Cinta atau senang maupun benci atau tidak senang itu harus didasari Lillah Billah. Jika tidak dijiwai Lillah Billah, otomatis dasarnya adalah nafsu Linnafsi
Binnafsi. Dan jika Linnafsi Binnafsi pasti ada pamrih untuk kesenangan nafsu. Cintanya cinta gadungan, cinta karena ada sebab udang di balik batu. Cinta yang
seperti ini sangat membahayakan, karena jika apa yang menjadi daya tarik cinta itu hilang atau tidak kelihatan, maka menjadi tidak cinta lagi. Begitu juga benci
atau tidak senang harus dijiwai Lillah Billah, jika tidak, berarti hanya menuruti kemauan nafsu, bukan dasar menjalankan perintah.
Dari pemaparan di atas, cinta kepada makhluk haruslah tidak sama dengan cinta kepada Khaliq. Cinta kepada makhluk haruslah hanya sebagai realisasi atau
pelaksanaan cinta kepada Khaliq. Atau sebagai manivestasi, luapan dari rasa cinta kepada Khaliq.
Seperti Firman Allah SWT:
“Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai dari pada Allah dan
Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberi keputusan-Nya. Dan Allah memberi pertunjuk kepada orang-orang yang fasik. QS : 9 :
24
Jadi cinta kita kepada badan kita sendiri, kepada orang tua, kepada suami, istri, kepada keluarga dan lain-lain itu seharusnya hanya sebagai pelaksanaan atau
cetusan dari rasa cinta kita kepada Allah wa Rasuulihi. Ini dapat timbul dari hati yang senantiasa menerapkan Lillah Billah, Lirrasul Birrasul
Mahabbatullah dapat bertambah mendalam dan bertambah murni dengan Mahabbatur-Rasul, dan Mahabbatur-Rasul
dapat menjadi subur antar
lain dengan memperbanyak berangan-angan atau mengingat Rasullullah di mana saja kita berada, dan dengan memperbanyak membaca sholawat.
Adapun hubungan mahabbah dalam masyarakat dan dengan semua mahluk pada umumnya yaitu dengan senantiasa takholluq biakhlaqi mahbubihi berbudi
pekerti meniru pada budi pekerti Allah dan Rasul-Nya. Jadi, Mahabbatullah dan Mahabbatur-Rasul itu merupakan pakunya iman. Iman tanpa mahabbah adalah
iman yang goyah, tidak mantap, bagaikan sebuah poster yang tertempel pada dinding tembok yang mudah luntur warnanya, dan cepat terkelupas.
Arti kasih sayang dan senang terhadap apa saja yang dikasihi mahbubnya. Bersikap rouf rohim, senang memberi pertolongan kepada siapa saja. Tindak
lakunya selalu menyenangkan dan membuahkan manfaat bagi masyarakat. Tidak menonjolkan diri, selalu
tawadhu’dan ramah tamah. Akan tetapi dimana perlu bertindak tegas patriotik dan heroik bersikap pahlawan di dalam membela
kebenaran dan keadilan yang dikehendaki oleh Mahbub-nya yakni Allah wa Rosulihi.
‖ Yajtahidu fil sabiilillah‖ bersungguh-sungguh di jalan Allah. Tidak sayang mencurahkan tenaga, harta dan apa saja yang dimilikinya demi buat yang
dicintai. Mahabbah atau cinta itu ada tingkat-tingkat ukuran dan kualitasnya.
1. Mahabbah Sifatiyah, Cinta karena tertarik kepada sifat-sifat dari yang dicintai-nya. Gagah, cantik, simpatik, lincah, pandai dan sebagainya. Cinta
semacam ini mudah berubah dan mudah kena pengaruh. Jika sifat-sifat yang menjadi daya tarik itu hilang atau berubah atau tidak kelihatan, maka cintanyapun
berubah bahkan bisa hilang sama sekali. Bahkan mungkin bisa menjadi kebencian.
