lain yang didasarkan pada ide mengenai inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin, atau didasarkan pada peran pria dan wanita yang telah
distereotipkan”. Meskipun banyak negara ikut serta dalam Konvensi ini, kewajiban khusus ini tetap saja lebih banyak dilanggar ketimbang dipatuhi.
Seperti pada konvensi lain yang dibuat oleh PBB, pengawasan terhadap Konvensi ini dijalankan dengan mengharuskan negara-negara peserta
menyerahkan laporan berkala mengenai langkah-langkah yang telah diambil dalam rangka mengefektifkan ketetapan-ketetapan Konvensi itu. Laporan-laporan
itu dipelajari oleh Komite mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Kaum Wanita, yang beranggotakan 28 orang, yang dipilih oleh negara peserta, tetapi
berfungsi dalam kapasitas yang independen. Hasil penelitian terhadap laporan dikirimkan oleh Komite itu kepada
Komisi mengenai Status Kaum Wanita, yang selanjutnya meneruskan hasil pengamatannya kepada Majelis Umum melalui ECOSOC. Berdasarkan Pasal 29
a, ditetapkan untuk menyelesaikan persengketaan diantara negara-negara melalui ICJ, namun seperti pada konvensi-konvensi PBB yang lain yang berisi
ketetapan serupa, prosedur ini belum pernah digunakan.
3. Penyiksaan
Laporan tahunan Amnesti Internasional atau laporan Senat Amerika Serikat mengenai praktek-praktek hak asasi manusia suatu negara akan
membenarkan bahwa penyiksaan tetap endemi dalam dunia modern. Penyiksaan digunakan oleh pemerintah bukan hanya untuk mendapatkan informasi dari lawan
politik yang dicurigai, tetapi juga untuk menindas penduduk mereka.
56
United Kingdom Treaty Series 2 1989; 1980 19 International Legal Materials 33
Universitas Sumatera Utara
Meskipun Deklarasi Universal dan ICCPR mencantumkan larangan terhadap penyiksaan, perlakuan yang tak manusiawi dan yang merendahkan
martabat, namun konsep-konsep ini tidak didefinisikan dalam instrumen-intrumen itu. Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Tak Manusiawi
atau Merendahkan Martabat, yang disetujui oleh Majelis Umum dalam tahun 1984 dan berlaku sejak tahun 1987,
57
tidak hanya mencoba memperbaiki kekurangan karena tiadanya definisi ini, tetapi juga menetapkan suatu mekanisme
pengawasan. Jelas ada masalah dalam mendifinisikan unsur-unsur penyiksaan.
Penyiksaan dapat didekati dari sudut pandang yang subjektif, yang secara inheren sukar diukur, dan dapat pula didefinisikan secara objektif. Konvensi Menentang
Penyiksaan memilih pendekatan yang kedua. Pasal 1 1 Konvensi mendefinisikan penyiksaan sebagai:
“... setiap perbuatan yang sengaja dilakukan sehingga mengakibatkan kesakitan atau penderitaan yang hebat, jasmani maupun rohani, pada
seseorang, untuk tujuan-tujuan seperti mendapatkan informasi atau pengakuan dari orang itu atau dari orang ketiga, menghukumnya atas
perbuatan yang dilakukan atau diduga dilakukan olehnya atau oleh orang ketiga, atau mengintimidasi atau memaksa orang itu atau orang ketiga,
atau untuk alasan apa pun yang didasarkan pada segala jenis diskriminasi, apabila kesakitan atau penderitaan yang hebat seperti itu,
ditimpakan oleh, atau atas hasutan, atau dengan persetujuan, atau dibiarkan oleh, seorang pejabat atau pegawai pemerintahan”.
57
1984 23 International Legal Materials 1027; 1985 24 International Legal Materials 535
Universitas Sumatera Utara
Tetapi, penyiksaan tidak mencakup kesakitan atau penderitaan yang “timbul semata-mata dari, inheren dalam, atau insidental terhadap, sanksi hukum”.
Definisi ini penuh dengan masalah, sebagian diantaranya mengenai apakah kesakitan dan penderitaan itu sendiri. Namun, Pasal 2 Konvensi itu menegaskan,
situasi apa pun tidak dapat dikecualikan untuk membenarkan penyiksaan; demikian pula seorang penyiksa tidak dapat menjadikan perintah atasan sebagai
dalih untuk membela perbuatan seperti itu. Jika seseorang dituduh telah melakukan penyiksaan di suatu negara, maka
negara peserta, yang di dalam yurisdiksinya si penyiksa ditemukan, berkewajiban mengadili atau mengekstradisinya ke negara yang memintanya. Negara peserta
juga diwajibkan untuk selalu meninjau ulang peraturan, instruksi dan metode interogasinya, sebagai sarana untuk mencegah terjadinya penyiksaan.
Pengawasan terhadap Konvensi Penyiksaan dilakukan oleh suatu Komite menentang Penyiksaan, yang beranggotakan sepuluh orang, yang dipilih oleh
negara peserta. Namun berfungsi dalam kapasitasnya sebagai individu. Metode pengawasan berdasarkan Konvensi adalah sistem laporan berkala Pasal 19,
prosedur pengaduan antar negara yang opsional Pasal 21, dan hak petisi individual yang juga opsional dan bergantung pada persetujuan negara Pasal 22.
Dalam Konvensi Penyiksaan, mekanisme pengawasan yang populer sampai sekarang ini dilengkapi dengan suatu inovasi yang memungkinkan
Komite, atas prakarsa sendiri, menyidik suatu negara peserta jika ia menerima informasi yang dapat dipercaya yang mengesankan bahwa penyiksaan
dipraktekkan secara sistematik dalam wilayah negara peserta itu. Penyidikan
Universitas Sumatera Utara
semacam itu harus bersifat rahasia, dan Komite disyaratkan oleh Pasal 20 untuk berupaya mendapatkan kerjasama dari negara peserta yang sedang disidik itu.
Namun, jika kerjasama itu tidak kunjung didapatkan, Komite agaknya dapat meneruskan penyidikannya. Bagaimanapun juga, yang jelas apabila Komite
ingin melakukan suatu penyidikan di dalam wilayah suatu negara peserta, maka Komite harus diberi izin, kalau tidak, kedaulatan negara peserta itu akan
dilanggar. Fungsi pengawasan Komite yang lain berupa catatan-catatan kegiatan
yang dimasukkan dalam laporan tahunannya, yang disampaikan kepada negara- negara peserta maupun Majelis Umum. Negara peserta yang tidak ingin terikat
oleh prosedur penyidikan ini harus membuat pernyataan mengenai hal itu pada saat menjadi peserta Konvensi.
Hal ini juga tidak lazim, karena umumnya traktat mengharuskan negara untuk “memilih untuk mengikuti” dan bukan “memilih untuk tidak mengikuti”
sistem pengawasan internasional. Berdasarkan Pasal 30, sengketa diantara negara- negara peserta juga dapat diteruskan kepada ICJ untuk diadili, namun negara-
negara dapat menghindari kewajiban ini dengan mengajukan syarat pada waktu yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DITINJAU
DARI HUKUM HUMANITER A. Bentuk-Bentuk Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Uighur
1. Diskriminasi Pemerintahan China terhadap Muslim Uighur
China merupakan salah satu negara didunia yang tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk yang padat, dimana China memiliki penduduk hampir
mencapai 1 milyar jiwa, dan terdiri dari beberapa etnis. Etnis Han merupakan etnis mayoritas di China tercatat sebesar 91,54penduduk China, sementara
sisanya sebesar 8,41 merupakan kelompok minoritas. Diantara kaum minoritas itu terdapat pemeluk islam sekitar 21 juta jiwa yang terdiri dari suku Hui, Uighur,
Kazakh Hasake, Tatar, Kirgis, Tajik, Ozbek, Dongxiang, Salar, dan Bonan. Namun minoritas etnis Hui dan Uighur yang paling dominan.
