Terciptanya sistem mandat di bawah Liga Bangsa-Bangsa ini mungkin merupakan salah satu prestasi kemanusiaan yang besar dari organisasi
internasional ini. Di bawah sistem ini, “suatu kepercayaan yang suci dari peradaban” diserahkan kepada negara-negara pengawas untuk mengantarkan
daerah-daerah mandat itu sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa paternalistik dari Kovenan tersebut boleh jadi kurang disukai sekarang, namun
yang jelas, negara pengawas diharuskan menjamin tiadanya diskriminasi rasial dan agama di daerah-daerah yang berada di bawah perwaliannya.
Ternyata, beberapa daerah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum Perang Dunia II dan dua wilayah yaitu Palestina dan Namibia menciptakan
masalah internasional yang cukup lama. Daerah-daerah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II selanjutnya dialihkan kepada
sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.
g. Traktat mengenai kaum minoritas
Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang Dunia I banyak memuat ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara penyelesaian perdamaian
pasca perang berupaya menghormati prinsip penentuan nasib sendiri yang didasarkan pada konsep kohesi nasional, menjadi jelas bahwa pembentukan
kembali Polandia dan penciptaan negara-negara pengganti Kekaisaran Austria- Hongaria yang lama, melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan
menciptakan perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di negara-negara
baru tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, sejumlah traktat untuk menjamin proteksi terhadap hak sipil dan politik dan kaum minoritas dibuat antara Sekutu dan negara-negara ini.
Sementara traktat-traktat khusus yang melindungi kaum minoritas dibuat dengan Polandia, Cekoslowakia, Rumania dan Yunani, ketentuan-ketentuan mengenai
proteksi bagi kaum minoritas dimasukkan dalam traktat-traktat perdamaian dengan Austria, Hongaria dan Turki.
Disamping traktat-traktat ini, beberapa negara tertentu yakni, Finlandia, Albania, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Irak membuat deklarasi yang melindungi
kaum minoritas di dalam negeri mereka, sebagai syarat untuk menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan
yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional.
Sebuah prosedur yang memungkinkan kelompok minoritas yang merasa dilanggar haknya untuk mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga Bangsa-
Bangsa ini ditetapkan. Kemudian, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada suatu Komite ad hoc mengenai Kaum Minorits yang akan mendamaikan dan
mencoba menyelesaikan masalah itu secara bersahabat di antara para pihak itu. Jika penyelesaian tidak kunjung tercapai, Dewan yang lengkap boleh
menyelesaikan masalah itu sendiri, atau meneruskannya ke Mahkamah Internasional yang bersifat permanen untuk diputuskan.
Traktat-traktat yang memproteksi kaum minoritas ini jelas menyangkut masalah hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Tujuan utama traktat-traktat
itu adalah memastikan perlakuan yang sama bagi minoritas etnis, agama dan bahasa di negara-negara tersebut, dan memungkinkan orang-orang yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
anggota kelompok-kelompok itu melestarikan dan mengembangkan identitas mereka sendiri yang khas di dalam kerangka negara kebangsaan itu.
Tampak juga dari negara-negara yang menandatangani traktat-traktat itu, bahwa adanya minoritas di dalam suatu negara mereka terbukti merupakan tanah
subur untuk persengketaan sepanjang abad ke-20. Sementara nilai traktat hak asasi manusia dalam pengeritian individu dan kebebasan yang klasik, traktat-traktat itu
sangat penting karena di dalam konteks Liga Bangsa-Bangsa mereka menjadi dasar bagi hak kelompok, yang terdiri dari individu-individu, untuk
menyampaikan petisi menurut hukum internasional. Terlihat adanya tunas dari hak individu, berdasarkan hukum internasional, untuk mengajukan petisi terhadap
suatu lembaga pengawasan dan proteksi internasional. 2.
Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang Dunia II a.
P
erserikatan Bangsa-Bangsa
Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya selama abad ke-19 dan
paruh pertama abad ke-20, barulah seusai malapetaka Perang Dunia II, hukum hak asasi internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas. Kekejaman
Nazi terhadap penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di wilayah yang ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai pun,
Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.
Mereka menganggap komitmen ini sebagai prasyarat yang perlu untuk menciptakan orde internasional yang adil dan mantap di bawah naungan
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sedang direncanakan. Tidak ada lagi
Universitas Sumatera Utara
negara yang bisa berkilah bahwa cara mereka memperlakukan warga negaranya sendiri semata-mata merupakan urusan dalam negeri mereka; sebaliknya
perlakuan terhadap individu-individu itu bilamana perlindungan nasional terhadap hak itu tidak memadai, menjadi kepedulian masyarakat internasional.
Ironinya adalah, sementara Uni Soviet mengutuk pembantaian besar- besaran yang dilakukan Nazi, Stalin sendiri sejak sebelum perang, telah secara
sistematis melanggar hak-hak rakyatnya sendiri dengan membuang sekitar lima juta lawan politiknya dan memaksakan kolektivisasi terhadap sejumlah besar
petani. Dalam hal ini, Uni Soviet secara sah dapat juga berkilah bahwa masalah itu sepenuhnya berada di dalam yurisdiksi domestiknya.
Meskipun demikian, Piagam Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg
40
b. Piagam PBB dan Deklarasi Universal