rosson 2002 menyatakan bahwa identitas adalah totalitas cara dari sebuah organisasi merepresentasikan dirinya sendiri. Identitas adalah bagaimana
organisasi tersebut memandang dirinya sendiri. Identitas tersebut mencakup karakter korporat, personalitas serta aset dari organisasi tersbeut yang harus
dikelola dengan baik.
commit to user
“The totality of the way the organization
presents itself can be called its identity.Put another way, identity is how a company thinks about itself and
would like to be viewed by others. It is closely aligned with ideas of corporate character, personality, and culture or corporate soul, mind and
v
oice, and represents an asset to be managed at the highest level”. Logo Pemkot Solo mencirikan hal yang serupa. Logo tersebut mewakili
kehadiran dari Pemkot Solo pada even SIEM dan SIPA. Logo Pemkot Solo ini juga mengandung suatu konsep tentang budaya pemerintah, karakter pemerintah
dan menunjukkan identitas Pemkot Solo sebagai pihak yang memiliki wewenang pengaturan
Kota Solo
termasuk wewenang
untuk memberikan
ijin penyelenggaraan SIEM dan SIPA.
Logo Pemkot Solo, apabila kita kaitkan dengan apa yang telah disampaikan oleh Danesi sebelumnya, bahwa logo Pemkot Solo ini pun tidak lepas dari mitos.
Mitos ini dikembangkan dengan teknik-teknik atau cara-cara tertentu seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya. Mitos yang terbentuk pada logo Pemkot
Solo di pesan iklan SIEM dan SIPA dapat diketahui setelah kita menemukan makna denotatifnya. Makna denotative ini dapat kita amati dari sisi warna dan
lukisan pada logo tersebut. Makna warna pada lambang Kota Solo sebagaimana yang tercantum di
http:www.surakarta.go.idkontenvisi-misi-dan-lambang adalah warna hijau melambangkan kehidupan. Warna-warna putih, kuning, merah, dan hitam
melukiskan nafsu diantara beberapa nafsu manusia. Apabila dimaknai secara bersama-sama, maka hidup harus dapat menguasai nafsunya. Makna lukisan pada
lambang Kota Solo diantaranya adalah perisai yang berarti mewujudkan lambang
commit to user
perjuangan dan perlindungan. Tugu lilin menyala melukiskan kebangunan dan kesatuan kebangsaan. Keris melambangkan kejayaan dan kebudayaan. Panah
berarti selalu waspada. Jalur mendatar berombak melambangkan Bengawan Solo. Bintang di sudut kanan dan kiri lambang melukiskan bintang di langit dan berarti
kesejahteraan. Bambu runcing menggambarkan perjuangan rakyat. Kapas dan padi melukiskan pakaian dan makanan yang berarti doa kearah kemakmuran.
Jumlah 6 dari daun, bunga dan buah kapas berarti bulan 6, jumlah 16 dari buah padi berarti tanggal 16. Kain adalah hasil kerajinan terpenting dari Kota Solo
dan Sidomukti mengandung arti doa untuk keluhuran Kota Solo. Makna selanjutnya dari lambang Kota Solo adalah lukisan yang terdapat dalam lingkaran
jorong yang merupakan surya sangkala memet. Surya sangkala memet terdiri dari gambar anak panah diatas busur dengan bergerak, berarti rinaras dan berwatak
enam. Air berarti waudadi atau dadi dan berwatak empat. Mulai pangkal panah sampai ujung tugu merupakan bentuk lurus berarti terus dan berwatak
sembilan. Tugu lilin berarti manunggal dan berwatak satu. Dengan demikian, secara lengkap berbunyi Rinaras Dadi Terus Manunggal yang berarti tahun
1946. Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara
de facto
tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus
kekuasaan Kerajaan
Kasunanan dan
Mangkunegaran http:www.surakarta.go.idkontensejarah-pemerintahan.
Mengamati tentang logo yang digunakan oleh Pemkot Solo, sebagaimana yang dinyatakan Danesi 2010, peneliti menyampaikan argumentasi bahwa logo
commit to user
yang dimunculkan pada pesan iklan SIEM dan SIPA dibangun dengan teknik mitologisasi rancangan logo. Teknik mitologisasi rancangan logo, sebagaimana
yang telah peneliti sampaikan, adalah teknik membangun mitos yang didasarkan pada rancangan makna-makna logo tersebut. Logo Pemkot Solo dirancang dengan
membangun makna warna dan makna lukisan pada logo tersebut. Tema pokok mitis adalah bahwa logo diciptakan dengan mengingat sejarah masa lalu pada saat
pemerintahan Kota Solo pertama kali dibangun. 16 Juni 1946 merupakan hari lahir pemerintahan Kota Solo yang terpisah dari Keraton Mangkunegaran dan
Keraton Kasunanan. Pada tanggal tersebut merupakan pemisahan secara resmi pengelolaan pemerintahan yang dahulu dilaksanakan oleh Keraton, kini
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Solo. Peresmian pengelolaan secara administratif ini pula yang mendasari mitologi slogan Kota Solo yang
dicanangkan oleh Jokowi. Solo Masa Kini adalah Solo Masa Lalu. Orientasi slogan ini adalah memori-memori di masa lalu yang ingin kembali
diciptakan sekarang ini. Jika pada masa lalu Kota Solo memiliki bus tingkat, maka sekarang ini Kota Solo memiliki bus Werkudara. Bus Werkudara merupakan bus
tingkat yang diharapkan dapat mengingatkan masyarakat Solo kembali tentang masa silam. Bus ini menurut Jokowi juga merupakan bus wisata layaknya di
Singapura, yang membawa para turis untuk mengelilingi Kota Solo. Hal lainnya untuk menciptakan mitologi masa lalu dengan penataan kota. Taman
Balekambang dibersihkan kembali menjadi ruang publik. Namun sayangnya, taman ini yang dimasa lalu menjadi milik Keraton, sekarang ini telah menjadi
commit to user
wilayah publik. Konsep Solo masa lalu tidak konsisten dengan slogan Solo Masa Kini adalah Solo Masa Lalu.
Dengan demikian, para pembuat iklan menciptakan nama merek, logo dan rancangan kemasan, bentuk botol, iklan tercetak, dan komersial dengan di bawah
penampilan permukaannya menyinggung hasrat-hasrat, dorongan, dan motif mitis yang tidak sadar. Danesi 2010 menyatakan sekarang ini, iklan menawarkan
bentuk janji dan harapan yang dahulu hanya dimiliki agama dan filsafat sosial- keamanan terhadap bahaya usia tua, posisi yang lebih baik di dalam kehidupan,
popularitas dan prestise pribadi, kemajuan sosial, kesehatan yang lebih baik, kebahagiaan, dan sebagainya. Dengan kata lain, para pengiklan modern tidak
menekankan pada produk itu sendiri, namun ia lebih menekankan pada keuntungan yang diharapkan datang bersama dengan pembelian produk tersebut.