58
Wilayah Xinjiang merupakan salah satu provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi berkat industri minyak dan gas. Xinjiang
merupakan daerah penghasil minyak terbesar kedua di China. Luasnya mencapai 1,6 juta km persegi, atau seperenam dari total wilayah China. Xinjiang memiliki
daerah yang bergurun dan bergunung, pipa saluran minyak dan gas dari Asia Tengah juga melintasi wilayah tersebut. Sejak 1980-an, Xinjiang menjadi wilayah
yang strategis dan yang sangat penting bagi China, dan semenjak tahun itu juga penduduk China etnis Han mulai berimigrassi ke Xinjiang dan hidup
berdampingan bersama masyarakat Muslim Uighur. Etnis Han bekerja di sektor- sektor yang strategis seperti industri minyak dan sebagainya, sementara penduduk
58
Boundaries, Discriminatio, and Interethnic Conflict in Xinjiang, China, diakses dari http:ijcv.orgindex.phpijcvarticle Jumat 9 Januari 2015, Pukul 10.15 Wib
Universitas Sumatera Utara
asli yaitu Muslim Uighur hanya bekerja di sektor pertanian.
59
Kandungan gas alam serta minyak turut memberikan kontribusi terkait kepentingan yang berlebih
bagi Pemerintah China. Penduduk asli Xinjiang berasal dari ras-ras Turki yang beragama Islam
terutama suku Uighur 45,21 dan suku Kazakh 6,74. Selain itu di Xinjiang juga terdapat suku Han, yang berjumlah sekitar 40,58. Presentase suku Han di
Xinjiang meningkat drastis dari 6 saat berdirinya Republik Rakyat China hingga lebih dari 40 pada saat ini.
60
Namun keadaan yang sangat baik di Xinjiang tidak serta merta menjadikan Muslim Uighur ikut merasakan
perekonomian yang maju di wilayahnya sendiri, karena yang terjadi justru etnis Han yang notabene pendatang di tersebut yang palig diuntungkan dengan segala
bentuk investasi serta subsidi dari pemerintah pusat, hal ini merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah China terhadap Muslim Uighur
dalam bidang perekonomian yang tidak sesuai dengan Konvenan Internasional, Hak Ekonomi, sosial dan Budaya dimana setiap negara harus menjamin Hak
warga negaranya untuk dapat meningkatkan perekonominya sendiri. Sampai pada akhirnya, pada tanggal 5 Juli 2009 di Urumqi, Xinjiang,
terjadi demo massal Uighur yang mencapai puluhan ribu orang. Rezim Komunis China menindas dengan kekuatan militer, mengakibatkan sedikitnya ratusan orang
tewas. Setelah peristiwa itu media resmi Komunis China mempropagandakan secara besar-besaran insiden berdarah yang dialami oleh suku Han yang
disebabkan oleh demo massal suku Uighur, sehingga membangkitkan kemarahan
59
Kebudayaan masyarakat Xinjiang di China, http:aff.multiply.com diakses Jumat, 9 Januari 2015, Pukul 11.00 Wib
60
Intervensi Pemerintah Komunis China, http:satriagunawanx13. blogspot.com Jumat 9 Januari 2015, Pukul 11.30 Wib
Universitas Sumatera Utara
etnis Han, mereka turun ke jalan membalas dendam terhadap Muslim Uighur.
61
Pada tataran ini maka demo massal yang dilakukan oleh Muslim Uighur tersebut merupakan salah satu bentuk implementasi dari Political Action yang bersifat
Violence. Karena saat itu pemerintah China mengerahkan kemampuan militernya untuk membendung aksi demo yang awalnya berjalan damai tersebut hingga
menimbulkan kekerasan yang berujung pada konflik antar suku Han dengan Muslim Uighur .
Dalam peristiwa 5 Juli 2009 juga terdapat unsur politis yang dilakukan oleh pemerintah PKC Partai Komunis China dengan cara mengadu domba
antara suku Han dengan Muslim Uighur sampai mengakibatkan konflik. Dengan demikian PKC dapat mengaburkan fakta bahwa sebenarnya merekalah yang
melakukan pembantaian massal terhadap Muslim Uighur. Hal ini sangat erat kaitannya dengan ideology. Komunis yang di jalankan oleh Pemerintah China
yang kemudian dinasionalisasikan keseluruh warganya tanpa terkecuali, sementara Muslim Uighur merupakan etnis yang beragama Islam, dan
bertentangan dengan paham Komunis yang dipegang teguh oleh Pemerintahan Hu Jintao.
Muslim Uighur bukan merupakan satu-satunya etnis yang beragama Islam yang ada di negara China, selain Muslim Uighur juga dikenal Etnis Hui yang
merupakan etnis yang beragama Islam, lalu mengapa hanya Muslim Uighur saja yang selalu menjadi perhatian utama bagi pemerintah PKC Partai Komunis
China dalam hal menasionalisasikann paham komunis yang mereka anut untuk dapat diterapkan oleh Muslim Uighur, hal ini disebabkan oleh karena Muslim Hui
61
Qantara. De, Kami sangat menderita di bawah rezim otoriter China, http:id.qantara.de
webcomarticle.php diakses jumat 9 Januari 2015 Pukul 15.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
memiliki ciri-ciri serta kebudayaan yang hampir sama dengan etnis Han, seperti contohnya adalah penggunaan bahasa China oleh keduanya, dan etnis Hui sendiri
relatif tidak memiliki perbedaan mendasar dengan etnis Han kecuali agama. Bahkan sampai ada pernyataan yang sangat terkenal mengenai Etnis Hui, yaitu :
“Hui are just Han who do not eat pork cadre at tianjin”,
62
sementara itu etnis Uighur yang sebelumnya pernah bergabung dengan Republik Turkestan Timur
dari tahun 1944 sampai dengan 1949, namun semenjak meletusnya revolusi Komunis pada tahun 1949, wilayah Xinjiang menjadi bagian dari wilayah China
yang merupakan salah satu wilayah otonom China dengan kondisi sumber daya yang melimpah, itu sebabnya mengapa Muslim Uighur dikonstruksikan sebagai
kelompok separatis oleh pemerintah PKC, dan hal ini juga yang menjadi alasan utama mengapa pemerintah PKC lebih memiliki perhatian yang lebih terhadap
keberadaan Muslim Uighur dibandingkan dengan etnis muslim lainnya, bahkan etnis Hui sekalipun.
63
2. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah China terhadap muslim Uighur
Pemerintah China telah melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang, diantaranya pelanggaran kebebasan beragama, dimana seperti yang
diberitakan oleh surat kabar internasional, bahwa otoritas Pemeritah China
melarang etnis Muslim Uighur di Xinjiang untuk melakukan kegiatan dan
kewajiban beribadah menurut agamanya, warga etnis Muslim Uigur juga
dilarang untuk melakukan ritual keagamaan seperti Sholat dan berpuasa
pada saat bulan Ramadhan, Masjid-
62
Diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Pemerintah China terhadap etnis muslim Uighur, diakses dari http: elib.pdii.co.idarticle diakses Jumat 9 Jauari 2015 Pukul 16.05 Wib
Universitas Sumatera Utara
Masjid dijaga ketat oleh pasukan keamanan pemerintah PKC, warga muslim
Uighur juga dilarang untuk memasuki Masjid dan berdoa, bahkan para pejabat
membagikan makanan dan minuman ke rumah-rumah warga muslim Uighur pada
saat bulan suci Ramadhan dan memaksa warga muslim Uighur untuk tidak
berpuasa, namun demikian Pemerintah PKC berdalih hal ini dilakukan untuk
menjaga keamanan dan kestabilan untuk negaranya.
