1. Interpretasi dan hasil diskusi
a. Tindakan episiotomi yang dilakukan di RSU Sundari Medan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSU Sundari Medan diperoleh data pada tahun 2012 yang dilakukan tindakan episiotomi pada
persalinan normal pervaginam pada primigravida sebanyak 157 orang 85,3.
Tindakan episiotomi tersebut dilakukan terhadap 28 orang 100 oleh dokter obgyn, bidan melakukan episiotomi terhadap 79 orang 81,44.
PPDS yang melakukan episiotomi terhadap 50 orang 84,74. Hal ini berbeda dengan pendapat Bramantyo, 2006 bahwa tindakan
episiotomi dipakai sekitar 50. Umumnya dilakukan pada wanita yang baru pertama kali melahirkan. Namun terkadang episiotomi dilakukan juga pada
persalinan berikutnya, tergantung situasi dan bila akan terjadi robekan maka
dilakukan episiotomi.
Menurut teori Rohani, 2010 bahwa tindakan episiotomi dilakukan karena untuk memperbesar mulut vaginam pada persalinan namun episiotomi
bukan sesuatu hal yang rutin untuk dilakukan pada persalinan. Menurut teori Benson, 2004 tindakan episiotomi tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk mempercepat persalinan dengan memperlebar jalan lahir lunak, serta mengendalikan robekan perenium untuk mempermudah dalam
proses penjahitan dan menghindari robekan spontan.
Universitas Sumatera Utara
b. Tindakan episiotomi berdasarkan indikasi dilakukan episiotomi
Menurut Depkes RI, 2002 di Indonesia pelaksanaan episiotomi sudah ada dilaksanakan namum belum menngunakan manajemen yang baik
dalam pelaksanaanya, dan ini terlihat dari tidak adanya data yang akurat autentik mengenai praktek pelaksanaan episiotomi dan indikasi episiotomi
yang baik dalam kegagalan maupun kesuksesan dan dalam pelaksanaanya serta belum cukup bukti yang kuat yang melakukan penelitian tentang
pelaksanaan episiotomi. Menurut teori Oxorn, 2010 indikasi episiotomi mempengaruhi
terjadinya tindakan episiotomi pada persalinan. Salah satunya berdasarkan faktor janin, dimana terdapat gawat janin, presentasi bokong, distosia bahu,
bayi lebih dari 4000 grambayi besar, posisi kepala kurang fleksi, presentasi muka, bayi prematur dan lemah dan terdapat juga faktor lainnya yaitu faktor
maternal seperti arcus pubis sempit, perenium kaku, yang terdiri dari jaringan perenium tebal dan sangat berotot dan jaringan parut bekas operasi serta
adanya luka bekas episiotomi yang sudah diperbaiki, perenium sempit antara lain bagian belakang vagina dan bagian rektum hanya terdapat sedikit ruang
serta pelahiran pervaginam dengan bantuan misalnya forcef ataupun ekstrasi vakum.
Berdasarkan hasil penelitian di RSU Sundari Medan Tahun 2012 mengenai tindakan episiotomi pada persalinan pervaginam pada primigravida
berdasarkan indikasi dilakukan episiotomi mayoritas tidak adanya indikasi dilakukan episiotomi sebanyak 101 tindakan 64,3 bahwa dokter obgyn
yang melakukan episiotomi dengan indikasi perenium ketat 9 orang 32,14, bayi besar 10 orang 35,71, bokong 1 orang 3,57, distosia
Universitas Sumatera Utara
bahu 2 orang 7,24, forcef 3 orang 10,72, vakum 3 orang 10,72. Bidan yang melakukan episiotomi dengan indikasi perenium ketat 10 orang
55,56, bayi besar 4 orang 22,22, bokong 2 orang 11,11, vakum 2 orang 11,11. PPDS yang melakukan episiotomi dengan indikasi perenium
ketat 3 orang 33,33, bayi besar 3 orang 33,33, bokong 4 orang 33,34, vakum 2 orang 11,11.
Menurut pendapat Bramantyo, 2006, ditetapkan indikasi untuk melakukan episiotomi yang pertama adalah primigravida, khusus pada
primigravida yaitu laserasi jalan lahir sulit dihindari sehingga untuk keamanan dan mempermudah menjahit laserasi kembali dilakukan
episiotomi. Pendapat diatas tidak sesuai dengan hasil yang didapat, bahwasanya
terdapat bidan sebanyak 61 orang 77,21 dan PPDS sebanyak 40 orang 80 yang melakukan tindakan episiotomy tanpa indikasi, hal tersebut
dikarenakan tidak adaya ketegasan indikasi yang jelas dalam mencatat status oleh tenaga kesehatan.
c. Tindakan episiotomi berdasarkan yang melakukan episiotomi