2. Mahabbah Fi’liyyah, Cinta karena tertarik pekerjaan, jabatan atau
kekayaan orang yang dicintai. Cinta semacam ini juga tidak awet, mudah berubah seperti halnya mahabbah sifatiyah. Yang awet adalah :
3. Mahabbah Dzatiyyah, Cinta terhadap dzat atau wujudnya yang dicintai, bagaimana pun keadaan dan rupa serta bentuknya tetap mencinta. Inilah yang
disebut dengan cinta sejati. Jadi, jika cinta diterapkan dalam proses pendidikan Islam lalu di realisasikan
dalam sebuah bentuk perbuatan, maka akan tercerminlah prilaku-prilaku yang menunjukan diri sebagai Khalifah yang sejati, yang di dalam al-Quran Allah telah
jelaskan kepada para malaikat bahwa Ia akan menurunkan utusan-Nya di muka bumi; yang akan menjalankan kewajibannya sebagai hamba yang sadar kepada
Allah
1. Memahami Ungkapan syair Rabiah
Mahabbah, adalah ajaran yang di usung oleh Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang berasal dari Basrah. Pemahamannya tentang cinta di
aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baginya tak ada sesuatu pun yang lebih indah dibanding Sang Kekasih. Hal ini tercermin dari kehidupan sehari-harinya
sebagai seorang pecinta. Tak ada satupun ruang di hatinya untuk membenci sesuatu, sekalipun itu adalah Iblis. Hatinya sudah penuh dengan rasa cinta
terhadap Sang Kekasih. Baginya, cinta adalah sesuatu yang sangat istimewa yang telah diberikan
Tuhan. Hal ini terlihat pada perilaku dan ucapannya. Pernah suatu kali dalam hidupnya ia berlari-lari sambil membawa sebuah obor dan seember air, lalu ia
berkata;
―Aku akan menyalakan api di Surga dan menyiram air ke dalam Neraka sehingga hijab diantara keduanya akan tersingkap sama sekali dari orang-orang yang
berziarah dan tujuan mereka akan semakin yakin, kemudian hamba-hamba Allah yang setia akan mampu menatap-Nya, tanpa ada motivasi, baik pengharapan
maupun takut. Bagaimana jadinya jika Surga dan Neraka tak pernah ada?. Maka tak ada satupun orang yang akan menyembah dan taat pada Allah‖.
3
Untuk menganalisa syair yang diucapkan oleh Rabiah, hal yang pertama kali penulis lakukan adalah dengan menggunakan teori yang biasa digunakan
dalam kajian sastra, yaitu; unsur instrinsik. Unsur intrinstik mempunyai berbagai cabang yang di dalamnya terdapat tema dan amanat.
Tema merupakan suatu amanat utama yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karangan atau ucapannya. Amanat utama ini dapat diketahui setelah
seseorang membaca sebuah karangan, tulisan ataupun cerita. Setelah membaca karangan maka akan meresaplah ke dalam pikiran pembaca tentang intisari makna
dari seluruh karangan yang ditulis. Intisari atau amanat inilah yang dinamakan dengan tema. Sedangkan amanat adalah pesan atau tujuan yang ingin disampaikan
penulis kepada pembaca.
4
Dalam syair yang diucapkan oleh Rabiah, dapat disimpulkan bahwa tema yang diusung dalam syairnya tersebut adalah tentang sebuah ketulusan yang
disebut CINTA. Cinta seorang hamba kepada Kekasihnya, yang tak lagi mengharapkan sesuatu selain perjumpaan dengan-Nya. Dalam syair itu
digambarkan bahwa surga dan neraka tak lagi menjadi tujuan utama dalam kehidupan seorang hamba kepada Tuhan. Yang diharapkan adalah keyakinan
yang kuat serta perjumpaan secara langsung tanpa ada hijab sedikitpun. Dalam bahasa Indonesia kata cinta dapat berarti; suka sekali, sayang benar,
kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau susah khawatir.
5
Sedangkan secara psikologis, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila
3
. Margareth Smith, Rabiah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997, hal.
112
4
Gorys Keraf, Komposisi, Jakarta : Nusa Indah, 1994, Cet, X, hal. 108
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Jakarta: Balai Pustaka, 1989 hal. 168
muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi dimana objek itu terletak atau berada.
