Perbedaan yang mencolok antara kedua kovenan itu adalah, sementara Pasal 2 ICCPR menetapkan bahwa hak-hak yang dilindungi itu akan dihormati
dan segera dijamin, Pasal ICESCR hanya menetapkan bahwa negara harus “mengakui” hak-hak yang dimasukkan dalam Kovenan dan harus
mengimplementasikan hak-hak itu secara progresif sesuai dengan program- program khusus.
Perbedaan lain yang juga sangat penting: ICCPR menetapkan bahwa Komite Hak Asasi Manusia HRC akan mengawasi implementasi Kovenan dan
menetapkan, melalui suatu protokol fakultatif, suatu mekanisme yang memungkinkan individu-individu mengajukan petisi ke HRC, sedangkan ICESCR
hanya menyerahkan fungsi pengawasan itu kepada sebuah badan politik PBB, yaitu ECOSOC.
d. Konvensi khusus PBB
Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan sistem “universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, PBB juga
menjalankan program-program untuk menyusun instrumen yang secara hukum mengikat guna menangani aspek-aspek hak asasi manusia yang khusus. Diantara
instrumen-instrumen ini adalah traktat-traktat mengenai pencegahan dan penghukuman terhadap apartheid, larangan terhadap praktek penyiksaan,
kerjasama internasional mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang tak bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus
mengenai hak anak-anak. Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang diambil
oleh PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. ECOSOC
Universitas Sumatera Utara
telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235 dan 1503 yang memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia
secara kasar dan terus-menerus oleh negara-negara tertentu.
e. PBB dan dekolonisasi
Yang terpenting diantara seluruh perkembangan perhatian PBB terhadap hak asasi manusia, adalah tindakan PBB dalam masalah dekolonisasi. Sejumlah
daerah mandat yang diciptakan oleh Liga Bangsa- Bangsa setelah Perang Dunia I belum memiliki pemerintahan sendiri ketika Perang Dunia II pecah. Karenanya,
Piagam PBB lalu mengatur pengalihan daerah-daerah mandat itu kepada suatu sistem perwalian yang akan mengatur dan menyiapkan kemerdekaan daerah-
daerah itu. Salah satu tujuan pokok sistem perwalian ini, dinyatakan dalam Pasal 76
1 c Piagam, adalah mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang. Sistem ini diawasi oleh PBB melalui Dewan
Perwalian. Yang menjadi subjek pengawasan PBB menurut Bab XI Piagam bukan hanya daerah-daerah mandat pada masa sebelumnya. Negara-negara dengan
koloni atau wilayah yang tak berpemerintahan sendiri non selfgoverning territory – NSGT diwajibkan untuk memperhatikan sebaik-baiknya kesejahteraan rakyat
dalam wilayah itu membantu kemajuannya. Negara pengurus diwajibkan melaporkan kepada Sekretaris Jendral PBB
mengenai kemajuan yang dicapai koloni mereka. Sementara Bab XI tidak memuat kewajiban negara-negara pengurus untuk memberikan kemerdekaan kepada
koloni mereka, namun perkembangan selanjutnya dalam dasawarsa 1960 sangat meningkatkan momentum bagi dekolonisasi.
Universitas Sumatera Utara
Resolusi Majelis Umum 1541 XV, yang menjelaskan kewajiban negara pengurus untuk melapor, disahkan bersama-sama dengan Resolusi 1514 XV
Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri dan Rakyat Jajahan. Resolusi ini menyerukan dekolonisasi segera semua daerah tak berpemerintahan
sendiri lewat pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri oleh penduduk wilayah semacam itu.
Terdapat pula seperti kurangnya persiapan dibidang ekonomi dan pendidikan, tidak boleh menghambat proses itu. Meskipun Piagam PBB mengacu
ke asas penentuan nasib sendiri, piagam itu pasti tidak mengacu ke suatu hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, kini pada umumnya diakui bahwa hak
semacam itu terdapat dalam hukum internasional, dan bahwa pandangan tersebut diperkuat oleh Resolusi 2625 Majelis Umum Deklarasi tentang Prinsip-prinsip
antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB yang dianggap sebagai suatu pernyataan mengenai hukum kebiasaan internasional yang sesuai dengan situasi
dan oleh Pasal 1 dari kedua kovenan internasional yang menetapkan bahwa “semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.”
Dasar pemikiran untuk memasukkan hak ini yang jelas merupakan hak kolektif, adalah bahwa penduduk yang berada di bawah dominasi asing melalui
lembaga kolonialisme adalah tidak bebas, sehingga setiap gagasan mengenai pemenuhan hak-hak individu atau hak-hak yang lain dalam konteks tersebut tidak
akan ada maknanya. Apakah hak menentukan nasib sendiri itu meluas melampaui hak atas
dekolonisasi, atau meluas ke hak minoritas untuk memisahkan diri, masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab, meskipun isi resolusi 2625
Universitas Sumatera Utara
tampaknya akan mendukung hal ini apabila minoritas tersebut diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah negara itu.
Tentu saja, dekolonisasi besar-besaran oleh negara-negara bekas penjajah berdampak kuat pada struktur masyarakat dunia. Negara-negara baru, terutama di
bagian negara-negara berkembang, telah mengubah konteks perdebatan politik dan hukum internasional dengan tuntutan mereka yang gigih agar sistem
internasional ditata kembali sesuai dengan kebutuhan mereka.
f. Proses Helsinki