64
Selain kebebasan dalam beragama, Pemerintah China juga melakukan pelanggaran HAM lainnya juga yaitu kebebasan untuk berkumpul dan
berpendapat, hambatan atas pendidikan, diskriminasi, serta hukuman mati terhadap tahanan politik. Selain masjid-masjid dijaga ketat bahkan keberadaan
sekolah Islam dan Imam dikontrol secara ketat oleh pemerintah PKC, dan para imam diharuskan untuk “berdiri di sisi pemerintah” untuk dapat melancarkan
propaganda bagi Muslim Uighur. Sejak tahun 1995 hingga 1999, pemerintah China telah meruntuhkan 70
tempat beribadah serta mencabut surat izin 44 imam yang tidak mendukung pemerintahan. Pemerintah juga secara resmi menerapkan larangan ibadah
perorangan di tempat-tempat milik negara,
65
Diskriminasi dalam aspek ekonomi juga dilakukan oleh Pemerintah China terhadap muslim Uighur, Sebagian besar
Muslim Uighur mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di tempatnya sendiri, sering sekali mereka mendapatkan tindakan yang kasar di tempat
63
Dibalik perlakuan Pemerintah China terhadap etnis Muslim Uighur diakses dari http:wicasono.blogspot.comPenderitaan-Etnis-Uighur diakses Jumat 9 Jauari 2015 Pukul 17.25
Wib
64
Dibalik Pelarangan Beribadah etnis Muslim Uighur di China, diakses dari http:luarnegeri
‐
kompasiana.com diakses jumat 9 Jauari 2015 Pukul 18.00 Wib
65
China melarang umat Islam Shalat Jumat, dikases dari http:mohammadihsan.com , diakses Jumat 9 Januari 2015 Pukul 20.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
pelayanan publik, dimana kebanyakan Muslim Uighur tidak mendapatkan lapangan pekerjaanyang strategis bila dibandingkan dengan suku Han.
Menurut Amnesty Internasional, Xinjiang merupakan satu-satunya Provinsi di China yang mengizinkan hukuman mati terhadap tahanan politik.
Jumlah pasti korban tahanan politik yang di hukum mati disembunyikan oleh negara China, namun menurut Dogu Turkestan,
66
jumlah tewas akibat hukuman mati ataupun penyiksaan oleh pemerintah China mencapai 2.500 jiwa dari tahun
1999 sampai maret 2000 saja. Diskriminasi yang dialami oleh Muslim Uighur adalah merupakan
kebijakan pemerintah China yang menginginkan terwujudnya One China Policy atau kebijakan satu China. Pola-pola intergratif pemerintah China dengan
melakukan civic education terbukti tidak berhasil mengintegrasikan Muslim Uighur dengan penduduk China mayoritas lainnya. Bahkan justru Muslim Uighur
melakukan perlawanan karena kebijakan migrasi Pemerintah China dengan melakukan perpindahan secara besar-besaran etnis Han yang merupakan etnis
mayoritas ke daerah Xinjiang dan Urumqi, migrasi besar-besaran ini tidak lain adalah bentuk kebijakan pemrintah china untuk melakukan etnic cleansing
pembersihan etnis untuk menyingkirkan Muslim Uighur secara perlahan dari wilayah Xinjiang dan Urumqi, selain itu juga kebijakan keluarga berencana di
China menguntungkan suku Han, yang memiliki tingkat pertumbuhan populasi 31,6 lebih tinggi dibanding suku lainnya yang maksimal mencapai 15,9 ,
66
Chinese Torture in East Turkestan, Harun Yahya, diakses dari http:eastturkestan.netchina05.html diakses Sabtu 10 Jauari 2015 Pukul 10.30 Wib
Universitas Sumatera Utara
kebijakan keluarga berencana di China juga ini juga diklaim merupakan bagian dari kebijakan pemerintah China untuk melakukan etnic cleansing.
67
Berikut adalah kebijakan utama China di Xinjiang sejak tahun 1990:
68
1. Resentralisasi pengambilan keputusan ekonomi
2. Etnis Han dimigrasi
3. Eksploitasi sumber daya alam di Xinjiang
4. Mempererat hubungan ekonomi dan politik dengan negara- negara di Asia
Tengah 5.
Negara mempererat kontrol atas agama dan budaya etnis minoritas. Peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim uighur di China telah mejurus
kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan
keberadaan Muslim Uighur, hingga adanya propaganda pemerintah China yang menjadikan Muslim Uighur sebagai kambing hitam atau etnis yang dipersalahkan
atas kejadian berdarah yang terjadi pada tanggal 5 Juli 2009, walaupun fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah banyaknya korban jiwa yang jatuh di
pihak Muslim Uighur sebanyak kurang lebih 200 orang tewas dan melukai 1.700 orang terluka dalam peristiwa tersebut dan semuanya adalah etnis Uighur, yang
kemudian propaganda tersebut tumbuh dan berkembang sehingga menyulut kemarahan etnis Han terhadap Muslim Uighur.
Genosida merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat serius, Extra ordinarry crime, seperti yang termaksud dalam ketentuan Statuta Roma, 2002,
67
Kebijakan One China policy, dan penerapannya pada etnis muslim uighur, diakses dari http:saveuyghur.org , diakses Sabtu 10 Jauari 2015 Pukul 11.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
bahwa salah satu yang disebutkan sebagai Extra ordinarry crime adalah Genosida The crime of Genoside.
69
Penderitaan Muslim Uighur semakin bertambah semenjak peristiwa 911 di Amerika Serikat, untuk pertama kalinya pemerintah China menegaskan bahwa
gerakan separatisme anti pemerintahan di Xinjiang mempunyai hubungan dengan gerakan yang dipimpin oleh terorois Internasional Osama bin Laden.
70
China juga mengklaim bahwa ETIM Eastern Turkestan Islamic Movement yang merupakan
gerakan anti pemerintah kelompok uighur mendapat pendanaan dan pelatihan secara langsung dari jaringan teroris pimpinan Osama bin Laden.
71
Xinjiang juga disebut tempat dimana kekerasan dan serangan terorisme paling sering yang
terjadi di negara China.
72
Pada Oktober 2001, juru bicara Kementrian Luar Negri China menyatakan bahwa China adalah korban dari teroris Internasional,
73
dalam hal ini Pemerintah China kembali melakukan propaganda agar masyarakat Internasional menganggap
gerakan separatis Muslim uighur merupakan jaringan Terorisme, dengan memanfaatkan peristiwa WTC 911 di Amerika, dimana gambaran masyarakat
Internasional pada saat itu adalah setiap gerakan separatis muslim di dunia merupakan Terorisme dan
mengancam kedamaiaan dunia, untuk menyembunyikan fakta sebenarnya apa yang terjadi terhadap Muslim Uighur.
68
China Human Rights Watch Backgroubder, diakses dari http:hrw.orglegacybackgrounderasiachina.htm, diakses Sabtu 10 Jauari 2015 Pukul 11.30
Wib
69
Muslim Uighur di Xinjiang china, Stranger in their own land diakses dari http:opinians.blogspot.com , diakses Sabtu 10 Januari 2015, Pukul 14.00 Wib
70
Terrorist Activities prepetrated by East turkestan Organization and their link with Osama bin Laden and Taliban, diakses dari http:china-un.orgengztfkt2837.htm, diakses Sabtu
10 Januari 2015, Pukul 14.50 Wib
71
Ibid
72
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah China juga berharap upaya-upayanya melawan Muslim Uighur didukung dunia Internasional.
Kemudian pada November 2011 China melapor kepada Dewan Keamanan PBB bahwa kelompok Muslim Uighur terkait dengan gerakan teroris internasional
Taliban di Afghanistan dan mendapat dukungan penuh dari mereka. Dalam rangka untuk mendapatkan dukungan Internasional pasca terjadinya peristiwa 911 dan
untuk menyamakan kedudukan kelompok Uighur sejajar dengan terorisme Internasional, pemerintah China kemudian merilis dokumen yang menjelaskan
dugaan kegiatan kelompok-kelompok teroris Uighur di China. Dokumen tersebut menegaskan bahwa ETIM The East Turkistan Islamic Movement telah
melakukan kampanye pengeboman dan pembunuhan yang terdiri dari lebih dari 200 insiden yang mengakibatkan 162 jiwa korban tewas, dan 440 jiwa korban
luka-luka,
74
dokumen ini juga menegaskan bahwa Muslim Uighur yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di daerah Xinjiang dan menerima
pelatihan dan juga dana dari Pakistan dan Afghanistan, termasuk pembiayaan langsung dari Osama bin Laden.
