Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim Uighur Di China Ditinjau Dari Hukum Humaniter

(1)

TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

MUHAMMAD FAJRIN SARAGIH 100200016

DEPARTEMEN: HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

MUHAMMAD FAJRIN SARAGIH 100200016

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

NIP : 19561210198601200 Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof, Sulaiman, SH

NIP. 19472281979031001 NIP. 199508081980031004 Makdin Munthe, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : MUHAMMAD FAJRIN SARAGIH

NIM : 100200016

Judul : TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan,

NIM. 100200016


(4)

ABSTRAK

Prof, Sulaiman, SH * Makdin Munthe, SH, M.Hum **

Muhammad Fajrin Saragih ***

HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya. Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya. Kepentingan Individu mulai terasa memerlukan perlindungan terhadap pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan kebebasan dari campur tangan pemerintahannya.

Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur, bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma dan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di Uighur.

Peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim uighur di China telah menjurus kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan keberadaan Muslim Uighur. Konvensi Jenewa (Konvensi Palang Merah) tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dijadikan rujukan dalam melakukan perlindungan terhadap rakyat Muslim Uighur. Kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran sekolah, pemusnahan tempat beribadah dan ketidakbebasan untuk menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan oleh pihak berkuasa dalam hal ini negara china masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena fakta-fakta yang terjadi dalam kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur ini telah terpenuhi syarat materilnya yang ditetapkan dalam Statuta Roma khususnya yang ada di Pasal 7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meredam kericuhan yang terjadi terhadap Muslim di Uighur mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional seperti

International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998.

Keywords: Pelanggaran HAM, Muslim di Uighur, Hukum Humaniter dan Hukum Internasional * Dosen Pembimbing I

** Dosen Pembimbing II


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga penulis persembahkan kepada Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad SAW telah membawa kabar tentang pentingnya ilmu bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Kedua orang tua penulis, Ayahanda Rapidin Saragih dan Ibunda H.j Maria Ulfa Pohan atas kasih sayang dan cintanya kepada penulis, tekhusus kepada Ibunda yang penulis cintai sepanjang hayat, yang selalu memberikan dukungan dan doanya serta bantuan baik berupa moril maupun materil. Maafkan jika selama ini ananda belum bisa memberikan apa-apa kepada Ibunda, karena memang tak ada yang dapat ananda berikan untuk membalas jasa Ibunda kecuali doa, doa, dan doa, yang hanya bisa ananda panjatkan setiap hari semoga kita dipertemukan di Jannah-Nya di akhir nanti. Tiada kata-kata dan waktu yang cukup untuk dapat mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih ananda kepadamu


(6)

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta staf-stafnya.

- Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

- Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.M.H.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

- Bapak Dr. Oka Saidin, SH, M.hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

- Ibu Dr.Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan Bapak Dr.Jelly Leviza, SH, M. Hum selaku Sekertaris Departemen Hukum Internasional, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat skripsi ini,

- Bapak Prof. Sulaiman, SH, selaku Pembimbing I, yang telah sabar menyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaiaan skripsi ini. - Bapak Makdin Munthe, SH, M. Hum, selaku Pembimbing II, yang juga

telah sabar untuk mnyediakan dan meluangkan waktunya dalam memberikan segala bimbingan serta saran kepada penulis dalam penyelesaiaan skripsi ini.

- Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH.M.H, selaku Dosen Wali penulis yang telah memberikan bimbingan dan konseling kepada penulis selama menjalankan kegiatan perkuliahan,


(7)

- Bapak dan Ibu dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran tentang segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya,

- Kedua saudari kandung penulis kakak penulis Rafika Devi Saragih dan adik penulis Rahdini Rizki Saragih yang saya cintai dan sayangi yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan penulis, yang menjadi motivasi penulis dalam menjalani sisa-sisa hidup yang fana ini, - Seluruh kawan-kawan grup C stambuk 2010 yang dari awal masuk kita

selalu bersama, dan kawan-kawan ILSA stambuk 2010 yang ada di Departemen Hukum Internasional yang menambah wawasan pergaulan penulis selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum USU,

- Kepada sahabat karib penulis, Ramadhan Syahputra Siregar, Sayid Ammar, dan lain lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah banyak memberikan motifasi serta sudi berteman dengan penulis selama berada dalam masa-masa belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan memberikan dukungan dan semangat kepada penulis,

- Teman teman sejak kecil penulis, Akbar Raharja, Akhmad Ridho, Ibnu Fajar, Faisal Harahap, Yogi Nugraha, Simon Giando, Amas Gunarko, Roemanto terima kasih telah banyak mendoakan penulis dan suskes ke depan buat kita amin,

- Sahabat sahabat Alumni Pesantren Darul Arafah yang 12 dan 19 penulis Hadi Sholeh, Fadlan Syarqowi, Rifqi Arigha, Dhenisa Lumongga,


(8)

Uswatun Khasanah, Mai Muliani, dan semua sahabat penulis terima kasih telah banyak meluangkan waktu untuk berbagi cerita,

- Teman terdekat penulis Fachrum Nisa Purba yang telah banyak memberikan, dukungan, doa, motifasi,serta kasih sayang dan semoga kita tetap bersama,

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Akhir kata, atas segala budi baik semua pihak kiranya mendapat ridho Allah SWT dan semoga ilmu yang telah dipelajari selama masa perkuliahan dapat berguna untuk kepentingan dan kemajuan Agama, Bangsa dan Negara.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Assalamu’alaukim Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Januari 2015 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian... 11

G. Sistematika Penulisan. ... 12

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA ... 14

A. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 14

B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kemanusian ... 20

C. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional ... 25

BAB III. DIMENSI PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM DI UIGHUR ... 45

A. Peristiwa-Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Negara-Negara Eropa ... 45


(10)

B. Dampak Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Uighur ... 50

C. Pengaturan Pelanggaran HAM Di Dalam Internasional Criminal Court ... 55

BAB IV. PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER ... 64

A. Bentuk-Bentuk Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Di Uighur ... 64

B. Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma .... 74

C. Upaya-Upaya Yang Telah Dilakukan Oleh Organisasi Internasional Dalam Meredam Kericuhan Yang Terjadi Pada Muslim Diuighur ... 88

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 101 DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAK

Prof, Sulaiman, SH * Makdin Munthe, SH, M.Hum **

Muhammad Fajrin Saragih ***

HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya. Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya. Kepentingan Individu mulai terasa memerlukan perlindungan terhadap pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan kebebasan dari campur tangan pemerintahannya.

Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur, bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma dan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di Uighur.

Peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim uighur di China telah menjurus kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan keberadaan Muslim Uighur. Konvensi Jenewa (Konvensi Palang Merah) tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dijadikan rujukan dalam melakukan perlindungan terhadap rakyat Muslim Uighur. Kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran sekolah, pemusnahan tempat beribadah dan ketidakbebasan untuk menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan oleh pihak berkuasa dalam hal ini negara china masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena fakta-fakta yang terjadi dalam kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur ini telah terpenuhi syarat materilnya yang ditetapkan dalam Statuta Roma khususnya yang ada di Pasal 7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meredam kericuhan yang terjadi terhadap Muslim di Uighur mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional seperti

International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998.

Keywords: Pelanggaran HAM, Muslim di Uighur, Hukum Humaniter dan Hukum Internasional * Dosen Pembimbing I

** Dosen Pembimbing II


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Sebagai bagian dari harkat dan martabat hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.1

Manusia juga harus menyadari karena adanya proses interaksi antar manusia, hidup didalam “human totality” kesatuan manusia, yang dalam hal ini harus diperhatikan juga hak-hak orang lain termasuk pemerintahan, sehingga diharapkan adanya keseimbangan antara masyarakat dan pemerintahan selaku pelindung atas hak-hak masyarakatnya, sesuai dengan teori perjanjian masyarakat dari john locke yang mengatakan bahwa manusia itu lahir bebas dan mempunyai hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia “dikontrak” untuk memasuki keadaan sosial dari keadaan primitif

1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, Mei 2010, hlm v


(13)

dan tidak pernah berkurang karena tuntutan ‘hak ilahi raja’ atau pemerintah. Inilah suatu idealisme dari pelaksana hak-hak asasi manusia di setiap negara di atas permukaan bumi ini, tanpa ada pengecualiannya Bahwa tujuan utama dan pokok dari dibentuknya suatu negara atau pemerintahan adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Konsep negara seperti ini diusung oleh John Locke dalam bukunya Two Treatises of Civil Government. Negara ada dan dibentuk oleh manusia semata-mata untuk menjamin perlindungan hak-hak milik manusia yakni kehidupannya, kebebasannya dan hak miliknya. Hak-hak milik yang melekat pada manusia inilah yang kemudian diartikan sebagai Hak Asasi Manusia, karena hak tersebut memang dimiliki oleh manusia sejak lahir.

