RancangBangunPesanSIEM dan SIPAdalamMem-brandingKota Solo sebagai Kota Budaya Binder2

(1)

commit to user

Rancang Bangun Pesan SIEM dan SIPA dalam Mem-

branding

Kota Solo sebagai Kota Budaya

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Komunikasi

DISUSUN OLEH DEWI KARTIKA SARI

S220809003

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012


(2)

commit to user I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Solo Kota Budaya. Demikianlah visi Kota Solo yang tercantum di Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2007. Pernyataan lengkap visi Kota Solo tersebut adalah untuk mewujudkan Solo sebagai Kota Budaya yang didasarkan pada potensi Perdagangan, Jasa, Pendidikan, Pariwisata dan Olahraga (To realize Solo as a City of Culture that is based on the potential of Commerce, Services, Education, Tourism and Sports).

Visi ini kemudian dikemas ulang oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan menciptakan visi Kota Solo periode 2010-2015 yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan kota berdasarkan semangat Solo sebagai Kota Budaya“ (To improve the society welfare and the city advance based on the spirit Solo as a city of culture) (http://www.surakarta.go.id/2011). Visi Solo Kota Budaya tersebut, selanjutnya dimunculkan dalam sebuah semboyan “Solo Kotaku, Jawa

Budayaku”.

Semboyan “Solo Kotaku, Jawa Budayaku” ini kemudian diturunkan kedalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Solo. RPJM Kota Solo periode 2005-2010 menyebutkan bagian-bagian dari rancangan pembangunan Pemerintah Kota Solo. Salah satu bagian dari RPJM Kota Solo yang relevan dengan penelitian ini adalah pada bagian Agenda Peningkatan Eksistensi Kota dalam Tata Pergaulan Regional, Nasional maupun Internasional, Sasaran II yakni mengenai kebijakan pengembangan image Surakarta Kota Budaya. Adapun indikator pengembangan image Surakarta Kota Budaya ini


(3)

commit to user

adalah: (1) Pengembangan masyarakat sadar budaya, (2) Pengembangan paket-paket promosi Surakarta kota budaya, (3) Pengembangan berbagai regulasi yang mampu mengikat seluruh komponen masyarakat dalam menerapkan dan mengaplikasikan nilai-nilai dan ciri budaya, serta (4) Peningkatan partisipasi masyarakat termasuk dunia usaha dalam mendukung terwujudnya pembangunan Surakarta Kota Budaya.

Harapan Pemerintah Kota Surakarta dalam RPJM tersebut sejalan dengan pernyataan Walikota Solo, Joko Widodo, dalam wawancaranya dengan Majalah Rollingstone. Joko Widodo menyatakan bahwa langkah-langkah pelaksanaan semboyan “Solo Kotaku, Jawa Budayaku” pada tahap awal masih diarahkan untuk bergerak di wilayah fisik. Selanjutnya secara bertahap, langkah yang akan dilakukan bergerak kearah tata nilai yang menjadi nadi budaya Jawa. Pergerakan kearah tata nilai budaya Jawa tersebut, menurut Joko Widodo, merupakan strategi untuk menempatkan budaya Jawa benar-benar menjadi napas segenap warga kota Solo dalam pengembangan kota kedepan. Di akhir wawancaranya, Joko Widodo mengajak agar seluruh warga Solo kembali mencintai budaya Jawa yang kini mulai tergerus oleh perkembangan zaman (http://rollingstone.co.id/2011).

RPJM dan pernyataan Joko Widodo dalam wawancaranya dengan Majalah Rollingstone menunjukkan adanya keinginan dari Pemerintah Kota Solo untuk

mem-branding Kota Solo sebagai Kota Budaya. Harapan terwujudnya branding

Kota Solo sebagai Kota Budaya ditujukan untuk masyarakat Solo sekaligus bagi masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan agenda yang ditetapkan Pemerintah Kota Solo yang dituangkan dalam RPJM bahwa branding Kota Solo diarahkan untuk


(4)

commit to user

peningkatan pergaulan Kota Solo di ranah Regional, Nasional maupun Internasional.

Melihat arah branding Kota Solo di sektor budaya karena Kota Solo memiliki potensi untuk menjadi Kota Budaya yang menarik untuk dikunjungi. Kota Solo memiliki potensi untuk menjadi kota tujuan wisata. Dengan dipunyainya dua peninggalan kerajaan Jawa yaitu Pura Mangkunegaran dan Keraton Surakarta Hadiningrat, juga dengan sekitar 87 buah heritage, maka sangat cocok jika Kota Solo dikembalikan kepada konsep budaya lokal dengan tidak meninggalkan benda-benda bersejarah. Kota Solo sebagai kota tujuan wisata dalam konsep yang dikembangkan oleh Kemming dan Sandicki disebut sebagai

tourist destination. Tourist destination merupakan salah satu bagian dari nation

branding. Nation branding menurut Kemming dan Sandicki (2007:31) setidaknya

memfokuskan diri pada satu dari tiga hal: (1) the country-of-origin (COO) effects

for export products (2) branding tourist destinations dan (3) acquiring foreign

investments.

Berkaitan dengan tourist destination, contoh riil yang dapat diacu adalah pada kasus Negara Cina dan Thailand. Penelitian Berkowitz, dkk menunjukkan bahwa Cina misalnya membranding dirinya dengan memfokuskan diri dibidang cultural and heritage, people serta investment and immigration (Berkowitz, dkk, 2007:15). Branding ini kemudian dilakukan dengan keberanian mendaftarkan negara Cina untuk menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2008. Dan hasil dari branding ini adalah Cina berhasil menjadi tuan rumah untuk Olimpiade tahun 2008.

Contoh lainnya dari penerapan tourist destination adalah pada kasus Thailand. Selama ini Thailand dikenal dengan wisata seksnya (Nuttavuthisit,


(5)

commit to user

2007:21). Sampai akhirnya disadari perlunya strategi branding untuk mengkoreksi image negatif tersebut melalui penggunaan karakteristik-karakteristik positif yang dimiliki Thailand. Hasil penelitian ini memberikan usulan bagi pengembangan positioning merk Thailand melalui kampanye promosi yang menggunakan hal-hal positif seperti keindahan alami, keramahan lokalitasnya dan dengan penggunaan alat-alat komunikasi seperti slogan-slogan, tema-tema, serta penyelenggaraan even-even (Nuttavuthisit, 2007:27).

Belajar dari kasus Cina dan Thailand tersebut, Pemerintah Kota Solo dalam pengamatan peneliti, sebenarnya memiliki keinginan untuk mem-branding

Kota Solo. Seperti yang telah dijelaskan peneliti sebelumnya bahwa branding

yang diinginkan Kota Solo adalah branding Kota Solo sebagai Kota Budaya. Dengan adanya keinginan Pemerintah Kota Solo tersebut dan adanya potensi budaya yang dimiliki Kota Solo tersebut, maka cita-cita branding Kota Solo sebagai Kota Budaya bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Branding Kota Solo sebagai Kota Budaya membutuhkan upaya-upaya yang riil agar branding ini berhasil. Oleh karena itu, potensi budaya tangible dan intangible yang dimiliki Kota Solo perlu dikelola sehingga mampu menjadikan Kota Solo sebagai tourist

destination.

Bahwa untuk mem-branding Kota Solo sebagai Kota Budaya yang menjadi kota tujuan wisata, maka diperlukan usaha yang riil dan terencana, antara lain melalui penyelenggaraan even budaya seperti Solo International Ethnic Music (SIEM) dan Solo International Performing Arts (SIPA). SIEM dan SIPA merupakan dua dari tigapuluhan even yang mengangkat tema budaya di Kota


(6)

commit to user

Solo. SIEM adalah pertunjukan seni musik etnik yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2007. Pada penyelenggaraan SIEM yang pertama tersebut, dilaksanakan di Benteng Vastenburg yang pada saat itu merupakan salah satu

heritage yang dimiliki oleh Kota Solo. SIEM pertama mendapatkan sambutan

yang baik dari masyarakat.

Jika SIEM memfokuskan pertunjukannya pada seni musik, maka SIPA memfokuskan pertunjukannya pada seni tari. SIPA pertama kali dilaksanakan pada tahun 2009. SIPA pertama dilaksanakan di Pamedan Pura Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran merupakan salah satu tempat kediaman Raja Solo dan sekaligus salah satu tempat tujuan wisata di Kota Solo. SIPA pertama juga mendapatkan sambutan yang baik dari Pemerintah Kota Solo. SIEM dan SIPA merupakan even yang diharapkan mampu mendatangkan peserta sekaligus penonton mancanegara.

Rumusan Masalah

Penyelenggaraan SIEM dan SIPA dimaksudkan untuk mem-branding

Kota Solo sebagai Kota Budaya yang dapat menarik perhatian publik dan mampu menjadikan Kota Solo sebagai tempat tujuan wisata (tourist destination). Menindaklanjuti hal tersebut, baik SIEM maupun SIPA tidak akan berhasil dalam upayanya untuk menarik perhatian masyarakat apabila pesan-pesan yang disampaikan tidak dirancang dengan baik. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui rancang bangun pesan SIEM dan SIPA untuk


(7)

commit to user

yang diajukan oleh peneliti untuk mengetahui rancang bangun pesan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan SIEM dan SIPA? Apa kaitan antara SIEM dan SIPA dengan branding Kota Solo sebagai Kota Budaya? 2. Bagaimana rancang bangun pesan SIEM dan SIPA untuk

mem--branding Kota Solo sebagai Kota Budaya?

3. Mengapa pesan SIEM dan SIPA tersebut dirancang sedemikian rupa? Apa makna kemasan pesan tersebut?

2. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan konsep SIEM dan SIPA dalam kaitannya dengan

branding Kota Solo sebagai Kota Budaya.

2. Menjelaskan rancang bangun pesan SIEM dan SIPA dalam

mem-branding Kota Solo sebagai Kota Budaya

3. Menjelaskan alasan konstruksi pesan SIEM dan SIPA serta mengetahui makna kemasan pesan tersebut.

3. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Memperkaya kajian tentang studi pesan khususnya tentang bagaimana pesan dikonstruksi dalam sebuah penyelenggaraan kegiatan.


(8)

commit to user 2. Manfaat Praktis

Memberi gambaran yang lebih mendalam dan kritis tentang konstruksi pesan budaya khususnya di Kota Solo, sehingga dapat menjadi acuan pengembangan studi kajian pesan.

3. Manfaat Metodologis

Memberikan perspektif alternatif pada kajian studi pesan terutama terkait pada kajian budaya. Hal ini untuk memberikan peneguhan bahwa kajian studi pesan akan mendalam jika diaplikasikan pada kajian budaya.


