commit to user
I. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Masalah
Solo Kota Budaya. Demikianlah visi Kota Solo yang tercantum di Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2007. Pernyataan lengkap visi
Kota Solo tersebut adalah untuk mewujudkan Solo sebagai Kota Budaya yang didasarkan pada potensi Perdagangan, Jasa, Pendidikan, Pariwisata dan Olahraga
To realize Solo as a City of Culture that is based on the potential of Commerce, Services, Education, Tourism and Sports.
Visi ini kemudian dikemas ulang oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan menciptakan visi Kota Solo periode 2010-2015 yakni meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kemajuan kota berdasarkan semangat Solo sebagai Kota Budaya “
To improve the society welfare and the city advance based on the spirit Solo as a city of culture http:www.surakarta.go.id2011
.
Visi Solo Kota Budaya tersebut, selanjutnya dimunculkan dalam sebuah semboyan
“Solo Kotaku, Jawa Budayaku”.
Semboyan “Solo Kotaku, Jawa Budayaku” ini kemudian diturunkan
kedalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah RPJM Kota Solo. RPJM Kota Solo periode 2005-2010 menyebutkan bagian-bagian dari rancangan
pembangunan Pemerintah Kota Solo. Salah satu bagian dari RPJM Kota Solo yang relevan dengan penelitian ini adalah pada bagian Agenda Peningkatan
Eksistensi Kota dalam Tata Pergaulan Regional, Nasional maupun Internasional, Sasaran II yakni mengenai kebijakan pengembangan image Surakarta Kota
Budaya. Adapun indikator pengembangan image Surakarta Kota Budaya ini
1
commit to user
adalah: 1 Pengembangan masyarakat sadar budaya, 2 Pengembangan paket- paket promosi Surakarta kota budaya, 3 Pengembangan berbagai regulasi yang
mampu mengikat seluruh komponen masyarakat dalam menerapkan dan mengaplikasikan nilai-nilai dan ciri budaya, serta 4 Peningkatan partisipasi
masyarakat termasuk dunia usaha dalam mendukung terwujudnya pembangunan Surakarta Kota Budaya.
Harapan Pemerintah Kota Surakarta dalam RPJM tersebut sejalan dengan pernyataan Walikota Solo, Joko Widodo, dalam wawancaranya dengan Majalah
Rollingstone. Joko Widodo menyatakan bahwa langkah-langkah pelaksanaan semboyan
“Solo Kotaku, Jawa Budayaku” pada tahap awal masih diarahkan untuk bergerak di wilayah fisik. Selanjutnya secara bertahap, langkah yang akan
dilakukan bergerak kearah tata nilai yang menjadi nadi budaya Jawa. Pergerakan kearah tata nilai budaya Jawa tersebut, menurut Joko Widodo, merupakan strategi
untuk menempatkan budaya Jawa benar-benar menjadi napas segenap warga kota Solo dalam pengembangan kota kedepan. Di akhir wawancaranya, Joko Widodo
mengajak agar seluruh warga Solo kembali mencintai budaya Jawa yang kini mulai tergerus oleh perkembangan zaman http:rollingstone.co.id2011.
RPJM dan pernyataan Joko Widodo dalam wawancaranya dengan Majalah Rollingstone menunjukkan adanya keinginan dari Pemerintah Kota Solo untuk
mem-
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya. Harapan terwujudnya
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya ditujukan untuk masyarakat Solo sekaligus bagi masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan agenda yang ditetapkan Pemerintah Kota
Solo yang dituangkan dalam RPJM bahwa
branding
Kota Solo diarahkan untuk
commit to user
peningkatan pergaulan Kota Solo di ranah Regional, Nasional maupun Internasional.
Melihat arah
branding
Kota Solo di sektor budaya karena Kota Solo memiliki potensi untuk menjadi Kota Budaya yang menarik untuk dikunjungi.
Kota Solo memiliki potensi untuk menjadi kota tujuan wisata. Dengan dipunyainya dua peninggalan kerajaan Jawa yaitu Pura Mangkunegaran dan
Keraton Surakarta Hadiningrat, juga dengan sekitar 87 buah
heritage,
maka sangat cocok jika Kota Solo dikembalikan kepada konsep budaya lokal dengan
tidak meninggalkan benda-benda bersejarah. Kota Solo sebagai kota tujuan wisata dalam konsep yang dikembangkan oleh Kemming dan Sandicki disebut sebagai
tourist destination
.
Tourist destination
merupakan salah satu bagian dari
nation branding
.
Nation branding
menurut Kemming dan Sandicki 2007:31 setidaknya memfokuskan diri pada satu dari tiga hal: 1
the country-of-origin COO effects for export products
2
branding tourist destinations
dan 3
acquiring foreign investments
. Berkaitan dengan
tourist destination,
contoh riil yang dapat diacu adalah pada kasus Negara Cina dan Thailand. P
enelitian Berkowitz, dkk menunjukkan bahwa Cina misalnya membranding dirinya dengan memfokuskan diri dibidang
cultural and heritage
,
people
serta
investment and immigration
Berkowitz, dkk, 2007:15.
Branding
ini kemudian dilakukan dengan keberanian mendaftarkan negara Cina untuk menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2008. Dan hasil dari
branding
ini adalah Cina berhasil menjadi tuan rumah untuk Olimpiade tahun 2008.
Contoh lainnya dari penerapan
tourist destination
adalah pada kasus Thailand. Selama ini Thailand dikenal dengan wisata seksnya Nuttavuthisit,
commit to user
2007:21. Sampai akhirnya disadari perlunya strategi
branding
untuk mengkoreksi
image
negatif tersebut melalui penggunaan karakteristik- karakteristik positif yang dimiliki Thailand. Hasil penelitian ini memberikan
usulan bagi pengembangan
positioning
merk Thailand melalui kampanye promosi yang menggunakan hal-hal positif seperti keindahan alami, keramahan
lokalitasnya dan dengan penggunaan alat-alat komunikasi seperti slogan-slogan, tema-tema, serta penyelenggaraan even-even Nuttavuthisit, 2007:27.
Belajar dari kasus Cina dan Thailand tersebut, Pemerintah Kota Solo dalam pengamatan peneliti, sebenarnya memiliki keinginan untuk mem-
branding
Kota Solo. Seperti yang telah dijelaskan peneliti sebelumnya bahwa
branding
yang diinginkan Kota Solo adalah
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya. Dengan adanya keinginan Pemerintah Kota Solo tersebut dan adanya potensi
budaya yang dimiliki Kota Solo tersebut, maka cita-cita
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya
bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai.
Branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya membutuhkan upaya-upaya yang riil agar
branding
ini berhasil. Oleh karena itu, potensi budaya
tangible
dan
intangible
yang dimiliki Kota Solo perlu dikelola sehingga mampu menjadikan Kota Solo sebagai
tourist destination
. Bahwa untuk mem-
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya yang menjadi kota tujuan wisata, maka diperlukan usaha yang riil dan terencana, antara
lain melalui penyelenggaraan even budaya seperti Solo International Ethnic Music SIEM dan Solo International Performing Arts SIPA. SIEM dan SIPA
merupakan dua dari tigapuluhan even yang mengangkat tema budaya di Kota
commit to user
Solo. SIEM adalah pertunjukan seni musik etnik yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2007. Pada penyelenggaraan SIEM yang pertama tersebut,
dilaksanakan di Benteng Vastenburg yang pada saat itu merupakan salah satu
heritage
yang dimiliki oleh Kota Solo. SIEM pertama mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat.
Jika SIEM memfokuskan pertunjukannya pada seni musik, maka SIPA memfokuskan pertunjukannya pada seni tari. SIPA pertama kali dilaksanakan
pada tahun 2009. SIPA pertama dilaksanakan di Pamedan Pura Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran merupakan salah satu tempat kediaman Raja Solo dan
sekaligus salah satu tempat tujuan wisata di Kota Solo. SIPA pertama juga mendapatkan sambutan yang baik dari Pemerintah Kota Solo. SIEM dan SIPA
merupakan even yang diharapkan mampu mendatangkan peserta sekaligus penonton mancanegara.
Rumusan Masalah
Penyelenggaraan SIEM dan SIPA dimaksudkan untuk mem-
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya yang dapat menarik perhatian publik dan mampu menjadikan Kota Solo sebagai tempat tujuan wisata
tourist destination
. Menindaklanjuti hal tersebut, baik SIEM maupun SIPA tidak akan berhasil dalam
upayanya untuk menarik perhatian masyarakat apabila pesan-pesan yang disampaikan tidak dirancang dengan baik. Oleh karena itu, penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui rancang bangun pesan SIEM dan SIPA untuk mem-
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya. Adapun pertanyaan penelitian
commit to user
yang diajukan oleh peneliti untuk mengetahui rancang bangun pesan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan SIEM dan SIPA? Apa kaitan antara
SIEM dan SIPA dengan
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya? 2.
Bagaimana rancang bangun pesan SIEM dan SIPA untuk mem--
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya? 3.
Mengapa pesan SIEM dan SIPA tersebut dirancang sedemikian rupa? Apa makna kemasan pesan tersebut?
2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Menjelaskan konsep SIEM dan SIPA dalam kaitannya dengan
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya. 2.
Menjelaskan rancang bangun pesan SIEM dan SIPA dalam mem-
branding
Kota Solo sebagai Kota Budaya 3.
Menjelaskan alasan konstruksi pesan SIEM dan SIPA serta mengetahui makna kemasan pesan tersebut.
3. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Memperkaya kajian tentang studi pesan khususnya tentang bagaimana pesan dikonstruksi dalam sebuah penyelenggaraan kegiatan.
commit to user
2. Manfaat Praktis
Memberi gambaran yang lebih mendalam dan kritis tentang konstruksi pesan budaya khususnya di Kota Solo, sehingga dapat menjadi acuan
pengembangan studi kajian pesan.
3. Manfaat Metodologis
Memberikan perspektif alternatif pada kajian studi pesan terutama terkait pada kajian budaya. Hal ini untuk memberikan peneguhan bahwa kajian studi
pesan akan mendalam jika diaplikasikan pada kajian budaya.
commit to user
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.