Perkembangan Hukum Internasional, terutama setelah Perang Dunia I, telah memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum Internasional yang mandiri dalam tata hukum internasional. Individu dalam hukum Internasional hak asasi manusia, juga dapat membela hak-haknya secara langsung, yang pada awalnya berlaku menurut masyarakat Eropa dalam Konvensi Eropa serta berlaku dalam Konvensi Amerika.

Pengalaman pahit dan getir dari umat manusia dari perang dunia yang telah terjadi dua kali, dimana harkat dan martabat hak-hak asasi manusia terinjak-injak, timbul kesadaran umat manusia menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia ke dalam Piagam PBB yang sebagai realisasinya muncul kemudian The Universal Declaration of Human Rights

(Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang diterima secara aklamasi oleh Sidang Umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948.


(14)

Dengan memperhatikan besarnya perhatian PBB dan dunia internasioanal terhadap hak-hak asasi manusia sedunia tersebut, maka sudah sepantasnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus menghormati dan memperlakukan setiap manusia sesuai dengan harkat dan martabat hak-hak asasinya.

Perkembangan progresif di bidang hak asasi manusia dewasa ini tidak terlepas dengan diterimanya suatu prinsip bahwa negara (pemerintah) mempunyai kewajiban untuk menjamin dan memberikan perlindungan HAM tersebut selain merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.

Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa.2

2

Mochtar Kusumaatmadja, “Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949”, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 34

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan -tulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di


(15)

seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.3

Pemerintah China tidak cukup hanya menduduki Turkistan Timur dan menggabungkannya menjadi bagian dari China, tetapi ia mengubah bentuk penjajahannya menjadi penjajahan kependudukan, di mana ia memindahkan sekitar delapan juta bangsa China dari keturunan Han yang merupakan suku terbesar ke Turkistan Timur. Selanjutnya mereka diberi jabatan tinggi dan kekuasaan penuh. Sementara penduduk asli dijadikan penduduk kelas dua yang dipekerjakan sebagai pegawai rendahan, dan pekerja kasar untuk memperoleh penghidupannya.

Sebuah pembantaian massal (genosida) baru dilakukan oleh pihak berwenang China terhadap kaum Muslim Uighur di wilayah mereka sendiri yang diduduki China, yang dikenal sebagai Turkistan Timur. Sementara China menyebutnya dengan nama Xinjiang, yang berarti blok baru. Pembantaian itu mengakibatkan lebih dari seratus enam pulum Muslim meninggal. Sementara menurut warga Uighur akibat dari pembantaian itu hampir empat ratus Muslim meninggal, ratusan menderita luka-luka, dan ratusan lagi ditangkap.

3


(16)

Sesungguhnya yang melakukan kejahatan terhadap warga Uighur sekarang, bukan hanya pemerintah dan aparatnya yang bertindak represif, namun juga orang-orang China keturunan Han yang banyak melakukan berbagai bentuk permusuhan dan pelecehan terhadap penduduk asli. Di mana penduduk asli diperlakukan seperti suku Indian di Amerika.4

Kepentingan Individu mulai terasa memerlukan perlindungan terhadap pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan kebebasan dari campur tangan pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan sesuai dengan martabat manusianya, baik sebagai orang perseorangan maupun sebagai kesatuan. Landasan teori pembenaran tuntutan itu didasarkan pada hukum alam. Teori yang mengajarkan bahwa kekuasaan pemerintah memiliki batasan. Dengan pembatasan itu, hukum alam memberikan individu hak-hak yang bebas dari campur tangan pemerintah, termasuk dalam hak-hak itu adalah hak asasi manusia. 5

Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi tanggung jawab negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. Apabila negara membiarkan ketiadaan penegakan hukum atau bahkan menjadi bagian dari pelanggaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan yang dikatakan sebagai impunitas (impunity).6

Karena alasan inilah penulis ingin mengangkat permasalahan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Di Uighur kedalam sebuah judul skripsi

4

http//:bungkamnya-penguasa-sekuler-negeri-islam-terhadap-genosida-china-terhadap-muslim-uighur-adalah-pengkhianatan-terhadap-umat// Diakses 5 Januari 2015 Senin, Pukul 10.00 Wib

5

Dedi Supriyadi, “Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi)”, Bandung, Pustaka Setia, 2011, hlm . 231

6

LG. Saraswati dkk, “Hak Asasi Manusia , teori hukum dan kasus”, Filsafat UI Press, 2006, hlm.195


(17)

“Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Hukum Humaniter”.

B. Rumusan Masalah

Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, maka untuk mempermudah penulis dalam pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan sesuai dengan judul yang diajukan penulis. Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur ?

2. Bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma ?

3. Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di Uighur ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Permasalahan hak asasi manusia ini sangat luas cakupannya dan tidak pernah habis-habisnya untuk dibicarakan karena masalahnya sangat kompleks dan sifatnya sangat universal, baik ditinjau dari dasar pemikiran dan pelaksanaannya di setiap negara khususnya pelanggaran Muslim di Uighur. Dan secara singkat tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk memenuhi dan melengkapi syarat kesarjanaan hukum pada jurusan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(18)

b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur.

c. Untuk mengetahui kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma.

d. Untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di Uighur

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuaan hukum internasional, khususnya terkait mengenai Tinjauan yuridis pelanggaran HAM terhadap Muslim Di Uighur ditinjau dari Hukum Humaniter .

b. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang pelanggaran HAM terhadap Muslim Di Uighur ditinjau dari Hukum Humaniter dan Hukum Internasional kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi sesama rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dengan membaca literature buku yang terkait dan informasi yang ada khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, tulisan (skripsi) mengenai pelanggaran HAM terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau dari Hukum Humaniter, sehingga keaslian tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan.


(19)

E. Tinjauan Kepustakaan

Hak asasi manusia adalah hak universal yang dimiliki oleh seorang individu sejak lahir dan tidak boleh ditiadakan oleh orang lain. Istilah hak di sini mengacu pada nilai-nilai khusus manusia yang dianggap sedemikian fundamental pentingnya sehingga nilai-nilai itu harus ditegakkan apabila aspirasi terpenting dalam tatanan sosial ingin diwujudkan.7

Aspirasi terpenting manusia itu menjelma menjadi hak-hak asasi. HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya.8

Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, dewasa ini telah berkembang disiplin ilmu hukum yang mengatur tentang perlindungan HAM secara internasional, yang pada hakikatnya merupakan cabang dari hukum internasional publik (public international law), ilmu hukum ini disebut dengan istilah hukum hak asasi manusia internasional (international human rights law). Definisi hukum Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya.

Hak Asasi Manusia (Human Rights) menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah hak asasi manusia secara umum didefenisikan sebagai hak yang melekat pada diri manusia dan dengan tidak adanya hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia.

7

Lynn H. Miller, “Agenda Politik Internasional”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 388

8


(20)

hak asasi manusia internasional menurut pendapat Thomas Buergenthal,9

Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi konflik bersenjata, baik itu konflik antar negara maupun konflik dalam negeri/ dalam konflik bersenjata, penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering menjadi sasaran langsung dan menderita karenanya. Penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik terkadang mengalami pembantaian masal, diperkosa, disandera, dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap makanan, air, dan layanan kesehatan.

“…..

the international of human rights is defined as the law that deals eith the protection of individual and groups against violations by government of their internationally guaranteed rights and with the promotion of these rights” ( hukum yang melindungi individu dan kelompok dari kesewenang-wenangan pemerintah terhadap hak mereka yang dijamin secara internasional dan dengan tujuan untuk kemajuan hak-hak tersebut).

10

Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tetang HAM, namun antara hukum Humaniter dan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan. Dalam konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa Tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15 menentukan bahwa bila terjadi perang atau

Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum humaniter dikenal dengan dengan istilah hukum perang dan hukum bersenjata.