(9)

commit to user

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kajian Teori

Komunikasi adalah proses yang berpusat pada pesan dan bersandar pada informasi. Purwasito menjelaskan bahwa salah satu cara memahami seluk beluk kehidupan manusia di muka bumi ini adalah dengan jalan mengkaji pesan (Purwasito, 2003:13). Pesan adalah simbol yang disalurkan dan dipertukarkan. Pesan memuat gagasan, motif-motif, harapan, obsesi, keinginan, kepercayaan, keyakinan, persepsi terhadap sesuatu, pandangan tentang dunia, dan maksud-maksud tertentu yang lain, yang disalurkan dari sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan) lewat berbagai saluran, baik media massa maupun saluran media yang lain.

Pesan menggambarkan tentang realitas sosial yang objektif, mendistribusikan gagasan individual, kelompok dan institusional serta menjadi sarana pertukaran. Pesan menimbulkan efek pada partisipan komunikasi, publik dengan berbagai respon, merekuperasi, mengadopsi, merekonstruksi, dan mereproduksi pesan-pesan tersebut dalam sebuah perjalanan transformasi simbolik yang secara nyata berguna dan digunakan oleh partisipan komunikasi dalam interaksi sosial keseharian (Purwasito, 2003:14).

Senada dengan yang disampaikan Purwasito, Bulaeng (2002) menyatakan bahwa komunikasi adalah pengelolaan pesan-pesan dengan tujuan menciptakan makna. Komunikasi terjadi kapan saja seseorang berusaha menanggapi suatu pesan, berusaha memberikan makna kepadanya. Pesan bisa berupa kata-kata yang secara sengaja diucapkan atau ditulis yang saling dipertukarkan diantara


(10)

commit to user

orang ataupun pesan yang kita kirimkan kepada diri sendiri tentang ekspresi-ekspresi wajah yang tidak disengaja dan tampilan-tampilan perasaan dari orang lain. Pesan adalah simbol-simbol yang diperhatikan orang secara sadar dan menciptakan makna-makna. Berbeda dengan pesan, makna berarti gambaran-gambaran (citra) mental yang kita ciptakan dengan tujuan menafsirkan dan memahami perangsang-perangsang. Orang memberikan respon terhadap pesan-pesan yang memancar secara internal maupun eksternal dan menciptakan makna-makna untuk pesan tersebut.

A. Teori-Teori Pesan

Teori pesan, menurut Littlejohn (1995), dapat dikategorikan kedalam dua poin penting. Pertama, teori pembuatan pesan atau message constructions dan kedua, teori penerimaan pesan. Penelitian ini utamanya akan mengacu pada poin pertama, yakni teori pembuatan pesan atau message constructions. Message

constructions dapat diaplikasikan bukan hanya untuk mengamati media

komunikasi, misalnya periklanan namun juga dapat digunakan untuk analisis pada peristiwa-peristiwa sosial. Contoh message construction pada media periklanan adalah penelitian Sheer dan Chen (2008) tentang implikasi konstruksi pesan ketakutan pada iklan cetak OTC (over-the-counter medicine) di Cina. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa isi dan pesan dalam iklan tersebut merefleksikan nilai-nilai budaya Cina, yakni keberuntungan, keluarga yang harmoni, relasi saling ketergantungan, dan juga menjelaskan tentang "keberhasilan lain" dalam konsep budaya Cina (Sheer dan Chen, 2008:936).


(11)

commit to user

Untuk selanjutnya, fokus penelitian ini adalah message construction pada peristiwa sosial yakni SIPA dan SIEM.

Littlejohn (1995) kemudian menguraikan bahwa teori pembuatan dan penerimaan pesan dapat menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis, yakni penjelasan sifat, penjelasan keadaan dan penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat variabel lain dalam hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis pesan-pesan tertentu. Teori-teori ini memprediksikan bahwa ketika seseorang memiliki sifat-sifat personalitas tertentu, akan cenderung berkomunikasi dengan cara-cara tertentu pula.

Penjelasan keadaan berfokus pada keadaan dengan pikiran yang dialami seseorang dalam suatu periode waktu. Tidak seperti sifat, keadaan secara relatif tidak stabil dan tidak kekal. Dalam hal ini ditekankan bahwa keadaan tertentu yang dialami seseorang mempengaruhi pengiriman dan penerimaan pesan. Penjelasan sifat dan keadaan dapat digunakan secara bersama-sama. Perilaku hanya sebagian ditentukan oleh sifat dan situasional. Bagaimana komunikasi pada saatnya bergantung pada sifat-sifat tertentu yang kita miliki dan situasi dimana kita menemukan diri sendiri.

Pendekatan ketiga yang ditemukan dalam teori pembuatan dan penerimaan pesan adalah penjelasan proses. Penjelasan proses berupaya menangkap mekanisme pikiran manusia. Penjelasan ini berfokus pada cara informasi diperoleh dan disusun, bagaimana memori digunakan dan bagaimana orang


(12)

commit to user

memutuskan untuk bertindak. Pada penilitian ini, ketiga pendekatan tersebut dapat digunakan dalam proses analisis data.

B. Studi Pesan

Shoemaker (1996) berpendapat bahwa studi pesan membantu kita untuk mengambil kesimpulan ataupun membuat dugaan tentang suatu fenomena. Kesimpulan atau dugaan terhadap suatu fenomena ini menjadi penting sebab terkadang pesan yang disampaikan pun sifatnya tidak selalu eksplisit, sehingga mendorong seseorang untuk cenderung membuat kesimpulan atau dugaan.

Berbicara mengenai studi pesan, berarti kita berbicara tentang kajian studi komunikasi sebagai suatu teori dan metode untuk mengungkapkan keberhasilan suatu tindak komunikasi. Tingkat keberhasilan suatu tindak komunikasi tersebut, menurut Purwasito dapat teramati dengan adanya tiga hal pokok, yaitu: message

engineering, message packaging dan message meaning. Dalam konteks ini,

message studies selain mengkaji keberhasilan tindak komunikasi, juga

mempelajari dinamika makna pesan (message meaning), yakni proses evolutif dalam penggunaan pesan (message using) yang dengan sengaja dirancang oleh komunikator dalam sistem interaksi simbolik yang terjadi.

Message engineering atau dalam konsep Purwasito disebut dengan

rekayasa pesan, adalah proses penciptaan pesan melalui rekayasa simbolik yang melibatkan pengolahan cipta (gagasan yang ingin disampaikan), dengan rasa (intuisi yang membimbing) dan karsa (kehendak yang mewujudkan). Rekayasa pesan menghasilkan apa yang disebut dengan kemasan pesan


(13)

commit to user

(ndalempoerwahadiningratan.wordpress.com). Untuk memahami tentang rekayasa pesan, kita dapat melihat gambar dibawah ini:

Gambar 2.1. Rekayasa Pesan

Sumber: ndalempoerwahadiningratan.wordpress.com/2011

Dari gambar diatas, dapat dikemukakan adanya 4 hal mengenai rekayasa pesan, yakni :

1) Bahwa pesan sebagai konstruksi simbolik diwujudkan dalam bentuk kemasan.

2) Bahwa kemasan dikontruksi melalui rekayasa cipta, rasa, karsa.

3) Bahwa rekayasa cipta, rasa, karsa bersumber dari pandangan dunia komunikator.

4) Bahwa pandangan dunia merujuk pada kesadaran diri dan kesadaran kolektif.

Seperti nampak pada Gambar 2.1. bahwa proses penciptaan pesan melalui rekayasa simbolik yang melibatkan pengolahan cipta, dengan rasa dan karsa

Kemasan

Cipta


(14)

commit to user

menghasilkan kemasan pesan atau disebut dengan message packaging. Kemasan pesan (message packaging) sesungguhnya adalah representasi (hadirnya gagasan) komunikator. Untuk menjadi kemasan pesan, representasi gagasan tersebut dibangun melalui lima unsur pokok, yaitu :

1) unsur siapa yang menjadi Komunikator. 2) saluran apa yang dipilih oleh Komunikator.

3) manifest atau wujud apa yang dikehendaki oleh Komunikator. 4) pertimbangan Komunikator terhadap unsur ruang dan waktu.

5) makna pesan yang dikehendaki oleh Komunikator untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Unsur-unsur dalam kemasan pesan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2. Message Packaging

Sumber: ndalempoerwahadiningratan.wordpress.com/2011

Kedua gambar diagram tersebut, merupakan prinsip dasar atau metoda dasar yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesan-pesan budaya pada

Makna

Komunikator

Ruang dan Waktu

Saluran


(15)

commit to user

penyelenggaraan SIPA dan SIEM dengan menggunakan kerangka berpikir

Message Engineering, Message Packaging serta Message Meaning. Dengan kata

lain bahwa makna yang ingin dicapai tergantung dari Komunikator, Saluran, Ruang dan Waktu serta Manifestasi dalam suatu tindak komunikasi.

1. Alasan Mempelajari Pesan

Purwasito dalam bukunya, Message Studies (2003), menjelaskan mengapa kita mempelajari pesan, yaitu:

1. Karena pada dasarnya integritas sosial dan dinamika masyarakat, kemajuan dan peradaban serta perkembangan sejarah digerakkan oleh pertukaran pesan.

2. Karena pesan dalam konteks ini didefinisikan sebagai penggerak kebudayaan, maka sebagai produksi simbolik, pertukaran pesan merambah pada locus individual, locus sosial, lokal maupun global. Pesan dianggap sebagai kekuatan yang mampu membangun harmoni, solidaritas, integritas, dan kerjasama juga potensial melahirkan kesalahpahaman, persaingan, iri-dengki, prasangka dan konflik dan peperangan.

2. Fungsi Studi Pesan

Fungsi pesan kembali dirumuskan oleh Purwasito dalam buku Message Studies (2003) adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sarana untuk mengkomunikasikan dan mempertukarkan gagasan dengan tujuan memperoleh kekuasaan.


(16)

commit to user

2. Cara mengintrodusir indentitas individu dan kelompok serta mempertegas eksistensi.

3. Alat menjelaskan masalah, peristiwa, gejala, warisan budaya sampai tingkat kedalaman tertentu.

4. Manifestasi gagasan, representasi pembatinan resistensial dan support maupun keindahan.

5. Signal tanda-tanda zaman dari alam semesta.

Fokus pada fungsi pesan yang pertama, yakni pesan yang disampaikan memiliki tujuan untuk memperoleh kekuasaan, berarti pesan tersebut berupa

“gagasan yang direkayasa sedemikian rupa, dikemas, dimaknai dan dikirim serta

dipertukarkan dalam suatu tindak komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu”. Dalam penelitian mengenai SIEM dan SIPA ini, peneliti hendak meneliti gagasan-gagasan yang direkayasa sedemikian rupa, dikemas, dan dimaknai serta dikirim dan dipertukarkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut, mengacu pada fungsi pesan pertama, adalah tujuan untuk memperoleh kekuasaan. SIEM dan SIPA selanjutnya diteliti untuk mengetahui tujuan perolehan kekuasaan melalui penyelenggaraan even tersebut.

