commit to user
Gambar 2.3. Segitiga Positioning, Diferensiasi, Brand Sumber: Kertajaya, 2005
E. Memahami Simbol dengan Kerangka Semiologi Komunikasi
Untuk mengkaji pesan pada media komunikasi, maka teori yang digunakan adalah: 1 teori komunikasi massa, dan 2 teori simbol dan
konstruksionisme. Istilah “komunikasi massa” dalam konsep McQuail 2010 merupakan
pengembangan dari konsep “media massa”. Istilah komunikasi massa tersebut berkembang di abad 20 untuk mendeskripsikan fenomena sosial baru dan ciri khas
dari kemunculan era modern yang dibangun dengan pondasi industrialisme dan demokrasi popular. Media massa adalah organasasi alat-alat komunikasi yang
terbuka dalam konteks jarak dan kepada banyak orang dalam waktu singkat McQuail, 2010:4.
Berkenaan dengan teori simbol dan konstruksionisme, maka semiotika atau semiologi pada dasarnya merupakan konsep di area tersebut. semiotika atau
semiologi pada dasarnya merupakan konsep istilah yang sama. Istilah semiotika
Positioning Diferentiation
Brand
Brand integrity
Brand image Brand identity
commit to user
dikenalkan oleh C.S Pierce yang berasal dari Amerika Serikat sementara istilah Semiologi banyak digunakan oleh ahli yang berbahasa Perancis. Sehingga
perbedaan penggunaan istilah tersebut tidaklah mengurangi pemaknaan istilah yang dimaksud.
Semiotika pada awal kemunculannya merupakan sebuah studi tentang simbol-simbol
signs
dan praktek-praktek signifikasi
signifying
. Semiotik diperkenalkan oleh seorang linguis bernama Ferdinand de Saussure dan ahli
linguistic pragmatis Charles Sanders Peirce. Pierce dikenal melalui sistem filsafatnya yang disebut dengan
pragmatisme
. Menurut sistem ini, signifikansi sebuah model atau teori terletak pada efek praktis penerapannya Model tanda
yang dibangunnya menjadi sangat berpengaruh dan membentuk sebagian besar karya kontemporer mengenai semiotika kontemporer Danesi, 2004:37. Bagi
Lechte, Pierce tidak sekadar menerjemahkan istilah “semiotika” yang kini popular itu, yang berasal dari bahasa Yunani Kun, tetapi ia juga menjadi pemikir tentang
karya-karya Kant dan Hegel yang ia baca dalam bahasa Jerman Sobur, 2009:40. Walaupun Pierce menerbitkan tulisan lebih dari sepuluh ribu halaman
cetak, namun ia tidak pernah menerbitkan buku yang berisikan telaah mengenai masalah yang menjadi bidangnya. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan karyanya
tentang tanda, pemikiran Pierce harus dianggap selalu berada dalam proses dan terus mengalami modifikasi dan penajaman lebih lanjut Sobur, 2009:40.
Dalam konsep Pierce mengenai tanda, ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh tanda sehingga ia dapat mencapai tahap signifikasi. Pierce menyebut tanda
sebagai
representamen,
sedangkan konsep, benda, gagasan, dan seterusnya yang
commit to user
diacunya sebagai
objek
. Makna impresi, kogitasi, perasaan dan seterusnya yang diperoleh dari sebuah tanda disebut
interpretan
. Tiga dimensi ini selalu hadir dalam signifikasi. Oleh karena itu, Pierce memandangnya sebagi sebuah struktur
triadik, bukan biner:
Gambar 2.4 . Tanda “Pirecean”
Sumber : Sobur, 2009
Pierce juga mengidentifikasi 66 jenis tanda yang berbeda dan tiga diantaranya lazim digunakan dalam pelbagai karya semiotika saat ini. Ketiga jenis
tanda itu adalah
ikon, indeks,
dan
simbol
. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi atau persamaan.
Indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya secara eksplisit atau implicit dengan sumber acuan lain.
Sementara simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik Danesi, 2004:38.
Jika Pierce melihat semiotika dari sudut pandang linguis pragmatis, maka Saussure melihat semiologi dari strukturnya. Saussure 1959 dikenal dengan
pemikirannya untuk membuat perbedaan
langue
bahasa dan
parole
ujaran.
Representamen
Objek Y Interpretan X=Y
commit to user
Langue
mengacu pada sistem aturan dan konvensi yang independen dari, dan
pre- exists
, pengguna individu; sementara
parole
mengacu pada penggunaannya dalam kasus tertentu. Saussure terfokus pada langue, bukan parole. Untuk Saussure apa
yang paling penting adalah struktur yang mendasari dan aturan dari sistem semiotik daripada penampakan-penampakan khusus atau praktik-praktik
penggunaan sistem tanda tersebut. Pendekatan Saussure adalah untuk mempelajari sistem secara sinkron
synchronically
seolah-olah itu membeku dalam suatu waktu contohnya foto - daripada diakronis
diachronically
- dalam hal evolusi dari waktu ke waktu seperti film. Teoris strukturalis budaya di beberapa
bagiannya mengadopsi prioritas Saussur ini. Mereka memfokuskan diri pada representasi dan fungsi fenomena sosial dan budaya dalam sistem semiotik Nilan,
2007:61. Dalam perkembangannya, semiotika yang digunakan di media saat ini dan
penelitian komunikasi adalah semiotika jenis deskripsi dan analisis sosial yang menempatkan penekanan khusus pada pemahaman dan eksplorasi pola tanda-
tanda dan simbol dalam teks, apa yang dimaksud oleh simbol tersebut dan bagaimana simbol-simbol ini digunakan. Semiotika tekstual menganalisis
pengaturan-pengaturan yang
familiar
dan pengaturan sehari-hari juga pola-pola tertentu, hubungan-hubungan, ide-ide dan keyakinan yang mencirikan cara bahwa
makna sosial dan budaya biasanya terbuat dari teks Nilan, 2007:61. Tujuan paling umum dalam memahami simbolisme teks media sehari-hari dalam budaya
populer adalah bagaimana orang bisa membaca dan memahami simbol-simbol dan tanda-tanda, dan dengan demikian membuat makna dari kata-kata, suara, gambar
commit to user
dan bahasa tubuh dalam teks-teks. Beberapa menyebutnya sebagai dekonstruksi - sebuah istilah yang diciptakan oleh Jacques Derrida. Derrida adalah pencetus
konsep bahwa makna dapat dipahami tanpa henti melalui rantai penanda dalam proses differance - penangguhan terbatas pada makna tetap Derrida dalam Nilan
2007. Kembali ke sejarah perkembangan semiotika, Volosinov dalam Nilan
2007 membalikkan prioritas Saussurean dari
langue
atas
parole
: „The sign is
part of organized social intercourse and cannot exist, as such, outside it, reverting
to a mere physical artifact‟. Maksudnya adalah bahwa tanda saat ini dipahami tidak hanya ada dalam hubungannya dengan tanda-tanda lain dalam sistem
penanda, seperti yang nampak dalam rantai semiotik, melainkan dapat dipahami pula dalam konteks sosial penggunaannya.
Lebih lanjut Nilan 2007 menyatakan bahwa semiotic kini sebagai sebuah bidang kajian yang mencakup banyak teori yang berbeda dan berbagai macam
metodologis. Semiotics involves the study not only of „signs‟ in everyday speech,
but of anything which „stands for‟ something else. Dalam konsep semiotik, tanda-
tanda mengambil bentuk berupa kata-kata, gambar, suara, gerakan dan objek. Studi semiotik kontemporer mempelajari tanda-tanda bukan dalam sistem yang
terisolasi melainkan sebagai bagian dari semiotik sistem tanda seperti medium atau genre, dan dengan demikian di dalam semiotik tidak hanya berbicara
masalah komunikasi, tetapi juga dengan konstruksi dan pengelolaan realitas.
Contemporary semioticians study signs not in isolation but as part of semiotic
commit to user
„sign systems‟ such as a medium or genre, and are thereby concerned not only
with communication but also with the construction and maintenance of reality.
Dalam menganalisis media kita perlu mengetahui bahwa transformasi dunia nyata masuk dalam proses mediasi. Ketika kita menggunakan medium atau
bentuk media untuk tujuan apapun, penggunaannya menjadi bagian dari tujuan itu. Dalam batas tertentu, kita melayani tujuan-tujuan tersebut sebaik tujuan-
tujuan tersebut melayani kita. Ketika kita menggunakan media, kita bertindak dan dikenai tindakan, kita menggunakan dan digunakan oleh media. Jadi adalah
mungkin untuk menemukan makna baru, terutama melalui interaksi sosial dengan orang lain, yang merupakan proses mediasi itu sendiri.
Mengacu kepada semiotika kontemporer yang telah dirumuskan sebelumnya, maka konsep ini dapat diturunkan kepada semiologi Purwasito.
Menurut Purwasito 2003, semiologi mengandung dua perspektif mendasar. Pertama, semiologi signifikansi untuk menyebut tafsir tanda dan sistem tanda
yang berinduk pada kajian linguistik. Kedua, semiologi komunikasi untuk menyebut tafsir tanda dan sistem tanda yang diproduksi oleh komunikator, yaitu
pesan, yang disalurkan kepada komunikan secara langsung ataupun tidak langsung.
Lebih lanjut dikatakan Purwasito bahwa kunci tafsir semiologi komunikasi terletak pada proses transaksional oleh penerima pesan yang dimaksud oleh
sumber, sehingga ada respond an efek bagi penerima dengan jalan mempersepsi, merekuperasi atau mencerap pesan yang disandi, memberi makna kepadanya dan
commit to user
seberapa besar partisipan komunikasi mengembangkan reproduksi simbol pesan itu.
Pada proses transaksional ini terdapat unsure-unsur
stimuli
baik secara sadar-taksadar,
sengaja-taksengaja, intensional-non-intensional,
maupun emosional atau rasional, berupa verbal-non verbal. Stimuli yang konstekstual
antara sumber dan penerima dapat dijadikan ukuran apakah sebuah komunikasi berkualitas atau konstruksi pesan tersebut menunjukkan kredibilitas dan
kompetensi sumbernya. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, bentuk-bentuk reproduksi pesan menjadikan kebudayaan terus berjalan tanpa henti. Inilah yang
menjadikan kebudayaan dan komunikasi menjadi bagian utama yang tak terpisahkan. Dengan demikian, semiologi komunikasi adalah alat tafsir
kebudayaan. Sehingga seluruh produk pesan yang dibangun oleh
source
baik dilakukan secara terencana dan sistematis, maupun dilakukan secara sembarangan
bahkan hanya sekadar mengikuti intuisi personal, menjadi kajian ketika mendapat respon dan efek kepada penerima
receiver
. Dari penjelasan mengenai semiologi komunikasi, ia tidak hanya memiliki
kelebihan tetapi juga memiliki kekurangan. Teori ini menurut Manning dan Cullum-Swan 2009:622 kurang bisa memetakan perubahan, tidak bisa
menjelaskan keterkaitan antara diri dengan kelompok, menjelaskan pengalaman individu atau kelompok yang tampak dalam sistem simbolik atau menganalisis
perubahan sistem tanda itu sendiri. Makna sela lu berubah setiap waktu; „semiosis‟
hanya dapat dipahami ketika kita melakukan penelitian dan pengamatan secara mendalam. Interpretan, perspektif, atau titik tolak tempat konstruk berpusat mesti
commit to user
dipahami dan diidentifikasi dari konteks social atau cultural. Disini dapat dipahami bahwa semiologi komunikasi mutlak memerlukan pengetahuan
etnografi; di dalam etnografilah analisis semiotik dapat berbicara banyak. Analisis semiotika mengandaikan sejarah dan konteks agar makna dapat
dipahami; makna tersebut setara dan sebangun dengan perspektif interaksionisme simbolis. Makna diperoleh dari pemahaman terhadap budaya dan konstruk-
konstruk social dan bukan dari refleksi diri pribadi terhadap diri lain Mead dalam Manning dan Cullum-Swan, 2009.
2. Kerangka Pikir