9

Thomas Buergenthal, “International Human Rights”, St. Paul, Minn: West Publishing , Co.,1995, hlm.14-15


(21)

bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus dihormati, karena merupakan intisari dan konvensi ini yaitu : hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subjek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi, dan hak atas keamanan.

Selain itu terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tidak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam hukum sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subjek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat konvensi jenewa.11

Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional.

10


(22)

F. Metode Penelitian

Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap pokok-pokok permasalahan di atas maka diperlukan adanya pengumpulan data yang kemudian untuk dikonstruksikan. Dalam penyusunan penulisan ini dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research). Dengan Library Research

akan dihasilkan karya ilmiah yang mempunyai materi, kualitas, bobot kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, di mana bahan-bahan/data-data tersebut didapat dari :

- Buku-buku ilmiah yang tersebut dalam literature.

- Naskah-naskah peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, skripsi, dan tulisan karya ilmiah, serta catatan perkuliahan, dan juga dari internet dan bimbingan Bapak/Ibu Dosen.

Dengan menggunakan metode ini diharapkan skripsi ini dapat menjadi suatu karya ilmiah yang baik dan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan proses pembahasan tulisan dan membantu penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum dalam sistematika penulisan sebagai suatu paradigma berpikir.

Dengan pedoman pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya maka penulis berusaha untuk mendeskripsikan gambaran umum yang berhubungan dengan cakupan skripsi ini, sebagai berikut :

11

hukum-humaniter-internasional.html//Diakses 5 Januari 2015 Senin, Pukul


(23)

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab ini diuraikan mengenai pendahuluan pengantar yang mengantarkan kita menuju uraian-uraian selanjutnya. Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

Terdiri dari tentang Pengertian Hak Asasi Manusia, Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kemanusian, dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional.

BAB III : DIMENSI PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM DIUIGHUR

Bab ini secara umum membahas tentang Peristiwa-Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Negara-Negara Eropa, Dampak Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Uighur, dan Pengaturan Pelanggaran HAM Di Dalam Internasional Criminal Court.

BAB IV : PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER DAN HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini secara umum akan membahas tentang: Bentuk-Bentuk Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Di Uighur, Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma, dan Upaya-Upaya Yang


(24)

Telah Dilakukan Oleh Organisasi Internasional Dalam Meredam Kericuhan Yang Terjadi Pada Muslim Diuighur.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang menutup seluruh pembahasan dalam skripsi ini, dalam bab ini penulis mencoba merumuskan kesimpulan yang merupakan inti dalam pembahasan yang diuraikan pembahasan sebelumnya pada bab-bab terdahulu yang merupakan pembahasan sebelumya, selanjutnya di ikuti dengan saran-saran seperlunya.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Secara etimologis, hak asasi berasal dari bahasa arab yaitu haqq dan

asasiy. Kata haqq adalah bentuk tunggal yang diambil dari kata haqqa, yahiquq, haqqan, yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib, berdasarkan pengertian tersebut haqq adalah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sementara itu kata asasiy berasal dari kata assa, yaussu, asasaan, yang artinya adalah membangun, mendirikan, dan meletakkan. Kata asas adalah bentuk tunggal dari kata asus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Sehingga dalam bahasa Indonesia HAM dapat diartikan sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia.12

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.13

12

Majda El Muhtaj, “Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada , 2008, hlm. 17

13

Jack Donnely, “Universal Human Rights in Theory and Practice London”, Cornell, University Press, 2013, hlm. 21

Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan ras, suku, jenis kelamin, bahasa, budaya, agama, dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun juga. Dalam masyarakat abad pertengahan permasalah HAM ini belum muncul, saat itu kepentingan individu dirasakan secara bersama-sama dengan kepentingan antar individu dan masyarakatnya.


(26)

Kehidupan individu dan pemerintahannya merupakan satu kesatuan berdasarkan kepercayaan agama yang sama.14

Hak-hak asasi manusia internasional adalah ideologi universal pertama di dunia. Cita-cita agama, politik, filsafat, dan ekonomi memiliki penganutnya di berbagai bagian dunia, akan tetapi hak-hak asasi manusia merupakan sebuah gagasan yang sekarang ini telah diterima di seluruh dunia.

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (1):

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

15

Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri, namun persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika mengimplemantisakan dalam kehidupan manusia dan menjadi perhatian saat adanya hubungan dan keterkaitan antara individu dan masyarakat.16

Hak asasi ( fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar, pokok ataupun juga prinsipil,17

14

Dedi Supriyadi,Op-cit,. hlm: 223

15

Peter davies, “Hak-hak asasi manusia”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. 1

16

Ahmad kosasi, “Ham dalam prespektif islam”, Jakarta, Salemba Dinniyyah, 2003, hlm.20

17

Pius A Pranoto dan M Dahlan Al Barry, “Kamus ilmiah popular”, Surabaya, Arkola, 1994, hlm. 48

dimana adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu keistimewaan yang membuka keinginan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya, sebaliknya juga


(27)

demikian ada suatu kewajiban pada seseorang yang diminta dari suatu sikap atas dirinya terhadap keistimewaan yang ada pada orang lain.

Hukum Internasional telah lama mengatur tentang hak dan kewajiban individu, akan tetapi pengaturan masalah HAM dalah hukum internasional belumlah lama. Setelah terjadinya Perang Dunia II, timbul kesadaran bahwa penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin agar orang dapat hidup sesuai dengan martabat manusianya, pengalaman sekitar keadaan dalam Perang Dunia II menunjukkan bahwa tidak ada penghormatan atas HAM yang memungkinkan timbulnya kediktatoran dan tirani, yang kemudian dalam tataran Internasional dapat menimbulkan ketegangan dan perang. Untuk kepentingan perdamaiaan diharapkan semua negara menghormati HAM, oleh karena itu, PBB yang dibentuk pada akhir Perang Dunia II menetapkan dalam piagam pendiriannya dengan tujuan untuk mencapai kerjasama internasional dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan HAM dan kebebasan fundamental bagi semua orang, tanpa suatu pembedaan.18

Kepedulian internasional terhadap HAM merupakan gejala yang relative baru. Meskipun kita dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang Dunia II, baru setelah dimasukkan ke dalam piagam PBB pada tahun 1945, kita dapat berbicara mengenai adanya perlindungan HAM yang sistematis di dalam sistem Internasional.

19

18

Todung mulya lubis, “Jalan panjang Hak Asasi Manusia”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 216

19

Scott Davidson, “Hak asasi manusia; Sejarah, teori, dan praktek dalam pergaulan Internasional”, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1994, hlm. 1


(28)

Ruang lingkup hak asasi manusia dalam hukum internasional meliputi proses peradilan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia menurut Hukum HAM internasional baik berupa pelanggaran terhadap Universal Declaration of Human Rights maupun oleh ketentuan-ketentuan khusus dalam konvensi internasional lainnya yang menyangkut hak asasi manusia.20 Yang terpenting dalam penegakan hak asasi manusia itu adalah pemberlakuan hukumnya perlu dijalankan secara bertahap sambil mendidik bangsa sadar akan hak dan kewajibannya dalam bidang hukum hak asasi manusia.21

1. Gerakan Renaisance ( Abad XV)

Sejarah hak asasi dimulai dari gagasan hak asasi manusia yang muncul sebagai akibat dari reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa yang memerintah otoriter. Munculnya penguasa yang otoriter mendorong orang yang tertekan hak asasinya untuk menyatakan keberadaannya sebagai mahluk yang bermartabat. Kemudian dalam perkembangan perjuangan dalam hal mendukung perlindungan hak asasi manusia dimulai dari gerakan hak asasi manusia di dunia, yaitu :

Gerakan ini muncul di Eropa dan bertujuan mengugah kembali kesadaran manusia akan martabat sebagai mahluk berakal.

2. Gerakan Reformasi ( Abad XVI)

Gerakan ini terjadi di lingkungan agama Kristen pada tahun 1517 yang dipimpin oleh Marthin Luther. Tujuan gerakan ini adalah membebaskan diri dari ikatan kepausan dan melahirkan agama Protestan.

3. Revolusi Amerika

20

A.Bazar harahap, Nawangsih Sutardi, “Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya”, Jakarta. PECIRINDO. 2007. hlm.36

21


(29)

Revolusi Amerika adalah perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggeris. Revolusi ini kemudian melahirkan

Declaration of independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli 1776.

4. Revolusi Prancis

Revolusi Prancis adalah penentangan rakyat Prancis pada rajanya sendiri Louis XVI yang bertindak sewenang-wenang dan absolut. Revolusi Prancis menghasilkan Declaration dres drotis de I’homme et du citoyen

(Pernyataan Hak-hak manusia dan warga negara). Pernyataan ini memuat tiga hal yaitu, hakatas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite).

HAM memperoleh legitimasinya melalui pengesahan PBB terhadap

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. UDHR adalah sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah pernyataan yang bersifat universal, piagam ini baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi dokumen ini mempunyai moril, politik dan edukatif yang sangat besar, melambangkan “Commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak-hak asasi. Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan HAM sangat meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Sejak tahun 1989, negara-negara maju dan negara-negara berkembang telah banyak memproklamirkan dukungan terhadap HAM Internasional dengan tulus. Hal ini dikarenakan bahwa paham yang terkandung dalam HAM memiliki sifat


(30)

universalitas yang luar biasa dalam menghargai prinsip manusia sebagai mahluk manusia.

Magnis Suseno22 menjelaskan bahwa inti dari paham HAM terletak dari kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijungjung tinggi kecuali setiap manusia, individu, tanpa diskriminasi, tanpa pengecualian, dihormati keutuhannya. Sementara itu Anthony Flew23

Jadi, apapun yang diartikan atau dirumuskan dengan hak asasi, gejala tersebut tetap merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang kemudian dikonkretkan menjadi kaedah hidup bersama. Sistem nilai yang menjelma dalam konsep HAM tidaklah semata-mata produk Barat, melainkan memiliki dasar pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama. Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan martabat manusia.

memberikan uraiannya tentang hak dengan mengatakan A person entitlement as a member of society, including” liberties” such as the right to use public highway and claim righs, such as the right to defence counsel. “To have a right” said Mill, “is to have something society ought to protect me in the possession of”

24

Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intesitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana HAM menjadi actual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu ini. Gerakan dan diskriminisasi HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Manfred Nowak

22

Frans Magnis Suseno, “Etika Politik; Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern”,Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 145

23

Anthony Few, “A dictionary of philosophy”, New York, Martin’s press, 1984, hlm. 306

24


(31)

menegaskan Human rights must be considered one of the major achievents of modern day philosophy. Ruth Gavison juga menegaskan the twentieth century is often described as “the age of rights”. Begitu derasnya kemauan dan daya tarik desak HAM, maka jika ada sebuah negara diidentifikasikan melanggar dan mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-state di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan bahkan kecaman keras seperti embargo dan sebagainya.25

B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kemanusiaan

Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan menurut statuta roma pada Pasal 7 ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Di dalam hukum internasional, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan fisik. Biasanya kejahatan kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan yang terjadi di Rwanda ataupun Yugoslavia.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

25


(32)

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk;

e. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain; f. Menganiaya;

g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya;

h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender)

sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional;

i. Penghilangan seseorang secara paksa; j. Kejahatan apartheid;

k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.26

Dari definisi diatas maka dapat dilihat bahwa yang menjadi tindak pidana pada kejahatan kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, yang berarti bahwa suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil.

Dari faktor penyebab terjadinya kejahatan terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Keinginan untuk menguasai suatu daerah atau kelompok dengan tujuan menjadi pemimpin adalah alasan yang

26

Boer Mauna. “Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Fungsi dan Era Dinamika Global Edisi Kedua”, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 295-296


(33)

mendasar penyebab terjadinya kejahatan kemanusiaan tersebut. Lebih lanjut menurut Bassiouni, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari “aksi atau kebijakan negara”, bila berkaitan dengan pelaku-pelaku yang memiliki hubungan dengan negara (state actors), dan sebagai bagian dari suatu “kebijakan”,bila berkaitan dengan para pelaku yang tidak memiliki hubungan dengan negara namun memiliki karakteristik negara berkenan dengan kemampuannya menggunakan dominasi dan kontrol atas wilayah dan rakyat (non-state actors).27

Faktor penyebab terjadinya kejahatan kemanunsiaan terhadap Muslim di Uighur disebabkan oleh kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Kekerasan kultural bersumber dari struktur politik yang menjajah. Struktur yang menjajah memberikan kesempatan terciptanya struktur ekonomi yang timpang, di mana sumber daya alam dari daerah minoritas dikuasai oleh pihak mayoritas. Sementara itu, kekerasan kultural terjadi disebabkan ketiadaan politics of differentiation

untuk mengakomodasi masyarakat minoritas. Konflik yang disebabkan struktur ekonomi tidak semata-mata dapat berkembang secara langsung menjadi tindakan kekerasan politik apabila tidak disertai konflik yang menyangkut identitas seperti etnis, bahasa, dan agama.28

Ada juga faktor sosiologis yang menjadikan adanya suatu kejahatan kemanusiaan seperti diskriminasi yang terjadi terhadap Muslim di Uighur yaitu diskriminasi ras antara lain adanya kecenderungan manusia untuk berkumpul bersama dengan manusia lain yang berciri-ciri sama dari segi fisik, budaya, agama nilai-nilai norma dan kebiasaan, konflik budaya dalam proses sosialisasi,

27

M.Cherif Bassiouni, “Crimes Against Humanity In International Criminal Law”, Hague, Kluwer Law International 1999, hlm 85-86


(34)

kebencian karena sejarah kolonialisme (historical enmity), kecenderungan kelompok tertentu untuk bersifat eksklusif dan tidak membaur (social distance), social jealousy.29

Selain faktor dari kebijakan dan aksi dari suatu negara, faktor kejahatan manusia menurut Statuta Roma mungkin juga terjadi dari suatu kebijakan suatu organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari terjadinya perang-perang saudara dan disintegrasi seperti kasus bekas negara Yugoslavia. Di dalam Putusan Tadic, Majelis Pengadilannya telah memandang bahwa entitas di balik kebijakan tersebut bisa saja suatu organisasi dengan kekuasaan de facto atas wilayah, dan membuka kemungkinan bahwa organisasi-organisasi lain mungkin memenuhi juga syarat tersebut.30

28

Ibid hlm.87 29

Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, “HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial Edisi Keempat”. Bogor, Ghalia Indonesia. 2014. hlm.76

30

Tadic Opinion and Judgement, Trial Chamber, Paragraphs, hlm. 654-655

Dengan mencantumkan kata “kebijakan” yang memang lebih luas cakupan dan maknanya, tampaklah kalau Statuta Roma bermaksud untuk tidak hanya mencakup dan menjangkau perbuatan aktif bagi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, tapi pula perbuatan-perbuatan pasif oleh pihak berwenang yang mengetahui tentang terjadinya kejahatan-kejahatan internasional tersebut.

Perbuatan pasif demikian dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut, lebih tepatnya ia merupakan bagian dari rangkaian, bangunan, atau sistem terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut.


(35)

Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan , antara lain:

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutaan huruf (kebodohan), ketiadaan/ kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena 81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.

c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.

d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain.

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya.

h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas.


(36)

i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.

j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media masa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleransi.31

Jadi pada intinya bila suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dan pihak berwenang mengetahuinya, maka pihak terakhir ini harus segera mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman yang diperlukan. Bila tidak, maka mereka tersebut dapat dihukum berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma.32

C. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional

Beberapa pakar menyatakan dapat menurut konsep hak asasi manusia yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep hak asasi manusia yang modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18.

Apapun juga debat teoritis atau doktrin mengenai dasar-dasar revolusi Inggris, Amerika, Prancis, yang jelas, masing-masing revolusi itu, dengan caranya sendiri-sendiri, telah membantu perkembangan bentuk-bentuk demokrasi liberal dimana hak-hak tertentu dianggap sebagai hal terpenting dalam melindungi individu terhadap kecendrungan ke arah otoriterisme yang melekat pada negara.

31

// Diakses Selasa 6 Januari 2015


(37)

Yang penting mengenai hak-hak yang diproteksi itu adalah bahwa hak-hak ini bersifat individualistis dan membebaskan (libertarian): hak-hak ini didominasi dengan kata-kata “bebas dari”, dan bukan “berhak atas”.

