PEMBAHASAN Efektivitas Penyuluhan Tentang Manajemen Trauma Gigi Anak Pada Guru SD di Kecamatan Medan Baru dan Kecamatan Medan Sunggal

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, total responden adalah 80 orang guru SD dari 2 SD di Kecamatan Medan Baru dan 2 SD di Kecamatan Medan Sunggal. Jumlah guru SD perempuan 82.5 adalah 4 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan guru SD laki- laki 17.5 Tabel 5.Jefferson et. al.melakukan penelitian yang sama dengan hasil yang sama mengenai rasio jenis kelamin guru, 34 13,9 adalah laki-laki dan 211 86,1 adalah perempuan. 37 Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan pengetahuan guru SD sebelum dan setelah penyuluhan p=0,492Tabel 13, hal ini disebabkan bahwa sebaran data tidak seimbang yang juga ditemukanpada penelitian Young et. al dengan nilai p = 0,8775. 7 Jumlah guru yang paling banyak adalah antara usia 41 - 50 tahun yaitu, 33 orang 41,3 Tabel 5. Pagliarin et. al. mendapat hasil usia rata-rata guru SD yang diperoleh adalah 45,76 tahun, sama dengan hasil penelitian ini. 1 Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan antara usia dengan pengetahuan guru SD p=0,04Tabel 13 hampir sama dengan hasil penelitian Traebert et. al. p=0,003. Hasil yang didapati menunjukkan guru SD antara usia tersebut telah mempunyai pengetahuan serta pengalaman dalam manajemen emerjensi. Pada tabel 13 juga dapat dilihat peningkatan pengetahuan yang paling banyak adalah antara usia 31 hingga 40 tahun karena usia guru yang semakin muda dapat menyerap informasi yang lebih baik pada masa penyuluhan dilakukan. 37 Guru dengan masa kerja paling lama adalah antara 21 - 30 tahun sebanyak, 23 orang 28,8 Tabel 5. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan pengetahuan guru SD p=0,140Tabel 13. Masa kerja guru lebih dari 40 tahun adalah nol sama seperti hasil Young et. al. 7 Pagliarin et. al. menemukan bahwa masa kerja 19,61 tahun di mana 2 tahun lebih kurang dari hasil yang didapati di penelitian ini. 1 Young et. al. juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan p = 0,9796. 7 Mata pelajaran yang diajar oleh guru yang bukan pendidikan jasmaniolahraga adalah sebanyak 78 orang lebih besar jika dibandingkan guru olahragaguru BP yang hanya 2 orang Tabel 5. Dilihat dari segi hasil analisis statistik, guru olahragaguru BP mempunyai pengetahuan yang lebih baik sebelum dan setelah penyuluhan jika dibandingkan dengan guru bukan pendidikan jasmaniolahraga. Hasil analisis statistik membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara mata pelajaran yang diajar dengan pengetahuan guru p=0,166 Tabel 13. Mohandas et al. melaporkan guru olahragajasmani mempunyai lebih banyak informasi tentang manajemen emerjensi yang tepat. 5 Mesgarzadeh et. al. juga menemukan hasil yang sama dimana guru olahragamempunyai pengalaman yang lebih tinggi. 5 Hasil penelitian ini tidak bisa mengambil kesimpulan karena mata pelajaran yang diajar guru tidak terdistribusi rata. Hanya 37 guru 46,3 yang benar- benar mengetahui arti trauma gigi Tabel 6. Guru ditanya mengenai defenisi trauma, diantara guru yang menyatakan tahu memberikan jawaban yang berbeda seperti,“trauma gigi adalah kecelakaan yang terjadi pada gigi”. Trauma gigi adalah “perubahan yang terjadi pada struktur gigi“ dan ada juga yang mengatakan “rasa ngilu atau nyeri yang dialami gigi sehingga menyebabkan kerusakan”. Hasil ini menyimpulkan bahwa guru ternyata mengetahui pengertian trauma gigi. Defenisi trauma gigi kemudian diterangkan selama penyuluhan diberikan. Trauma gigi tidak diajarkan pada waktu melakukan pendidikan kesehatan mulut di sekolah dijawab oleh 69 orang 86,3 Tabel 6. Feldens et. al., mendapatkan hasil dari beberapa orang guru yang mempunyai jawaban yang hampir