75
Pada Desember 2013, pemerintah China kembali merilis laporan yang dirancang untuk mengesahkan kebijakannya di Xinjiang dan meminta dukungan
Internasional. Dalam hal ini Muslim Uighur menjadi korban namun, dokumen tersebut tetap saja disahkan secara Internasional. Dokumen ini berisi daftar
kelompok dan orang-orang yang terlibat terorisme, dokumen tersebut dirilis untuk
73
China asks helps against muslim, diakses dari http:attackonamerica.netchinese muslim.htm, diakses Sabtu 10 Januari 2015, Pukul 16.00 Wib
74
East Turkestan Terrorist cannot get away with any impunity, diakses dari http:news.sohu.com, diakses Sabtu 10 Januari 2015, Pukul 16.40 Wib
75
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kembali mendapatkan dukungan Internasional, serta permintaan agar Interpol mengeluarkan surat penangkapan terhadap kelompok Muslim Uighur.
76
Akhirnya publik Internasional tidak dapat menampik lagi bahwa kelompok Muslim Uighur yang awalnya merupakan organisasi yang berupaya untuk
melakukan perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi pemerintah China terhadap Muslim Uighur, menjadi gerakan radikalisme teroris yang melibatkan
jaringan Teroris internasional yang dipimpin oleh Osama bin Laden, hal ini juga didukung oleh kondisi keamanan dan politik global yang berkembang di dunia
pada saat itu. Dan usaha pemerintah China untuk mempropagandakan Muslim Uighur sebagai Teroris Internasional berhasil. Dunia Internasional kini
memandang Muslim Uighur sebagai jaringan teroris di China tanpa melihat fakta sebenarnya bahwa merekalah yang menjadi korban diskriminasi Pemerintah
China, hal ini semakin memojokkan keberadaan Muslim Uighur sebagai etnis minoritas yang ada di China.
77
Seorang pengacara muda Muslimah Uighur di Provinsi Turkestan Timur Xinjiang China telah meninggal karena luka yang dideritanya akibat penyiksaan
oleh otoritas China, sebagaimana dilansir oleh WorldBulletin, Sabtu 1532014. Gulnar Abdulahat diculik tahun lalu setelah diketahui bahwa ia telah
membocorkan rekaman video dari percobaan salah satu kliennya yang dijatuhi hukuman mati.
Pengacara muda berusia 30 tahun tersebut mengeluh bahwa kliennya tidak menerima persidangan yang adil, dan dengan membocorkan rekaman ke internet,
ia berhasil mempublikasikan perlakuan buruk terhadap kliennya. Gulnar
76
Combating Terorism, we have no choice, diakses dari http:daillyonline.com
newsterorism-in-China.htm, diakses Sabtu 10 Januari 2015, Pukul 17.10 Wib
Universitas Sumatera Utara
kemudian dikeluarkan dari persidangan, setelah video yang dibocorkan tersebut ditemukan dan dihapus. Dia kemudian ditangkap atas tuduhan separatisme.
Keluarganya meminta Gulnar Abdulahat untuk dikembalikan saat mengetahui bahwa ia sakit dan kesehatannya terus memburuk. Ketika ia dibebaskan,
keluarganya mengatakan bahwa ia tidak sanggup berdiri, semua kukunya dicabut, wajahnya bengkak dan menderita luka di sekujur tubuhnya. Beberapa hari
kemudian pada tanggal 10 Maret Gulnar Abdulahat meninggal dunia akibat luka- luka yang dideritanya. Menurut radio RFA, setelah kematiannya, pihak
berwenang China juga menangkap orang tuanya, yang sampai saat ini masih berada dalam tahanan.
78
B. Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma
1. Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949
Peraturan-peraturan dalam hukum internasional bukan hanya mengatur persoalan-persoalan umum tapi juga membahas perkembangan zaman seakan
memaksa adanya aturan-aturan lebih spesialisasi dan lebih rinci mengenai persoalan-persoalan lain agar cita-cita untuk mewujudkan perdamaian
teraplikasikan untuk seluruh masyarakat internsional. Seringnya kaum-kaum pemberontak atau gerakan-gerakan separatis yang
memberontak dalam suatu negara dikarenakan penindasan yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah dalam suatu negara menjadi sebuah problematika yang
77
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menarik perhatian dunia internasional satu dasawarsa ini, sehingga PBB sebagai organisasi dunia dituntut agar lebih aktif. Belum lagi pengaruh negara-negara
adikuasa yang sangat berpotensi dalam mengintervensi organisasi dunia tersebut menjadikan polemik-polemik internasional menjadi sorotan dalam dunia
internasional. Seringnya terjadi pemberontakan kelompok-kelompok pemberontak dan
seperatis ataupun gerakan-gerakan perjuangan warga sipil seperti yang terjadi di Uighur terhadap umat muslim yang mendapat penindasan dan diskriminasi dari
pemerintah china mengancam timbulnya kekacauan dan korban jiwa. Dari pada itu pula Konvensi Jenewa Konvensi Palang Merah tahun 1949 mengenai
perlindungan korban perang dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dijadikan rujukan dalam melakukan perlindungan terhadap rakyat Muslim Uighur.
Masalah ini spesialisasinya masuk ke dalam ranah hukum humaniter internasional. Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international
humanitarian law applicable inn armed conflict berawal dari istilah hukum perang laws of war, yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa
bersenjata laws of armed conflict, yang artinya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter.
Dalam hukum humaniter internasional, dikenal tiga azas utama, yaitu:
79
1. Azas kepentingan militer military necessity
Berdasarkan azas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya
tujuan dan keberhasilan perang
78
http:www.arrahmah.comnews20140316pengacara-muslimah-uighur-disiksa- sampai-mati-di-china.html
Diakses Sabtu 10 Januari 2015 Pukul 18.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
2. Azas Perikemanusiaan humanity
Berdasarkan azas ini maka pihak yang bersengketa harus memperhatiakan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan
yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
3. Azas kesatriaaan chivary
Azas ini mengandung arti bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam
tipu muslihat dan cara-cara bersifat khianat dilarang. Selain ketiga azas di atas, dalam hukum humaniter internasional juga ada
azas yang sangat penting yaitu azas atau prinsip pembedaan distitiction principle, yaitu suatu prinsip atau azas yang membedakan atau membagi
penduduk dalam suatu negara yang sedang terjadi konflik dalam dua golongan, yakni kombatan combatant dan penduduk sipil civilant. Kombatan adalah
golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan hostililties, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam
permusuhan. Perlunya pembedaan tersebut sangat penting agar dapat mengetahui
mereka yang ikut langsung atau turut serta dalam perlawanan sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka yang tidak turut serta dalam
konflik dilarang utuk dijadikan sebagai sasaran atau objek kekerasan. Hal di atas sangat ditekankan karena sejatinya dari dahulu sejak perang
dan konflik bersenjata dikenal, hal tersebut diatas berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil, yang
79
Masyur Effendi, Taufani S.Evandri, Op Cit, hlm.240
Universitas Sumatera Utara
tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan tersebut sudah diakui sejak zaman kuno. Setiap
kodifikasi hukum modern kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekerasan perang.
Sesuai dengan kronologis peristiwa kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang terjadi terhadap Muslim Di Uighur yang telah dipaparkan sebelumnya yang
menjadi sorotan dunia internasional yang memakan banyak warga sipil ada baiknya Dewan Keamanan PBB melihat ini sebagai suatu pelanggaran terhadap
HAM dan juga melanggar hukum internasional karena tidak adanya perlindungan terhadap warga sipil di Uighur.
Dengan demikian, adanya konflik di dalam suatu negara, ukuran yang digunakan para pihak yang konflik sering rancu. Satu pihak terutama kelompok
disendent berusaha untuk dapat dilindungidianggap sebagai subjek hukum internasional. Untuk itu, adanya tanggung jawab, motivasi, cara berperang
menjadi penting untuk disimak dan diteliti. Hal ini terkait dengan landasan hukum yang dipakai, terutama dengan standar HAM Internasional yang ada sehingga ada
kesan diperlakukan atas warganya. Pada pihak lain, beberapa kelompok bersenjata dapat mengontrol suatu wilayah dan populasi tertentu sehingga menyerupai
pemerintah de facto, memperlihatkan tanda-tanda adanya kehendak untuk menaati hak asasi manusia, walau secara formal mereka tidak dapat mengikatkan dirinya
kepada konvensi-konvensi tersebut, disamping ada negara yang membuat kesepakatan dengan kelompok bersenjata secara eksplisit, demi menghormati
HAM.