Konsep demikian, tidak terkecuali berlaku pada pencantuman logo Pemkot Solo pada pesan iklan even SIEM dan SIPA. Di balik pencantuman logo Pemkot
Solo ini, tersimpan di dalamnya singgungan hasrat, dorongan dan motif mitis tak sadar. Logo Pemkot Solo sesuai dengan deskripsi makna seperti yang telah
peneliti sampaikan sebelumnya peneliti kategorikan ke dalam hasrat atau dorongan kemajuan sosial, kesejahteraan bersama di dalam kehidupan
bermasayarakat. Hal ini seperti yang telah dinyatakan oleh Ketua SIEM, Putut H Pramono dan Ketua SIPA, Irawati Kusumorasri bahwa penyelenggaraan SIEM
dan SIPA bahwa penyelenggaraan SIPA tidak hanya sekadar menyelenggarakan sebuah even namun acara-acara tersebut memiliki efek yang berlapis. Efek
berlapis dalam hal, meningkatnya kesejahteraan ekonomi masyarakat Solo mulai
commit to user
dari efek ekonomi penyediaan tempat parkir, meningkatnya hunian hotel, meningkatnya pendapatan para penjual makanan dan meningkatnya pendapat
masyarakat yang membuat souvenir acara-acara tersebut. Lapisan efek lain adalah dari sisi apresiasi terhadap budaya bangsa. Masyarakat Solo melalui even SIEM
dan SIPA diajak untuk menghargai budaya khususnya di bidang seni musik dan seni tari. Kedua jenis kesenian ini ditampilkan dengan harapan dapat
meningkatkan apresiasi masyarakat Solo dan sekitarnya terhadap bagian dari budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
Tujuan-tujuan ini baik. Namun menurut pengamatan peneliti, apa yang dicita-citakan ini masih merupakan sebuah mitologi. Sebagaimana yang telah
peneliti sampaikan sebelumnya bahwa mitologi yang dimaksud adalah mitologi akan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama, dalam konteks penelitian ini
dicapai dengan mengadakan even SIEM dan SIPA. Perlu dicatat bahwa even ini bersifat temporer. SIEM dan SIPA diselenggarakan setiap tahun. SIEM
diselenggarakan di bulan Juli dan SIPA diselenggarakan di bulan September. Seberapa jauh dampak kesejahteraan masyarakat tersebut dapat dicapai jika even
yang dilaksanakan sifatnya temporer? Penjelasan ini menunjukkan bahwa yang dilakukan sebuah merek dagang
atau logo lebih dari sekadar memberikan identifikasi produk. Nama merek, logo, dll dibuat untuk menciptakan sistem signifikasi konotatif bagi produk tersebut.
Jelas pula menurut Danesi 2010 bahwa pada tingkat informasi praktis, penamaan produk memiliki fungsi denotative, yakni bahwa hal tersebut
memudahkan para konsumen mengenali produk yang ingin mereka beli atau tidak
commit to user
ingin mereka beli. Akan tetapi, pada tingkat konotatif, nama produk ini membangkitkan pelbagai citra yang menjangkau lebih jauh daripada fungsi
pengidentifikasi sederhana ini. Pembangkitan pelbagai citra bahkan lebih jauh dari fungsi identifikasi ini
disebut dengan pemerekan atau
branding
. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini bahwa peneliti ingin mengetahui bagaimana pemerekan atau
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya dapat dicapai melalui even SIEM dan SIPA. Namun
sebelum berbicara lebih jauh ke arah yang dituju, peneliti hendak mengajukan beberapa konsep mengenai pemerekan atau
branding
.
Branding
atau pemerekan pada awalnya merupakan pembakaran kulit menggunakan cap besi panas yang
meninggalkan tanda bekas luka yang cukup jelas untuk keperluan identifikasi atau tujuan-tujuan lain. Pada binatang-binatang peliharaan, diberikan
branding
oleh orang-orang Mesir Kuno pada tahun 200 Sebelum Masehi SM. Pada akhir Abad
Pertengahan, para pedagang memasang tanda-tanda khusus ini di luar toko mereka. Dengan pemasangan tanda khusus inilah menjadi awal mula dari merek
dagang. Setelah pemasangan tanda pada toko, berkembanglah penamaan sebagai
sebuah teknik
branding
. Penamaan pertama kali digunakan menjelang akhir abad ke -19 ketika banyak perusahaan Amerika Serikat memulai memasarkan barang-
barang yang dikemas dengan nama tertentu. Sebelumnya barang-barang rumah tangga dijual di toko-toko di daerah perkotaan dan diambil dari kontainer besar.
Sekitar tahun 1880 para pembuat sabun mulai memberi nama produk-produknya sehingga dapat dikenali dengan mudah. Disinilah kemudian, merek-merek dagang
commit to user
modern ditemukan. Naomi Klein dalam Danesi 2010:231 menemukan temuan bahwa pemberian merek menjadi praktik umum para pembuat produk karena
pasar mulai dibanjiri oleh produk-produk mirip yang dibuat secara massal. Dengan persaingan produk ini, hampir bisa dipastikan bahwa konsumen akan sulit
membedakan produk satu dengan produk yang lain. Pada zaman mesin ini, kata Klein, pemerekan kompetitif menjadi suatu keniscayaan. Sekitar awal 1950-an
menjadi semakin jelas bahwa pemerekan tidak hanya menjadi strategi sederhana untuk melakukan diferensiasi produk, tetapi juga menjadi bahan bakar semiotik
yang memberikan tenaga pada identitas perusahaan dan agar produk mudah dikenali. Dari penjelasan ini kemudian dapat peneliti tarik kesimpulan bahwa
penciptaan nama merek, logo, rancangan kemasan yang memberikan tema-tema psikologis dan mitis yang sangat sugestif, dan tema-tema lain yang sangat kuat
secara psikologis merupakan salah satu bentuk strategi meta-kode iklan untuk memasukkan tekstualitas produk ke dalam konsep kesadaran sosial.
Salah satu teknik meta-kode tersebut kini menjadi bagian yang begitu umum ditemui sehingga teknik ini secara sadar tidak lagi dianggap sebagai suatu
muslihat. Iklan telah menjadi bahan bakar pada masyarakat yang digerakkan oleh hiburan untuk mencari hal-hal yang semu sebagai bagian dari cara rutin mereka
untuk melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang lebih mendalam yang jika tidak akan menenggelamkan mereka.
Iklan memiliki efek yang sangat kuat karena menawarkan „objek‟ dan „pemecahan‟ yang tampak yang bisa memberikanharapan akan uang yang lebih
banyak dan pekerjaan yang lebih baik, keamanan terhadap bahaya usia tua dan
commit to user
sakit, popularitas dan prestide pribadi, pujian dari orang lain, lebih banyak kenyamanan dan kesenangan, kemajuan sosial, penampilan dan kesehatan yang
lebih baik, stimulasi erotis, popularitas, keamanan emosional dan sebagainya. Dalam konteks penyelenggaraan SIEM dan SIPA, kemajuan kesejahteraan
ekonomi, sosial dan budaya terus didengung-dengungkan. Hiburan yang ditampilkan dalam music dan tari menjadi pilihan masyarakat untuk keluar dari
rutinitas dan keluar dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang ditujukan padanya. Efektivitas teknik mitologi yang dibangun melalui rancangan logo dan tema mitis
untuk mengahasilkan makna-makna semacam itu hanya dibatasi oleh kecerdikan si pembuat iklan, batas-batas pelbagai saluran komunikasi yang dipakai untuk
menyebarkan tekstualitas produk, pelbagai hambatan hukum tertentu tempat diberikannya pesan-pesan iklan tersebut, dan oleh standar yang ditetapkan oleh
industry iklan tersebut. Dapat kita katakan selanjutnya adalah bahwa sejarah budaya pop modern
secara instrinsik terjalin erat dengan sejarah iklan. Dalam upaya menengok ke abad yang lalu, jelas bahwa pesan-pesan para pemasang iklan, gaya penyajiannya
dan cara-cara mereka menggunakan bahasa menjadi jalinan cara modern dalam melakukan representasi dan komunikasi. Seperti yang telah dikemukakan oleh
McLuhan dalam Danesi 2010:248 bahwa iklan telah menjadi „seni‟ dalam dunia modern.
Masih berkaitan dengan logo, khususnya logo Pemkot Solo, hal lain yang menarik perhatian peneliti adalah tentang penempatan logo Pemkot Solo pada
pesan iklan SIEM dan SIPA. Panitia penyelenggara SIEM dan SIPA
commit to user
memposisikan logo Pemkot Solo dengan cara yang berbeda. Pada pesan iklan SIPA, logo Pemkot Solo dan logo penyelenggara ditempatkan pada posisi yang
sejajar dan berada di dalam bagian dari keseluruhan konsep iklan tersebut, ukuran untuk logo Pemkot Solo dan logo panitia penyelenggarapun dibuat dengan ukuran
yang sama. Gambar logo yang sejajar tersebut dapat terlihat seperti dibawah ini:
Gambar 5.9. Logo Pemkot disejajarkan dengan logo panitia
SIPA 2009 Gambar 5.10
Logo Pemkot disejajarkan dengan logo panitia SIPA 2010
Pada gambar diatas terlihat dengan jelas penempatan logo Pemkot Solo dan logo penyelenggara SIPA. Panitia penyelenggara SIPA mensejajarkan ketiga logo
dalam pesan iklannya. Nampak pada gambar bahwa logo Pemkot Solo, logo Semarak Candra Kirana Art Center dan logo SIPA Community merupakan tiga
logo utama yang masuk dalam konsep pesan iklan. Dalam poster SIPA 2009, sebelum pencantuman logo, diawali dengan frase
“
presented by
”. Frase ini merupakan frase berbahasa Inggris. Apabila frase ini diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, maka frase ini memiliki arti
“dipersembahkan oleh”. Frase “dipersembahkan oleh” merupakan indeks yang mengacu pada sponsor pelaksanaan sebuah acara. Sponsor pada SIPA 2009 ini
adalah Pemerintah Kota Pemkot Solo, Semarak Candra Kirana Art Center dan SIPA Community. Pemkot Solo dengan logonya menunjukkan eksistensinya pada
commit to user
even tersebut. Wadah pembelajaran seni tari Semarak Candra Kirana Art Center juga mencantumkan logonya di poster SIPA 2009. Semarak Candra Kirana Art
Center adalah komunitas pembelajaran seni tari yang didirikan oleh Ketua SIPA, Irawati Kusumorasri pada tahun 1998. Dan logo ketiga yang muncul adalah logo
SIPA Community. SIPA Community merupakan sebuah komunitas orang-orang yang pernah terlibat dalam acara SIPA. Keterlibatan mereka dalam bentuk
menjadi panitia atau pernah menjadi panitia di acara SIPA. SIPA Community juga dikoordinatori oleh Irawati Kusumorasri.
Penempatan logo dalam pesan iklan SIPA disejajarkan di dalam desain iklan SIPA. Penempatan ini menandakan bahwa masing-masing lembaga atau institusi
yang diwakili lewat logo tersebut ingin menyatakan identitasnya sebagai penyelenggara utama SIPA. Panitia SIPA juga ingin mensejajarkan dirinya
dengan Pemkot Solo dalam hal pernyataan identitasnya sebagai penyelenggara SIPA. Panitia SIPA dalam pandangan peneliti, konsisten dalam menyatakan
posisinya dan posisi Pemkot Solo dalam setiap penyelenggaraan SIPA dari tahun ke tahun.
Mengamati penempatan logo penyelenggara dan sponsor dalam konsep desain promosi ini menjadi menarik karena peneliti menemukan perbedaan
penempatan logo pada konsep desain iklan SIPA dan SIEM. Namun sebelumnya, peneliti hendak menyampaikan makna logo SIEM terlebih dahulu.
commit to user
Gambar 5.11. Logo SIEM
Logo SIEM dalam konsep desain iklan ini dapat berupa simbol, dapat pula berupa indeks. Sebagai simbol, logo melambangkan acara yang dilaksanakan,
sementara logo sebagai indeks, ia mengacu pada pelaksana dari acara SIEM. Logo SIEM berupa gambar bola berwarna biru dengan pita melingkar berwarna merah,
putih, coklat, kuning. Bola biru melambangkan dunia atau bumi yang kita huni. Pita yang berwarna-warni melambangkan keragaman bangsa-bangsa di dunia.
Warna putih melambangkan bangsa Kaukasoid, warna coklat melambangkan bangsa-bangsa di Afrika, warna kuning melambangkan bangsa-bangsa di Asia dan
warna merah melambangkan bangsa-bangsa Eropa. Dengan demikian logo SIEM ini hendak menyampaikan pesan berpadunya suku-suku dan bangsa-bangsa di
dunia dalam even musik yang dilaksanakan di Solo sebagai kota penyelenggara.Teknik mitologi yang digunakan pada logo SIEM adalah teknik
rancangan logo sekaligus teknik mitis. Teknik rancangan logo dilakukan dengan konstruksi makna warna dan visual dari logo tersebut seperti yang telah
disampaikan oleh peneliti. Sementara teknik mitis logo SIEM adalah mitis kesatuan atau
unity
. Kesatuan dalam konsep kesatuan dari berbagai suku bangsa
commit to user
di dunia untuk hadir dan bersama-sama mengekspresikan seni musik di Solo melalui even SIEM.
Unity
dalam Bahasa Indonesia berarti kesatuan; persatuan. Kata “persatuan” dalam tema SIPA 2009 dalam semiotika Pierce, juga merupakan sebuah indeks.
Kata “persatuan” mengacu kepada sila ketiga dari Pancasila, yakni Persatuan Indonesia. Ketika berbicara mengenai Pancasila, ada baiknya kita berfilsafat
tentang Pancasila. Notonegoro dalam Suwarno, 1993:84 menyatakan dalam konteks filsafat, bahwa Pancasila dapat didekati dengan pendekatan hakikat dari
Pancasila itu sendiri. Notonegoro menyebutnya dengan konsep definition logis atau definition metafisica Pancasila. Dalam kaitan pemahaman hakikat Pancasila
ini, Notonegoro juga mengambil teori filsafat Yunani kuno untuk menjelaskannya, yakni teori abstraksi. Notonegoro lebih lanjut menganalisis
istilah-istilah yang digunakan dalam pokok-pokok gagasan Pancasila, yakni Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan. Kata
dasar dari rumusan pokok-pokok Pancasila tersebut adalah Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. Kata dasar Tuhan, manusia, rakyat, dan adil mendapatkan awalan
ke- dan akhiran –an yang akhirnya menjadikan kata dasar tersebut sebagai kata
benda abstrak, sedangkan awalan per- dan akhiran –an dalam kata dasar satu,
menurut Notonegoro menjelaskan peristiwa atau hasil perbuatan. Oleh karena itu, dalam memahami Pancasila, Notonegoro selanjutnya menganalisis hakikat dari
Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. Untuk menjelaskan hakikat Tuhan, Notonegoro tidak melepaskan teori
causalis
. Tuhan, bagi Notonegoro adalah
Causa Prima
. Tuhan dideskripsikan
commit to user
secara lengkap dengan mengatakan bahwa hakikat Tuhan adalah sebab yang pertama dari segala sesuatu, yang selama-lamanya ada atau abadi yang ada hanya
satu, yang merupakan asal muasal dan tujuan dari segala sesuatu, yang dari padanya tergantung segala sesuatu, jadi sempurna dan kuasa, tidak mengalami
perubahan, tidak terbatas, Zat yang mutlak, Ada yang mutlak yang adanya ialah harus dalam arti mutlak, tidak bisa tidak, serta dapat pula mengatur tata tertib
alam, maka wajib untuk ditaati. Dalam deskripsi ini kemudian dapat ditangkap dalil-dalil filsafat Yunani kuno
theologia naturalis
yang mendalilkan Tuhan sebagai
Causa Prima, Motor Immobilis,
Sang Maha Pengatur, tetapi juga tersirat konsep Jawa tentang Tuhan yakni
Sangkan Paraning Dumadi
. Selanjutnya, untuk menjelaskan hakikat manusia, Notonegoro mengatakan
manusia sebagai sesuatu yang tersusun monopluralis atau
sarwa tunggal
dari tubuh dan jiwa, akal rasa, dan kehendak, dengan sifat-sifat individual sekaligus
social, mandiri dan berdaulat sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Keseluruhannya tersebut menggerakkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat
ketubuhan atau jasmaniah dan bersifat kejiwaan serta religius. Akal manusia mengacu kepada kebenaran, rasa mengacu kepada keindahan, dan kehendak
mengacu pada kebaikan. Apabila ketiga hal ini bergerak secara kodrati dan serasi, maka manusia akan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang membawanya ke
arah kesempurnaan Suwarno, 1993:85. Mengenai hakikat satu, menurut Notonegoro, adalah mutlak tidak terbagi,
terpisah dari yang lain, memiliki kepribadian, mempunyai bentuk, sifat dan keadaan sendiri. Dalam kaitannya dengan penggunaan kata satu atau persatuan
commit to user
dalam tema SIPA 2009, maka dapat diasumsikan bahwa SIPA 2009 merupakan wadah yang mutlak tidak terbagi bagi para seniman, mutlak tidak terpisah dari
yang lain dan memiliki kepribadian, bentuk, sifat dan keadaan sendiri sebagai sebuah ajang pentas seni pertunjukkan para seniman tari. Persatuan juga tidak
hanya dapat dimaknai sebagai yang mutlak tidak terpisah dan tidak terbagi, namun dapat juga menunjuk pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dimiliki
bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika oleh Wayan Suwira Satria harus diartika sebagai keragaman, dalam yang satu dan kesatuan dalam yang beragam di dalam
keseluruhan aspek kehidupan manusia Indonesia baik sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, ataupun warganegara dalam Oentoro, 2010:111. Hal ini
dapat dimaknai bahwa di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung sebuah pemikiran kebhinnekatunggalikaan harus terwujud dalam tataran berpikir,
berwacana dan berbuat, dimana ketiga tataran ini merupakan satu kesatuan aksi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Ciri persatuan ini, menurut pengamatan penulis, kemudian diangkat dalam tema SIPA 2009 sebagai tema yang memiliki kaitan historis dengan jiwa dan
semangat bangsa Indonesia. Semangat kebhinnekatunggalikaan. Di sisi lain, tentu semangat persatuan ini juga tidak lepas dari faham nasionalisme yang
berkembang pada abad ke-18 yang nampaknya juga memberi pengaruh kepada makna persatuan Indonesia. Pada masa itu, manusia dikelompokkan menjadi
kesatuan-kesatuan yang disebut dengan
nation
bangsa. Di dunia ini, ada ratusan kesatuan atau bangsa, tetapi tidak semua kesatuan itu masuk dalam Pancasila,
commit to user
hanya khusus kesatuan Indonesia saja. Maka sila ketiga dalam Pancasila ini selanjutnya disebut dengan persatuan Indonesia Suwarno, 1993:87.
Sementara mengenai hakikat kerakyatan dalam sila keempat Pancasila, masih menurut Suwarno, adalah mengenai seluruh warga di dalam lingkungan
daerah atau negara tertentu, yang memiliki hak dan kewajiban asasi termasuk hak- wajib demokrasi, yakni demokrasi politik pendukung kekuasaan dan demokrasi
fungsional pendukung kepentingan. Dan akhirnya pada hakikat rasa adil dalam sila kelima Pancasila dijelaskan dengan konsep klasik yakni setiap orang
menerima apa yang menjadi haknya. Bagi Notonegoro istilah tersebut lebih dimaknai dengan dipenuhinya sebagai wajib segala sesuatu yang telah merupakan
suatu hal, meliputi hubungan antara Negara sebagai pendukung wajib bagi warga- warganya, disebut keadilan membagi distribusi, sebaliknya antar warganegara
sebagai pendukung wajib bagi negara, disebut keadilan bertaat legal, antara sesama warga disebut keadilan sama-sama timbal balik komutatif.
Konsep tentang kesatuan tidak hanya ditemukan pada even SIEM saja, namun dalam konteks ini ada pula tema mitis SIEM. Konsep mitis tentang SIPA
juga peneliti temukan pada penyelenggaraan SIPA. Kesatuan dan harmoni dalam tema yang diangkat SIPA tahun 2009, sebenarnya merupakan dua konsep budaya
Jawa yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Niels Mulder dalam bukunya yang berjudul Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Mulder
adalah peneliti yang banyak meneliti dan menulis tentang kebudayaan Jawa dan kebudayaan Thailand. Mulder mendiskusikan kesatuan dan harmoni dalam
filosofi sosial masyarakat Jawa. Bagi Mulder, ideal mistik tentang kesatuan dan
commit to user
harmoni antara manusia dengan “Tuhan” hadir sebagai model bagi hubungan antara manusia dengan masyarakat. Upaya-upaya untuk mencapai keselarasan dan
pemeliharaan ketertiban adalah anasir yang menonjol. Gagasan mengenai kesatuan, pada hakikatnya menyiratkan keteraturan. Hasrat, ambisi, dan keinginan
pribadi dianggap sebagai ancaman harmoni, sampai-sampai timbul pemikiran bahwa “berkorban demi harmoni sosial akan mengantarkan pada upah tertinggi.
Seseorang lebih baik mengalah kepada masyarakat daripada mencoba memaksakan kehendaknya. Dan pendidikan Jawa berupaya menanamkan
gagasan-gagasan tersebut secara terus-menerus Mulder, 2001:96. Dalam proses seseorang menjadi orang Jawa, orang tersebut harus belajar
membedakan antara diri mereka dengan kepenting an “keluarga dan komunitas
yang lebih luas”. Hingga pada akhirnya individu dan masyarakat terlindung satu sama lain ileh internalisasi semua aturan dan ketentuan yang dianggap dapat
menjamin bentuk social yang tepat itu, tanpa pandang kebijaksanaan atau pertimbangan individu. Lebih lanjut menurut Mulder, hubungan yang terjalin di
dalam masyarakat haruslah menyenangkan, damai, dan ramah serta memperlihatkan kesatuan tujuan. Intinya hubungan itu harus dicirikan dengan
semangat rukun. Mulder menyebut semangat rukun ini adalah konsep Melayu dan Jawa. Konsep nan kaya ini selanjutnya dikemas menjadi “berada dalam
harmoni”, “tenang dan damai”, “bagaikan hubungan ideal persahabatan”. “tanpa pertikaian dan perselisihan”, “ramah”, “bersatu dalam tujuan seraya saling tolong-
menolong”. Idealnya, kehidupan komunal harus dijiwai oleh semangat rukun yang mengimplikasikan penghalusan perbedaan, kerja sama, aling menerima, dan
commit to user
kesediaan berkompromi. Harapannya kemudian adalah kehidupan dalam masyarakat bisa menyamai kehidupan dalam komunitas ideal Mulder, 2001:98.
Dari beberapa paparan yang telah peneliti sampaikan, dapat disimpulkan bahwa baik logo SIEM maupun tema SIPA 2009 ini berakar dari nilai-nilai
kebudayaan, gagasan-gagasan filsafati tentang Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, serta nilai-nilai budaya Jawa yang menjunjung harmonisasi, keselarasan, dan
kerukunan. Setelah mendiskusikan tentang logo SIEM dan kaitannya dengan tema SIPA
2009, selanjutnya peneliti hendak memfokuskan analisis pada logo Pemkot Solo. Folus kajian logo Pemkot Solo ini menarik perhatian peneliti untuk dianalisis
karena peneliti menemukan bahwa terjadi perbedaan penempatan logo Pemkot Solo pada pesan iklan SIEM dan SIPA. Pada konsep pesan iklan SIPA, logo
Pemkot Solo ditempatkan sejajar dengan logo penyelenggara SIPA dan masuk dalam desain iklan SIPA. Namun berbeda pada desain iklan SIEM. SIEM
menempatkan logo Pemkot Solo sejajar dengan sponsor SIEM lain dan ditempatkan diluar konsep desain iklan SIEM.
Gambar 5.11. Logo Pemkot oleh panitia SIEM disetarakan dengan sponsor lain
Pada korpus penempatan logo tersebut, nampak logo Pemkot Solo disejajarkan dengan logo sponsor lain pada even SIPA. Pemkot Solo menempati
commit to user
posisi keenam dari keseluruhan sponsor SIEM 2007. Ukuran logo Pemkot Solo memiliki ukuran yang rata-rata sama dengan ukuran logo sponsor lain. Pada
bagian ini, logo panitia penyelenggara tidak masuk dalam logo sponsor. Logo panitia penyelenggara masuk dalam desain iklan SIEM 2007 seperti yang peneliti
tuliskan pada bab penyajian data korpus 3. Dengan penempatan logo Pemkot Solo diurutan keenam ini menunjukkan
besaran kontribusi Pemkot Solo seperti yang dinyatakan oleh Ketua Pelaksana SIEM, Putut H Pramono. Putut menyatakan bahwa kontribusi Pemkot Solo untuk
SIEM sebesar 10 dari total seluruh biaya SIEM. “.. Sekarang tiap penyelenggaraan SIEM itu, kita butuh dana 1,5 M.
Subsidi pemerintah berapa? 150 juta. 200 juta. Kan nggak.. wah wis.. nggak papa …sambil tertawa..”
wawancara dengan Ketua Pelaksana SIEM, Putut H Pramono pada tanggal 25 Agustus 2011.
Dari pernyataan Putut tersebut jelas bahwa bantuan Pemkot Solo untuk SIEM adalah 10 dari total seluruh pengeluaran SIEM . Kontribusi 10 ini
mempengaruhi penempatan logo Pemkot Solo seperti nampak pada gambar diatas. Berkaitan dengan kontribusi Pemkot Solo sebesar 10 ini, menurut Putut,
hanya membiayai tiket pesawat 3 orang delegasi dari Afrika. Tidak bisa membiayai akomodasi peserta tersebut apalagi membiayai delegasi lain.
“…Seperti kemarin dari Zimbabwe, 3 orang saja kemari udah 92 juta. Itu tiketnya saja.. Diwenehi yo tak tompo, ora diwenehi yo iso
jalan …”.
Dari pernyataan Putut ini dapat peneliti temukan bahwa dalam setiap penyelenggaraan SIEM, tidak mungkin semua delegasi mendapatkan sponsor dari
commit to user
negaranya. Panitia SIEM harus menyiapkan dana untuk mendatangkan delegasi- delegasi ini. Dana Rp 150.000.000,00 hanya cukup untuk membiayai tiket
pesawat tiga orang delegasi dari Afrika. Tidak dapat membiayai delegasi lain untuk datang ke Solo. Putut menambahkan karena SIEM sudah menjadi bagian
dari dirinya, maka SIEM harus tetap terlaksana. Dalam wawancara tersebut, Putut juga memberikan sikapnya kepada Pemkot berkaitan dengan dana yang diterima
untuk penyelenggaraan SIEM. Berbeda dengan pencantuman logo Pemkot Solo pada pesan iklan SIEM
tahun berikutnya yakni pada tahun 2008, nampak bahwa logo Pemkot Solo dibuat dengan ukuran lebih besar daripada tahun sebelumnya. Ukuran logo kali ini juga
lebih besar bahkan paling besar diantara semua logo. Gambar dari penjelasan ini seperti terlihat sbb:
Posisi logo Pemkot Solo diletakkan di bagian awal dari ruang penempatan logo dari sponsor. Logo Pemkot Solo tidak masuk dalam ruang desain iklan
SIEM. Hal ini menandakan bahwa sekalipun bantuan tersebut masih 10 tetapi panitia hendak menyampaikan bahwa Pemkot Solo berkontribusi dalam
mendukung pelaksanaan SIEM ini. Namun sikap panitia tetap tidak memasukkan
Gambar 5.12. Perubahan pencantuman logo Pemkot
commit to user
logo Pemkot Solo pada desain iklannya, namun meletakkannya di luar desain iklan SIEM. Berbeda dengan SIPA, logo Pemkot Solo dan logo penyelenggara
diposisikan sejajar dan masuk dalam desain iklan SIPA. Penempatan logo Pemkot Solo kembali berubah dalam desain iklan SIEM
2010, seperti nampak pada gambar dibawah ini:
Gambar 5.13. Logo Pemkot dicantumkan setelah logo panitia dengan ukuran logo lebih kecil dari logo panitia dan sponsor IDEA
Pada gambar diatas nampak jumlah sponsor yang lebih banyak daripada penyelenggaraan SIEM tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, logo penyelenggara
SIEM sejajar dengan pencantuman logo sponsor lain pada even SIEM 2010. Logo Pemkot diposisikan sejajar dengan sponsor lain dan ditempatkan pada di posisi
pertama dari keseluruhan sponsor yang mendukung SIEM 2010. Penempatan logo Pemkot Solo dan panitia penyelenggara dalam konsep
desain iklan SIEM berubah-ubah posisinya dari setiap penyelenggaraan SIEM. Peneliti menemukan bahwa panitia penyelenggara kesulitan di dalam
menempatkan Pemkot Solo dalam penyelenggaran SIEM. Penempatan logo, dalam pandangan peneliti menunjukkan posisi dari instansi yang diwakili oleh
logo tersebut dalam penyelenggaraan sebuah even. Dengan berubahnya
commit to user
penempatan logo Pemkot Solo khususnya, mengindikasikan bahwa panitia penyelenggara masih kesulitan menentukan posisi Pemkot Solo dalam
penyelenggaraan acara SIEM. Pemkot Solo, seperti diakui oleh panitia pelaksana SIEM dan Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Solo, berkontribusi pada pemberian
ijin pelaksanaan acara di wilayah administratif Kota Solo. Selain itu, kontribusi Pemkot Solo adalah memberikan dana stimulan kepada panitia penyelenggara
untuk menyelenggarakan SIEM. Hal ini sesuai dengan Pernyataan Keksi Sundari bahwa pelaksanaan SIEM yang kedua sudah mulai diberikan anggaran yang
diambil dari APBD Kota Solo. Lebih lanjut diakui oleh Keksi bahwa sekalipun dana dari Pemkot nilainya kecil, tapi sudah bisa membantu untuk pembiayaan
SIEM. “…. itu APBD ya walaupun kecil, tapi sudah ada bantuannya dan
memang banyak sponsor…” wawancara dengan Kepala Bidang Sarana
Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo, Keksi Sundari pada tanggal 14 September 2011.
Dari hasil wawancara tersebut, nampak kontribusi Pemerintah untuk pelaksanaan SIEM memang kecil. Kontribusi yang dimaksud adalah sumbangan
dana berupa dana stimulan yang diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Mengenai minimnya dana stimulan yang diberkan
Pemkot Solo ini juga diakui oleh Ketua Penyelenggara SIPA, Irawati Kusumorasri.
Irawati menyebutkan tentang istilah yang digunakan oleh Pemkot untuk dana bantuan Pemkot Solo bagi penyelenggaraan SIPA adalah dana stimulan.
Diakui Irawati bahwa dana stimulan tersebut nilainya kecil. Nilainya yang kecil
commit to user
ini pun dikurangi setiap tahun sehingga diharapkan nantinya tidak ada lagi dana stimulan dari Pemkot. Irawati menyebutkan alasan pengurangan dana stimulan ini
adalah demi kemandirian even, artinya even ini dalam perkembangannya tidak mengandalkan dana dari Pemkot Solo.
“…Mereka pemerintah bilangnya tidak subsidi tapi dana stimulan. Dana stimulan. Jadi setiap tahun dikurangin, agar kita bisa mandiri. Dari tahun
pertama, kedua, ketiga, ini berkurang terus...” wawancara dengan Ketua
Penyelenggara SIPA, Irawati Kusumorasri pada tanggal 13 Juli 2011.
Meskipun nilai dana stimulan terus berkurang dari tahun ke tahun, namun baik SIEM dan SIPA terus diharapkan oleh Pemkot Solo sebagai even kota yang
nantinya dapat mem-
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya. Harapan Pemkot tentang SIEM dan SIPA bagi
branding
Kota Solo ini diakui oleh Keksi. Menurut Keksi, dengan adanya even internasional tersebut, banyak turis
asing yang akan berkunjung ke Kota Solo. Informasi mengenai adanya even bertaraf internasional tersebut disebutkan Keksi sudah masuk dalam kalender
even Kota Solo. Kalender even ini sudah terbit setahun sebelum even-even ini dilaksanakan. Dengan demikian, masyarakat yang ingin menonton dapat
merencanakan terlebih dahulu untuk mengunjungi Kota Solo. “…..
Jadi dengan adanya kalender seperti itu diharapkan adanya even- even itu, pengunjung bisa datang ke Solo. Jadi even ini bisa
digunakan untuk branding kota. Kota budaya dan juga ada even-even int
ernasional itu…” wawancara dengan Kepala Bidang Sarana Wisata
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo, Keksi Sundari pada tanggal 14 September 2011.
commit to user
Dengan adanya kepentingan dari Pemkot Solo ini, even diharapkan dapat memperkuat
branding
Solo sebagai
Kota Budaya.
Namun dalam
perkembangannya, peneliti menemukan bahwa terjadi kegagalan
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya melalui even ini. Sebelum menganalisis secara
mendalam berkaitan dengan kegagalan
branding
Pemkot ini, peneliti hendak memaparkan terlebih dahulu awal terbentuknya even SIEM.
SIEM awalnya terbentuk dari pembicaraan para penggiat budaya di Darmin Art Café, Jakarta. Pernyataan ini disampaikan oleh Profesor Darsono, Dosen
Institut Seni Indonesia ISI Solo. Pembicaraan untuk diciptakannya sebuah even budaya di Kota Solo tersebut pada awalnya merupakan sebuah diskusi antara Prof
Darsono, Bambang Sutedjo dan Yasudah. Semasa pembicaraan tersebut berlangsung, di Kota Solo sendiri
diselenggarakan even musik lokal. Dengan hasil pembicaraan di Darmin Art Café dan dengan adanya even musik lokal tersebut, maka digabunglah ide itu dan
selanutnya dilakukan pertemuan dengan Pemkot Solo yang diwakili oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Solo.
Pertemuan tersebut akhirnya berlanjut. Selama proses diskusi, menurut Darsono, sebenarnya ia agak berbeda pendapat dengan beberapa orang yang ada
dalam diskusi tersebut. Perbedaan pendapat ini mengenai istilah „musik etnik‟ yang bagi Prof Darsono merupakan istilah yang digunakan oleh orang Barat untuk
melihat jenis musik di Indonesia. Bagi Darsono penyebutan tersebut mengkerdilkan Indonesia. Selanjutnya Darsono mengusulkan untuk menyebut
commit to user
jenis musik yang akan dilaksanakan adal ah „musik tradisi‟. Diakui Darsono,
konsep ini memang agak berbeda namun memiliki konsep ide yang sama. Dalam perkembangan diskusi tersebut, Bambang Sutedja mengusulkan
untuk menggunakan nama „musik etnik‟ karena nama tersebut „menjual‟. Darsono selanjutnya menyatakan bahwa dirinya tidak ikut karena alasan yang
„menjual‟ tersebut. Bagi Darsono, ia mempersilahkan jika even ini nantinya tetap dilaksanakan dengan menggunakan nama etnik, namun sikapnya tetap pada posisi
tidak ikut dalam penyelenggaraan even itu. “ … kemudian Pak Bambang Sutejo kebetulan ketemu dengan Pak Putut
kem udian ketemu dengan Pak Waridi Ata‟un dengan komunitas Wisma
Kuning … OK Tapi saya tetep ga ikut…” Hasil wawancara dengan
Profesor Darsono, Dosen Institut Seni Indonesia Solo.
Dengan adanya kesepakatan ini, maka selanjutnya SIEM berlangsung tahun 2008 dan 2010. SIEM 2009 ditiadakan karena pada tahun ini, SIPA lahir. Baik
SIEM mapun SIPA dilaksanakan di Kota Solo. Rencana awalnya, SIEM 2012 akan digelar kembali di Kota Solo, namun
akhirnya SIEM urung dilaksanakan di Solo dan akhirnya dilaksanakan di Pabrik Gula Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Tidak dilaksanakannya SIEM 2012 di
Kota Solo ini dan akhirnya berpindah ke Karanganyar ini berawal dari ketidaksetujuan DPRD Kota Solo terhadap pemilihan lokasi SIEM di Taman
Balekambang. Anggota Komisi IV DPRD Kota Solo, Paulus Haryoto, seperti dikutip oleh Solopos pada tanggal 8 Juni 2012 mengatakan bahwa DPRD Kota
commit to user
Solo tidak setuju terhadap rencana penyelenggaraan SIEM di Taman Balekambang karena beberapa alasan.
Alasan yang dikemukakan Paulus pada saat itu adalah Taman Balekambang merupakan kawasan cagar budaya yang dimanfaatkan untuk pelestarian flora dan
fauna. Dengan penyelenggaraan SIEM nantinya, dikhawatirkan akan merusak kawasan cagar budaya ini dan mengganggu binatang-binatang yang ada di
kawasan tersebut. Alasan lain yang dikemukakan oleh Paulus adalah kapasitas lahan parkir di wilayah Taman Balekambang. Menurut Paulus, kapasitas lahan
parkir dinilai tidak memadai karena kawasan tersebut sedang dalam proses pembangunan, yakni pembangunan Pasar Burung Depok dan dengan banyaknya
pengunjung SIEM yang nantinya datang, dikhawatirkan tidak akan mampu menampung mereka untuk menonton even ini.
Keberatan pengambilan lokasi SIEM 2012 tidak hanya datang dari DRPD, namun ketidaksetujuan ini juga datang dari masyarakat yang mengatasnamakan
seniman dan budayawan yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Seni Budaya FMPSB. Alasan FMPSB tidak menyetujui lokasi SIEM di Taman
Balekambang adalah karena kawasan tersebut dianggap tidak sesuai dengan semangat pengembangan kawasan sebagai pusat pengembangan budaya dan
kawasan konversi flora dan fauna Solopos 19 Juni 2012. Perbedaan pendapat antara Panitia Penyelenggara dan pihak-pihak yang
tidak setuju dengan pemilihan lokasi SIEM 2012 terus berkembang. Pernyataan- pernyataan dari pihak yang tidak setuju terus diliput di media massa. Solopos
tanggal 13 Juni 2012 selanjutnya menuliskan tentang DPRD yang memberi
commit to user
pernyataan tetap akan melakukan pengawalan untuk pelaksanaan SIEM. Pengawalan tersebut dimaksudkan untuk memastikan tidak ada dampak negatif
terhadap Taman Balekambang. Meskipun demikian, DPRD Kota Solo tetap merasa sangsi pemindahan ini tidak membuat fauna yang ada di Taman
Balekambang menjadi stress. DPRD Kota Solo juga mengkhawatirkan kerusakan lingkungan Taman Balekambang jika memang SIEM jadi dilaksanakan di tempat
tersebut. Menanggapi pernyataan DPRD tersebut, Panitia Penyelenggara SIEM
mengambil sikap diam. Seperti yang dinyatakan Putut bahwa pelarangan SIEM 2012 merupakan
design
dari orang-orang yang tidak suka melihat SIEM berhasil. Bagi Putut, karena ia tahu bahwa pelarangan ini merupakan „settingan‟ maka ia
bersikap diam dan tidak mau memberikan komentar apapun di media massa. Bagaimanapun juga, menurut Putut, meskipun pelarangan SIEM untuk
dilaksanakan di Balekambang disampaikan menjelang pementasan SIEM, ia tetap melaksanakan even music tersebut sebagai bentuk „metabolisme‟ nya sebagai
seorang budayawan. Detik-detik menjelang pelaksanaan SIEM dan belum formalnya ijin pelaksanaan SIEM di Kabupaten Karanganyar sebenarnya juga
menjadikan kegentaran tersendiri bagi Putut. Apalagi delegasi utama yan nantinya akan tampil di even musik ini sudah siap datang ke Indonesia. Putut kemudian
mengatasi ini dengan berkomunikasi dengan pihak sponsor dan delegasi mengenai kemungkinan pemindahan lokasi even. Tanggapan dari pihak sponsor dan
delegasi diterima positif, sehingga pada waktu itu SIEM tetap yakin dilaksanakan. Alasan pihak sponsor untuk tetap mendukung pelaksanaan SIEM, diakui Putut
commit to user
sebagai wujud kepercayaan personal, sehingga entah terjadi penggantian lokasi atau penggantian nama even, yang pasti bahwa jika person yang melaksanakan
tetap sama, bagi pihak sponsor hal tersebut tidak menjadi masalah. “.. Terserah. Aku kan taunya sama kalian. Kecuali kalo ganti orang, no
problem …”
wawancara dengan Ketua Penyelenggara KWF, Putut H Pramono pada tanggal 23 Juli 2012.
Berdasarkan pernyataan dari pihak sponsor tersebut, Putut menyayangkan keberadaan pihak-pihak yang mengintervensi pelaksanaan SIEM. Dalam proses
negosiasinya, Putut menyatakan bahwa Panitia SIEM waktu itu bukan diajak dialog, namun diskusi pada waktu itu memberikan tekanan tertentu sehingga
Walikota Solo setuju bahwa SIEM tidak boleh dilaksanakan di Balekambang. “…itu nggak ada forum dialog. Nggak ada. Forum mempressure supaya
Walikota mmbuat statement bahwa ini harus pindah dari Balekambang. Itu bukan dialog. Ya akhirnya ketika dipressure akhirnya ya Walikota, ya udah
tidak di Balekambang.”.
Seperti yang telah disampaikan oleh Putut bahwa akhirnya forum yang mempertemukan Panitia Penyelenggara SIEM dan Pemerintah Kota tersebut,
Walikota mengambil keputusan penyelenggaraan SIEM tidak dilaksanakan di Balekambang. Keputusan tersebut diambil oleh Walikota karena tekanan-tekanan
yang ditujukan kepadanya. Dalam pernyataan Putut selanjutnya, ia menyayangkan sikap Pemerintah yang tunduk pada tekanan tersebut.
“…. Sekarang kalau otoritas Solo itu sudah mengijinkan. Sudah, tidak masalah. Tapi saya herannya kok mereka kalah dengan kelompok-kelompok
commit to user
yang mengatasnamakan A, B, C. kok kalah? Heran saya. Ini mau jadi Negara apa?..”.
Setelah proses tersebut terjadi, akhirnya diputuskan SIEM tidak dilaksanakan. Selanjutnya, Panitia even menyepakati adanya even musik baru
bernama Kereta Kencana World Festival KWF. Mengenai keputusan nama even yang baru ini, Putut menyatakan tidak ada kepedulian Pemerintah terhadap even
baru ini. Diakui Putut bahwa ketika ia bertemu dengan Pemkot, mereka tidak menyapa sama sekali. Mereka juga tidak menanyakan apakah KWF ini sudah
mendapatkan tempat atau belum. Dengan sikap pemerintah yang demikian, Putut menyatakan bahwa dirinya dan juga even ini seperti dianakharamkan. Pernyataan
ini keluar karena Panitia merasa mereka sudah bekerja untuk Pemkot untuk mem- branding Solo, namun sikap mereka sama sekali tidak peduli dengan even ini.
Sampai akhirnya menjelang H-4 dari penyelenggaraan KWF, Pemkot melalui utusannya mendatangi Panitia KWF. Dalam pertemuan tersebut, Pemkot
meminta KWF dipindahkan dari Colomadu ke Balekambang. Pemkot pada waktu itu menjamin bahwa jika nanti terjadi sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan
KWF, maka Pemkot yang akan menanggung. Panitia KWF yang waktu itu diwakili oleh Putut, menyatakan tidak akan memindahkan KWF dari Colomadu
ke Balekambang. “…. Karepku Pemerintah ojo mencla-mencle gitu lho.. nanti kan masyarakat
jadi bingung, lho ni kok Walikota nyuruh pindah kok kon mbalik neh? Wis ra cetho… kurang 4 hari, disuruh balik sana…”
commit to user
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh Putut bahwa empat hari sebelum hari penyelenggaraan, utusan dari Pemkot menemuinya adalah utusan
dari Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata, Sekretaris Daerah dan Wakil Walikota. “… Makanya ada empat orang yang diutus dari Kepala Disbudpar-nya
kesini. Diutus sama Setda sama Wakil Walikota, waktu itu Walikotanya kan cuti kampanye DKI 1, untuk kembli ke Balekambang. Saya ndak mau.
”
Bagi Putut, dengan sikapnya yang tetap melakssanakan KWF di Colomadu ini, membuka kemungkinan untuk pelaksanaan KWF nantinya bukan hanya milik
Solo saja atau Karanganyar saja, namun menjadi milik bangsa Indonesia. Hal ini menurut Putut sesuai dengan filosofi „Kereta‟ yang menjadi nama even musik ini.
Kereta diasumsikan dapat bergerak kemana-kemana dan berkeliling ke seluruh Indonesia. Dengan demikian, even ini nantinya menjadi milik bangsa Indonesia.
“…toh saya mau kemana aja.. Budaya jangan dipolitisir, bisa menjadi bola liar…”.
Masalah SIEM ini diselesaikan tanpa kehadiran Walikota Solo, Joko Widodo, karena Walikota Solo saat itu sedang dalam aktivitas untuk mencalonkan
diri untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hasil pencalonan Joko Widodo dan Basuki bersama bahwa pasangan Joko Widodo
– Basuki menempati urutan pertama untuk perolehan suara warga DKI. Data dari KPU menyebutkan bahwa
hasilnya, pasangan calon nomor urut satu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli Foke- Nara dengan 1.476.648 suara 34,05, pasangan calon nomor urut dua,
Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria dengan 85.990 suara 1,98, pasangan
commit to user
nomor urut 3, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama 1.847.157 suara 42,60, pasangan calon nomor urut empat, Hidayat Nur Wahid-Didik Junaedi Rachbini
dengan jumlah suara 508.113 11,72. Kemudian, pasangan calon jalur independen dengan nomor urut lima, Faisal Batubara-Biem Benyamin dengan
jumlah 215.935 suara 4,98 dan pasangan calon nomor urut enam Alex Noerdin-Nono
Sampono memperoleh
202.643 suara
4,67 www.kpujakarta.go.id2012. Melalui data ini dan dikaitkan dengan polemik
yang terjadi di Solo tentang pelaksanaan even SIEM, Jokowi sebagai Walikota Solo pada masa itu fokus untuk melakukan kampanye dalam rangka
pemenangannya untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di level lokal Solo, melalui Wakilnya, Kepala Disbudpar dan Setda Solo
menurut Putut hendak melakukan „pembersihan nama‟. “.. Iya. Walikota tidak datang. Ya dia sendiri bermain di dalam situ. Sibuk
bermain. Tanganne kotor, pengenne wisuh nang wastafel. Emang kita wastafel?.
..”
Berkaitan dengan pencalonannya, Putut dalam kacamata budaya memberikan pandangannya mengenai pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI
Jakarta. “…
Aku berpikir, opo iso tenan Jokowi di DKI? Mengurai kemacetan di Solo dua tahun ini terakhir, mana? Malah mikir DKI. Dia berpikir pagmatis.
Putut melanjutkan pandangannya mengenai Kota Solo dalam konteks pengembangan budaya masih kurang.
commit to user
“… Temen-temen sepakat, bukan mutung, tapi kemarin menjadi pelajaran kita kayaknya Solo udah semakin nggak kondusif dalam konteks
membangun kebudayan yang lebih kons trukstif…”
Bagi Putut, konstruktif diartikan dengan mampu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi terselenggaranya sebuah even. Kurang konstruktif
yang ia maksud berkaitan dengan misalnya Bandara Solo, Adi Sumarmo yang masih kurang dalam jadwal penerbangan internasional. Tujuan akhir para delegasi
untuk penerbangan adalah di Yogyakarta. Sehingga panitia harus menjemput para delegasi tersebut dari Yogyakarta. Kurang konstruktifnya lagi adalah bahwa
media massa di Solo dirasa juga kurang mendukung budaya yang konstruktif. Media massa meliput tentang pemindahan lokasi SIEM, media massa lebih
memilih untuk mengangkat konflik antara Panitia Penyelenggara dengan Pemkot dan DPRD. Hal-hal lain, misalnya tentang dibalik penyelenggaraan SIEM, tidak
diliput, padahal Panitia sudah menawarkan diri untuk membuka diri terhadap peliputan dibalik penyelenggaraan SIEM. Hal-hal inilah yang menurut Putut
membuat Solo udah semakin nggak kondusif dalam konteks membangun kebudayan yang lebih konstrukstif.
Gagalnya SIEM 2012 untuk dilaksanakan di Solo ini apabila dikaitkan dengan
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya menurut Profesor Darsono hanya sekadar
branding
kota saja, bukan Kota Budaya. Dan perlu dicatat bahwa Kota Solo mengumumkan dirinya sebagai Kota Heritage tahun 2008, dan
branding
sebagai Kota Heritage ini menurut Profesor Darsono belum bisa dicapai oleh Pemkot Solo.
commit to user
“…Jadi sebatas branding kota. Tapi branding kota Solo sebagai Kota Heritage belum. Ketika tahun 2008 itu kita mencanangkan kota Solo sebagai
Kota Heritage maka mestinya yang diangkat Heritage Solo-nya. Kota Solo sebagai kota Heritage kan?
..”.
Lebih lanjut Profesor Darsono menyatakan bahwa Kota Solo belum memenuhi kriteria untuk mejadi Kota Budaya.
“.. Solo masih berdiri dikit-dikit. Solo baru namanya saja. Cara-carane anak kecil itu baru berteriak gitu. Berteriak Kota Budaya tapi ya gitu. Ya kayak
berteriak Merdeka, tapi nggak merdeka. Sama. Di Solo masih tarafnya berteriak. Jadi masih branding tadi. Belum sampai ke citra merek..”
Dan
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya menurut Profesor Darsono masih minim.
“… Ya. Minim. Belum sepenuhnya. Ya saya katakan 50 belum…”.
Apa yang disampaikan oleh Prof Darsono ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Profesor Andrik Purwasito. Menurut Purwasito, SIEM dan
SIPA hanya bersifat mercusuar dan belum menjamah konsep lintas budaya. Politik mercusuar yang dilakukan oleh Pemkot Solo disebut Purwasito sebagai
kebijakan gelembung atau
policy of bulb
. Bulb diterjemahkan sebagai gelembung. Gelembung memiliki sifat serba
cepat dan serba gampang. Ia dapat dengan cepat membesar namun tidak berisi. Demikian pula halnya dengan kebijakan gelembung
policy of bulb
. Kebijakan ini punya sifat yang serba cepat dan serba gampang. Ia dapat dengan segera
commit to user
membesar dalam arti populis di mata masyarakat, namun sebenarnya kebijakan ini tidak berisi.
Kebijakan gelembung membuat orang mudah tertarik, namun sesungguhnya kosong melompong, hampa dan semu. Kebijakan gelembung meskipun terus
menerus membesar, tetapi cepat atau lambat, akan meletus atau mengempis. Saat itulah diketahui kesemuannya sekaligus kekosongan yang melompong.
Namun bahayanya, saat gelembung mengempis, atau kebijakan gelembung ini mengempis, publik terlanjur terkecoh. Penyelenggaraan even yang bertubi-
tubi, pembangunan yang dilaksanakan terus-menerus, seringnya muncul di media massa hakikatnya merupakan hal-hal myang membangun gelembung tersebut.
Orang dapat takjub berlari-lari mengikuti gelembung ini. Ia meliuk-liuk bermanuver mengikuti arah angin. Sampai meletus dan akhirnya orangpun
kecewa.
C. Penggunaan Referensi Lokal pada Pesan SIEM dan SIPA