Dalam bahasa modern, hak-hak ini akan disebut hak sipil dan politik, karena hak-hak ini terutama mengenai hubungan individu dengan organ-organ negara. Begitu besar kekuatan ide-ide revolusioner ini, sehingga hanya sedikit konstitusi tertulis modern yang tidak menyatakan akan melindungi hak-hak individu ini.

Tetapi, bukan hanya hak sipil dan politik yang dilindungi oleh konstitusi-konstitusi modern dan hukum internasional masa kini. Berbagai macam hak ekonomi, sosial, budaya, dan yang lainnya, juga menjadi subjek berbagai bentuk perlindungan. Karel Vasak telah mencoba mengelompokkan perkembangan hak asasi manusia menurut slogan “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan” dari Revolusi Prancis.33

“Persamaan”, atau hak-hak generasi kedua, sejajar dengan perlindungan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya: hak atas terciptanya oleh negara kondisi yang akan memungkinkan setiap individu mengembangkan kemampuannya

Menurut Vasak, masing-masing kata slogan ini, sedikit banyak mencerminkan perkembangan dan kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda. “Kebebasan”, atau hak-hak generasi pertama, diwakili oleh hak sipil dan politik hak individu untuk bebas dari campur tangan negara yang sewenang-wenang.

32

Erikson Hasiholan Gultom, “Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur”, PT Tatanusa, Jakarta. 2006 hlm. 43

33


(38)

sampai maksimal. “Hak atas”, yang menjadi ciri generasi kedua ini, mewajibkan negara untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-hak ini.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya kadang-kadang dianggap sebagai suatu warisan sosialis, atau sebagai hak derivatif (turunan) yang tidak layak menyandang nama itu. Namun, hak semacam itu dilindungi dalam konstitusi domestik Uni Soviet, Meksiko, dan Jerman pada awal abad ke-20, dan sejak itu, telah dicantumkan pula dalam sejumlah konstitusi domestik lain, dan secara eksplisit diakui oleh hukum internasional.

“Persaudaraan”, hak generasi ketiga atau hak solidaritas, merupakan kategori hak yang terbaru dan paling kontroversial. Hak ini dibela dengan gigih oleh negara-negara berkembang yang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang akan menjamin hak atas pembangunan, hak atas bantuan untuk penanggulan bencana, hak atas perdamaian, dan hak atas lingkungan hidup yang baik. Jelaslah, pelaksanaan hak-hak semacam itu jika itu memang hak akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekadar langkah konstitusional suatu negara.

Dari pemaparan sejarah, tampak bahwa pengertian hak asasi manusia telah beralih dari semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu dalam menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu mengembangkan potensinya sampai maksimal.

Dalam kata-kata Szabo, tujuan hak asasi manusia adalah “mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap


(39)

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara, dan pada waktu yang bersamaan, mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional.”

Akan tampak juga, bahwa pengertian hak asasi manusia tidaklah statis melainkan dinamis, dan mungkin sekali akan ada banyak perdebatan mengenai apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan sebagai hak dalam arti yang sebenarnya apapun artinya. Proses dialektis yang digunakan untuk menetapkan klaim atau kepentingan yang dapat dilindungi dan yang tidak, sangatlah menentukan apabila hak dianggap mempunyai suatu kualitas yang secara mendasar berbeda dari peraturan hukum yang lain.

1. Perkembangan Hak Asasi Manusia Sebelum Perang Dunia II a. Individu dalam sistem internasional

Meskipun asal usul hukum hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga konstitusionalisme revolusioner abad ke-17 dan ke-18, barulah pada akhir Perang Dunia II, masyarakat internasional mulai menaruh minat pada promosi dan proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hukum internasionl. Pada waktu itu, hukum internasional hanya merupakan hukum yang mengatur hubungan diantara negara-negara.

Negara merupakan subjek sistem hukum internasional. Negara dapat menetapkan aturan-aturan untuk kebaikan individu, namun aturan-aturan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu itu, dan juga tidak dapat dipaksakan melalui mekanisme prosedur apapun. Individu sebagai kawula negara, tunduk pada kewenangan pemerintah mereka sepenuhnya, dan negara-negara lain. Pada umumnya, tidak mempunyai hak yang sah untuk


(40)

mengintervensi guna melindungi mereka seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena.

Tetapi, posisi warga negara asing dalam suatu negara sedikit berbeda. Dalam kondisi tertentu, negara orang asing itu, berdasarkan hukum internasional, berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan. Biasanya hal ini terjadi ketika orang tersebut mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, misalnya polisi, dan negara tersebut belum mengambil tindakan perbaikan.

Negara-negara barat juga berargumentasi bahwa seharusnya ada suatu standar perlakuan internasional yang minimal terhadap warga negara yang berpergian keluar negeri, sehingga perlakuan suatu negara terhadap mereka dapat di nilai dari standar tersebut. Tetapi, negara-negara berkembang menolak usul ini dengan mengatakan bahwa warga negara asing di suatu negara tidak dapat mengharapkan standar perlakuan yang baik ketimbang yang diberikan kepada warga negara yang ada di negara itu sendiri.

Bagaimana pun juga, dapat dikemukakan bahwa perselisihan mengenai mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan telah diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional. Tujuan utama pengakuan negara semacam itu bukanlah mendapatkan kompensasi bagi warga negara yang dirugikan, melainkan membela hak-hak negara itu, yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya.


(41)

b. Intervensi kemanusiaan

Kendati posisi warga negara asing dalam hukum internasional adalah seperti itu, proposisi umum tetap menyatakan bahwa sebelum Piagam PBB berlaku, individu pada dasarnya tetap tunduk terhadap penguasa mereka. Suatu pengecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut sebagai intervensi kemanusiaan.

Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduk dalam suatu negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan rakyatnya sedemikian rupa sehingga “menyangkal hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia”.34

c. Penghapusan perbudakan

Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah terjadi perkembangan kemanusiaan tertentu pada hukum internasional, diantaranya adalah penghapusan perdagangan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa dibanding masa sebelumnya, penghapusan perbudakan juga merupakan suatu bentuk kepedulian kemanusiaan.

Praktek perbudakan berawal dari larangan dalam Traktat Perdamaian Paris pada tahun 1814 antara Inggris dan Prancis, namun 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”.

34

Oppenheim, “International Law, Vol. 1: Peace”, di sunting oleh H. Lauterpacht (London: Longman, ed. 8, 1955), hlm 312


(42)

Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak berlanjut sepanjang abad 20.

Liga Bangsa-Bangsa mensahkan Konvensi untuk Melenyapkan Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 192635 dan melarang praktek perbudakan di daerah-daerah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I. Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemenkan dengan suatu protokol pada tahun 195336 , dan pada tahun 195637

d. Palang Merah

diberikan tambahan mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.

Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863) dan usaha organisasi ini dalam mendukung dua konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang. Karya Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua perang dunia dan sesudahnya, dan badan ini telah mendukung sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang.

e. Organisasi Buruh Internasional (ILO)

Upaya-upaya kemanusiaan pada awal abad ke-20 sebagian besar berkaitan dengan penyelesaian internasional pasca Perang Dunia I. Organisasi Buruh

35

60 Leagues of Nations Treaty Series 253; United Kingdom Treaty Series 16 (1927)

36

212 United Nations Treaty Series 17; United Kingdom Treaty Series 24 (1956)

37


(43)

Internasional, yang dibentuk berdasarkan Traktat Versailles (1919),38

International Labour Organisation (ILO) yang pada tahun 1946 menjadi badan khusus PBB,

merupakan reaksi kepedulian Sekutu mengenai keadilan sosial dan standar perlakuan terhadap kaum buruh industri, yang terutama diilhami oleh Revolusi Bolshewik tahun 1917.

39

f. Liga Bangsa-Bangsa

dapat dianggap sebagai pendahulu sistem proteksi terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya ILO telah mendukung lebih dari 150 konvensi, yang diantaranya menyangkut kondisi kerja, remunerasi, kerja paksa dan buruh kanak-kanak, pemberian libur dan jaminan sosial, diskriminasi dan hak-hak serikat buruh. Aktivitas ILO berlanjut sampai sekarang, dan organisasi ini termasuk dalam kelompok lembaga hak asasi yang penting, meskipun karyanya jarang menarik perhatian yang selayaknya.

Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional yang didirikan setelah Perang Dunia I sebagai sistem yang akan menjamin perdamaian dan keamanan, dan memperlancar kerjasama internasional, tidak membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia. Namun, dokumen pendirian Liga Bangsa-Bangsa yang disebut Kovenan mewajibkan negara-negara anggota untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan tertentu seperti, menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan memperdagangkan wanita dan anak-anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil terhadap penduduk pribumi dan daerah jajahan.

38

United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of International Law suppl. 151; 16 American Journal of International Law suppl.207

39

United Kingdom Treaty Series 47 (1948); 31 American Journal of International Law suppl. 67 dan 38 United Nation Treaty Series 3; United Kingdom Treaty Series 64 (1948)


(44)

Terciptanya sistem mandat di bawah Liga Bangsa-Bangsa ini mungkin merupakan salah satu prestasi kemanusiaan yang besar dari organisasi internasional ini. Di bawah sistem ini, “suatu kepercayaan yang suci dari peradaban” diserahkan kepada negara-negara pengawas untuk mengantarkan daerah-daerah mandat itu sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa paternalistik dari Kovenan tersebut boleh jadi kurang disukai sekarang, namun yang jelas, negara pengawas diharuskan menjamin tiadanya diskriminasi rasial dan agama di daerah-daerah yang berada di bawah perwaliannya.

Ternyata, beberapa daerah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum Perang Dunia II dan dua wilayah yaitu Palestina dan Namibia menciptakan masalah internasional yang cukup lama. Daerah-daerah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.

g. Traktat mengenai kaum minoritas

Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang Dunia I banyak memuat ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara penyelesaian perdamaian pasca perang berupaya menghormati prinsip penentuan nasib sendiri yang didasarkan pada konsep kohesi nasional, menjadi jelas bahwa pembentukan kembali Polandia dan penciptaan negara-negara pengganti Kekaisaran Austria-Hongaria yang lama, melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan menciptakan perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di negara-negara baru tersebut.


(45)

Oleh karena itu, sejumlah traktat untuk menjamin proteksi terhadap hak sipil dan politik dan kaum minoritas dibuat antara Sekutu dan negara-negara ini. Sementara traktat-traktat khusus yang melindungi kaum minoritas dibuat dengan Polandia, Cekoslowakia, Rumania dan Yunani, ketentuan-ketentuan mengenai proteksi bagi kaum minoritas dimasukkan dalam traktat-traktat perdamaian dengan Austria, Hongaria dan Turki.

Disamping traktat-traktat ini, beberapa negara tertentu yakni, Finlandia, Albania, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Irak membuat deklarasi yang melindungi kaum minoritas di dalam negeri mereka, sebagai syarat untuk menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional.

Sebuah prosedur yang memungkinkan kelompok minoritas yang merasa dilanggar haknya untuk mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga Bangsa-Bangsa ini ditetapkan. Kemudian, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada suatu Komite ad hoc mengenai Kaum Minorits yang akan mendamaikan dan mencoba menyelesaikan masalah itu secara bersahabat di antara para pihak itu. Jika penyelesaian tidak kunjung tercapai, Dewan yang lengkap boleh menyelesaikan masalah itu sendiri, atau meneruskannya ke Mahkamah Internasional yang bersifat permanen untuk diputuskan.

Traktat-traktat yang memproteksi kaum minoritas ini jelas menyangkut masalah hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Tujuan utama traktat-traktat itu adalah memastikan perlakuan yang sama bagi minoritas etnis, agama dan bahasa di negara-negara tersebut, dan memungkinkan orang-orang yang menjadi


(46)

anggota kelompok-kelompok itu melestarikan dan mengembangkan identitas mereka sendiri yang khas di dalam kerangka negara kebangsaan itu.

Tampak juga dari negara-negara yang menandatangani traktat-traktat itu, bahwa adanya minoritas di dalam suatu negara mereka terbukti merupakan tanah subur untuk persengketaan sepanjang abad ke-20. Sementara nilai traktat hak asasi manusia dalam pengeritian individu dan kebebasan yang klasik, traktat-traktat itu sangat penting karena di dalam konteks Liga Bangsa-Bangsa mereka menjadi dasar bagi hak kelompok, yang terdiri dari individu-individu, untuk menyampaikan petisi menurut hukum internasional. Terlihat adanya tunas dari hak individu, berdasarkan hukum internasional, untuk mengajukan petisi terhadap suatu lembaga pengawasan dan proteksi internasional.

2. Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang Dunia II a. Perserikatan Bangsa-Bangsa

Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya selama abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, barulah seusai malapetaka Perang Dunia II, hukum hak asasi internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas. Kekejaman Nazi terhadap penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di wilayah yang ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai pun, Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.

Mereka menganggap komitmen ini sebagai prasyarat yang perlu untuk menciptakan orde internasional yang adil dan mantap di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sedang direncanakan. Tidak ada lagi


(47)

negara yang bisa berkilah bahwa cara mereka memperlakukan warga negaranya sendiri semata-mata merupakan urusan dalam negeri mereka; sebaliknya perlakuan terhadap individu-individu itu bilamana perlindungan nasional terhadap hak itu tidak memadai, menjadi kepedulian masyarakat internasional.

Ironinya adalah, sementara Uni Soviet mengutuk pembantaian besar-besaran yang dilakukan Nazi, Stalin sendiri sejak sebelum perang, telah secara sistematis melanggar hak-hak rakyatnya sendiri dengan membuang sekitar lima juta lawan politiknya dan memaksakan kolektivisasi terhadap sejumlah besar petani. Dalam hal ini, Uni Soviet secara sah dapat juga berkilah bahwa masalah itu sepenuhnya berada di dalam yurisdiksi domestiknya.

Meskipun demikian, Piagam Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg40

b. Piagam PBB dan Deklarasi Universal

yang dibuat Sekutu (termasuk Uni Soviet) untuk mengadili penjahat perang Nazi berdasarkan hukum internasional yang ada pada awal Perang Dunia II, menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan menurut hukum internasional. Kendati pertimbangan pengadilan ini dalam pernyataan itu boleh jadi mengandung kelemahan, namun pertimbangan menegaskan prinsip dasar yang menyatakan bahwa cara suatu negara memperlakukan warga negaranya sendiri kini telah menjadi kepedulian internasional yang sah.

Meskipun pasal 2 ayat 7 Piagam PBB menegaskan kembali asas non-intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang pada hakekatnya termasuk dalam yurisdiksi domestik negara anggota dengan demikian, seakan-akan menghalangi intervensi internasional dalam bidang hak asasi manusia pasal ini

40

5 United Nations Treaty Series 251; United Kingdom Treaty Series 4 (1945); (1945) 39 American Journal of International Law suppl. 257


(48)

memuat juga beberapa acuan khusus kepada hak asasi. Mukadimah Piagam menegaskan kembali keyakinan “rakyat-rakyat PBB” pada “hak-hak manusia yang asasi, pada martabat dan harga diri manusia” dan pada “hak-hak yang sama bagi pria dan wanita”.

Bahasa yang dipakai untuk penegasan ini menarik, karena ia lebih dulu mengakui adanya hak asasi manusia sebelum hak itu dimasukkan dan ditegakkan dalam Piagam, yang pada waktu itu minimal dalam pengertian hukum positif akan tampak sebagai klaim yang meragukan. Piagam ini di Pasal 1, juga menyebutkan salah satu tujuannya yakni “meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental bagi semua orang”.

Aktivitas PBB untuk membantu perkembangan hak asasi manusia juga diperkuat dengan Pasal 55, dan menurut Pasal 56, negara-negara anggota berikrar untuk mengambil tindakan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dalam kerjasama dengan PBB untuk mencapai tujuan ini dan tujuan-tujuan yang lain yang disebutkan dalam Pasal 55.

Beberapa ketentuan lain, mengenai berbagai kompetensi kelembagaan di dalam Piagam ini juga mengacu hak asasi manusia sebagai sebuah kategori umum. Oleh karena itu, meskipun Piagam PBB tampak mengakui adanya lebih dulu fenomena yang dikenal sebagai hak asasi manusia itu, Piagam ini tidak memuat daftar hak-hak semacam itu, dan juga tidak mengacu pada sesuatu sumber yang menyebutkan secara tepat hak-hak itu.


(49)

c. Kovenan-kovenan internasional

Sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa Deklarasi Universal tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang mengikat negara-negara anggota secara hukum, dan sejalan dengan itu ia lalu memberi mandat kepada CHR untuk menyempurnakan perumusan naskah sebuah traktat yang secara internasional mengikat, yang tidak hanya mengubah hak-hak yang disebutkan dalam Deklarasi itu menjadi hukum positif, tetapi juga akan menetapkan lembaga dan mekanisme bagi pengawasan dan pelaksanaannya.

Hal yang sangat disayangkan adalah tugas ini terbukti lebih sukar dari yang dibayangkan semula, karena timbul perselisihan pendapat diantara anggota-anggota Komisi mengenai hubungan antara hak sipil dan politik di satu pihak dengan hak sosial dan ekonomi di lain pihak, dan juga mengenai sarana yang tepat untuk pelaksanaan-pengawasan, dan proteksinya.

Pada akhirnya diputuskan bahwa sebagai pengganti satu traktat atau kovenan tunggal yang sedang disusun untuk melindungi kedua kategori hak, akan disiapkan dua kovenan yang masing-masing berdiri sendiri yaitu, ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights – Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik)41 dan ICESCR (International Covenant on Economic and Social Rights – Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi dan Sosial)42

41

999 United Nations Treaty Series 171; United Kingdom Treaty Series 6 (1977); (1967) 6 International Legal Materials 368

42

993 United Nations Treaty Series 3; United Kingdom Treaty Series 6 (1997); (1967) 6 Inernational Legal Materials 360

siap untuk ditandatangani pada tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1976 .


(50)

Perbedaan yang mencolok antara kedua kovenan itu adalah, sementara Pasal 2 ICCPR menetapkan bahwa hak-hak yang dilindungi itu akan dihormati dan segera dijamin, Pasal ICESCR hanya menetapkan bahwa negara harus “mengakui” hak-hak yang dimasukkan dalam Kovenan dan harus mengimplementasikan hak-hak itu secara progresif sesuai dengan program-program khusus.

Perbedaan lain yang juga sangat penting: ICCPR menetapkan bahwa Komite Hak Asasi Manusia (HRC) akan mengawasi implementasi Kovenan dan menetapkan, melalui suatu protokol fakultatif, suatu mekanisme yang memungkinkan individu-individu mengajukan petisi ke HRC, sedangkan ICESCR hanya menyerahkan fungsi pengawasan itu kepada sebuah badan politik PBB, yaitu ECOSOC.

d. Konvensi khusus PBB

Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan sistem “universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, PBB juga menjalankan program-program untuk menyusun instrumen yang secara hukum mengikat guna menangani aspek-aspek hak asasi manusia yang khusus. Diantara instrumen-instrumen ini adalah traktat-traktat mengenai pencegahan dan penghukuman terhadap apartheid, larangan terhadap praktek penyiksaan, kerjasama internasional mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang tak bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus mengenai hak anak-anak.

Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang diambil oleh PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. ECOSOC


(51)

telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235 dan 1503 yang memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia secara kasar dan terus-menerus oleh negara-negara tertentu.

e. PBB dan dekolonisasi

Yang terpenting diantara seluruh perkembangan perhatian PBB terhadap hak asasi manusia, adalah tindakan PBB dalam masalah dekolonisasi. Sejumlah daerah mandat yang diciptakan oleh Liga Bangsa- Bangsa setelah Perang Dunia I belum memiliki pemerintahan sendiri ketika Perang Dunia II pecah. Karenanya, Piagam PBB lalu mengatur pengalihan daerah-daerah mandat itu kepada suatu sistem perwalian yang akan mengatur dan menyiapkan kemerdekaan daerah-daerah itu.

Salah satu tujuan pokok sistem perwalian ini, dinyatakan dalam Pasal 76 (1) (c) Piagam, adalah mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang. Sistem ini diawasi oleh PBB melalui Dewan Perwalian. Yang menjadi subjek pengawasan PBB menurut Bab XI Piagam bukan hanya daerah-daerah mandat pada masa sebelumnya. Negara-negara dengan koloni atau wilayah yang tak berpemerintahan sendiri (non selfgoverning territory

– NSGT) diwajibkan untuk memperhatikan sebaik-baiknya kesejahteraan rakyat dalam wilayah itu membantu kemajuannya.

Negara pengurus diwajibkan melaporkan kepada Sekretaris Jendral PBB mengenai kemajuan yang dicapai koloni mereka. Sementara Bab XI tidak memuat kewajiban negara-negara pengurus untuk memberikan kemerdekaan kepada koloni mereka, namun perkembangan selanjutnya dalam dasawarsa 1960 sangat meningkatkan momentum bagi dekolonisasi.


(52)

Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), yang menjelaskan kewajiban negara pengurus untuk melapor, disahkan bersama-sama dengan Resolusi 1514 (XV) (Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri dan Rakyat Jajahan). Resolusi ini menyerukan dekolonisasi segera semua daerah tak berpemerintahan sendiri lewat pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri oleh penduduk wilayah semacam itu.

Terdapat pula seperti kurangnya persiapan dibidang ekonomi dan pendidikan, tidak boleh menghambat proses itu. Meskipun Piagam PBB mengacu ke asas penentuan nasib sendiri, piagam itu pasti tidak mengacu ke suatu hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, kini pada umumnya diakui bahwa hak semacam itu terdapat dalam hukum internasional, dan bahwa pandangan tersebut diperkuat oleh Resolusi 2625 Majelis Umum (Deklarasi tentang Prinsip-prinsip antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB) yang dianggap sebagai suatu pernyataan mengenai hukum kebiasaan internasional yang sesuai dengan situasi dan oleh Pasal 1 dari kedua kovenan internasional yang menetapkan bahwa “semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.”

Dasar pemikiran untuk memasukkan hak ini yang jelas merupakan hak kolektif, adalah bahwa penduduk yang berada di bawah dominasi asing melalui lembaga kolonialisme adalah tidak bebas, sehingga setiap gagasan mengenai pemenuhan hak-hak individu atau hak-hak yang lain dalam konteks tersebut tidak akan ada maknanya.

Apakah hak menentukan nasib sendiri itu meluas melampaui hak atas dekolonisasi, atau meluas ke hak minoritas untuk memisahkan diri, masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab, meskipun isi resolusi 2625


(53)

tampaknya akan mendukung hal ini apabila minoritas tersebut diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah negara itu.

Tentu saja, dekolonisasi besar-besaran oleh negara-negara bekas penjajah berdampak kuat pada struktur masyarakat dunia. Negara-negara baru, terutama di bagian negara-negara berkembang, telah mengubah konteks perdebatan politik dan hukum internasional dengan tuntutan mereka yang gigih agar sistem internasional ditata kembali sesuai dengan kebutuhan mereka.

f. Proses Helsinki

Suatu perkembangan internasional yang patut disebut, yang terjadi selama periode detente (peredaan ketegangan) antara Blok Barat dan Blok Timur pada awal dasawarsa 1970, adalah Konferensi mengenai Keamanan dan Kerjasama di Eropa, yang juga dikenal sebagai Proses Helsinki (nama ibukota Finlandia, tempat berlangsungnya konferensi pada tahun 1973).

Meskipun fungsi utama Proses Helsinki adalah membangun kerangka untuk mengembangkan perdamaian dan keamanan di Eropa, konferensi ini juga menghasilkan pemikiran-pemikiran formal mengenai isu hak asasi manusia. Sementara Uni Soviet berkepentingan agar tapal-tapal batasnya di sebelah barat diakui, pihak Barat berusaha memperoleh komitmen tentang hak asasi manusia dari Blok Timur sebagai gantinya.

Akta Akhir Konferensi ini43 yang jelas dinyatakan sebagai tidak mengikat, menyatakan tekad pemerintah peserta untuk menghormati dan mempraktekkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental, termasuk kebebasan berpikir, kebebasan berhati nurani, kebebasan beragama atau kebebasan memeluk suatu kepercayaan


(1)

yang telah meratifikasinya saja, namun juga terhadap negara-negara yang

belum atau termasuk peserta yaitu china. Kasus kejahatan kemanusiaan

terhadap Muslim di Uighur, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran

sekolah, pemusnahan tempat beribadah dan ketidakbebasan untuk

menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan oleh pihak

berkuasa dalam hal ini negara china masih tetap ada kemungkinan bagi

Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan

yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena fakta-fakta yang terjadi dalam kasus

kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur ini telah terpenuhi syarat

materilnya yang ditetapkan dalam Statuta Roma khususnya yang ada di Pasal

7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.

3.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meredam kericuhan yang terjadi

terhadap Muslim di Uighur berdasarkan pada Pasal 33 Piagam PBB, para

pihak yang bersengketa (etnis muslim uighur dan pemerintah China) dapat

menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan menggunakan mediasi

terlebih dahulu. Apabila cara tersebut tidak berhasil, Dewan Keamanan PBB

dapat mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional seperti

International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998.

B.

Saran

1.

Pemerintah china telah melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk

diskriminasi, penindasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk

Muslim Uighur, sehingga dalam hal ini Dewan Keamanan PBB berperan

sebagai pelindung terhadap penduduk Muslim Uighur yang mana

permasalahan harus diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah


(2)

Pidana Internasional (International Criminal Court), sehingga pelaku

kejahatan tidak bisa sewenang-wenang dalam memperlakukan penduduknya

khususnya Muslim Uighur.

2.

Konflik pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Muslim di Uighur yang

sudah memakan ribuan korban warga sipil harusnya mendapat perhatian

khusus dunia internasional terutama lembaga HAM internasional dikarenakan

hingga detik ini konflik terhadap Muslim di Uighur terhadap pemerintah

china dan suku etnis lain terus berkecamuk. Mahkamah Pidana Internasional

harus menurunkan tim nya untuk menyelidiki konflik terhadap Muslim di

Uighur seperti yang pernah dilakukan sebelumnya di negara-negara yang

terlibat konflik. China sendiri juga dituntut agar segera ikut menjadi peserta

pada Statuta Roma agar tidak dianggap sebagai negara pelanggar HAM berat.

3.

Diberinya tindakan yang tegas kepada pelaku pelanggaran HAM pada etnis

Muslim di Uighur dimana seringnya terjadi penahanan dan penyiksaan yang

sewenang-wenang sehingga etnis Muslim di Uighur sebagai warga negara

mendapatkan hak seutuhnya dan perlakuan yang baik dari Pemerintahnya

menurut aturan-aturan yang berlaku dalam Hukum Internasional.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

A.Bazar harahap, Nawangsih Sutardi, “Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya”, Jakarta. PECIRINDO. 2007.

Ahmad kosasi, “Ham dalam prespektif islam”, Jakarta, Salemba Dinniyyah, 2003. Anthony Few, “A dictionary of philosophy”, New York, Martin’s press, 1984.

Boer Mauna. “Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Fungsi dan Era Dinamika Global Edisi Kedua”, Bandung: Alumni, 2005.

Dedi Supriyadi, “Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi)”, Bandung, Pustaka Setia, 2011. Dapo Akande, “The Juridiction of International Crime Court Over Nationals of Non- Parties,

Journal of International Crime Justice”, 2003.

Erikson Hasiholan Gultom, “Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur”, PT Tatanusa, Jakarta. 2006. Frans Magnis Suseno, “Etika Politik; Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern”,Jakarta,

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. ICRC, “Kenali ICRC”, Jenewa, 2005.

I gede Widhiana Suarda, “Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar”, Bandung. PT.Citra Aditya Bakti. 2012.

Jack Donnely, “Universal Human Rights in Theory and Practice London”, Cornell, University Press, 2013.

Karel Vasak, “A 30-year Struggle”, UNESCO Courier, 1977.

Laporan Sesi ke 48 Komisi Hukum Internasional – 6 Mei sampai 26 Juli 1996, UN Doc.A/51/10, 1996.

LG. Saraswati dkk, “Hak Asasi Manusia , teori hukum dan kasus”, Filsafat UI Press, 2006. Lynn H. Miller, “Agenda Politik Internasional”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Majda El Muhtaj, “Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada , 2008.

M.Cherif Bassiouni, “Crimes Against Humanity In International Criminal Law”, Hague, Kluwer Law International 1999.

Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, “HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial Edisi Keempat”. Bogor, Ghalia Indonesia. 2014.

Mochtar Kusumaatmadja, “Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949”, Alumni, Bandung, 2002. Oppenheim, “International Law, Vol. 1: Peace”, di sunting oleh H. Lauterpacht (London:

Longman, ed. 8, 1955).


(4)

Pius A Pranoto dan M Dahlan Al Barry, “Kamus ilmiah popular”, Surabaya, Arkola,1994. Scott Davidson, “Hak asasi manusia; Sejarah, teori, dan praktek dalam pergaulan Internasional”,

Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1994. Tadic Opinion and Judgement, Trial Chamber, Paragraphs

Thomas Buergenthal, “International Human Rights”, St. Paul, Minn: West Publishing , Co, 1995. Todung mulya lubis, “Jalan panjang Hak Asasi Manusia”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,

2005.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Deklarasi HAM PBB 1948

(1975) 14 International Legal Materials 1292

(1984) 23 International Legal Materials 1027; (1985) 24 International Legal Materials 535 (1991) 30 International Legal Materials 193

60 Leagues of Nations Treaty Series 253; United Kingdom Treaty Series 16 (1927)

United Kingdom Treaty Series 47 (1948); 31 American Journal of International Law suppl. 67 dan 38 United Nation Treaty Series 3; United Kingdom Treaty Series 64 (1948). United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of International Law suppl. 151; 16

American Journal of International Law suppl.207

United Kingdom Treaty Series 2 (1989); (1980) 19 International Legal Materials 33.

5 United Nations Treaty Series 251; United Kingdom Treaty Series 4 (1945); (1945) 39 American Journal of International Law suppl. 257

60 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom Treaty Series 77 (1969); (1966) 5 International Legal Materials

212 United Nations Treaty Series 17; United Kingdom Treaty Series 24 (1956). 266 United Nations Treaty Series 3; Kingdom Treaty Series 59 (1957)

999 United Nations Treaty Series 171; United Kingdom Treaty Series 6 (1977); (1967) 6 International Legal Materials 368

993

United Nations Treaty Series 3;

United Kingdom Treaty Series 6 (1997);

(1967) 6 Inernational Legal Materials 360

1015 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom 77 (1969); (1966) 5 International Legal Materials 352.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


(5)

C. Internet

Boundaries, Discriminatio, and Interethnic Conflict in Xinjiang, China, diakses dari http://ijcv.org/index.php/ijcv/article

China melarang umat Islam Shalat Jumat, dikases dari Chinese Torture in East Turkestan, Harun Yahya, diakses dari

http://eastturkestan.net/china05.html China Human Rights Watch Backgroubder, diakses dari

China asks helps against muslim, diakses dari

Combating Terorism, we have no choice, diakses dari

China.htm,.

Dibalik perlakuan Pemerintah China terhadap etnis Muslim Uighur diakses dari

Dibalik Pelarangan Beribadah etnis Muslim Uighur di China, diakses dari kompasiana.com.

Diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Pemerintah China terhadap etnis muslim Uighur, diakses dari http:// elib.pdii.co.id/article

Donynicko,Diplomasi, diakses dari

East Turkestan Terrorist cannot get away with any impunity, diakses dari http://news.sohu.com

http//bungkamnya-penguasa-sekuler-negeri-islam-terhadap-genosida-china-terhadap-muslim-uighur-adalah-pengkhianatan-terhadap-umat// . http// hukum-humaniter-internasional.html//.

http //penyebab terjadinya kejahatan kemanusiaan//

http// : pelanggaran-ham-yang-dilakukan-dinegara eropa//


(6)

Intervensi Pemerintah Komunis China, Kebijakan One China policy, dan penerapannya pada etnis muslim uighur, diakses dari

http://saveuyghur.org

Kebudayaan masyarakat Xinjiang di China, Muslim Uighur di Xinjiang china, Stranger in their own land diakses dari

Terrorist Activities prepetrated by East turkestan Organization and their link with Osama bin Laden and Taliban, diakses dari http://china-un.org/eng/zt/fk/t2837.htm Qantara. De, Kami sangat menderita di bawah rezim otoriter China,

webcom/article.php

UAA administrator, “About UAA”, dalam www.kontras.org./index.php.hal=siaran_pers&id=240