6
Sedangkan amanat atau pesan yang ingin disampaikan dalam syair itu adalah bahwa segala sesuatu; baik itu dalam melakukan ibadah, muamalah harus
didasari oleh cinta, karena cinta merupakan langkah awal dalam melakukan sesuatu agar lebih baik. Seperti contoh ketika seorang melakukan pekerjaan yang
sangat berat dan butuh perjuangan yang besar pula, jika tidak didasari oleh cinta dalam melakukan hal tersebut maka yang akan terjadi adalah kesia-siaan, hanya
sebatas jadi saja, yang penting sudah dilaksanakan. Selanjutnya, dalam mengkaji makna syair yang diucapkan Rabiah, penulis
menggunakan ilmu semantik agar lebih detail dalam memahami dan menganalisa. Dalam kajian semantik ada yang disebut sebagai aspek makna, yaitu; makna yang
menunjukan fungsi sebagai pengertian, perasaan, nada, dan tujuan.
7
Aspek makna sebagai pengertian dalam syair itu dapat dilihat dari kata- katanya yang berbunyi ―sehingga hijab diantara keduanya akan tersingkap sama
sekali dari orang-orang yang berziarah dan tujuan mereka akan semakin yakin, kemudian hamba-hamba Allah yang setia akan mampu menatap-Nya
‖. Ini menunjukan bahwa maksud atau pesan yang ingin disampaikan adalah agar kita
benar-benar merasa yakin dalam beribadah sehingga mampu bertemu dengan Allah. Tidak ada lagi embel-embel
–Surga dan Neraka— dalam beribadah, semua hanya karena Allah semata lillah.
Dalam syair itu juga terdapat makna yang menunjukan sebuah perasaan; yaitu ketika ia ingin membakar Surga dan memadamkan Neraka. Perasaan itu
timbul karena rasa jengkel terhadap tingkah laku seseorang yang apabila beribadah hanya karena ingin mendapat Surga dan takut akan Neraka. Perasaan
itu ia wujudkan dengan membawa sebuah simbol; obor dan seember air. Sebagai seorang penyair
–karena ucapan-ucapannya termasuk ke dalam sebuah sastra—,
6
James Drever, Kamus Psikologi, terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psyhology,
Jakarta: Bina Aksara, 1988, hal. 263
7
Prof. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2; Relasi Makna, Paradigmatik, Sintagmatik, Derivasional,
Bandung : PT Refika Aditama, 2013, hal. 3
Rabiah, aspek makna perasaan yang menyelimuti dirinya diungkapkan di dalam kata-kata yang menyatakan tentang lingkungan dan kehidupan masyarakat
sekitarnya. Selain menunjukan makna perasaan, syair itu juga menunjukan makna
tentang sebuah tujuan. ―jika Surga dan Neraka tak pernah ada, maka tak ada satupun orang yang akan beribadah dan taat kepada Allah‖. Tujuan yang
dimaksud oleh Rabiah dalam syairnya ini adalah agar seseorang beribadah dan taat kepada Allah semata-mata untuk mengabdikan diri pada Allah
–Lillah Billah
— tanpa ada rasa takut akan Neraka dan harapan akan Surga. Sebagaimana dijelaskan dalam al-
Qur’an surah az-Zarriyat ayat 56;
―Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku‖. Ibadah itu tidak melulu berupa sholat, puasa, haji, zakat, dan perbuatan
mahdzoh lainnya. Dalam hubungan ekonomi, politik, sosial, keluarga, dan pendidikan pun bisa dijadikan sebagai sarana dalam beribadah. Yang terpenting
dalam ibadah itu harus di dasari oleh perasaan ―Lillah‖ – segala perbuatan apa saja
lahir maupun batin, baik yang berhububungan dengan langsung kepada Allah wa Rosulihi SAW maupun berhubungan dengan sesama makhluq, baik kedudukan
hukumnya wajib, sunnah, atau mubah, asal bukan perbuatan yang merugikan yang tidak di ridloi Allah, bukan perbuatan yang merugikan, melaksanakanya supaya
disertai niat beribadah mengabdikan diri kepada Allah dengan ikhlas tanpa
pamrih; baik pamrih ukhrowi, maupun pamrih duniawi
—, dan juga harus didasari perasaan ―Billah‖ –
merasa dan menyadari bahwa segalanya termasuk gerak gerik, lahir batin, tenaga, pikiran dll adalah ciptaan Allah, yakni laa haula walaa
quwwata illaa billaah tiada daya kekuatan melainkan karena Allah —.
Dari ungkapan yang di lontarkan Rabiah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya segala sesuatu baik itu yang berupa ibadah atau perbuatan lainnya
harus semata-mata di dasari karena Allah, karena perasaan cinta kepada Allah.
2. Pengaruh Sastra Cinta Mahabbah Terhadap Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam mengacu pada term al –Tarbiyah,
penggunaan kata al –Tarbiyah berasal dari kata Rabb. Walaupun kata ini memiliki
banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestariannya atau
eksistensinya.
8
Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si peserta didik menuju
kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal.
9
Manusia ideal adalah manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad saw, yaitu
menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dalam kajian tasawuf, manusia ideal disebut dengan Insan kamil yang
berarti manusia sempurna. Insan kamil adalah dambaan atau tujuan hidup semua manusia, ia merupakan sebuah pencapaian yang akan menjadikan seorang
manusia berahlak mulia. Oleh karena itu tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah
―memanusiakan manusia‖, yang berarti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohaniah, intusi, kata hati, akal sehat, dan fitrah.
Salah satu yang dapat dijadikan jalan bagi seseorang dalam menjadi insan kamil adalah dengan jalan cinta. Jika setiap anak didik ditanamkan perasaan cinta
dalam melakukan segala sesuatu, baik itu dalam proses belajar, pergaulan, pekerjaan niscaya tak ada lagi orang-orang yang melakukan tindakan yang
bersifat merugikan diri sendiri dan orang lain. Agar perasaan cinta timbul
–terlebih lagi cinta kepada Allah—, maka harus dibiasakan atau dikenalkan sejak usia dini, karena pendidikan merupakan suatu
yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan pertama berada dalam
8
Ahmad Syalabi, Tarikh al –Tarbiyat al–Islamiyat, Kairo : al-Kasyaf, 1954, hal 21
9
Abudinnata, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 101
lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekitar, dilanjutkan kedalam lembaga- lembaga pendidikan lainnya; baik formal maupun non formal.
Salah satu asas metode pendidikan Islam adalah asas keteladanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan diteladani.
10
Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai
aspek kehidupan, baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk
melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan terarah.
11
Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan intelektual seorang anak, karena orang tua bertanggung jawab terhadap iman dan
moral seorang anak. Jika seorang anak dibiasakan atau di didik untuk cinta kepada Allah
–bukan lagi di didik karena ancaman akan neraka dan harapan akan surga— , dalam setiap perbuatan dan pekerjaannya, otomatis anak akan terbiasa untuk
cinta kepada Allah. Karena cinta itu perlu dibiasakan, seperti pepatah orang jawa ―witing tresno soko jalaran soko kulino‖ yang kurang lebih artinya dalam bahasa
indonesia adalah cinta timbul karena sering bersama atau biasa. Pertumbuhan karakter seorang anak itu ditentukan oleh pendidikan pertama
yang ia terima, terlebih lagi dalam urusan agama. Jika dalam tahap pertama anak didik tidak pernah diajarkan atau diberi contoh oleh kedua orang tua akan agama,
pentingnya beragama, dan bagaimana caranya menjalankan perintah agama, maka akan dipastikan anak itu akan jauh dari nilai-nilai keagamaan.
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Kak Seto, bahwa pendidikan pertama seorang anak
–berkisar antara 0-5 tahun— merupakan masa kritis. Hal ini disebabkan karena pada usia inilah terjadi pembentukan struktur dasar
kepribadian seorang anak. Untuk mengisi masa-masa kritis yang sangat singkat ini, orang tua harus berbuat banyak. Selain memperhatikan kebutuhan fisik, orang
10
Al-Rasyidin, Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, Tanggerang : Ciputat Press, 2005, hal 70
11
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 9
tua juga harus memberikan rangsangan-rangsangan mental kepada anak. Salah satu aspek terpenting dalam tahap pertama adalah mengenalkan atau
membiasakan anak hidup dengan cinta kasih sayang, sebab dengan cinta maka anak akan dapat menerima berbagai pengaruh positif yang diberikan kepadanya.
12
Tahap selanjutnya adalah mengajarkan bagaimana seharusnya hubungan seorang hamba dalam konteks mencintai Allah, merupakan tahapan yang sulit,
yang jika tidak dibiasakan sejak usia dini akan membuatnya sulit untuk dapat mencintai-Nya. Pendidikan seperti ini
–mencintai Allah—, membutuhkan latihan- latihan yang teratur. Salah satu cara agar bisa belajar mencintai Allah adalah
dengan menggunakan sastra sebagai sarana pembelajaran. Melalui sastra, seorang pendidik bisa mengembangkan peserta didik dalam
hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika. Selain itu juga dapat mengembangkan kecakapan hidup, belajar
sepanjang hayat, serta pendidikan keseluruhan dan kemitraan.
13
Melanie Budianta dalam bukunya yang berjudul
―Membaca Sastra‖ mengemukakan istilah ―dulce et utile
‖, yaitu.sastra mempunyai fungsi ganda, pertama, yakni menghibur dengan cara keindahan, memberi makna tentang kehidupan, kematian, kesengsaraan, serta
kegembiraan. Kedua, sastra mempunyai fungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, serta tentang apa yang baik dan buruk.
14
Dalam dunia pendidikan, sastra atau syair mempunyai manfaat yang mencakup 4 hal, yaitu :
1. Membantu keterampilan berbahasa, menyimak, wicara, membaca, dan
menulis. Mengikutsertakan sastra atau syair dalam proses pendidikan berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan
mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.
2. Menigkatkan pengetahuan budaya, setiap system pendidikan seharusnya
menanamkan wawasan tentang pemahaman budaya bagi setiap pserta
12
Seto Mulyadi, Pendidikan Indonesia; Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta, Jakarta: Dasmedia Utama, hal. 244, 245
13
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008. hal. 170
14
Melani Budianta, Membaca Sastra, Jakarta : Indonesia Tera. 2002. Cet.I hal. 19
didik karna pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa memiliki. Melalui pemahaman budaya para siswa
dapat berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman.
3. Mengembangkan cipta dan rasa, melalui sastra peserta didik dapat
mengembangkan kecakapan yang bersifat indra, penalaran, social dan religious.
4. Menunjang pembentukan watak, dalam proses pendidikan yang
mengikutsertakan sastra dapat membuat persaan lebih tajam. Sastra dapat mengantarkan seseorang mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup
manusia seperti kebahagiaan, kesedihan, kebencian, kematian dll. Seseorang yang biasa mendalami karya sastra biasanya mempunyai
perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai.
15
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, pendidikan merupakan suatu yang paling penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikan
harus di dasari semata-mata karena Allah, mencari keridhaan Allah, dan mengamalkan ilmu dari hasil pendidikan juga harus karena Allah, kerena cintanya
kepada Allah. Jika setiap pendidikan Islam ditanamkan pengertian seperti ini –
cinta kepada Allah —, bukan lagi mengajarkan akan ganjaran surga dan neraka
atas setiap perbuatan, niscaya pendidikan Islam akan mengalami kemajuan; baik dari sudut moral, etika, dan kinestika.
C. Cinta Palsu; Mewaspadai Bisikan Hawa Nafsu
1. Cinta Palsu
Tindak kekerasan, kejahatan, dan kemaksiatan sudah sangat sering sekali terjadi, baik itu yang berada dalam sebuah perkampungan, pedesaan, dan
15
B.Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta : Kansius. 1988. Hal. 17
perkotaan. Hampir setiap hari berita-berita tentang tindakan seperti itu bermunculan di layar televisi. Berita-berita tentang tindakan seorang guru
mencabuli anak didiknya sudah sangat biasa, seorang ayah menghamili putrinya pun sudah sering terjadi. Fenomena-fenomena seperti ini menandakan bahwa
sesungguhnya kita sedang mengalami kondisi yang sangat kritis. Moral kita telah merosot sesuai dengan perkembangan zaman, tergerus oleh budaya-budaya luar
yang jauh dari nilai-nilai religiusitas. Setiap Manusia sudah tentu akan mengalami atau merasakan apa yang
disebut dengan cinta, akan tetapi tidak semua manusia dapat mengerti dan memahami apa yang disebut cinta itu, cinta yang sejati, yang tulus dan murni.
Sering sekali cinta dijadikan sandaran dalam melakukan perbuatan yang tidak baik, atas nama cinta seseorang merelakan dirinya untuk melakukan perbuatan
dosa. Dalam kehidupan saat ini, cinta sudah seperti barang dagangan yang
dijajakan di emperan jalan sudut kota. Cinta digambarkan dengan ikatan dua orang kekasih yang menyatukan perasaan. Realita cinta yang berkembang saat ini
hanya sebatas cinta palsu –yang menurut saya hanya sebatas nafsu yang
dibungkus dalam bingkai cinta —. Atas nama cinta sesuatu yang tabu menjadi
biasa, sesuatu yang bersifat sakral tak lagi dihiraukan. Seperti fenomena yang sering terjadi, yaitu pasangan muda dan mudi
–tak jarang para pelajar— yang secara hukum agama maupun negara tidak dibenarkan untuk melakukan
hubungan suami-istri pun bisa melakukannya. Gejala seperti ini sudah tak asing lagi di negara yang sedang berkembang,
terutama di Indonesia, pengaruh budaya dari luar diambil tanpa ada filter lagi. Media-media sosial dijadikan ajang oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab
sebagai tempat untuk memprovokasi, mendikte, bahkan sampai menyebarkan virus-virus cinta yang hanya mengutamakan nafsu semata. Cinta telah bergeser
dari makna sebenarnya, yang terjadi saat ini adalah virus-virus cinta palsu yang
sarat dengan nafsu dan jauh sekali dari hakikat cinta sesungguhnya, yang sejati, tulus dan murni.
Keadaan seperti ini mungkin tidak akan terjadi apabila dalam proses pendidikan
–baik formal atau non formal— di biasakan atau di tanamkan tentang peran cinta dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana cara hidup dalam
bermasyarakat, bersosial, dan beragama dengan sudut pandang cinta, terlebih lagi bagi seorang muslim dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam. Dan
untuk mencegah virus-virus cinta palsu ini menyebar dengan cepat pada generasi muda, alangkah baiknya jika para pendidik menggunakan konsep Mahabbah,
yang salah satu caranya adalah dengan menginternalisasikan syair-syair yang mebahas atau menyinggung masalah cinta. Karena dengan sastra
–syair— peserta didik dapat mengambil tauladan dari kisah-kisah yang telah terjadi pada masa
lampau, dan karena ketauladanan adalah salah satu dari asas-asas pendidikan Islam.
2. Mewaspadai Bisikan Nafsu
Perkataan ―nafsu‖ sudah sangat populer dalam kehidupan ini, ia merupakan ekspresi dari ―aku‖ manusia, dalam bahasa arab nafsu biasa disebut dengan Nafs.
Nafsu adalah pokok yang menghimpun akan sifat-sifat tercela yang ada pada diri manusia
16
Jihad terbesar seorang manusia dalam hidupnya adalah melawan atau menaklukan nafsunya sendiri; dalam artian membimbing nafsu ke arah yang
sebenarnya, untuk bisa sampai mencinta dan dicintai oleh Allah, seorang hamba harus keluar dari perbudakan nafsu.
Dalam setiap urusan manusia haruslah senantiasa didasarkan karena Allah, dan mencari keridhaan-Nya serta dalam rangka untuk mendekatkan diri pada-Nya
dan perjumpaan dengan-Nya. Jika dalam kenyataannya manusia tidak pernah melandaskan cara berfikir, berbuat pada dasar ini
–Lillah dan Billah—, maka
16
Al Ghazali, Tentang Rahasia Keajaiban Hati, Surabaya : al-Ikhlas, hal. 15
sudah pasti dapat dikatakan bahwa ia mendasarkan atau melandaskan pada dasar nafsu
–Linnafsu Binnafsu—. Seperti firman Allah dalam surah an-Naziyat ayat 37-41
―Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan dunia. Maka sungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat
tinggalnya‖. Nafsu merupakan nikmat yang sangat besar yang diberikan oleh Allah
kepada mahluknya kecuali malaikat, oleh sebab itu nafsu harus diarahkan, jangan sampai nafsu memegang kendali atas diri kita. Nafsu bisa menjadikan seorang
manusia lebih tinggi derajatnya dibanding malaikat dan bisa pula menjadikannya lebih rendah dibanding bintang.
Nafsu juga bisa dijadikan kendaraan dalam mencintai,dan ma’rifat kepada
Allah. Sebagai contoh, ketika kita merasakan lapar lalu kita makan dan didalam proses makan itu kita niat untuk melaksanakan kewajiban sebagai hamba
– memberi hak kepada tubuh
— dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dari proses itu kita akan bisa sampai kepada Allah dengan cara menggandeng nafsu
bersama-sama tunduk beribadah kepada Allah. Nafsu yang bisa sampai kepada Allah adalah nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang sudah bersih, sudah lunak, dan
tenang. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 27-30