Latar Belakang Tindakan Episiotomi Pada Persalinan Normal Pervaginam Pada Primigravida Yang Dilakukan Di Rsu Sundari Medan Tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan penelitian Woman Research Institute, angka kematian ibu melahirkan pada tahun 2011 mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup. Di Indonesia, saat ini terdapat 13 provinsi yang angka kematian ibu melahirkannya tinggi Wardah, 2011. Sedangkan menurut angka kematian di ASEAN pendarahan dan sepsis menjadi angka tertinggi untuk penyebab kematian ibu yaitu 24,8 dan 14,9 salah satunya penyebab sepsis adalah infeksi perenium yang disebabkan oleh tindakan episiotomi Sari, 2012. Di Jawa Tengah angka kematian ibu AKI masih cukup tinggi mencapai 128,96 per 100.000 kelahiran selama tahun 2010. Angka sebanyak itu, jauh lebih tinggi dibandingkan target nasional pada 2010 sebesar 125 per 100.000 kelahiran Wardah, 2011. Episiotomi dikembangkan pada tahun 1970 dan awal tahun 1980-an, dimana saat itu tindakan episiotomi dipakai sekitar 50. Tindakan episiotomi umumnya dilakukan pada wanita yang baru pertama kali melahirkan. Namun kadang - kadang episiotomi dilakukan juga pada persalinan berikutnya, tergantung situasinya. Bila akan terjadi robekan maka dilakukan episiotomi Bramantyo, 2006. Dalam beberapa kasus, perlu ditetapkan indikasi untuk melakukan episiotomi yang pertama adalah primigravida, khusus pada primigravida yaitu laserasi jalan lahir sulit dihindari sehingga untuk keamanan dan mempermudah menjahit laserasi kembali dilakukan episiotomi. Episiotomi dipertimbangkan pada multigravida dengan introitus vagina yang sempit, jaringan perineum yang tebal dan sangat Universitas Sumatera Utara berotot, jaringan parut bekas operasi, ada bekas episiotomi yang sudah diperbaiki dan untuk mengelakkan robekan yang tak teratur, termasuk robekan yang melebar ke dalam rektum jika perineum sempit atau perineum pendek. Dan juga pada bayi yaitu prematur dan lemah, tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala bayi Rifal, 2010. The American College Of Obstetricians and Gynecologists ACOG merekomendasikan bahwa episiotomi rutin tidak perlu dilakukan karena dapat meningkatkan resiko komplikasi tertentu. Hal ini bukan berarti episiotomi tidak boleh dilakukan hanya saja tidak perlu secara rutin pada setiap wanita yang menjalani persalinan pervaginam. Pada masa lalu dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin dengan tujuannya untuk mencegah robekan berlebihan pada perenium, membuat tepi luka rata agar mudah dilakukan penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, tetapi hal itu tidak didukung oleh bukti - bukti ilmiah yang cukup. Sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak diperbolehkan, karena harus ada indikasi tertentu tepat dilakukannya tindakan episiotomi Sulistyawati, 2010. Menurut Chapman 2006 wanita yang melahirkan pervaginam 70 cenderung mengalami robekan perenium. Robekan perenium dapat terjadi secara spontan maupun disertai tindakan episiotomi. Para peneliti menemukan bahwa episiotomi medial berkaitan dengan robekan perenium dan rektum. Berdasarkan penelitian mereka terdapat 392 persalinan pervaginam, 15 diantaranya dilakukan tindakan episiotomi. Robekan derajat III dan IV akan lebih sering terjadi jika episiotomi dilakukan dengan berat badan bayi lebih dari 3500 gram atau pada persalinan pervaginam pertama Bobak, 2004. Di Inggris Raya sendiri ibu – ibu yang mengalami persalinan pervagiam 350.000 diantaranya mengalami perbaikan perenium per tahunnya Kettle, 2002 dalam Chapman, 2006. Namun, kebanyakan Universitas Sumatera Utara morbiditas ibu yang mengalami traumarobekan perenium tersebut tepat tidak terlapor ke propesional kesehatan. Di Indonesia pelaksanaan episiotomi sudah ada dilaksanakan namum belum menngunakan manajemen yang baik dalam pelaksanaanya, dan ini terlihat dari tidak adanya data yang akurat autentik mengenai praktek pelaksanaan episiotomi dan indikasi episiotomi yang baik dalam kegagalan maupun kesuksesan dan dalam pelaksanaanya serta belum cukup bukti yang kuat yang melakukan penelitian tentang pelaksanaan episiotomi Depkes RI, 2002. Dalam pelaksanaan episiotomi baik dalam melaksanakan episiotomi baik dalam melaksanankan pertolongan dalam prakteknya serta dapat mengantisipasi masalah yang akan terjadi, menepis resiko tinggi dan meningkatkan kesehatan repsroduksinya dalam keadaan sehat secara fisik, mental, sosial serta menjaga keutuhan perenium. Oleh sebab itu pertimbangan untuk melakukan episiotomi harus mengacu pada penilaian – penilaian teknik yang tepat yang paling sesuai dengan kondisi – kondisi yang sedang dihadapi atau sesuai dengan indikasi – indikasi tertentu Sylvia, 2003. Di RSU. Sundari Medan terletak di Pinang Baris dan menerima pasien jampersal dan jamkesmas dan mempunyai ruangan bersalin. Sehingga rumah sakit ini hampir setiap harinya dipenuhi oleh pasien inpartu baik normal atau pervaginam maupun secsio cecarea. Di RSU Sundari angka kejadian tindakan episiotomi pada persalinan normal pervaginam pada primigravida pada Januari sampai dengan Desember 2012 berjumlah 157 85,3 dari 667 persalinan normal RSU Sundari, 2012. Universitas Sumatera Utara Dengan tingginya angka kejadian episiotomi tenaga kesehatan diharapkan dapat mengetahui indikasi tindakan episiotomi. Sehingga apabila ibu hamil tersebut sudah dinyatakan episiotomi sebelumnya maka psikis dan persiapannya sudah ada. Tetapi jika ibu hamil yang dilakukan episiotomi dengan cara tiba-tiba tanpa ketidaktahuan ibu itu sendiri maka bisa saja psikologi ibu terganggu diakibatkan nyeri yang terlalu hebat atau terjadi pendarahan. Oleh karena itu penulis memandang perlu mendiskripsikan tindakan episiotomi pada persalinan normal pervaginam pada primigravida yang dilakukan di RSU. Sundari Medan Tahun 2012.

B. Rumusan Masalah