sama yaitu, “Pelatihan kami terkait dengan pendidikan, tidak mengharuskan kita memiliki pengetahuan teknis tentang topik kesehatan. Sekolah memainkan banyak peran yang terkait dengan kegiatan mendidik anak, dan guru tidak perlu memiliki jenis pengetahuan seperti itu. Ada ahli profesional lain yang lebih cocok untuk kegiatan itu. 6 Jelas bahwa guru tidak diajarkan mengenai trauma gigi pada waktu pendidikan kesehatan mulut di sekolah yang seharusnya dilakukan. Hanya 7 guru 8,8 mengatakan bahwa ada dokter gigi atau klinik kesehatan di sekolah Tabel 6.Hanya 1 sekolah dari 4 sekolah yang diteliti mempunyai pelayanan kesehatan, mungkin disebabkan oleh sekolah lain tidak memprioritaskan akan manajemen emerjensi terhadap anak trauma, keterbatasan dana dari sekolah untuk memberikan pelatihan manajemen emerjensi kepada guru dan kemungkinan juga dokter gigi tidak aktif lakukan pelatihan UKGS. Namun, Feldens et. al mendapatkan hasil yang berbeda bahwa guru86,4 mempunyai pelatihan manajemen emerjensi. 6 Keadaan ini menunjukkan sekolah di Medan kurang mempunyai fasilitas dokter gigi atau klinik kesehatan di sekolah, serta tidak ada pelatihan mengenai trauma gigi yang diberikan kepada guru sekolah. Pelatihan pertolongan pertama atau emerjensi adalah penting karena bisa menyelamatkan nyawa dan mencegah luka ringan menjadi bertambah parah dan serius. Sebanyak 76 guru 95 tidak pernah mendapat pelatihan pertolongan pertama atau emerjensiTabel 6 hal ini sama dengan penelitian Mohandas U96 bahwa guru tidak mendapatkan pelatihan pertolongan pertama. Keadaan ini menunjukkan bahwa pertolongan pertama atau emerjensi bukan suatu hal menjadi prioritas di sekolah. 2 Sebanyak 35 guru 65,5 dari 56 guru 70 mengatakan pernah mendapat informasi tentang trauma Tabel 6 melalui media dan buku seperti televisi, radio dan surat kabar. Pelatihan pertolongan pertama bukan merupakan sumber informasi trauma gigi bagi guru, maka terbukti bahwa pelatihan pertolongan itu tidak menjadi satu prioritas sekolah. Pagliarin et. al. memperoleh hanya 24 guru 23,5 pernah menerima informasi mengenai trauma gigi. 1 Sebagian besar insiden terjadi selama waktu sekolah dimana pemberi perawatan primer adalah seorang guru. 5 Guru yang menjawab pernah mendapatkan anak mengalami trauma gigi di lingkungan sekolah adalah 49 guru 61,3Tabel 6 dengan insidens paling tinggi didapati oleh 21 guru 42,9 dengan gigi anak goyangTabel 7.Feldens et. al.mendapat hasil yang berbeda dimana 168 guru 41,7 pernah mendapatkan anak trauma gigi. 6 Penelitian lain menemukan antara 228 orang guru yang pernah menyaksikan trauma gigi, 96 42,1 gigi patah tanpa pendarahan, 56 24,5 gigi patah dengan pendarahan, 22 9,6 gigi lepas, 44 19,2 gigi mobiliti, 9 3,9 gigi ekstrusi dan selebihnya 0,43 adalah cedera seperti laserasi. 2 Perbandingan dengan penelitian negara lain, diperoleh hasil yang berbeda. Empat puluh sembilan guru yang pernah mendapatkan anak mengalami trauma gigi di lingkungan sekolah ditanyakan, hanya 22 guru 44,9 telah menelpon orang tua anakTabel 7. Penanganan yang paling tepat adalah menelpon orang tua anakpenjaga anak atau membawa anak ke fasilitas kesehatan di sekolah. Penelitian Mohandas bertentangan dengan tindakan yang diambil oleh guru bila terjadi trauma gigi dimanahanya 8,2 akan menghubungi orang tua anak dan menjelaskan kepada mereka apa yang terjadi setelah tamat sekolah. 