Dalam perkembangannya, studi pesan, merujuk pada kamus bahasa Prancis Petit Robert yakni sekumpulan tanda-tanda yang dikelola berdasarkan kode-kode tertentu yang dipertukarkan antara komunikator dan komunikan melalui saluran (ensemble de signauxorganisesselonun code et


(17)

commit to user

(ndalempoerwahadiningratan.wordpress.com). Di Prancis pengertian “message” selalu dihubungkan dengan semiology (ilmu tentang tanda) dan cybernetique

(ilmu tentang dunia maya). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa gagasan Komunikator yang dipertukarkan atau dikomunikasikan kepada Komunikan berwujud tanda-tanda tertentu, yang isinya mengandung maksud tertentu, dengan sengaja disalurkan oleh Komunikator kepada Komunikan untuk mendapatkan hasil tertentu (kekuasaan) yang biasanya telah ditetapkan. Dalam konteks pelaksanaan event SIPA dan SIEM, peneliti ingin mengetahui apakah gagasan Komunikator yang dipertukarkan dalam bentuk tanda-tanda tertentu, dengan unsur kesengajaan untuk disalurkan kepada Komunikan, memang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang telah ditetapkan Komunikator. Jika benar memang ditujukan untuk mendapatkan sesuatu, apakah sesuatu yang hendak dituju tersebut.

C. Budaya 1. Konsep Budaya

Kata „kebudayaan‟ berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu

bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian, ke -budaya-an dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya yang berarti “daya dari budi”. Karena itu ada pembedaan

kata “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah menurut Koentjaraningrat,


(18)

commit to user

“kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu (Koentjaraningrat,

1990:181).

Jika Koentjaraningrat melihat budaya dari perspektif akar katanya, maka Marsella (Samovar, 2001) melihat budaya dari sudut pandang pewarisan budaya. Marsella menyatakan:

“Culture is shared learned behavior which is transmitted from one generation to another for purposes of promoting individual and social survival, adaptation, and growth and development. Culture has both external (e.g,.artifacts, roles institution) and internal representation (e.g., values, attitudes, beliefs, cognitive/affective/sensory styles, consciousness

pattern, and epistemology)”

(Budaya adalah perilaku yang dipelajari yang diwariskan dari satu generasi ke yang lain, bertujuan untuk meningkatkan nilai bertahan, adaptasi, pertumbuhan, dan perkembangan individu dan sosial. Budaya memiliki representasi ekternal (artifak, peraturan institusi) dan internal (nilai, tingkah laku, kepercayaan, bentuk kognitif/afektif/ sensoris, pola kesadaran, dan epistemologi).

Sehingga dari perspektif Koentjoroningrat dan Marsella dapat disimpulkan bahwa kebudayaan tersebut berasal dari cipta, rasa dan karsa manusia yang terepresentasi secara eksternal dan internal. Budaya dipelajari dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai bertahan, adaptasi, pertumbuhan dan perkembangan individu dan sosial.

Membandingkan konsep budaya Koentjoroningrat dengan Lustig, peneliti menemukan kesesuaian pendapat dari keduanya. Budaya dalm pandangan Lustig dipandang sebagai keseluruhan cara hidup seseorang didalam suatu komunitas


(19)

commit to user

tertentu, dimana terdapat berbagai macam aspek. Antara lain: sistem nilai, sistem sosial, dan lain-lain. Terdapat tiga komponen dalam pola budaya, yaitu (Lustig, 1993):

a. Beliefs

Kepercayaan adalah suatu gagasan di mana orang-orang berasumsi mengenai apa yang benar di dunia ini. Kepercayaan juga merupakan serangkaian interpretasi yang dipelajari yang membentuk basis bagi anggota kebudayaan untuk memutuskan apa yang logis atau tidak, apa yang benar atau salah.

b. Values

Budaya tidak hanya sebagai pembeda kepercayaan tapi juga nilai-nilai. Nilai mengikutsertakan apa yang suatu budaya anggap baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak, bersih atau kotor, cocok atau tidak cocok, dan lainnya. Karena nilai-nilai adalah desired characteristics atau tujuan dari sebuah budaya, nilai-nilai budaya tidak harus menggambarkan perilaku dan karakterisitik yang sesungguhnya. Walaupun begitu, nilai-nilai sering ditawarkan sebagai penjelasan terhadap bagaimana orang berkomunikasi

c. Norms

Manifesitasi yang keluar dari nilai-nilai dan kepercayaan adalah norma, yang secara sosial mengharapkan suatu perilaku yang seharusnya. Ketika tingkah laku seseorang bertentangan dengan norma budaya, maka sanksi


(20)

commit to user

sosial pun akan diberlakukan. Norma, seperti halnya bilai, juga bervariasi antar budaya tergantung intensitas dan kepentingannya.

2. Karakteristik budaya

Menurut Samovar (2000), budaya memiliki karakteristik:

1. Budaya itu dipelajari. Budaya dipelajari dengan berbagai cara dan apa

yang kita pelajari kebanyakan melalui interaksi dengan orang lain.

2. Budaya diwariskan dari generasi ke generasi. Bila terdapat nilai yang

dianggap sebagai pusat sebuah masyarakat, dan hal itu telah berlangsung lama, maka hal ini harus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Karakeristik ini menunjukkan bahwa ada hubunga antara budaya dengan komunikasi. Jadi, komunikasi lah yang membuat budaya menjadi suatu proses yang berkelanjutan.

3. Budaya berdasar pada simbol. Dari karakteristik di atas, muncul anggapan

bahwa kemampuan kita sebagai pembuat simbol (symbol making) lah yang memungkinkan kita untuk belajar dan menyerahkan kebudayaan kita dari individu ke individu yang lain, dan generasi ke generasi. Lewat bahasa lah, verbal maupun non verbal, icon atau gambar, kumpulan pengetahuan itu dapat kita pelajari. Pemikiran, buku, gambar, film, video, dan sebagainya yang membuat budaya dapat dilestarikan apa yang dianggap penting dan layak untuk diwariskan.

4. Budaya adalah subjek yang dapat diganti. Budaya adalah sebuah sistem


(21)

commit to user

budaya cepat beradaptasi. Berbagai kejadian yang terjadi memaksa budaya untuk bisa cepat beradaptasi dan berubah sesuai perubahan jaman. Kedua, walaupun budaya dapat berubah, tapi struktur penting dari budaya tersebut terus bertahan. Nilai-nilai seperti etika, moral, praktek peribadatan, dan perilaku terhadap gender dan umur telah tertanam kuat dari generasi ke generasi.

5. Budaya bersifat etnosentrik. Etnosentrisme adalah paham yang melihat

kebudayaan lain dengan lensa kebudayaan sendiri. Seperti budaya itu sendiri, paham etnosentris dipelajari secara tidak sadar.

Sedangkan menurut Philip R. Harris dan Robert T. Moran (Mulyana: 2000), menyatakan tentang karakteristik budaya, antara lain:

1. Komunikasi dan bahasa 2. Pakaian dan penampilan 3. Makanan dan kebiasaan

4. Waktu dan kesadaran akan waktu 5. Penghargaan dan pengakuan 6. Hubungan-hubungan

7. Nilai dan norma 8. Rasa diri dan ruang 9. Proses mental dan belajar 10.Kepercayaan dan sikap


(22)

commit to user

Jadi sekelompok orang yang memiliki karakteristik budaya yang sama, bisa dibilang mereka menganut budaya yang sama pula.

3. Teori Budaya

Sejak awal, kerangka kerja yang digunakan dalam penelitian antropologis adalah konsep budaya. Walaupun selalu ada perbedaan pendapat dalam hal definisi budaya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, namun diakui bahwa ada interaksi budaya dengan makna yang diberikan oleh orang-orang atas berbagai peristiwa yang mereka alami. budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghasilkan perilaku. Perilaku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang dilakukan, dan mengapa orang melakukan berbagai hal dalam kehidupannya, selalu didasarkan pada definisi menurut pendapatnya sendiri yang dipengaruhi secara kuat oleh latar belakang budayanya yang khusus. Budaya yang berbeda, melatih orang secara berbeda pula di dalam menangkap makna persepsi karena kebudayaan merupakan cara khusus dalam membentuk pikiran dan pandangan manusia. Apa yang baik dan diterima oleh masyarakat dalam satu budaya, belum tentu dapat diterima dan dianggap baik oleh warga masyarakat dengan budaya yang berbeda (Sutopo, 2002:30).


(23)

commit to user D. Branding

Kebanyakan karakteristik dan manfaat dari image organisasi muncul dalam sebuah merk atau brand. Brand menurut E. Clow & Baack (2002: 117) adalah :

“… names generally assigned to a product or service or a group of

complementary products while a corporate image covers every aspect of

the company”.

Jadi, menurut E. Clow & Baack, merk adalah sebuah nama yang secara umum dilekatkan pada sebuah produk atau jasa atau kelompok yang melengkapi produk atau jasa tersebut. Misalnya, perusahaan Unilever memiliki sejumlah merk seperti pasta gigi Pepsodent, lotion untuk tubuh bermerk Citra, sabun mandi Lux, dll. Merk atau nama produk tersebut dapat diambil dari manfaat produk tersebut atau bisa juga merupakan karakteristik produk tersebut.

Sejalan dengan Clow & Baack, American Marketing Association (AMA) memberikan konsep mengenai merk atau brand. AMA menyatakan bahwa brand merupakan nama, istilah, tanda, simbol, rancangan atau kombinasi semuanya untuk mengidentifikasi barang atau jasa penjual atau kelompok penjual untuk mendifferensiasikannya dari barang atau jasa pesaing (www.marketingpower.com/2011). Brand digunakan untuk menyederhanakan penelusuran produk, mengorganisasikan catatan inventori, perlindungan hukum, menandakan mutu, mengamankan keuntungan bersaing serta hambatan bagi pesaing. Sehingga, jika kedua konsep ini bisa kita simpulkan, maka kita akan menemukan kesamaan konsep tentang nama yang dilekatkan kepada jasa atau


(24)

commit to user

produk untuk tujuan pengenalan kepada konsumen sekaligus sebagai bentuk diferensiasi dengan produk atau jasa kompetitor.

Dalam kaitannya dengan persaingan, maka sebuah brand membutuhkan strategi agar dapat dengan mudah dikenali oleh konsumennya. Strategi menurut Porter (1996:68) adalah “the creation of a unique and valuable position, involving a different set of activities”. “A unique and valuable position” merupakan

positioning sedangkan “different set of activities” adalah diferensiasi. Berbeda

lagi dengan konsep brand equity. Brand equity adalah resultan atau hasil dari seberapa mampu kita mengkomunikasikan positioning produk, merk, dan organisasi dengan diferensiasi secara berkelanjutan sehingga mampu mencapai keunggulan kompetitif.

Positioning haruslah bersifat unik, kata Kotler (Kotler dalam Ostaseviciute, 2008:98). Sehingga dapat dengan mudah mendiferensiasikan diri dengan para pesaing, tidak mudah ditiru dan sustainable dalam jangka panjang. Sementara yang dimaksud dengan diferensiasi adalah upaya dalam membedakan diri dengan pesaing. MarkPlus&Co merumuskan diferensiasi berdasarkan tiga dimensi yaitu content (what to offer), konteks (how to offer) dan infrastruktur

(enabler). Konten adalah dimensi diferensiasi merujuk pada “apa” value yang kita

tawarkan kepada pelanggan. Konteks merujuk pada cara kita menawarkan value kepada pelanggan. Infrastruktur merupakan faktor pemungkin terealisasinya diferensiasi konten maupun konteks (teknologi, sdm, fasilitas). Dengan demikian, strategi yang tepat untuk melakukan branding adalah “strategi segitiga


(25)

commit to user

Gambar 2.3. Segitiga Positioning, Diferensiasi, Brand Sumber: Kertajaya, 2005

E. Memahami Simbol dengan Kerangka Semiologi Komunikasi

Untuk mengkaji pesan pada media komunikasi, maka teori yang digunakan adalah: (1) teori komunikasi massa, dan (2) teori simbol dan konstruksionisme.

Istilah “komunikasi massa” dalam konsep McQuail (2010) merupakan

pengembangan dari konsep “media massa”. Istilah komunikasi massa tersebut

berkembang di abad 20 untuk mendeskripsikan fenomena sosial baru dan ciri khas dari kemunculan era modern yang dibangun dengan pondasi industrialisme dan demokrasi popular. Media massa adalah organasasi alat-alat komunikasi yang terbuka dalam konteks jarak dan kepada banyak orang dalam waktu singkat (McQuail, 2010:4).

Berkenaan dengan teori simbol dan konstruksionisme, maka semiotika atau semiologi pada dasarnya merupakan konsep di area tersebut. semiotika atau semiologi pada dasarnya merupakan konsep istilah yang sama. Istilah semiotika

Positioning Diferentiation

Brand

Brand integrity

Brand image Brand identity


(26)

commit to user

dikenalkan oleh C.S Pierce yang berasal dari Amerika Serikat sementara istilah Semiologi banyak digunakan oleh ahli yang berbahasa Perancis. Sehingga perbedaan penggunaan istilah tersebut tidaklah mengurangi pemaknaan istilah yang dimaksud.

Semiotika pada awal kemunculannya merupakan sebuah studi tentang simbol-simbol (signs) dan praktek-praktek signifikasi (signifying). Semiotik diperkenalkan oleh seorang linguis bernama Ferdinand de Saussure dan ahli linguistic pragmatis Charles Sanders Peirce. Pierce dikenal melalui sistem filsafatnya yang disebut dengan pragmatisme. Menurut sistem ini, signifikansi sebuah model atau teori terletak pada efek praktis penerapannya Model tanda yang dibangunnya menjadi sangat berpengaruh dan membentuk sebagian besar karya kontemporer mengenai semiotika kontemporer (Danesi, 2004:37). Bagi

Lechte, Pierce tidak sekadar menerjemahkan istilah “semiotika” yang kini popular

itu, yang berasal dari bahasa Yunani Kun, tetapi ia juga menjadi pemikir tentang karya-karya Kant dan Hegel yang ia baca dalam bahasa Jerman (Sobur, 2009:40).

Walaupun Pierce menerbitkan tulisan lebih dari sepuluh ribu halaman cetak, namun ia tidak pernah menerbitkan buku yang berisikan telaah mengenai masalah yang menjadi bidangnya. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan karyanya tentang tanda, pemikiran Pierce harus dianggap selalu berada dalam proses dan terus mengalami modifikasi dan penajaman lebih lanjut (Sobur, 2009:40).

Dalam konsep Pierce mengenai tanda, ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh tanda sehingga ia dapat mencapai tahap signifikasi. Pierce menyebut tanda sebagai representamen, sedangkan konsep, benda, gagasan, dan seterusnya yang


(27)

commit to user

diacunya sebagai objek. Makna (impresi, kogitasi, perasaan dan seterusnya) yang diperoleh dari sebuah tanda disebut interpretan. Tiga dimensi ini selalu hadir dalam signifikasi. Oleh karena itu, Pierce memandangnya sebagi sebuah struktur triadik, bukan biner:

Gambar 2.4. Tanda “Pirecean” Sumber : Sobur, 2009

Pierce juga mengidentifikasi 66 jenis tanda yang berbeda dan tiga diantaranya lazim digunakan dalam pelbagai karya semiotika saat ini. Ketiga jenis tanda itu adalah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi atau persamaan. Indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implicit) dengan sumber acuan lain. Sementara simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik (Danesi, 2004:38).

Jika Pierce melihat semiotika dari sudut pandang linguis pragmatis, maka Saussure melihat semiologi dari strukturnya. Saussure (1959) dikenal dengan pemikirannya untuk membuat perbedaan langue (bahasa) dan parole (ujaran).

Representamen


(28)

commit to user

Langue mengacu pada sistem aturan dan konvensi yang independen dari, dan

pre-exists, pengguna individu; sementara parole mengacu pada penggunaannya dalam

kasus tertentu. Saussure terfokus pada langue, bukan parole. Untuk Saussure apa yang paling penting adalah struktur yang mendasari dan aturan dari sistem semiotik daripada penampakan-penampakan khusus atau praktik-praktik penggunaan sistem tanda tersebut. Pendekatan Saussure adalah untuk mempelajari sistem secara sinkron (synchronically) seolah-olah itu membeku dalam suatu waktu (contohnya foto) - daripada diakronis (diachronically) - dalam hal evolusi dari waktu ke waktu (seperti film). Teoris strukturalis budaya di beberapa bagiannya mengadopsi prioritas Saussur ini. Mereka memfokuskan diri pada representasi dan fungsi fenomena sosial dan budaya dalam sistem semiotik (Nilan, 2007:61).

Dalam perkembangannya, semiotika yang digunakan di media saat ini dan penelitian komunikasi adalah semiotika jenis deskripsi dan analisis sosial yang menempatkan penekanan khusus pada pemahaman dan eksplorasi pola tanda-tanda dan simbol dalam teks, apa yang dimaksud oleh simbol tersebut dan bagaimana simbol-simbol ini digunakan. Semiotika tekstual menganalisis pengaturan-pengaturan yang familiar dan pengaturan sehari-hari juga pola-pola tertentu, hubungan-hubungan, ide-ide dan keyakinan yang mencirikan cara bahwa makna sosial dan budaya biasanya terbuat dari teks (Nilan, 2007:61). Tujuan paling umum dalam memahami simbolisme teks media sehari-hari dalam budaya populer adalah bagaimana orang bisa membaca dan memahami simbol-simbol dan tanda-tanda, dan dengan demikian membuat makna dari kata-kata, suara, gambar


(29)

commit to user

dan bahasa tubuh dalam teks-teks. Beberapa menyebutnya sebagai 'dekonstruksi' - sebuah istilah yang diciptakan oleh Jacques Derrida. Derrida adalah pencetus konsep bahwa makna dapat dipahami tanpa henti melalui rantai penanda dalam proses differance - penangguhan terbatas pada makna tetap (Derrida dalam Nilan 2007).

Kembali ke sejarah perkembangan semiotika, Volosinov dalam Nilan (2007) membalikkan prioritas Saussurean dari langue atas parole: „The sign is

part of organized social intercourse and cannot exist, as such, outside it, reverting

to a mere physical artifact‟. Maksudnya adalah bahwa tanda saat ini dipahami tidak hanya ada dalam hubungannya dengan tanda-tanda lain dalam sistem penanda, seperti yang nampak dalam rantai semiotik, melainkan dapat dipahami pula dalam konteks sosial penggunaannya.

Lebih lanjut Nilan (2007) menyatakan bahwa semiotic kini sebagai sebuah bidang kajian yang mencakup banyak teori yang berbeda dan berbagai macam metodologis. Semiotics involves the study not only of „signs‟ in everyday speech, but of anything which „standsfor‟ something else. Dalam konsep semiotik, tanda-tanda mengambil bentuk berupa kata-kata, gambar, suara, gerakan dan objek. Studi semiotik kontemporer mempelajari tanda-tanda bukan dalam sistem yang terisolasi melainkan sebagai bagian dari semiotik 'sistem tanda' (seperti medium atau genre), dan dengan demikian di dalam semiotik tidak hanya berbicara masalah komunikasi, tetapi juga dengan konstruksi dan pengelolaan realitas.


(30)

commit to user

„sign systems‟ (such as a medium or genre), and are thereby concerned not only

with communication but also with the construction and maintenance of reality.

Dalam menganalisis media kita perlu mengetahui bahwa transformasi dunia nyata masuk dalam proses mediasi. Ketika kita menggunakan medium atau bentuk media untuk tujuan apapun, penggunaannya menjadi bagian dari tujuan itu. Dalam batas tertentu, kita melayani tujuan tersebut sebaik tujuan-tujuan tersebut melayani kita. Ketika kita menggunakan media, kita bertindak dan dikenai tindakan, kita menggunakan dan digunakan oleh media. Jadi adalah mungkin untuk menemukan makna baru, terutama melalui interaksi sosial dengan orang lain, yang merupakan proses mediasi itu sendiri.

Mengacu kepada semiotika kontemporer yang telah dirumuskan sebelumnya, maka konsep ini dapat diturunkan kepada semiologi Purwasito. Menurut Purwasito (2003), semiologi mengandung dua perspektif mendasar. Pertama, semiologi signifikansi untuk menyebut tafsir tanda dan sistem tanda yang berinduk pada kajian linguistik. Kedua, semiologi komunikasi untuk menyebut tafsir tanda dan sistem tanda yang diproduksi oleh komunikator, yaitu pesan, yang disalurkan kepada komunikan secara langsung ataupun tidak langsung.

Lebih lanjut dikatakan Purwasito bahwa kunci tafsir semiologi komunikasi terletak pada proses transaksional oleh penerima pesan yang dimaksud oleh sumber, sehingga ada respond an efek bagi penerima dengan jalan mempersepsi, merekuperasi atau mencerap pesan yang disandi, memberi makna kepadanya dan


(31)

commit to user

seberapa besar partisipan komunikasi mengembangkan reproduksi simbol pesan itu.

Pada proses transaksional ini terdapat unsure-unsur stimuli baik secara sadar-taksadar, sengaja-taksengaja, intensional-non-intensional, maupun emosional atau rasional, berupa verbal-non verbal. Stimuli yang konstekstual antara sumber dan penerima dapat dijadikan ukuran apakah sebuah komunikasi berkualitas atau konstruksi pesan tersebut menunjukkan kredibilitas dan kompetensi sumbernya. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, bentuk-bentuk reproduksi pesan menjadikan kebudayaan terus berjalan tanpa henti. Inilah yang menjadikan kebudayaan dan komunikasi menjadi bagian utama yang tak terpisahkan. Dengan demikian, semiologi komunikasi adalah alat tafsir kebudayaan. Sehingga seluruh produk pesan yang dibangun oleh source baik dilakukan secara terencana dan sistematis, maupun dilakukan secara sembarangan bahkan hanya sekadar mengikuti intuisi personal, menjadi kajian ketika mendapat respon dan efek kepada penerima (receiver).

Dari penjelasan mengenai semiologi komunikasi, ia tidak hanya memiliki kelebihan tetapi juga memiliki kekurangan. Teori ini menurut Manning dan Cullum-Swan (2009:622) kurang bisa memetakan perubahan, tidak bisa menjelaskan keterkaitan antara diri dengan kelompok, menjelaskan pengalaman individu atau kelompok yang tampak dalam sistem simbolik atau menganalisis perubahan sistem tanda itu sendiri. Makna selalu berubah setiap waktu; „semiosis‟ hanya dapat dipahami ketika kita melakukan penelitian dan pengamatan secara mendalam. Interpretan, perspektif, atau titik tolak tempat konstruk berpusat mesti


(32)

commit to user

dipahami dan diidentifikasi dari konteks social atau cultural. Disini dapat dipahami bahwa semiologi komunikasi mutlak memerlukan pengetahuan etnografi; di dalam etnografilah analisis semiotik dapat berbicara banyak.

Analisis semiotika mengandaikan sejarah dan konteks agar makna dapat dipahami; makna tersebut setara dan sebangun dengan perspektif interaksionisme simbolis. Makna diperoleh dari pemahaman terhadap budaya dan konstruk-konstruk social dan bukan dari refleksi diri pribadi terhadap diri lain (Mead dalam Manning dan Cullum-Swan, 2009).

2. Kerangka Pikir

SIPA dan SIEM merupakan dua even budaya yang diciptakan oleh pemerintah Kota Solo. Kedua event ini dikonstruksi oleh komunikator (pemkot Solo) sebagai sebuah simbol budaya (symbolic construction). Ketika dikonstruksi, SIPA dan SIEM ini direkayasa sedemikian rupa melalui kemasan-kemasan pesan budaya seperti pesertanya yang berasal dari berbagai negara, pakaian adat yang dikenakan masing-masing peserta, dll. Melalui kemasan pesan ini, maka akan diketahui makna pesannya (message meaning). Makna pesan dapat berupa dua hal yakni pesan yang orisinil atau pesan tersebut artificial. Dari tataran symbolic

construction hingga message meaning inilah yang hendak diteliti oleh peneliti.


(33)

commit to user

Gambar 2.5. Kerangka Pikir Peneliti

Gambar 2.3 mendeskripsikan keterkaitan antar unsur dalam penelitian ini. Pokok masalah penelitian ini adalah hendak mengkaji bagaimana pesan-pesan khususnya pesan-pesan budaya yang dikonstruksi dalam pagelaran SIPA dan SIEM. Kultur Solo merupakan referen dari studi pesan ini. Referen ini kemudian diejawantahkan dalam visi misi kota Solo sebagai kota Budaya. Visi dan Misi Solo sebagai Kota Budaya kemudian nampak dalam beragam kegiatan yang diciptakan oleh pemkot Kota Solo termasuk event SIPA dan SIEM yang hendak diteliti oleh peneliti. Beragam kegiatan ini kemudian diimplementasikan dalam sebuah proses termasuk event SIPA dan SIEM, melewati serangkaian proses kegiatan. Mulai dari publikasi hingga persiapan menjelan pelaksanaan event dan akhirnya ketika event tersebut berlangsung. Pada tahapan ragam kegiatan dan proses kegiatan inilah, muncul kemasan-kemasan pesan. Pada tahapan selanjutnya adalah message using, yakni dimana muncul efek komunikasi dari pagelaran event budaya SIPA dan SIEM. Pada tataran message using inilah, terjadi pemaknaan pesan oleh komunikan.

Komunikator

(Pemerintah Kota dan Panitia)

Konstruksi

Simbolik Konstruksi Pesan

Makna yang ingin dicapai (branding)


(34)

commit to user

BAB III. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian tentang SIPA dan SIEM ini, peneliti menggunakan penelitian jenis kualitatif, khususnya penelitian kualitatif deskriptif dan kualitatif interpretatif. Penelitian kualitatif interpretatif digunakan untuk menganalisis pesan pada media promosi SIEM dan SIPA, sementara jenis penelitian kualitatif deskriptif untuk menjelaskan tentang penyelenggaraan SIEM dan SIPA secara umum.

Penelitian deskriptif menurut Pawito (2007:84) merupakan jenis penelitian yang ditulis atau yang diucapkan orang dan mengamati perilaku orang-orang yang diobservasi. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian kualitatif interpretatif menurut Sugiyono (2009) adalah penelitian yang bertitik tolak pada pandangan post

positivist dengan menggunakan paradigma interpretatif. Pandangan ini melihat

realitas atau objek penelitian bukan sebagai realitas yang terpisah secara parsial dan dipecah dalam beberapa variabel, namun metode ini lebih bersifat seni (kurang terpola) sehingga sering disebut sebagai metode artistik karena tidak berpolanya metode ini.

Penelitian interpretatif disebut demikian karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini memandang objek sebagai sesuatu hal yang dinamis, juga sebagai hasil konstruksi pemikiran dan interpretasi terhadap gejala yang diamati, serta utuh, sebab setiap bagian pada objek tersebut memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti melihat hubungan antar variabel bersifat interaktif


(35)

commit to user

dan saling mempengaruhi sehingga tidak diketahui mana variabel independen dan mana variabel dependennya (Sugiyono, 2009:7-11).

Lebih lanjut mengenai penelitian kualitatif, Sutopo (2002) menyatakan bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif. Artinya data di lapangan merupakan sumber utama bagi penyusunan simpulan (teori) sebagai hasil akhir penelitian. Keterbukaan ini juga sudah terlihat pada teknik pengumpulan datanya dengan jenis sampling yang digunakannya.

Selain sifat penelitian kualitatif yang lentur dan terbuka tersebut, penelitian kualitatif juga memandang berbagai masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari kondisi yang lain yang menyatu dalam suatu konteks. Sutopo (2002: 42) menjelaskan bahwa berbagai variabel yang dikaji dalam penelitian tidak bisa dipelajari dan dipahami secara terpisah dari keterkaitannya di dalam konteks keseluruhannya.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kuantitatif menurut Kriyantono (2008:55) adalah penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. penelitian kuantitatif tidak terlalu mementingkan kedalaman data atau analisis. Yang diutamakan oleh periset adalah keluasan data sehingga hasil riset merupakan representasi dari seluruh populasi.

Sikap peneliti terhadap data pada penelitian kuantitatif adalah objektif dan memisahkan diri. Artinya periset tidak boleh membuat batasan konsep atau alat ukur sesuai dengan keinginannya sendiri. Semuanya harus objektif dan diuji terlebih dahulu apakah batasan konsep dan alat ukurnya sudah memenuhi prinsip reliabilitas dan validitas. Dengan kata lain, periset berusaha membatasi konsep dan variabel yang


(36)

commit to user

diteliti dengan cara mengarahkan riset dalam setting yang terkontrol, lebih sistematik dan terstruktur dalam sebuah desain riset. Desain ini sudah harus ditentukan sebelum riset dimulai.

Secara umum, penelitian kuantitatif memiliki ciri-ciri (Kriyantono, 2008:56) : a. Hubungan riset dengan subjek: jauh. Periset menganggap realitas terpisah

dan ada diluar dirinya. Alat ukurnya harus diuji keobjektifannya.

b. Riset bertujuan untuk menguji teori atau hipotesis, mendukung atau menolak teori. Data hanya sebagai sarana konfirmasi teori atau teori dibuktikan dengan data. Bila dalam analisis ditemukan penolakan terhadap hipotesis atau teori, biasanya periset tidak langsung menolak hipotesis dan teori tersebut melainkan meneliti dahulu apakah ada kesalahan dalam teknik samplingnya atau definisi konsepnya kurang operasional sehingga menghasilkan instrument yang kurang valid.

c. Riset harus dapat digeneralisasikan. Hal ini karena riset kuantitatif menuntut sampel yang representative dari seluruh populasi, operasionalisasi konsep serta alat ukur yang valid dan reliable.

d. Prosedur riset rasional-empiris, artinya riset berangkat dari konsep-konsep atau teori-teori yang melandasinya. Konsep atau teori inilah yang akan dibuktikan dengan data yang dikumpulkan di lapangan.

Dari pemaparan tentang jenis penelitian tersebut, maka peneliti kembali menyatakan bahwa penelitian tentang rancang bangun pesan SIEM dan SIPA paling tepat dapat dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian


(37)

commit to user

kualitatif ini, peneliti membuat desain penelitian. Desain penelitian adalah perencanaan dari keseluruhan penelitian yang hendak dikaji. Hal ini terkait dengan cara berpikir, cara menggambarkan dan memvisualisasikan rencana penelitian. Desain penelitian mencakup empat area utama: strategi, conceptual frameworks, pertanyaan tentang siapa dan apa yang akan diteliti, dan alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisa materi-materi empiris (Punch, 1998:149). Desain menempatkan peneliti pada situasi dunia empiris. Tujuan penggunaan metode penelitian kualitatif sebagaimana yang disampaikan oleh Strauss dan Corbin (1990) adalah untuk menemukan dan memahami makna dibalik fenomena yang sedikit telah

diketahui. “Qualitative methods can be used to uncover and understand what lies

behind any phenomenon about which little is yet known”.

2. Lokus Penelitian

Lokus penelitian ini bersumber pada data-data dari media-media promosi SIPA dan SIEM, khususnya data-data poster SIPA dan SIEM serta katalog SIPA dan SIEM. Pemilihan lokus disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, yakni untuk mendeskripsikan pesan-pesan budaya dan mengetahui alasan konstruksi pesan-pesan budaya tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sutopo (2002) menjelaskan ada berbagai macam teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kuantitatif. Berbagai macam teknik pengumpulan


(38)

commit to user

data dilakukan supaya dapat menjawab pertanyaan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dokumen tertulis dan arsip yang dijadikan sumber data. Dokumen ini berupa dokumen poster SIEM dan SIPA, dokumen katalog SIEM dan SIPA, serta dokumen pemberitaan SIEM dan SIPA di surat kabar harian maupun surat kabar online. Dari dokumen-dokumen ini peneliti mencari sumber data yang memiliki posisi penting, utamanya jika sasaran kajian mengarah pada latar belakang atau mengarah pada berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau dan sangat berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti.

Dokumen ini beragam macamnya, dari yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap. Demikian pula halnya dengan arsip. Pada umumnya arsip berupa catatan-catatan yang sifatnya lebih formal. Sebagai sebuah catatan formal, arsip sering memiliki peran sebagai sumber informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Dalam penelitian ini, peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, namun menekankan pada makna yang tersirat di dalam tulisan tersebut. Namun demikian, peneliti tetap kritis terhadap dokumen atau arsip tersebut. Peneliti tetap menguji keabsahan dari data-data tersebut.

2. Wawancara

Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam. Tujuan utama dilakukannya wawancara sesuai dengan


(39)

commit to user

pendapat Sutopo (2002) adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai data pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dll untuk merekonstruksi bermacam-macam hal sebagai bagian dari masa lampau dan memproyeksikan hal-hal tersebut dengan harapan yang terjadi di masa yang akan datang.

Di dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan Ketua SIEM, Putut H Pramono; Ketua SIPA, Irawati Kusumorasri; Ketua Kereta Kencana World Music Festival, Putut H Pramono; Perwakilan Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Surakarta, Keksi Sundari; dan Pengamat Budaya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Profesor Darsono.

4. Teknik Analisis Data

Proses analisis data di dalam penelitian kualitatif merupakan bagian yang paling penting, sebab dengan melakukan teknik analisis yang benar, peneliti dapat mempertanggungjawabkan penelitiannya dengan mantap.

Penelitian tentang rancang bangun pesan promosi SIPA dan SIEM ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis semiotik. Metode ini diyakini peneliti sebagai metode yang paling sesuai untuk menganalisis pesan-pesan promosi SIPA dan SIEM. Metode semiotik dianggap metode yang paling tepat karena peneliti meyakini bahwa pesan-pesan promosi ini merupakan sebuah produk budaya. Pesan promosi merupakan produk budaya karena pesan promosi berada pada domain semiotik.


(40)

commit to user

Pawito di dalam bukunya yang berjudul Penelitian Komunikasi Kualitatif menyatakan bahwa analisis semiotik merupakan cara atau teknik meniliti teks. Teks yang dimaksud bukan hanya berupa narasi saja namun ia meliputi semua isi media yang tampil dalam wujud apa saja, misalkan tayangan televise, berita surat kabar, konser music, fashion, dan menu masakan.

Metode analisis semiotik ini kemudian, memfokuskan diri pada analisis sinkronik dan diakronik. Analisis sinkronik (synchronic) adalah teknik analisis data dengan cara menganalisis keberadaan teks terutama berkaitan dengan struktur paradigmatik dari teks tersebut. Cara ini dilakukan untuk menemukan lambang-lambang (signs) yang menonjol serta untuk menemukan signifier-nya, hubungan-hubungan serta oposisi dari lambang dan sistem-sistem yang mengikat lambang.

Teknik analisis selanjutnya menurut Pawito adalah analisis diakronik

(diachronic). Analisis diakronik digunakan untuk melacak struktur sintagmatik dari

teks, yakni makna dari rangkaian lambang-lambang, konteks dari teks baik konteks situasi maupun konteks budaya atau ideologis.

5. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian. Tujuannya adalah demi kemantapan dan kebenaran hasil penelitian. Pemeriksaan keabsahan data ini merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan peneliti dalam penelitian kali ini adalah intertekstualitas dan triangulasi


(41)

commit to user

data. Intertekstualitas digunakan untuk mengkaji keabsahan data pada poster dan katalog, sedangkan triangulasi digunakan untuk menguji keabsahan data wawancara.

Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan bagi pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif. Dalam kaitan ini, Patton dalam Sutopo (2002:78) menyatakan bahwa ada empat macam teknik triangulasi, yakni (1) triangulasi data, (2) triangulasi peneliti, (3) triangulasi metodologis, (4) triangulasi teoritis. Triangulasi ini merupakan teknik yang didasari dari pola piker fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang.

Teknik triangulasi data menurut Patton (dalam Sutopo 2002) sering disenut dengan triangulasi sumber. Cara ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Jadi, dalam aplikasinya, apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenarannya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda jenisnya.

Berbeda dengan teknik triangulasi metode. Jenis triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Disini yang ditekankan adaah penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya.


(42)

commit to user

Teknik triangulasi lain yang dapat dijadikan alat untuk menguji keabsahan data adalah triagulasi peneliti. Yang dimaksud dengan cara triangulasi ini adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji keabsahannya dari beberapa peneliti. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan berupa catatan, diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil penelitian.

Teknik triangulasi lain yang dapat dilakukan adalah triangulasi teori. Triangulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Permasalahan yang dikaji dengan berbagai macam teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap, tidak hanya sepihak sehingga bisa dianalisis dan ditarik simpulan yang lebih utuh dan menyeluruh. Karena setiap pandangan teori selalu memiliki kekhususan cara pandang, maka dengan menggunakan beberapa perspektif teori akan menghasilkan simpulan yang multidimensi.

Dalam kaitannya dengan penelitian rancang bangun pesan SIEM dan SIPA ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teori. Triangulasi sumber yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan melakukan wawancara, merujuk pendapat dari buku-buku, dokumen-dokumen, serta jurnal-jurnal yang relevan. Triangulasi teori dilakukan dengan cara membandingkan teori-teori yang digunakan dengan temuan yang diperoleh di dalam penelitian.


(43)

commit to user

BAB IV. PENYAJIAN DATA

Pada bab ini, peneliti akan mendeskripsikan data-data penelitian yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti. Didalam penelitian ini, terdapat 8 korpus yang terdiri atas 2 poster SIPA, 3 poster SIEM dan 3 katalog SIEM. Dalam mendeskripsikan korpus penelitian, peneliti akan melakukan pengamatan berdasarkan teori periklanan. Dalam teori periklanan, terdapat sebuah teori tentang desain iklan. Prinsip dasar desain dalam iklan adalah keseimbangan, prinsip titik fokus, prinsip ritme, dan prinsip kesatuan. Prinsip-prinsip ini harus diketahui untuk menghasilkan desain grafis iklan yang baik untuk tampilan iklan (Suyanto, 2004:57). Prinsip keseimbangan adalah kesamaan distribusi dalam bobot pesan visual dan verbal. Prinsip titik fokus adalah pesan fokus dalam penyampaiannya. Ritme sendiri merupakan pola yang diciptakan dengan mengulang atau membuat variasi elemen dengan pertimbangan yang diberikan terhadap ruang yang ada diantaranya dan dengan membangun perasaan berpindah dari satu elemen ke elemen lainnya. Dalam desain grafis, prinsip ritme yang baik adalah mengerti perbedaan pengulangan dan variasi. Sementara prinsip kesatuan dalam desain grafis adalah prinsip organisasi seluruh elemen dalam suatu tampilan grafis. Untuk mencapai kesatuan ini, desainer harus mengerti tentang garis, bentuk, warna, tekstur, kontras nilai, format, keseimbangan, titik fokus dan ritme.


(44)

commit to user 4.1. Korpus Poster SIPA 2009

Sumber: sipafestival.com/2011

Poster diatas adalah poster SIPA pertama. SIPA merupakan bentuk even budaya yang khusus menampilkan seni pertunjukan. Yang mendasari diselenggarakannya SIPA adalah bahwa seni pertunjukan tidak sekadar untuk persoalan kesenian, namun seni pertunjukan yang sekaligus menjadi benang merah dari semangat kebersamaan.

Penyelenggaraan SIPA pertama dilaksanakan pada tahun 2009. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ketua SIPA, Irawati Kusumorasri pada tanggal 13 Juli 2011 pukul 12.46 WIB, SIPA nantinya diharapkan dapat menjadi kebanggaan masyarakat Solo. Konsep penyelenggaraan SIPA adalah even ini bukan milik Ketua SIPA, bukan milik panitia, bukan milik pemerintah kota. Tetapi even ini adalah miliknya masyarakat Solo. Artinya ketika SIPA


(45)

commit to user

dilaksanakan, seluruh masyarakat Solo bergerak. Bergerak yang dimaksudkan adalah bergerak dari sisi ekonomi. Meningkatnya jumlah pengunjung hotel di Solo karena kehadiran delegasi dan penonton dari luar kota, meningkatnya layanan jasa travel karena keberadaan event SIPA, meningkatnya jumlah pengunjung di restoran akibat meningkatnya penonton SIPA yang hadir di Kota Solo, meningkatnya penghasilan pengrajin souvenir karena penonton yang ingin membeli souvenir SIPA, dll.

Desain poster SIPA 2009 seperti tercantum pada gambar diatas, peneliti dapatkan dari sipafestival.com, situs resmi dari pelaksanaan SIPA di Solo. Poster ini didistribusikan secara online. Cara online dilakukan dengan jalan mencantumkannya pada situs resmi SIPA. Untuk tema dan pesan iklan pada SIPA 2009 memiliki desain yang sama, hanya medianya yang berbeda, salah satu media tersebut adalah poster seperti yang nampak pada korpus pertama. Poster sebagai media komunikasi below the line memiliki kelebihan yakni pembaca poster dapat mengatur tempo ketika ia sedang membaca pesan dalam poster tersebut. Pembaca poster dapat mengulang bacaannya kembali dan mengatur cara membaca. Pembaca juga dapat dengan teliti membaca pesan iklan dan mengulang kembali bagian-bagian dalam poster tersebut sesuai dengan keinginannya. Kelebihan lain dari penggunaan poster sebagai media beriklan adalah sifat poster yang tercetak sehingga pesan-pesannya bersifat permanen. Sifatnya yang permanen ini membuat poster dapat terdokumentasi dengan baik

Disisi lain, penggunaan poster juga memiliki kelemahan, yakni dibutuhkannya perhatian pembaca karena sifatnya yang tidak auditif. Untuk dapat


(46)

commit to user

membaca sebuah poster juga dibutuhkan imajinasi dari pembacanya sehingga pembaca dapat memahami dengan baik pesan dalam poster tersebut. Kelemahan lain yang dimiliki poster adalah pada proses distribusi. Penyebaran poster membutuhkan waktu yang relatif lama dengan penentuan lokasi yang harus tepat pula. Tujuannya agar pesan yang disampaikan sesuai dengan target audience.

Mengacu pada teori desain poster, dalam pengamatan peneliti, poster ini menggunakan prinsip keseimbangan Band (Jewler&Drewniany, 2001:149). Band merupakan salah satu jenis layout dasar iklan yang biasanya digunakan dalam poster untuk media promosi. Layout Band adalah dengan membagi poster kedalam dua bagian utama, bagian kanan untuk visual yakni endorser, ilustrasi, dsb sedangkan bagian kiri untuk tulisan yang berisi pesan yang hendak disampaikan.

Bagian kanan atas merupakan tema SIPA. Tema Art Brings Unity, Unity

Brings Harmony dicantumkan dengan memberikan penekanan berupa garis bawah

seperti nampak pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.1.1. Tema SIPA dalam Poster SIPA 2009

Pilihan huruf untuk tema SIPA 2009 keseluruhan hurufnya menggunakan huruf kapital. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Huruf kapital merupakan huruf yang berukuran dan berbentuk khusus (lebih besar daripada huruf biasa), biasanya digunakan sebagai huruf pertama dalam kalimat, atau


(47)

commit to user

digunakan pada huruf pertama untuk menuliskan nama diri. Huruf kapital dalam bahasa popular disebut huruf besar. Penggunaan huruf kapital pada poster ini berfungsi untuk menunjukkan tingkat pentingnya kata atau kalimat yang dimaksud. Dengan demikian, penggunaan huruf kapital pada tema SIPA 2009 memiliki tujuan bahwa tema SIPA 2009 adalah penting untuk diperhatikan.

Bagian kanan dibawah tema SIPA, terdapat visualisasi seorang penari, seperti tampak pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.1.2. Visualisasi Penari

Seorang penari divisualisasikan dalam poster SIPA 2009 sedang melakukan satu gerakan tari tertentu. Sang penari diperlihatkan sedang melirik ke sudut kiri atas. Lirikan mata ini sinergi dengan gerakan tangan sang penari yang berada di posisi kanan bawah. Sudut pengambilan gambar nampak diambil dari sisi bawah kanan atau disebut dengan low angle. Teknik pengambilan gambar tersebut dimaksudkan untuk membuat gambar atau visualisasi nampak lebih besar dari sebenarnya atau menunjukkan keagungan atau kemegahan. Peneliti mengamati bahwa tujuan tersebut juga berlaku pada visualisasi sang penari pada


(48)

commit to user

poster SIPA 2009 yakni ingin mendapatkan kesan kemegahan atau keagungan. Dari sisi busana dan riasan sang penari digambarkan menggunakan busana tari kontemporer berikut dengan mahkota dan riasan yang digunakan. Hal ini mengindikasikan dinamika seni tari yang berpadu dalam busana dan riasan pada seni tari itu sendiri.

Bagian kedua pada poster SIPA adalah disisi kiri dari poster. pada bagian kiri poster terdapat ornamen seperti ranting pada buah anggur yang menjalar. Visualisasi ornament tersebut seperti yang nampak pada gambar dibawah ini:

Gambar 4.1.3. Ornamen Poster SIPA 2009

Ornamen pada SIPA 2009 berada di pojok kiri poster. Ornamen tersebut digambarkan sebagai ikon dari ranting yang menjalar. Ranting yang menjalar ini dapat kita temukan misalnya pada tanaman buah anggur. Tanaman buah anggur memiliki ranting yang menjalar. Bentuk tanaman menjalar pada desain mengacu pada gaya Art Nouveau. Art Nouveau merupakan salah satu aliran gaya desain yang berkembang sekitar tahun 1890 sampai dengan 1914 bersamaan dengan inovasi sinema (Sembach, 2002:8). Art Nouveau dimaksudkan untuk mewakili perkembangan sosial baru, teknologi baru, dan semangat ekspresi yang baru.

Dibawah ornamen ikon ranting tanaman menjalar, terdapat tulisan acara, yakni SIPA sekaligus nama panjang dari acara ini. Nama acara tersebut dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini:


(49)

commit to user

Gambar 4.1.4. Nama Acara

SIPA merupakan inti acara kegiatan ini. SIPA merupakan kependekan dari Solo International Performing Arts. Pada bagian ini, nama SIPA dibuat dengan huruf kapital dan memiliki ukuran huruf yang paling besar dalam poster. penggunaan huruf kapital dan ukuran yang paling besar dimaksudkan untuk menunjukkan acara yang akan dilaksanakan. Dalam konsep desain iklan, penggunaan ukuran dalam huruf besar merupakan sebuah headline. Headline

merupakan inti dari pesan dalam sebuah konsep iklan. Headline dapat berfungsi untuk menarik perhatian pembaca, membawa pembaca ke pesan lain dalam sebuah iklan (body teks), mengkomunikasikan keuntungan dari produk atau jasa yang ditawarkan, memperkuat nama merk atau nama acara, membuat hubungan

(connection) dengan pembaca, serta memperluas makna visual (Jewler &

Drewniany, 2001:110). Dalam pengamatan peneliti, kelima fungsi headline tersebut memenuhi fungsi desain poster SIPA 2009. Poster SIPA dalam pengamatan konsep desainnya mampu menarik perhatian pembaca melalui penggunaan warna dan pesan verbal yang singkat dan jelas. Poster tersebut juga mampu membawa pembaca ke pesan lain dalam sebuah iklan (body teks) dengan cara menghubungkan pesan di dalam poster tersebut dengan penyelenggaraan


(50)

commit to user

SIPA. Keuntungan jasa juga ditawarkan lewat poster SIPA ini dengan produksi poster yang dapat membawa keuntungan finansial bagi percetakan serta keuntungan immaterial bagi masyarakat Solo dengan menjadikan SIPA sebagai even milik Solo. Dan keuntungan terakhir adalah lewat poster ini mampu memperkuat nama merk atau nama acara, membuat hubungan (connection) dengan pembaca, serta memperluas makna visual ke dalam konsep branding Kota Solo sebagai Kota Budaya.

Bagian kiri poster setelah nama acara adalah lokasi, tanggal pelaksanaan dan waktu pelaksanaan SIPA, seperti yang nampak pada gamabr di bawah ini:

Gambar 4.1.5. Gambar lokasi, tanggal dan waktu pelaksanaan SIPA 2009

Pada bagian ini, lokasi penyelenggaraan SIPA 2009 dipilih di Pamedan Pura Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran merupakan salah satu Keraton yang berada di Kota Solo. Pura Mangkunegaran menjadi tempat wisata favorit bagi wisatawan mancanegara maupun domestik ketika mereka berkunjung ke Solo. Hal ini disebabkan karena Pura Mangkunegaran menjadi ikon Kota Solo, baik itu ikon wisata maupun ikon budaya Solo.

Selain menunjukkan lokasi, bagian selanjutnya yang tertulis dalam poster SIPA 2009 adalah tanggal pelaksanaan SIPA. Pada SIPA pertama ini, tanggal 7 – 10 Agustus 2009 dianggap sebagai tanggal yang tepat bagi penyelenggaraan acara


(51)

commit to user

ini. Pada bulan Agustus, dalam kalender pendidikan, merupakan bulan kenaikan kelas, kelulusan siswa dan liburan semester perguruan tinggi. Dengan alasan ini pula, maka acara dilaksanakan pada tanggal dan bulan tersebut dengan harapan bahwa banyak dari masyarakat Solo dan sekitarnya yang datang dan menyaksikan SIPA. Sementara itu, waktu pelaksanaan SIPA dipilih malam hari, yakni pukul 19.00 WIB atau pukul 7 malam. Waktu malam hari dipilih karena pada malam hari, seluruh aktivitas pendidikan maupun aktivitas kerja sudah berakhir, sehingga seluruh masyarakat Solo dan dari luar Solo dapat menikmati acara ini dengan baik.

Bagian terakhir dalam poster SIPA 2009 adalah sponsor acara ini. Pencantuman sponsor berada di posisi kiri bawah pojok. Sponsor SIPA 2009 nampak seperti gambar di bawah ini:

Gambar 4.1.6. Sponsor SIPA 2009

Ada tiga sponsor utama dalam penyelenggaraan SIPA 2009, mereka adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, kursus tari Semarak Candra Kirana Art Center, dan SIPA Community. Sponsor utama ini muncul dalam poster dalam bentuk simbol sekaligus indeks melalui logonya masing-masing.

Secara keseluruhan, poster SIPA menggunakan warna emas sebagai warna dasar dari poster SIPA 2009. Warna emas yang ditampilkan dalam SIPA pertama menyimbolkan kekayaan (Hindarto, 2006:38). Warna emas juga dikaitkan dengan


(52)

commit to user

makna elegan, citra high class atau citra kelas atas (Sutiono, 2009:200). Dari beberapa rujukan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan warna emas pada desain poster SIPA 2009 ingin memberikan kesan elegan, citra high class, kejayaan, keagungan, kemewahan dan kemegahan sebuah even yang diklaim sebagai even berskala internasional.

4.2. Korpus Poster SIPA 2010

Sumber: sipafestival.com/2011

Gambar diatas adalah poster SIPA kedua yang dilaksanakan pada tahun 2010. Poster SIPA 2010 ini peneliti dapatkan dari situs sipafestival.com, sebuah situs resmi dari penyelenggaraan SIPA. Konsep SIPA 2010 disemua publikasi sama, hanya media yang digunakan saja yang berbeda, dan masih konsisten seperti pada SIPA 2009, panitia penyelenggara menggunakan desain poster dengan menggunakan prinsip keseimbangan Band (Jewler&Drewniany,


(53)

commit to user

2001:149). Band merupakan salah satu jenis layout dasar iklan yang biasanya digunakan dalam poster untuk media promosi. Layout Band adalah dengan membagi poster kedalam dua bagian utama, bagian kanan untuk visual yakni endorser dan ilustrasi sedangkan bagian kiri untuk tulisan yang berisi pesan yang hendak disampaikan. Perbedaan dalam desain poster SIPA pertama adalah penempatan visualisasi dan informasi SIPA. Jika SIPA 2009 menggunakan bagian kanan poster untuk menempatkan visualisasinya, maka pda poster SIPA 2010 kali ini, sisi kanan poster digunakan untuk pemberian informasi acara. Dan begitu pula sebaliknya, pada poster SIPA 2010, pada sisi kiri digunakan untuk penempatan visual atau gambar, sementara di poster SIPA 2009 di bagian kiri digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan informasi mengenai acara SIPA. Untuk selanjutnya, peneliti akan mengamati bagian demi bagian dalam poster ini.

Bagian pertama yang peneliti amati adalah di bagian kanan poster, posisi utama ditempatkan nama acara dan nama panjang acara seperti tampak pada gambar dibawah ini:

Gambar 4.2.1. Nama Acara

Gambar diatas adalah nama acara, yakni SIPA sekaligus nama panjang acara yaitu Solo International Performing Arts. Posisi nama acara ini berbeda


(54)

commit to user

dengan posisi di poster SIPA 2009. Jika di poster SIPA 2009, nama acara berada di bagian kanan tengah, pada poster SIPA 2010, posisinya di kanan atas. Hal ini mengindikasikan pentingnya nama acara ini sekaligus menunjukkan headline dari poster tersebut. Peneliti masih sependapat dengan Jewler dan Drewniany (2001:110) bahwa headline dapat berfungsi untuk menarik perhatian pembaca, membawa pembaca ke pesan lain dalam sebuah iklan (body teks), mengkomunikasikan keuntungan dari produk atau jasa yang ditawarkan, memperkuat nama merk atau nama acara, membuat hubungan (connection) dengan pembaca, serta memperluas makna visual. Dalam pengamatan peneliti, kelima fungsi headline tersebut memenuhi fungsi desain poster SIPA 2010.

Bagian kedua dari poster setelah pencantuman nama acara adalah lokasi pelaksanaan, tanggal pelaksanaan waktu dan pelaksanaan, seperti tampak pada gambar dibawah ini:

Gambar 4.2.2. Lokasi, tanggal pelaksanaan dan waktu pelaksanaan

Body teks pada poster ini adalah penyebutan nama tempat pelaksanaan

acara, tanggal pelaksanaan dan waktu pelaksanaan. Pamedan Istana Mangkunegan Solo masih menjadi pilihan panitia SIPA untuk melaksanakan acara ini. Masih konsisten dengan lokasi SIPA pertama, SIPA kedua juga memilih Pamedan Istana Mangkunegaran sebagai pilihan lokasi yang dianggap tepat untuk berlangsungnya acara. Seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya bahwa lokasi tersebut


(55)

commit to user

merupakan salah satu ikon Kota Solo. Mangkunegaran sebagai ikon wisata Solo sekaligus ikon budaya Solo. Lokasinya yang tidak jauh dari jalan utama Kota Solo juga menjadi alasan dipilihnya tempat ini untuk melaksanakan SIPA.

Bagian ketiga dari poster SIPA 2010 adalah penempatan sponsor utama acara. Logo sponsor sebagai indeks dan simbol sekaligus ditempatkan pada bagian pojok kanan bawah. Tulisan tidak terlalu besar dan bahkan ukuran tulisan maupun logo lebih kecil jika dibandingkan dengan tulisan lain yang ada di dalam poster. gambar sponsor utama dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 4.2.3. Sponsor SIPA 2010

Gambar tersebut adalah gambar sponsor utama SIPA 2010. Sama halnya dengan penyelenggaraan SIPA 2009, SIPA 2010 kali ini masi disponsori oleh tiga sponsor utama yakni Pemkot Solo, Semarak Candra Kirana Art Center dan SIPA Community. Sponsor mencantumkan logonya dalam penyelenggaraan SIPA sebagai wujud terlibatnya ketiga sponsor dalam SIPA 2010 ini. Logo sponsor dalam konteks semiotika Pierce dapat dikategorikan sebagai simbol sekaligus sebagai indeks. Sebagai simbol dan indek, ia menjadi simbol dan rujukan terhadap institusi atau organisasi yang diwakilinya.

Beralih ke bagian sisi kiri dari poster SIPA 2010, terdapat tema SIPA dan visualisasi SIPA 2010. Gambar tema SIPA 2010 dapat kita amati seperti di bawah ini:


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

190

daerah bahkan dari mancanegara. Dengan demikian lahirlah Solo International Performing Arts yang pertama, yakni di tahun 2009.

Respon positif dari masyarakat yang mengunjungi situs tersebut. Mereka menyatakan kesiapannya untuk datang dan menyaksikan SIPA. Mereka juga menunjukkan apresiasi yang sangat baik terhadap bentuk penyelenggaraan even budaya berskala internasional yang menurut mereka dapat membuat citra Kota Solo sebagai Kota Budaya makin kuat. Pasarsolo.com selanjutnya menampilkan dalam pemberitaannya di tahun 2010 bahwa penyelenggaraan SIPA pertama ini sukses dilaksanakan.

Pada tahun 2010 tepatnya pada tanggal 3 Juni 2010, pasarsolo.com kembali memberitakan tentang penyelenggaraan SIPA kedua. Tema yang diangkat dalam pemberitaan ini adalah Lewat Anak, SIPA Lestarikan Budaya. Dalam Pre-Event SIPA 2010 ini Panitia sengaja melibatkan anak-anak supaya anak-anak bisa mulai mengenal dan bangga terhadap budaya Indonesia. Terlebih lagi, menurut Ketua Panitia, Irawati Kusumorasri, tarian Jawa yang dibawakan anak-anak ini memang salah satu bentuk kesenian rakyat yang menjadi tema utama penyelenggaraan SIPA 2010. Bahkan beberapa tarian yang ditampilkan dalam Pre-Even ini merupakan tarian yang menjadi bahan ajar wajib mata pelajaran tari di beberapa sekolah di Kota Solo, yakni Tari Kukilo dan Tari Merak Ngigel.

Berita lain tentang SIPA datang dari surat kabar harian Joglosemar pada tanggal 24 Maret 2011. SIPA tahun 2011 diberitakan akan bekerjasama dengan Junior Chamber International (JCI) Chapter Solo. JCI adalah federasi dunia


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

191

yang berisi profesional dan wirausaha muda dengan usia 18-40 tahun. JCI merupakan lembaga non-pemerintah (nongovernmental organization) yang berpartisipasi aktif dalam sistem PBB dan termasuk dalam agensi UN seperti UNICEF dan UNCTAD. JCI memiliki perhatian utama pada gerakan anak muda internasional di bidang sosial dan budaya.

Dalam pelaksanaan SIPA 2011, menurut perwakilan JCI Asia, Catherine Chang, anak-anak muda yang tergabung dalam JCI direncanakan akan membantu penyelenggaraan SIPA dengan keterlibatan mereka menjadi

volunteer baik untuk publikasi SIPA maupun dalam hal pencarian sponsor di

masyarakat internasional.

Respon positif mengenai SIEM juga disampaikan di beberapa situs berita. Dari sisi seni music, audiopro.co.id (www.audiopro.co.id/2012) menyatakan bahwa penyelenggaraan SIEM meskipun sederhana dari sisi panggung, namun dalam kemasan musiknya SIEM telah menampilkan sajian musik yang cukup baik.

Ulasan audiopro.co.id menyatakan bahwa untuk menggelar pagelaran music selama lima hari berturut-turut, dimana penampilnya adalah musisi-musisi dari genre musik yang berbeda, jelas bukan perkara yang mudah. Selain dari sisi produksi ini, tuntutan akan kesiapan seluruh sistem juga tinggi, apalagi demi membuat acara bisa mengalir lebih lugas. Apa yang ditampilkan oleh SIEM ini, apabila dilihat dari tema dan konsep acara yang adalah acara musik etnis, maka konsep panggung dan audio uni cukup mengena atau cukup tepat sasaran.


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

192

Selain dari audiopro.co.id, pemberitaan mengenai SIEM juga datang dari The Jakarta Post (www.thejakartapost.com/2012). Surat kabar ini menyatakan bahwa SIEM merupakan even yang mampu memberikan hiburan musik bagi seluruh lapisan masyarakat. Apart from serious students of ethnomusicology, SIEM was an entertaining event that people from all walks of life could enjoy.

The Jakarta Post juga menuliskan bahwa lebih dari 5.000 orang dari berbagai kota datang dan menyaksikan SIEM selama lima hari berturut-turut. Bahkan beberapa penonton memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan dalam waktu yang relatif lama untuk beberapa penampil SIEM. Their appreciation was evident in the long applause that was heard after every

performance. Sambutan ini utamanya ditujukan bagi para penampil yang

memainkan jenis musik pop, rock dan jazz.

Dengan melihat beberapa pemberitaan tersebut, baik SIEM maupun SIPA, mampu membuat citra yang positif di media dan juga masyarakat pengunjung situs media serta masyarakat penonton kedua even ini. Branding

Kota Solo sebagai Kota Budaya cukup dirasakan dengan adanya beberapa media dan warga mengaitkan kedua even ini dengan branding Kota Solo sebagai Kota Budaya.


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

193

VI. PENUTUP

1. Kesimpulan

Setelah peneliti melakukan analisis tentang rancang bangun pesan SIEM dan SIPA ini, maka diperoleh beberapa kesimpulan. Kesimpulan diambil sesuai koridor yang telah peneliti tetapkan pada rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang peneliti ajukan di bagian pendahuluan penelitian.

Kesimpulan pertama yang diperoleh peneliti adalah bahwa SIEM dan SIPA merupakan dua dari tigapuluhan even bertema budaya yang dilaksanakan di Kota Solo. SIEM pertama kali diselenggarakan pada tahun 2007 dan SIPA diselenggarakan pada tahun 2009. Ide dari kedua even ini berasal dari masyarakat Solo dan difasilitasi oleh Pemerintah Kota Solo. Tahun 2007 dan tahun 2009 merupakan tahun-tahun pada masa kepemimpinan Walikota Solo, Joko Widodo, periode pertama yakni periode 2005-2010.

Sebagai even yang diharapkan Pemerintah Kota Solo sebagai even yang bertema budaya, SIEM dan SIPA dikonstruksi dengan menggunakan jargon-jargon, logo dan menggunakan referensi lokal yang memuat unsur-unsur budaya Jawa yang dimiliki masyarakat Solo. Jargon yang digunakan SIEM dan SIPA adalah nama acara SIEM dan SIPA. Jargon SIEM dan SIPA juga sama dengan headline SIEM dan SIPA. Untuk logo yang digunakan oleh SIEM adalah logo yang memuat unsur-unsur budaya Jawa. SIPA sendiri belum memiliki logonya secara khusus. Referensi lokal yang digunakan SIEM dan SIPA adalah ada dalam konsep evennya, selain muncul juga di dalam tema yang diangkat SIEM dan SIPA dalam setiap penyelenggaraan kedua even tersebut. Selanjutnya, lokalitas yang


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

194

digunakan sebagai referensi penyelenggaraan SIEM dan SIPA diambil dari lokasi penyelenggaraannya. SIEM dan SIPA menggunakan lokasi-lokasi yang sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa secara umum, dan nilai-nilai budaya yang ada di Kota Solo secara khusus.

Konstruksi pesan yang dilakukan SIEM dan SIPA ini dilakukan agar mendukung brand even sebagai even yang bertema budaya. Menurut pengakuan Ketua Panitia SIEM dan SIPA, penyelenggaraan even SIEM dan SIPA yang bertema budaya ini ditujukan agar masyarakat Solo khususnya bangga dengan akar budayanya sendiri, yakni budaya Jawa.

Berkaitan dengan penyelenggaraan SIEM dan SIPA yang bertema budaya tersebut, mendapatkan tanggapan yang cukup baik dari masyarakat umum. SIEM dan SIPA dinilai cukup baik dalam membentuk branding Kota Solo sebagai Kota Budaya. Di sisi lain, penyelenggaraan SIEM dan SIPA juga kurang mendapatkan dukungan. Menurut pengamatan budayawan Kota Solo bahwa branding Kota Solo sebagai Kota Budaya baru sekadar branding. Apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo dianggap masih belum mampu mencapai citra merk.

2. Saran

Saran yang dapat peneliti ajukan bagi Pemerintah Kota Solo adalah dalam setiap penyelenggaraan even budaya di Kota Solo hendaknya dilakukan bukan hanya ditujukan semata-mata sebagai branding, namun perlu dipikirkan dan dilakukan branding kota secara menyeluruh. Branding kota perlu dilakukan berkesinambungan dan dibarengi dengan pengembangan infrastruktur yang


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

195

memadai, misalnya pengembangan bandara Adi Sumarmo untuk membuka penerbangan internasional secara regular. Kerjasama yang konstruktif antara media massa, masyarakat dan Pemerintah juga perlu dikembangkan guna kepentingan bersama pula.

Saran bagi pengembangan ilmu komunikasi adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan respon masyarakat Solo terhadap branding yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo. Selain itu, penelitian tentang tanggapan masyarakat Solo dengan tidak terselenggaranya SIEM 2012 dan munculnya even KWF 2012 juga menarik untuk diteliti, terlebih lagi apabila dikaitkan dengan dampaknya terhadap peningkatan dan atau penurunan branding Kota Solo sebagai Kota Budaya.