Universitas Sumatera Utara
Sikap, cara dan tindakan dari kelompok bersenjata sering melanggar HAM sehingga sulit menjadi subjek hukum internasional, tetapi secara individual dapat
diminta pertanggungjawabannya, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan tersebut kalau kejahatan perang mungkin
kurang memiliki bukti hukum yang sangat kuat dapat dimasukkan kedalam kekejaman atas kemanusiaan crimes against humanity yang bersifat individual,
terlepas apakah yang bersangkutan bertindak atas nama yang bersangkutan atau bukan. Sebagaimana diketahui, kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai
perbuatan yang sistematis dan meluas yang meliputi pembunuhan, pembasmian, perbudakan, penyiksaan, deportasi, kejahatan seksual, penghilangan orang,
apartheid dan penuntutan yang didasari pertimbangan perbedaan paham, politik, ras dan gender.
80
2.
Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Statuta Roma
Di dalam Statuta Roma, khususnya di Pasal 7 sudah dijelaskan dengan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan
kemanusiaan menurut Pasal 7 statuta Roma adalah serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil.
Lalu timbul pertanyaan, apakah Mahkamah Pidana Internasional ICC yang berlandaskan kepada Statuta Roma relevan dapat mengadili kejahatan
kemanusiaan terhadap Muslim Di Uighur . Dalam Pasal 6 dan 8 pada Statuta Roma jelas dikatakan tentang kejahatan
genosida atau kejahatan dilakukan untuk menghancurkan sebagian atau
80
Ibid hlm.245
Universitas Sumatera Utara
seluruhnya kelompok etnis, ras atau agama dan juga membunuh anggota kelompok dan mengakibatkan kemusnahan bagi anggota kelompok.
81
Yang terjadi pada Muslim di Uighur yang mendapat penindasan dari pemerintahan china hanya
karena menganut agama islam yang merupakan etnis dan agama yang ada di daerah china yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang yang ada di china.
Dalam prakteknya, hukum internasional dewasa ini, dapat dikatakan, tak mengakui sepenuhnya prinsip larangan penuntutan kedua di negara lain untuk
perbuatan yang sama dan telah menjadi subyek putusan akhir di suatu negara.
82
Hal ini diperkuat dengan ditegaskan komisi HAM PBB yang menyimpulkan bahwa Pasal 14 7 Konvensi ini tidak menjamin ne bis in idem berkaitan dengan
yurisdiksi nasional dua negara atau lebih. Komisi mempelajari dan menyimpulkan bahwa ketetapan itu melarang double joepardy hanya jika berkenaan dengan
pelanggaran yang diputuskan di suatu negara saja.
83
Pembatasan jangkauan asas ne bis in idem ini memberikan kesempatan bagi pengadilan negara kedua berikutnya agar bisa bertindak secara efektif
sebagai wakil masyarakat internasional dalam menekan perbuatan pidana atau kejahatan yang dimaksud dalam hukum internasional apabila pengadilan di suatu
negara pertama atau terdahulu tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban atau tanggungjawab hukumnya terhadap hal ini. Untuk dan seiring hal itu, Komisi
Hukum Internasional, yang beranggotakan para pakar dan dibentuk Majelis Umum PBB untuk menyusun undang-undang dan secara progresif membangun
termasuk semacam kodifikasi hukum internasional, memang telah
81
I gede Widhiana Suarda, “Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar”, Bandung. PT.Citra Aditya Bakti. 2012. hlm.166
82
Erikson Hasiholan Gultom. Op.cit. hlm 249
83
Ibid
Universitas Sumatera Utara
mendeklarasikan komentarnya atas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia di tahun 1996 bahwa
“hukum internasional tidaklah membebankan kewajiban bagi negara-negara untuk mengakui keputusan pidana yang dijatuhkan di negara asing lain.
84
Badan ini juga menambahkan bahwa apabila suatu sistem pengadilan nasional tak berfungsi
independen atau memihak atau apabila pelaksanaannya dirancang untuk melindungi tersangka dari tanggungjawab pidana internasional, maka
“masyarakat internasional tak diminta untuk mengakui keputusan tersebut yang merupakan hasil dari proses Pengadilan pidana yang melakukan kesalahan besar
semacam itu”.
85
Dalam konteks ICTY dan ICTR, ketentuan mengenai prinsip ne bis in idem atau pelarangan ‘double jeopardy’ terdapat di Pasal 102 menetapkan
sebagai berikut: 1
Tidak seorangpun akan atau boleh diadili di hadapan suatu pengadilan nasional untuk perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap
kemanusiaan internasional menurut Statuta ini, untuk mana dia telah diadili oleh Pengadilan Internasional;
2 Orang merupakan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan internasional
dapat diadili lagi oleh Pengadilan Internasional hanya jika: a
Perbuatan yang karenanya dia sudah diadili telah digolongkan sebagai suatu kejahatan biasa; atau
b Proses pengadilan nasional tersebut bersifat tidak imparsial atau
independen, dirancang atau dibentuk untuk melindungi terdakwa dari
84
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana internasional atau terhadap kasusnya tak dilakukan penuntutan secara serius.
Dalam Statuta Roma sendiri, prisnip ne bis in idem terdapat di dalam Pasal 203 yang berbunyi: “Tidak seorangpun yang telah diadili oleh pengadilan yang
lain untuk perbuatan yang juga dilarang berdasarkan Pasal 6, 7, atau 8 Statuta ini boleh diadili oleh Mahkamah Pengadilan berkenaan dengan perbuatan yang
sama kecuali bila proses dalam pengadilan lain tersebut: a
Bertujuan untuk melindungi orang-orang tersebut dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan dibawah yurisdiksi Mahkamah;
atau b
Selain itu, tidak dilakukan secara independen atau imparsial sesuai dengan norma-norma mengenai proses peradilan yang adil yang diakui oleh
hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang, dalam keadaan tersebut, tidak konsisten dalam membawa orang tersebut ke Pengadilan.”
Jadi dari pasal di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip ne bis in idem atau pelarangan “double jeopardy” tidak berlaku jika Pengadilan bertujuan untuk
melindungi tersangka dari pertanggungjawaban pidana dan tidak dilakukan secara independen dan serius bersifat memihak.
Dalam konteks masyarakat internasional, dengan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan pada Muslim di Uighur ditambah dengan pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh pemerintah china sendiri dan suku atau etnis lain yang non muslim yang berada di daerah china. Dalam hal ini PBB dan komunitas
internasional beserta forum-forum nasional dan regional memiliki kewajiban
85
Laporan Sesi ke 48 Komisi Hukum Internasional – 6 Mei sampai 26 Juli 1996, UN Doc.A5110, 1996, hlm.76
Universitas Sumatera Utara
hukum dalam menjamin bahwa kadar yang tepat bagi pertaanggungjawaban pidana internasional yang sudah terlaksana telah dan harus tercapai.
Masalah berikutnya adalah tentang pengenaan Statuta Roma terhadap negara-negara yang tidak terdaftar sebagai peserta, termasuk dalam hal ini china.
Jika melihat kembali ke belakang latar belakang dibentuknya Statuta Roma ini adalah dengan tujuan meningkatkan kerjasama internasional dalam mengadili
kejahatan-kejahatan paling serius yang merupakan keprihatinan internasional. Pada kenyataannya, tidak dapat dibantah kalau jaman sekarang peningkatan
kebutuhan akan suatu mekanisme penegakan keadilan supranasional yang mampu melindungi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan memberikan peringatan bahwa di
masa yang akan datang tidak akan ada toleransi terhadap impunitas bagi setiap pelanggarannya. Sementara implementasi hukum adalah sentral untuk membuat
HAM menjadi efektif dalam prakteknya.
86
Dalam pertimbangan tersebut mendorong pembentukan Statuta Roma oleh negara-negara dalam suatu forum tertinggi PBB. Statuta Roma memiliki
ketentuan-ketentuan yang dapat dikategorikan sebagai jus cogens dan bersifat erga omnes. Karena itu peraturan-peraturan Statuta mengikat secara universal dan
berlaku terhadap seluruh warga dunia baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya Statuta mengikat bukan hanya bagi negara-negara peserta yang
telah meratifikasinya saja, namun juga terhadap negara-negara yang belum atau termasuk peserta.
87
Misalnya dalam perkembangan terakhir, tim pendahulu dari pengadilan kejahatan internasional telah tiba di Uganda untuk mempersiapkan penyelidikan
86
Erikson Hasiholan Gultom. Op.cit. hlm 256
87
Ibid
Universitas Sumatera Utara
terhadap kejahatan yang dilakukan dalam perang antara pasukan pemerintah dan pemberontak di Uganda.
88
Langkah ini juga dapat dilakukan terhadap kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur, meskipun China belum
menjadi peserta pada Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional ICC berkewajiban untuk mengadili
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan karena jelas-jelas telah melanggar HAM dan hukum internasional. Mahkamah dapat saja
dan tidak dilarang secara absolute untuk menjalankan kewenangannya dalam relasi yurisdiksi universal seperti yang diselenggarakan Pengadilan Nuremberg
dengan melakuakan suatu pendekatan hukum kebiasaan internasional yang progresif radikal terhadap yurisdiksi universal.
89
Disinilah Mahkamah tidak dihadapkan pada pintu yang tertutup rapat untuk mengadopsi terobosan atau
Pengadilan Nuremberg tersebut, meski dengan begitu bahkan akan terdapat ketentuan “inkondusif” tertentu dari Statuta yang tersimpangi.
90
Namun pada prinsipnya, sejauh yang disimpangi bukan merupakan atau termasuk ketentuan jus
cogens dan penyimpangan tersebut tidak menyimpang dari, atau justru selaras dengan, prinsip erga omnes maka langkah tersebut dianggap positif dan
dibenarkan.
91
Demikian pula lah yang terjadi pada kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran
sekolah, pemusnahan tempat beribadah dan ketidakbebasan untuk menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan oleh pihak berkuasa dalam hal ini
88
www.kontras.org.index.php.hal=siaran_persid=240 Diakses Senin 12 Januari 2015 Pukul 10.00 Wib
89
Erikson Hasiholan Gultom, Op.Cit. hlm 257
90
Ibid
Universitas Sumatera Utara
negara china masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena
fakta-fakta yang terjadi dalam kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur ini telah terpenuhi syarat materilnya yang ditetapkan dalam Statuta Roma
khususnya yang ada di Pasal 7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada umumnya pengadilan di china yang telah menyidangkan kasus- kasus tentang kekerasan yang terjadi terhadap Muslim di Uighur dalam
melaksanakan kewajiban untuk mengadili individu-individu yang
bertanggungjawab dalam konflik kejahatan kemanusiaan. Namun, pada kenyataannya tidak ada hukuman yang diterima oleh pelaku bahkan ada Muslim
di Uighur sebagai pembela karena membela seorang klien seorang Muslim untuk kasus pelanggaran HAM malah mendapat perlakuan kasar dikarenakan disiksa
oleh pihak pemerintah china. Hal tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya vonis berarti bagi pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim Uighur di
china. Ada peristiwa Pengadilan China menghukum 113 orang Uighur dengan
penjara dari 10 tahun hingga seumur hidup atas dakwaan melakukan tindak terorisme. Dilansir Aljazeera Senin 3062014, dalam laporannya hari Ahad
mengatakan bahwa hukuman itu ditetapkan pada hari Rabu pekan lalu oleh pengadilan-pengadilan di 11 daerah dan kota di wilayah Kashgar. Laporan itu
tidak menyebutkan asal suku para terdakwa, tetapi mengatakan bahwa mereka memiliki nama khas orang-orang Uighur. Para terdakwa dinyatakan bersalah
91
Erikson Hasiholan Gultom, Op.Cit hlm.260
Universitas Sumatera Utara
melakukan tindak kriminal seperti perampokan, penyelundupan narkoba, ikut aktif dalam organisasi teroris, kebencian etnis, serta diskriminasi etnis.
Vonis dijatuhkan pengadilan setelah pemerintah Beijing belum lama ini bersumpah untuk memberantas kelompok-kelompok agama dan separatis yang
ditudingnya sebagai penyebab kerusuhan di Xinjiang, daerah yang banyak dihuni oleh warga Muslim China Uighur dan sedang diupayakan pemerintah agar suku
mayoritas Han menguasai daerah itu lewat rekayasa demografi. Kelompok- kelompok yang dibentuk oleh orang-orang Uighur di pengasingan di luar negeri
mengatakan bahwa kebijakan pemerintah China di Xinjiang, termasuk penindasan atas Islam dan warga Muslim, menjadi penyebab kerusuhan di daerah itu.
Menurut seorang aktivis World Uyghur Congress, Dilzat Raxit, kebijakan pemerintah China yang menindas Islam itu sekarang menimbulkan perlombaan di
berbagai daerah, di mana aparat setempat berlomba untuk menangkapi warga Muslim. Xinjiang merupakan daerah mayoritas penduduk Muslim yang sangat
kaya dengan sumber daya alam. Ladang gas dan sumber energi terbesar China ada di wilayah Xinjiang. Wilayah itu juga kaya akan jenis flora dan fauna.
92
Dari pada itu, hukum internasional telah memenuhi persyaratan- persyaratan agar kasus pelanggaran HAM terhadap Muslim di Uighur dapat
diselesaikan agar menjadi damai dan tidak terulang kembali. Intervensi maupun pengambilalihan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili kembali kasus
pelanggaran HAM terhadap Muslim di Uighur ini merupakan salah satu solusi alternatif untuk mendapatkan keadilan khususnya bagi korban-korban kejahatan
pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur agar tidak terjadi diskriminasi
92
http:www.hidayatullah.comnoneread2014063024281pengadilan-china- penjarakan-113-orang-uighur.html
Diakses Senin 12 Januari 2015 Pukul 12.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
kerena perbedaan etnis, agama dan suku dan juga tidak terjadi penindasan lagi, karena memang pengulangan kembali proses pengadilan tersebut tidak akan
melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional, baik itu jus cogens dan asas ne bis in idem.
Pengulangan kembali proses pengadilan tersebut justru merupakan kewajiban yang bersifat erga omnes bagi setiap atau seluruh komunitas dunia dan
menurut hukum internasional haruslah direalisasikan. Pengulangan yang dimaksud juga sangat selaras dengan jus cogens.
93
Sehingga daripada hal tersebut, Mahkamah Pidana Internasional dapat mencapai fungsi-fungsi dan tujuannya
dengan kapasitas personalitas hukum dan yurisdiksi internasional. Karena memang Mahkamah Pidana Internasional tersebut harus dapat menjalankan
kompetensinya sebagaimana yang ditetapkan dalam Statuta Roma sendiri, atas wilayah Negara peserta, dan dengan perjanjian khusus, atas wilayah suatu negara
lainnya, yaitu negara bukan peserta seperti china. Berdasarkan prinsip pelengkap diatas, Mahkamah dapat berperan aktif
dalam menajalankan kompetisinya tersebut apabila dalam suatu kasus, sistem pengadilan nasional negara yang bersangkutan nyata-nyata telah gagal memenuhi
kewajibannya dalam mengadili kasus kejahatan HAM. Pengadilan nasional yang dimaksud tidak mampu dan tidak mau melakukan secara sungguh-sungguh dan
adil proses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan terhadap individu-individu ataupun para pihak dari pemerintah yang bertanggungjawab atas terjadinya
kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM.
94
93
Erikson Hasiholan Gultom, Op.Cit hlm.261
94
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Konsekwensinya, apabila pemenuhan tersebut gagal, maka mekanisme internasional akan mengambil alih pelaksanaan pemenuhan kewajiban
penegakan HAM tersebut. Disini Mahkamah dapat bertindak dan berperan sebagai suatu sistem mekanisme stabilisator yang berdaya guna atas yurisdiksi
nasional dari negara-negara dalam memenuhi kewaajiban hukumnya masing- masing dalam penegakan hukum HAM dan kemanusiaan. Hal ini berlaku baik
bagi negara peserta maupun bukan negara peserta.