2 Keseluruhan 80 guru ditanya tindakan yang akan di ambil jika terjadi kejadian trauma gigidimana 56 guru 70 akan menelpon orang tua anak, 11 guru 13,8 akan langsung ke dokter gigi, 7 guru 8,8 tidak tahu apa tindakan yang harus diambil dan 6 orang 7,5 tidak akan melakukan apa-apa Tabel 7. Kebanyakan guru mengatakan akan menelpon orang tua anak karena sekolah di Medan dan guru lebih suka menelpon orang tua untuk menerangkan apa yang terjadi. Kejadian trauma adalah merupakan suatu hal yang emerjensi dimana tujuan utama dari setiap perawatan darurat trauma gigi adalah untuk mengembalikan posisi gigi danfungsi yang normal.Hanya 18 guru 22,5 setuju dengan kejadian trauma gigi itu merupakan hal, emerjensi, harus ditanggunglangi dengan segera Tabel 7. Kemungkinan besar sebanyak 40 guru 50 menjawab ‘tergantung kondisi anak, kadang harus segera’, karena guru sering pernah mendapatkan anak masih bisa kembali seperti biasa tanpa ada keluhan sakit sehingga dapat meneruskan aktivitas sekolah. Keadaan ini membuktikan bahwa guru kurang tahu akan trauma gigi itu merupakan suatu hal yang emerjensi. Perbedaan antara gigi susu dan gigi permanen diketahui oleh 68 guru 85 dimana sebanyak 53 guru77,9 memberikan jawaban yang benar yaitu gigi susu lebih kecil, lebih putih dan lebih pendek Tabel 8.Bertentangan dengan hasil Young et. al., dimana guru yang dapat membedakan antara gigi susu dengan gigi permanen adalah hanya 29,6. 7 Hasil dari guru SD di Medan memuaskan karena sebagian besar guru dapat membedakan gigi dan mengetahui ciri-ciri gigi. Manajemen trauma gigi pada 80 guru dikategorikan dengan baik, sedang dan buruk diperoleh menjumlahkan bobot yang diperoleh sebelum dan setelah penyuluhan. Peningkatan pengetahuan terlihat pada jumlah guru kategori baik dari 1 guru sebelum penyuluhan ke 55 guru setelah penyuluhan yang membuktikan bahwa penyuluhan yang dilakukan adalah efektif. Masih ada 1 guru dikategori buruk yang mempunyai pengurangan skor setelah penyuluhan di lakukan mungkin karena guru tidak memahami penyuluhan dengan baik. Perbedaan guru bagi setiap skor antara sebelum dan setelah penyuluhan dengan adanya peningkatan jumlah guru mulai skor 70 persen ke atas setelah penyuluhan dilakukan menunjukkan bahwa penyuluhan yang dilakukan adalah efektif. Secara keseluruhan, didapati ada hubungan antara 80 guru dengan pengetahuan guru sebelum dan setelah penyuluhan dilakukan p=0,00 Tabel 9, 10 11. Sebanyak 11soal mengenai manajemen emerjensi trauma gigi pada anak sebelum dan selepas penyuluhan ditanyakan. Gigidepan anak retak 13 dari mahkota, sebanyak 62 guru 77,5 dengan peningkatan sebanyak 23 guru 28,7 diperoleh setelah penyuluhan diberikanp=0,00 Tabel 12. Gigi yang didapati retak harus diperiksa oleh dokter gigi supaya tidak terinfeksi bakteri yang dapat menyebabkan tidak vital. Maka, gigi yang hanya retak tidak harus dianggap kasus ringan malah dapat menyebabkan masalah gigi pada masa lanjut. 38 Gigi depan anak berubah posisi dan sebanyak 58 guru 72,5 menjawab dengan benar setelah penyuluhan p=0,24 Tabel 12. Hasil yang didapati kurang memuaskan namun lebih baik jika dibandingkan dengan hasil Young et. al.denganhanya 23,2 menjawab dengan benar. 7 Hal ini disebabkan, kebanyakan guru beranggapan bahwa gigi yang berubah posisi lebih baik dibiarkan saja dan tidak dirujuk ke dokter gigi untuk pemeriksaan dan perawatan. Pertanyaan mengenai gigi anak patah fraktur, hanya13 guru 16,2 memberikan jawaban yang benar Tabel 12. Namun setelah penyuluhan, 56guru 70,0 p=0,00memberikan jawaban benar, kurang baik dibandingkan hasilLevin et. al., 49guru 80,3 memberikan jawaban benar. 8 Pengetahuan guru terhadap tindakan yang perlu diambil masih tidak memuaskan dimana gigi yang fraktur tidak harus dianggap suatu kasus yang ringan, namun gigi patah memerlukan perawatan. Pengetahuan guru memainkan peran penting dalam prognosis gigi avulsi ketika insiden itu terjadi di sekolah. 39 Peningkatan diperoleh sebanyak 20 setelah penyuluhan dimana 75 orang 93,8 menyatakan anak perlukan perawatan p=0,01 Tabel 12. Respon guru terhadap manajemen gigi avulsi masih tidak memuaskan dimana hanya 51 guru 63,8 dari 80 guru yang memberikan jawaban benar setelah penyuluhan p=0,00 Tabel 12. Prasanna et. al., telah melakukan penelitian tanpa penyuluhan mengenai pengetahuan guru tentang gigi avulsi dan manajemennya dengan hasil, hanya 23 yang mengetahui manajemennya. 40 Guru merasa bahwa gigi avulsi adalah gigi susu, tetapi gigi avulsi tersebut mungkin adalah gigi permanen yang harus direplantasikan. Hal boleh atau tidak untuk replantasi gigi tersebut adalah keputusan dokter gigi setelah pemeriksaan dilakukan. Media penyimpanan untuk gigi juga dianalisis dimana wadah yang paling sesuai adalah susu. Penelitian ini mendapat hasil, hanya 1 guru 1,3 menjawab susu sebagai media penyimpanan gigi p=0,00 Tabel 12. Pagliarin et. al. juga mendapat hasil yang tidak memuaskan yaitu, hanya 11 dari 102 guru memberikan jawaban susu sebagai media penyimpanan. 1 Setelah penyuluhan diberikan, 74 guru 92,5 menjawab dengan benar. Hasil menunjukkan guru tidak mengetahui wadah sesuai untuk transportasi gigi. Anak yang mengalami trauma gigi juga dapat menyebabkan kehilangan kesadaran karena trauma yang melibatkan di bagian kepala. Hanya sekitar 5 persen anak-anak dengan cedera kepala ringan pingsan hilang kesadaran, biasanya hanya untuk jangka waktu singkat, kurang dari satu menit. 29 Setelah penyuluhan, 58 guru 72,5 merespon dengan benar p=0,11 Tabel 12. Sebanyak 22 guru 27,5 tidak memberikan respon benar mungkin karena guru pernah mendapatkan anak pingsan dan pulih setelah beberapa menit serta kembali seperti kondisi biasa tanpa apa-apa keluhan. Sekitar 10 persen anak akan mengalami setidaknya satu gejala muntah setelah trauma. Anak yang muntah setelah trauma tidak selalu memiliki cedera yang serius. 29 Setelah penyuluhan terdapat peningkatan sebanyak 11,2, dimana 60 guru 75 memberikan jawaban yang benar untuk gejala anak muntah p=0,12 Tabel 12. Masih 20 guru 25 memberikan respon yang tidak benar bagi manajemen emerjensi anak yang muntah mungkin karena ada guru yang mendapatkan anak masih dalam kondisi biasa. Anak yang berdarah setelah trauma harus dibersihkan lukanya dengan kain steril dan menelpon orang tua di respon dengan benar oleh 70 guru 87,5 setelah penyuluhan p=0,01 Tabel 12. Masih ada guru yang memberikan jawaban tidak benar seperti tidak tahu. Luka ringan seperti mulut sering berdarah merupakan hal yangagak menakutkan bagi anak. Penghentian pendarahan pada bibir dilakukan dengan memberikan tekanan pada daerah tersebut terhadap gigi dan tahan selama beberapa menit. Penghentian pendarahan di lidah dilakukan dengan memegang daerah luka antara jari dengan handuk bersih atau kain steril. Tekanan dapat mengontrol perdarahan dalam jangka waktu 10 menit. 29 Anak yang mengalami trauma gigi harus dibawa ke dokter gigi untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatanagar tidak terjadi suatu yang serius. Sebanyak 62 guru 77,5 mengatakan membawa anak segera setelah terjadi trauma dan ada peningkatan pengetahuan guru setelah penyuluhan yaitu sebanyak 10 p=0,74 Tabel 12. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru mengenai tindakan emerjensi lebih baik jika dibandingkan dengan hasil Mohandas yaitu 49,6 guru yang akan segera mendapatkan anak ke dokter gigi. 2 Guru juga ditanya tempat anak dibawa untuk berobat, setelah penyuluhan diberikan, sebanyak 61 guru 76,25 memberikan jawaban yang lebih tepat yaitu dokter gigi p=0,00 Tabel 12. Menurut penelitian Young et. al, hanya 32,8 guru respon dengan benar untuk pergi ke dokter gigi secara langsung sementara sebagian berpikir bahwa dokter umum dan perawat dapat membantu anak tersebut. Pendidik kesehatan harus memberitahu guru bahwa anak harus dibawa ke dokter gigi segera jika terjadinya trauma gigi. 7

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN