Mahabbah Rabiah al-Adawiyah BIOGRAFI RABIAH AL-ADAWIYAH

Didalam jiwanya tidak ada lagi yang tersisa sebagai ruang kosong untuk diisi dengan rasa cinta maupun benci kepada selain Allah. 30 Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: ―Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada- Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku melihat keindahan- Mu yang abadi.‖ 31 Begitu besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun.tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata. 32 Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi mahabbah pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan l ebih ―manusiawi‖. Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer 30 Abdul Halim, Cinta Ilahi : Studi Perbandingan Antara al-Ghazali dan Rabiah al- Adawiyah, Tesis S2, Kera Sama Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakara dengan Program Pascasarjana Universitas Indoesia, 1995, hal.72 31 Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman.hal 86 32 Nasution ,op. cit., hal. 74. masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia. Ajaran cinta Ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.

BAB IV ANALISIS DATA

Pada bab ini penulis akan memfokuskan kajian tentang ungkapan syair yang pernah di ucapkan oleh rabiah selama masa hidupnya, serta pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang baik dari sudut pandang agama, pendidikan, maupun pergaulan. Kali ini penulis mengkhususkan atau mengambil sumber syair dari buku yang berjudul ―Rabiah; Pergulatan Spiritual Perempuan‖ sebuah desertasi Margareth Smith, M.A., PH.D. Dalam karyanya –Margareth—, Rabiah banyak sekali mengungkapkan syair-syair yang bertema tentang cinta, cinta yang suci, murni serta tulus, yang diungkapkan untuk menyampaikan perasaan yang sedang menggelora kepada Sang Kekasih. Tak ada satupun embel-embel yang menempel dalam cinta Rabiah. Semua itu ia lakukan karena memang sudah seharusnya dilakukan, ia mencintai Kekasihnya karena memang Sang Kekasih itu pantas untuk dicintai, dan cintanya itu memang karena Sang Kekasihnya. Tak ada satupun hal yang dapat menggantikan cinta kepada Sang Kekasih. Cinta di anggap sebagai tahapan tertinggi yang dapat di capai oleh seseorang ahli –yang mendalaminya, menyelaminya— di dalamnya terdapat kepuasaan hati ridha, kerinduan syauq, dan keintiman uns. Ridha mewakili pada satu sisi, ketaatan tanpa di sertai penyangkalan dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicinta, Syauq adalah rasa rindu yang dirasakan oleh pecinta untuk selalu bertemu dengan sang kekasih, dan Uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih. Setelah melewati tahapan ini, sang pecinta akan menaiki level ma’rifat, yaitu tahapan dimana sang pecinta dapat mengenali atau membuka tabir akan yang di cintainya itu, apabila seorang pecinta itu mencintai Allah, maka terbukalah semua tabir yang menutup dirinya dengan Sang kekasihnya itu, ia dapat berjumpa, bahkan menyatu dengan Sang Kekasih.

A. Hakikat Cinta Mahabbah

Dalam kehidupan manusia sebagai mahluk yang berbudaya mempunyai berbagai macam perasaan dan gagasan, yang berkaitan dengan tanggapan tehadap lingkungan hidupnya, baik yang berupa fisik, sosial, maupun spritual. Tanggapan- tanggapan tersebut bisa berupa etika maupun norma-norma. Salah satu perasaan atau gagasan yang pasti ada –kecuali seorang atheis— adalah cinta. Cinta –sebagaimana telah kita ketahui—, merupakan bagian yang paling penting dalam perasaan manusia. ia merupakan gerak hati yang di rasakan oleh seseorang kepada orang lain karena tertarik, suka, bahkan sayang. Pada realita yang terjadi saat ini, bisa di saksikan bagaimana seorang manusia yang ketika hatinya telah dihinggapi oleh perasaan cinta, niscaya seorang itu akan menuju, menggapai, dan tak jarang ingin mendapati apa yang di cintanya itu. Seperti contoh, kisah seorang laki-laki yang bernama Qais atau yang biasa di kenal dengan sebutan Majenun, ia begitu cinta kepada wanita yang bernama Laila. Untuk mewujudkan cintanya, Qais rela untuk pergi jauh dari keluarga demi mendapatkan apa yang di cinta. Cinta yang begitu besar kepada Laila telah membuat dirinya jatuh kedalam pusaran perasaan yang sangat dalam; yang kadang membuatnya lupa akan kebutuhan dirinya sendiri, seperti makan, minum, dll. Yang ada dalam fikirannya adalah Laila seorang, tak ada selainnya. Juga kisah tentang percintaan antara Romeo dan Juliet; yang rela mengorbankan diri demi seorang yang di cintainya. Proses penyatuan terhadap apa yang dicinta merupakan tujuan dalam dirinya. Segala sesuatu yang mencoba untuk menguji bahkan memisahkan dirinya dengan yang di cinta membuat perasaan cinta itu semakin menggelora, begitu besar dan kadang sampai kepada tahap yang sangat tinggi; mencintai bukan karena akan mendapatkan kesenangan dari apa yang dicinta untuk dirinya sendiri, melainkan mencintai karena memang kehendak hati, tak ada sedikit pun embel-embel ingin ini, ingin itu. Terlebih lagi kisah yang cinta di alami oleh Rabiah, ia meninggalkan semua kesenangan dunia untuk dapat bersatu, bertemu dengan Sang Kekasih. Tak ada satupun yang lebih indah dibanding dengan cintanya kepada Sang Kekasih. Dari pemaparan di atas, dapatlah di simpulkan bahwa cinta adalah seuatu perasaan yang begitu mendalam; yang di rasakan oleh seseorang kepada sesuatu yang dicinta, tujuan hidupnya adalah mencapai, menuju, menyatu dengan apa yang dicinta. Tak ada sesuatu pun yang dapat mengalihkan pandangan dari hal yang dicinta, semua yang ada di dunia ini hanya bayangan dari yang dicinta. Jadi, ―Hakikat cinta adalah sekiranya engkau meleburkan seluruh dirimu demi untuk orang yang engkau cintai sehingga tidak ada sesuatupun dari engkau yang tertinggal untuk dirimu sendiri‖.

B. Doktrin Mahabbah: Memahami Ungkapan Syair Rabiah dan

Pengaruh Cinta terhadap Pendidikan Islam Pendidikan Islam mempunyai lima tujuan, yaitu: 1. Pembentukan ahlak yang mulia 2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat 3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan membawa manusia pada kesempurnaan 4. Menumbuhkan roh ilmiah pada para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu 5. Mempersiapkan pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga mudah dalam mencari rezeki. 1 Dari pemaran diatas, jelas sudah behwa pendidikan Islam menghendaki suatu pembentukan ahlak yang mulia, karena sesungguhnya dalam pandangan Allah manusia itu dilihat dari akhlaknya takwa. Ada berbagai jalan dalam proses 1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1994, hal. 26 menuju takwa, salah satunya adalah jalan cinta. Dalam pendidikan Islam, cinta sering disebut sebagai mahabbah. Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam. 2 Cinta adalah salah satu gambaran mu’amalah yang seharusnya dimiliki seorang hamba kepada Allah. Sedangkan bentuk mu’amalah yang paling besar, berpengaruh, dan tinggi derajatnya adalah ma’rifah. Ketika pengenalan kepada Allah bertambah, maka semakin tinggi –baik— mu’amalah seorang hamba kepada-Nya, dari proses ini maka bertambahlah rasa cinta kepada-Nya. Sebaliknya, jika seseorang tidak mengenal Allah, maka semakin tinggilah tingkat kerusakan yang di perbuat olehnya, ia akan tunduk kepada nafsunya. Rasa takutnya akan apa yang ada di dunia ini mengalahkan rasa takutnya kepada Allah. Ia juga akan lebih mencintai dunia; harta, tahta, dan keluarga dibanding cinta kepada Allah. Sebagaimana Firman Allah yang tertulis di dalam al-Quran surah al-Insan ayat 27;          ―Sesungguhnya mereka orang kafir itu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan hari yang berat hari akhirat di belakangnya‖. Selanjutnya dalam surah an-Naziat ayat 38-39 Allah berfirman;           ―dan mereka lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya‖. 2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hindakarya, 1990, hal. 96