95
Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individu- individu yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan kemanusiaan
didasarkan pada Pasal 5 1 Pasal 4 dan Pasal 7 Statuta Roma sebagai dasar legal formal internasional dan selain itu, jus cogens, hukum kebiasaan internasional
relevan-konstruktif bagi penegakan HAM. Dasar-dasar ini satu sama lain bersifat setara dan harus disenergikan oleh Mahkamah dan komunitas dunia dalam
menjalankan kompetensinya ini dan menegakkan HAM. Kompetensi itu sendiri mengikat seluruh anggota komunitas internasional tanpa pengecualian.
96
C. Upaya-Upaya Yang Telah Dilakukan Oleh Organisasi Internasional Dalam Meredam Kericuhan Yang Terjadi Pada Muslim Diuighur
Uyghur American Association UAA berbasis di Washington, Amerika Serikat, dan merupakan organisasi bebas pajak, organisasi keanggotaan non-
profit berdasarkan kode pajak Amerika Serikat. Uyghur American Association UAA adalah organisasi yang mempromosikan pelestarian beragam budaya
Uighur yang kaya, dan untuk mendukung hak rakyat Uighur secara damai, dengan cara demokratis untuk menentukan masa depan politik mereka sendiri.
95
Erikson Hasiholan Gultom, Op.Cit hlm.262
96
Ibid
Universitas Sumatera Utara
UAA telah melaksanakan Proyek Hak Masyarakat Uighur yang bertujuan mempromosikan perbaikan kondisi hak asasi manusia bagi Uighur dan kelompok
adat lainnya di Turkistan Timur juga dikenal sebagai Daerah Otonomi Uighur Xinjiang Cina. Organisasiini di kepala oleh Rebiya Kadeer, seorang aktivis yang
berasal dari Uighur-Xinjiang.
97
1. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur Diplomasi
Diplomasi adalah seni dan praktik bernegoisasi oleh seseorang yang disebut sebagai diplomat biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Istilah
Diplomacy diperkenalkan kedalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796, berdasarkan sebuah kata dari bahas Prancis yaitu diplomatie.
98
Menurut Kautilya ahli strategi politik di masa India, memaparkan ada 4 motit diplomasi,
yaitu:
99
1. Aquisition, tujuan diplomasi adalah untuk membuat hubungan dengan
negara lain diplomatik; 2.
Preservation, tujuan diplomasi adalah untuk menjaga hubungan dengan negara lain;
3. Augmentation, tujuan diplomasi adalah untuk meperluas hubungan
diplomatic; 4.
Proper distribution, tujuan diplomasi adalah harmoni, perdamaian. Dengan kata lain tujuan diplomasi yang efektif adalah untuk menjamin
keamanan nasional, yaitu dengan pemeliharaan keamanan seperti perlindungan warga negara, mengembangkan budaya dan ideologi, peningkatan prestise
97
UAA administrator, “About UAA”, dalam http:www.uyghuramerican.org Diakses Senin, 12 Januari 2015 Pukul 14.00 Wib
98
Donynicko,Diplomasi, diakses dari http:donynicko.wordpress.com, diakses Senin, 12 Januari 2015 Pukul 14.30 Wib
Universitas Sumatera Utara
nasional. Penerapan cara diplomasi untuk menyelesaikan suatu pelanggaran HAM berat dapat dilihat dari salah satu jenis Diplomasi yaitu Diplomasi Preventive,
PBB mengungkapkan defensi diplomasi Preventive adalah sebuah langkah metode resolusi perselisihan secara damai yang diterapkan ketika suatu
perselisihan sudah melewati ambang batas untuk memicu konflik, dan suatu usaha pencegahan suatu sengketa yang menimbulkan suatu konflik, Diplomasi
Preventive menurut Mochmad Bedjaoui memiliki 3 tujuan utama yakni:
100
1. Mencegah konflik antara pemerintah dan kelompok minoritas dalam suatu
Negara; 2.
Mencegah perselisihan dan konflik secara terbuka; 3.
Mencegah penyebaran konflik sekecil-kecilnya apabila terjadi konflik. Berdasarkan implementasinya diplomasi preventive meliputi beberapa
aktivitas yakni penemuan fakta mengenai konflik yang terjadi dalam satu negara maupun antar negara, kemudian melakukan tindakan mediasi. Mengenai
penyelidikan diplomasi ini dilakukan dengan menyelidiki sebab dari konflik kemudian diadakan pendekatan oleh para pihak yang sedang bersengketa dalam
hal ini adalah pihak pemerintah china dengan masyarakat kelompok etnis uighur agar konflik tidak semakin memanas dan menjadi perang terbuka.
Dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih
dahulu sebelum ke ranah hukum, hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 33 ayat 1 dan 2 yaitu:
Ayat 1 :
99
Ibid
100
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pihak- pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaiaan yang jika berlangsung secara terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan
perdamaiaan dan keamanan nasional, pertama-tama harus mencari penyelesaiaan dengan jalan perundingan,penyelidikan, negoisasi konsilasi,
arbitrasi, penyelesaiaan menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang
dipilih mereka sendiri. Ayat 2 :
Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan PBB meminta kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara
seperti apa yang telah disebutkan dalam ayat 1. Adapun mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat di China terhadap Muslim Uighur adalah dengan menggunakan mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melalui
perundingan yang diikut sertakannya pihak ketiga sebagai pengah. Pihak ketiga yang bertugas sebagai penengah disebut mediator. Bukan hanya negara saja yang
dapat menjadi mediator dalam suatu konflik, tetapi dapat juga individu, organisasi internasional, dan lain sebagainya. Mengenai kasus yang terjadi pada Muslim
UighurEtnis Uighur. PBB dapat bertindak sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang bersengketa dalam hal ini adalah Pemerintah China dan
kelompok masyarakat Muslim Uighur, serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi
tanpa ada pihak yang dirugikan.
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh Negara dalam mengakhiri konflik yang terjadi, namun belum dapat menyelesaikan
konflik tersebut, maka permasalahan mengenai Pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur dapat diambil ahli oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan
menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court.
2. Upaya penyelesaian konflik melalui International Criminal Court ICC
Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan
yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana Internasional yang paling serius sebagaimana yang telah diatur dalam statuta roma diantaranya adalah genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, dimana tujuan pembentukan mahkamah Internasional adalah untuk mencegah penindasan
berkelanjutan terhadap HAM .
101
Pembentukan ICC dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan akan keadilan bagi kejahatan yang luar biasa kejamnya seperti genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang yang telah menimbulkan korban manusia yang sangat besar,
102
maka tahun 1948, PBB mulai menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan Internasional untuk mengadili para pelaku tindak
kejahatan luar biasa extra ordinary crime. Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1998 dalam sebuah konfrensi diplomatik PBB di Roma, yang akan menjadi embrio
terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional International Crime Court,
101
Pengadilan Pidana Internasional, diakses dari http:sesukakita.wordpress.com,diakses Senin 12 Januari 2015, Pukul 16.20 Wib
Universitas Sumatera Utara
konfrensi ini kemudian menghasilkan sebuah perjanjian multilateral yaitu Statuta Roma yang merupakan dasar berdirinya ICC. Pada tanggal 1 Juli 2002, statuta ini
telah diratifikasi oleh 60 negara dan secara otomatis statuta ini telah berlaku, dan terbentuklah International Crime Court.
International Crime Court memiliki beberapa tujuan yaitu, 1.
Bertindak sebagai pencegah terhadap orang yang berencana melakukan kejahatan serius menurut hukum Internasional;
2. Mengusahakan supaya para korban dan keluarganya bisa mendapatkan
keadilan dan memulai proses rekonsiliasi; 3.
Agar dapat mengadili para pelaku tindak pidana kejahatan luar biasa seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang
tanpa memandang kedudukan dan status; 4.
Melakukan langkah besar untuk mengakhiri masalah pembebasan dari hukuman ICC.
Keduukan ICC hanya sebagai institusi pelengkap bagi peradilan domestik yang dimiliki oleh masing-masing negara. Hal ini ditegaskan dalam Preambule
Paragraf 10 Statuta Roma yang menyatakan bahwa: “emphasizing that the ICC establishment under this statute shall be
complementary to national criminal jurudication”, yang dapat berarti bahwa Hukum nasional didahulukan untuk diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan
internasional luar biasa yang terjadi di wilayah negara yang bersangkutan. ICC hanya dapat mengadili suatu praktek kejahatan luar biasa, mencakup kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, sepanjang pengadilan domestik
102
Tahegga primananda alfath, Selayang Pandang International Criminal Court, diakses dari http:taheggaalfath201109selayang-pandang-internationalcriminal.htm , diakses Senin 12
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak mau atau tidak mampu melaksanakan fungsinya. Dalam beberapa kasus kejahatan Internasional dimana ICC tidak dapat mengadilinya, yaitu:
103
1. Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang
mempunyai yuridiksi atas kasus tersebut. 2.
Kasusnya telah diselidiki oleh suatu negara yang mempunyai yuridiksi atas kasus tersebut, dan negara telah memutuskan untuk tidak menuntut
orang yang bersangkutan. 3.
Orang yang bersangkutan telah diadili atas suatu perbuatan yang merupakan pokok pengaduan itu dan suatu sidang oleh mahkamah tidak
diperkenankan. 4.
Kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh mahkamah.
Dalam upaya menetapkan adanya unwillingness suatu negara ICC harus memperhatikan prinsip due process yang diakui oleh hukum Internasional sebagai
berikut: 1.
Proses pengadilan diambil atau putusan dibuat dengan maksud untuk melindungi orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kejahatan-
kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC. 2.
Ada penundaan yang tidak dibenarkan dalam proses peradilan, yang tidak konsisten dengan tujuan untuk memberi keadilan pada tertuduh.
3. Proses peradilan tidak dilaksanakan dengan bebas atau memihak .
Untuk menetapkan ketidakmampuan Inability negara, ICC harus mempertimbangkan apakah ada kegagalan keseluruhan atau pada substansi-
Januari 2015, Pukul 17.15 Wib
103
Pasal 17 Statuta Roma 1998
Universitas Sumatera Utara
substansi tertentu atau tidak tersedianya sistem peradilan nasional, negara tidak dapat menangkap tertuduh, tidak dapat memperoleh bukti-bukti dan kesaksian
penting, atau ketidakmampuan lain untuk melaksanakan proses proses peradilan sendiri.
104
Dalam keterkaitannya dengan kasus yang terjadi di China, dimana Pemerintah China telah melakukan tindak kejahatan yang termasuk dalam tindak
kejahatan luar biasa terhadap Muslim Uighur Etnis Uighur yaitu berupa Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan, maka berdasarkan tujuan dari terbentuknya
ICC, maka kasus ini baiknya diselidiki dan kemudian diadili oleh ICC, mengingat jika sebelumnya telah dilakukannya penyelesaiaan masalah ini melalui proses
Diplomasi namun permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dan tidak dapat dibiarkan secara berlarut-larut, jika dibiarkan berlarut-larut maka yang ditakutkan
adalah semakin meruncingnya konflik ini sehingga menyebabkan banyaknya korban jiwa yang akan jatuh. Namun ICC memiliki kewenangan dan yuridikasi,
berkaitan dengan yuridikasi atau kewenangan mengadili, maka ICC dibatasi oleh beberapa hal yaitu:
1. Berdasarkan subjek hukum, yang dapat diadili atau personal juridication
rationae personae ICC hanya dapat mengadili idividu natural person. Pelaku, termasuk pejabat pemerintahan, komandan, baik militer maupun
sipil.
105
2. Berdasarkan jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkupnya atau material
juridication rationae matirae maka yuridikasi ICC adalah pada
104
Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998
105
Pasal 25 Statuta Roma 1998
Universitas Sumatera Utara
kejahatan-kejahatan yang paling serius dalam pandangan masyarakat internasional yang diatur dalam Pasal 5-8 Statuta Roma.
3. Berdasarkan waktunya atau temporal juridication rationae temporis ICC
hanya memiliki yuridikasi terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma, yaitu tanggal 1 Juli 2002.
106
4. Berdasarkan wilayah tempat berlakunya kejahatan atau territorial
jurudication rationae loci maka ICC dapat mengadili kasus yang diserahkan negara peserta yang wilayahnya menjadi tempat dilakukannya
kejahatan tersebut.
107
Dalam kasus ini Negara China bukanlah negara yang meratifikasi Statuta Roma yang berarti pemerintah China tidak mengakui eksistensi keberadaan
International Criminal Court sebagai suatu lembaga peradilan Internasional yang mempunyai tugas untuk mengadili para pelaku tindak kejahatan luar biasa
berdasarkan Statuta Roma, hal ini juga berarti bahwa dalam Hukum Nasional pemerintah China juga tidak mengakui adanya Statuta Roma yang menjadi dasar
hukum International Crime Court. Namun hal ini bukan berarti pelanggaran genosida dan pelanggaran terhadap kemanusiaan yang terjadi di China tidak dapat
diselidiki dan diadili oleh International Crime Court, karena International Crime Court mempunyai yuridiksi terhadap warga negara yang berasal dari non-State
party, hal ini terdapat dalam Statuta Roma 1998, yakni:
108
1. Dalam kasus yang diserahkan oleh Dewan Keamanan PBB kepada ICC;
106
Pasal 11 Statuta Roma 1998
107
Pasal 12 Statuta Roma 1998
108
Dapo Akande, “The Juridiction of International Crime Court Over Nationals of Non- Parties, Journal of International Crime Justice”, 2003, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam kasus warga negara dari non-state parties melakukan kejahatan di
wilayah atau teritorial Negara anggota Statuta Roma, atau negara yang sudah menerima yuridiksi ICC berkaitan dengan kejahatan tersebut;
3. Dalam kasus negara non state parties sudah menyetujui untuk
melaksanakan yuridiksi berkaitan dengan kejahatan tertentu. Jadi, walaupun Negara China bukan merupakan negara peserta bukan
berarti negara China dapat bebas akan segala tuntutan yang ditujukan kepadanya mengenai pelanggaran HAM yang dilakukannya terhadap etnis minoritas muslim
Uighur , karena International Crime Court mempunyai persyaratan yang mengatur tentang berlakunya yuridiksi International Crime Court terhadap negara
yang bukan merupakan anggota peserta. Disamping itu International Crime Court juga tidak mengakui adanya
imunita personal yang artinya yaitu kekebalan seseorang terhadap hukum Sebaliknya Pasal 27 Statuta Roma 1998, merekomendasikan bahwa pejabat
negara akan bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukannya atas nama negara, jika terjadi suatu kejahatan Internasional, dimana pejabat negara
mendapatkan hak personal imunitas Hal ini dipertegas dalam pasal 28 Statuta Roma 1998 yang menyebutkan
”Responbility of commanders and other superior in addition to other grounds of criminal responbility under this statute for crimes within the juridiction of the
court” yang artinya menetapkan bahwa seorang atasan baik militer maupun sipil harus bertanggungjawab secara pidana ketika terjadi tindak kejahatan dalam
yuridiksi ICC. Pasal ini bertujuan untuk dapat menghukum the most responsible person dan untuk menghapus praktek impunitas atau kekebalan, dimana secara
Universitas Sumatera Utara
umum impunitas di pahami sebagai tindakan yang mengabaikan penegakan hukum.
Permasalahan yang terjadi antara Pemerintah China dan kelompok masyarakat etnis Minoritas Muslim Uighur, menjadi suatu permasalahan atau
konflik yang sangat besar bagi dunia Internasional, dimana Pemerintah China telah melakukan propaganda terhadap etnis Han untuk menyudutkan Etnis
Uighur, yang dapat dikatakan sebagai kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena Pemerintah China mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
melanggar hak asasi paling mendasar yaitu kebebasan dalam beragama, kebebasan dalam berpendapat, Kebebasan untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih layak, serta penyerangan yang ditujukan kepada etnis Muslim Uighur yang merupakan etnis minoritas sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, dapat
disebut sebagai Kejahatan Genosida. Peranan PBB melalui Dewan Keamanan sangat penting dalam
penyelesaian konflik ini agar tidak terjadi berlarut-larut. Dewan Keamanan PBB harus menyerahkan kasus ini kepada ICC untuk dapat diselidiki, mengingat
konflik ini dapat dikategorikan sebagai Kejahatan luar biasa extra ordinarry crime yang merupakan bagian dari yuridiksi ICC berdasarkan Statuta Roma 1998
yang merupakan sumber hukum dari ICC.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan