5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tenaga dalam Pengolahan Tanah Padi Sawah
Menurut Daywin, dkk 1999, pengolahan tanah adalah suatu usaha untuk mempersiapkan lahan bagi pertumbuhan tanaman dengan cara menciptakan kondisi
tanah yang siap tanam, yang terbagi menjadi dua yaitu pengolahan tanah pertama dan pengolahan tanah kedua.
Disadur dari Siregar 1987, pengolahan tanah yang ideal pada padi sawah berlangsung dengan urutan sebagai berikut :
1. Lahan diairi terlebih dahulu, tujuan pertama dari pengairan ini adalah
untuk melunakkan tanah sedemikian rupa sehingga untuk mudah diolah, tujuan keduanya adalah untuk memusnahkan rerumputan yang tumbuh
denga subur di kotakan sawah. Penggenangan air berlangsung selama beberapa waktu.
2. Setelah tanahnya sudah cukup lunak, kotakan sawah dibajak. Pembajakan
dilakukan untuk membentuk kontur petakan sawah agar bagian terendah sawah ada di tengah dan membenamkan rerumputan dari penanaman
sebelumnya. Tujuan pembentukan kontur demikian adalah agar air lebih banyak tertampung dalam petakan sawah.
3. Setelah lahan dibiarkan selama 2 minggu, dilakukan penyisiran pertama
dengan menggunakan garu, gumpalan-gumpalan tanah bajakan itu dipecahkan sedemikian rupa sehingga tanah itu betul-betul merupakan
bubur yang sangat lunak. Dalam pengolahan tanah padi sawah, dikenal 3 macam sumber tenaga; tenaga
manusia, tenaga hewan ternak dan tenaga kerja mesin, menurut Akbar 2001 penggunaan ketiga jenis sumber tenaga pengolahan tanah itu bergantung pada
beberapa kondisi : -
Kondisi topografi lahan -
Ketersediaan sumber tenaga
6 -
Luas lahan -
Modal kerja Penerapan mekanisasi pertanian dalam upaya meningkatkan produksi pertanian
merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Deptan 1993 menyatakan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Langkanya tenaga kerjaburuh tani yang disebabkan oleh banyaknya
tenaga kerja muda yang cenderung meninggalkan lapangan pertanian. 2.
Terjadinya kelangkaan tenaga ternak karena populasinya semakin menurun akibat pemeliharaan yang kurang intensif dan semakin meningkatnya
kebutuhan daging potong. 3.
Adanya perkembangan jaringan irigasi dan inovasi teknologi tanaman pangan sehingga harus dilakukan jadwal tanam yang ketat.
4. Peningkatan produktivitas menyebabkan meningkatnya kebutuhan alat-alat
pertanian. Adiratma 1977 menyatakan bahwa sampai saat ini masih banyak orang yang
berpendapat bahwa mekanisasi pertanian adalah ”motorisasi” atau ”traktorisasi”. Pandangan ini sering menimbulkan pendapat yang ”pro” dan ”kontra” terhadap
mekanisasi pertanian dan menganggap sebagai ”momok” yang mengkhawatirkan bagi perluasan kesempatan kerja.
Sampai sekarang masih terdapat kelompok yang setuju dan tidak setuju tentang adanya mekanisasi. Hamid 1973 menyebutkan alasan-alasan yang diajukan oleh
para penerima dan penentang mekanisasi sebagai berikut : Mekanisasi dianggap baik karena :
a. Dapat meningkatkan hasil karena perkerjaan lebih tepat dan efektif.
b. Kemungkinan dilaksanakannya “multiple cropping”
c. Mengurangi ketergantungan terhadap ternak yang produktifitasnya rendah
sedang biayanya mahal d.
Dapat meningkatkan produktifitas kerja e.
Menurunkan biaya produksi
7 Mekanisasi dianggap tidak baik karena :
a. Di negara-negara berkembang modal adalah barang langka, karena itu
sebaiknya tidak dipakai di sektor pertanian karena di sektor ini terdapat banyak tenaga kerja.
b. Mekanisasi menggantikan tenaga manusia
c. Mekanisasi dapat memperbesar perbedaan pendapatan.
Menurut Ananto 1990, secara umum mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai penggunaan semua alat mesin pertanian yang digerakkan oleh tanaga manusia,
ternak, mekanismotor dan alam, untuk melaksanakan semua kegiatan yang berhubungan dengan budidaya pertanian, panen dan penanganan pasca panen.
Untuk mengefisienkan usahatani pertanian, penggunaan teknikmekanisasi merupakan salah satu pemecahan masalah untuk meningkatkan keuntungan.
Penggunaan traktor dapat mengolah lahan dengan cepat, sehingga dalam satu musim tanam petani dapat menanam komoditas pertanian cukup banyak. Namun demikian
banyak kendala yang membatasi penggunaan traktor. Kendala-kendala itu antara lain : relatif sempitnya penguasaan lahan oleh sebagian besar petani di Indonesia, tingkat
ekonomi petani masih banyak yang belum “mampu”, teknologi perawatan masih kurang memadai, disamping masalah topografi dan biaya perawatan yang cukup
tinggi. Usaha efisiensi usahatani di Indonesia dapat ditingkatkan dengan teknologi madya. Salah satu teknologi madya ini diantaranya dengan menggunakan bajak yang
ditarik sapikerbau untuk mengolah lahan usahatani. Keuntungan penggunaan sapikerbau sebagai tenaga kerja diantaranya : modal yang diperlukan masih dapat
dijangkau oleh petani, dapat berkembang biak, biaya produksi relatif rendah, penghasil pupuk kandang. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan
membudidayakan ternak kerja sapikerbau tidak ada nilai penyusutan, bahkan yang dihasilkan adalah nilai tambah yang cukup berarti untuk peningkatan pendapatan
petani peternak.Setiadi, 1994 Jusuf Maamun 1983 mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan, dengan
memakai data dari penelitian “The Consequences of Small Ricefarm Mechanization on Income, Rural Employment and Production in Asia”. Dengan 149 traktor contoh,
ia memperoleh kesimpulan bahwa tidak satupun dari traktor yang dioperasikan petani
8 menguntungkan. Dalam analisis ini traktor dibagi dua kelompok yaitu kelompok
traktor model 1975 dan kelompok trakor model 1976. Penelitian Sinaga 1978 dan M. Husen Sawit, dkk 1979 yang mengambil
kasus di Jawa Barat melihat belum adanya gejala kekurangan tenaga kerja, malah ada kecenderungan kesempatan kerja yang semakin memburuk. Walaupun kekurangan itu
terjadi, tetapi sifatnya sangat lokal dan tidak perlu harus dipecahkan dengan traktor. Demikian pula pendapatan jam kerja di luar sektor pertanian di pedesaan masih
rendah dan upah buruh tani tidak menunjukkan kenaikan yang cukup meyakinkan dan malahan turun dalam tiga tahun terakhir. Data empiris maupun pandangan teoritis,
traktor tidak akan memecahkan masalah peningkatan produksi di daerah padat penduduk seperti pulau Jawa dan Bali.
Penelitian lain yang mengambil lokasi di Jawa Barat, memperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan traktor oleh petani tidak menguntungkan Sugianto, dkk, 1981.
Dengan mengambil 60 petani pemilik traktor sebagai contoh, petani pemilik traktor ini tidak bisa mengembalikan angsuran yang diwajibkan selama enam musim. Hal ini
disebabkan karena jumlah angsuran jauh melebihi pendapatan yang diperoleh dari penyewaan traktor. Petani pemilik traktor hanya mampu mengembalikan sebanyak
82,5 persen dari nilai angsuran tanpa bunga. Kesimpulan penelitian di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat tadi, dikuatkan pula
dengan hasil penelitian Sinaga 1977 dan Sutawan, dkk. 1980 yang dilakukan di Bali. Kedua peneliti berkesimpulan bahwa pengusahaan traktor di Bali tidak
menguntungkan. Suatu hasil yang kontradiktif dengan hasil penelitian di atas diperoleh beberapa
peneliti. Bunasor 1981 meneliti penggunaan traktor di Jawa Barat dengan memakai data IRRI dan dengan contoh 61 pemilik traktor menyimpulkan bahwa pengusahaan
traktor yang memakai solar akan menguntungkan sedangkan yang memakai premium tidak menguntungkan. Penelitian Simatupang 1980 juga mendukung hasil yang
diperoleh Bunasor. Soedjatmiko 1976, Hamid 1980, dan Colter, dkk. 1982 mempunyai kesimpulan yang sama dengan Bunasor untuk daerah penelitian di Bali.
9 Setelah membandingkan beberapa hasil penelitian tentang penggunaan traktor di
beberapa negara, Binswanger 1978 menyimpulkan sebagai berikut : a.
Peneliti gagal membuktikan bahwa traktor dapat menaikkan intensitas penanaman, produksi, waktu senggang dan pendapatan kotor
b. Banyak peneliti yang memakai analisa cost benefit, menaksir nilai benefit
terlalu tinggi c.
Walaupun pengusahaan traktor tidak menguntungkan tetapi tetap makin banyak petani yang menanamkan modalnya pada traktor. Hal ini disebabkan
karena beberapa hal : i
Traktor dapat mempermudah pengolahan tanah dan meringankan pekerjaan
ii Memungkinkan untuk membuka lahan baru
iii Adanya subsidi yang diperoleh oleh pemilik traktor
iv Kenaikan tingkat upah buruh yang mencerminkan kelangkaan tenaga
kerja manusia
B. Pendekatan Sistem