Doktrin Mahabbah: Memahami Ungkapan Syair Rabiah dan

Cinta atau senang maupun benci atau tidak senang itu harus didasari Lillah Billah. Jika tidak dijiwai Lillah Billah, otomatis dasarnya adalah nafsu Linnafsi Binnafsi. Dan jika Linnafsi Binnafsi pasti ada pamrih untuk kesenangan nafsu. Cintanya cinta gadungan, cinta karena ada sebab udang di balik batu. Cinta yang seperti ini sangat membahayakan, karena jika apa yang menjadi daya tarik cinta itu hilang atau tidak kelihatan, maka menjadi tidak cinta lagi. Begitu juga benci atau tidak senang harus dijiwai Lillah Billah, jika tidak, berarti hanya menuruti kemauan nafsu, bukan dasar menjalankan perintah. Dari pemaparan di atas, cinta kepada makhluk haruslah tidak sama dengan cinta kepada Khaliq. Cinta kepada makhluk haruslah hanya sebagai realisasi atau pelaksanaan cinta kepada Khaliq. Atau sebagai manivestasi, luapan dari rasa cinta kepada Khaliq. Seperti Firman Allah SWT:                                    “Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberi keputusan-Nya. Dan Allah memberi pertunjuk kepada orang-orang yang fasik. QS : 9 : 24 Jadi cinta kita kepada badan kita sendiri, kepada orang tua, kepada suami, istri, kepada keluarga dan lain-lain itu seharusnya hanya sebagai pelaksanaan atau cetusan dari rasa cinta kita kepada Allah wa Rasuulihi. Ini dapat timbul dari hati yang senantiasa menerapkan Lillah Billah, Lirrasul Birrasul Mahabbatullah dapat bertambah mendalam dan bertambah murni dengan Mahabbatur-Rasul, dan Mahabbatur-Rasul dapat menjadi subur antar lain dengan memperbanyak berangan-angan atau mengingat Rasullullah di mana saja kita berada, dan dengan memperbanyak membaca sholawat. Adapun hubungan mahabbah dalam masyarakat dan dengan semua mahluk pada umumnya yaitu dengan senantiasa takholluq biakhlaqi mahbubihi berbudi pekerti meniru pada budi pekerti Allah dan Rasul-Nya. Jadi, Mahabbatullah dan Mahabbatur-Rasul itu merupakan pakunya iman. Iman tanpa mahabbah adalah iman yang goyah, tidak mantap, bagaikan sebuah poster yang tertempel pada dinding tembok yang mudah luntur warnanya, dan cepat terkelupas. Arti kasih sayang dan senang terhadap apa saja yang dikasihi mahbubnya. Bersikap rouf rohim, senang memberi pertolongan kepada siapa saja. Tindak lakunya selalu menyenangkan dan membuahkan manfaat bagi masyarakat. Tidak menonjolkan diri, selalu tawadhu’dan ramah tamah. Akan tetapi dimana perlu bertindak tegas patriotik dan heroik bersikap pahlawan di dalam membela kebenaran dan keadilan yang dikehendaki oleh Mahbub-nya yakni Allah wa Rosulihi. ‖ Yajtahidu fil sabiilillah‖ bersungguh-sungguh di jalan Allah. Tidak sayang mencurahkan tenaga, harta dan apa saja yang dimilikinya demi buat yang dicintai. Mahabbah atau cinta itu ada tingkat-tingkat ukuran dan kualitasnya. 1. Mahabbah Sifatiyah, Cinta karena tertarik kepada sifat-sifat dari yang dicintai-nya. Gagah, cantik, simpatik, lincah, pandai dan sebagainya. Cinta semacam ini mudah berubah dan mudah kena pengaruh. Jika sifat-sifat yang menjadi daya tarik itu hilang atau berubah atau tidak kelihatan, maka cintanyapun berubah bahkan bisa hilang sama sekali. Bahkan mungkin bisa menjadi kebencian. 2. Mahabbah Fi’liyyah, Cinta karena tertarik pekerjaan, jabatan atau kekayaan orang yang dicintai. Cinta semacam ini juga tidak awet, mudah berubah seperti halnya mahabbah sifatiyah. Yang awet adalah : 3. Mahabbah Dzatiyyah, Cinta terhadap dzat atau wujudnya yang dicintai, bagaimana pun keadaan dan rupa serta bentuknya tetap mencinta. Inilah yang disebut dengan cinta sejati. Jadi, jika cinta diterapkan dalam proses pendidikan Islam lalu di realisasikan dalam sebuah bentuk perbuatan, maka akan tercerminlah prilaku-prilaku yang menunjukan diri sebagai Khalifah yang sejati, yang di dalam al-Quran Allah telah jelaskan kepada para malaikat bahwa Ia akan menurunkan utusan-Nya di muka bumi; yang akan menjalankan kewajibannya sebagai hamba yang sadar kepada Allah

1. Memahami Ungkapan syair Rabiah

Mahabbah, adalah ajaran yang di usung oleh Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang berasal dari Basrah. Pemahamannya tentang cinta di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baginya tak ada sesuatu pun yang lebih indah dibanding Sang Kekasih. Hal ini tercermin dari kehidupan sehari-harinya sebagai seorang pecinta. Tak ada satupun ruang di hatinya untuk membenci sesuatu, sekalipun itu adalah Iblis. Hatinya sudah penuh dengan rasa cinta terhadap Sang Kekasih. Baginya, cinta adalah sesuatu yang sangat istimewa yang telah diberikan Tuhan. Hal ini terlihat pada perilaku dan ucapannya. Pernah suatu kali dalam hidupnya ia berlari-lari sambil membawa sebuah obor dan seember air, lalu ia berkata; ―Aku akan menyalakan api di Surga dan menyiram air ke dalam Neraka sehingga hijab diantara keduanya akan tersingkap sama sekali dari orang-orang yang berziarah dan tujuan mereka akan semakin yakin, kemudian hamba-hamba Allah yang setia akan mampu menatap-Nya, tanpa ada motivasi, baik pengharapan maupun takut. Bagaimana jadinya jika Surga dan Neraka tak pernah ada?. Maka tak ada satupun orang yang akan menyembah dan taat pada Allah‖. 3 Untuk menganalisa syair yang diucapkan oleh Rabiah, hal yang pertama kali penulis lakukan adalah dengan menggunakan teori yang biasa digunakan dalam kajian sastra, yaitu; unsur instrinsik. Unsur intrinstik mempunyai berbagai cabang yang di dalamnya terdapat tema dan amanat. Tema merupakan suatu amanat utama yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karangan atau ucapannya. Amanat utama ini dapat diketahui setelah seseorang membaca sebuah karangan, tulisan ataupun cerita. Setelah membaca karangan maka akan meresaplah ke dalam pikiran pembaca tentang intisari makna dari seluruh karangan yang ditulis. Intisari atau amanat inilah yang dinamakan dengan tema. Sedangkan amanat adalah pesan atau tujuan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. 4 Dalam syair yang diucapkan oleh Rabiah, dapat disimpulkan bahwa tema yang diusung dalam syairnya tersebut adalah tentang sebuah ketulusan yang disebut CINTA. Cinta seorang hamba kepada Kekasihnya, yang tak lagi mengharapkan sesuatu selain perjumpaan dengan-Nya. Dalam syair itu digambarkan bahwa surga dan neraka tak lagi menjadi tujuan utama dalam kehidupan seorang hamba kepada Tuhan. Yang diharapkan adalah keyakinan yang kuat serta perjumpaan secara langsung tanpa ada hijab sedikitpun. Dalam bahasa Indonesia kata cinta dapat berarti; suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau susah khawatir. 5 Sedangkan secara psikologis, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila 3 . Margareth Smith, Rabiah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997, hal. 112 4 Gorys Keraf, Komposisi, Jakarta : Nusa Indah, 1994, Cet, X, hal. 108 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1989 hal. 168 muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi dimana objek itu terletak atau berada. 6 Sedangkan amanat atau pesan yang ingin disampaikan dalam syair itu adalah bahwa segala sesuatu; baik itu dalam melakukan ibadah, muamalah harus didasari oleh cinta, karena cinta merupakan langkah awal dalam melakukan sesuatu agar lebih baik. Seperti contoh ketika seorang melakukan pekerjaan yang sangat berat dan butuh perjuangan yang besar pula, jika tidak didasari oleh cinta dalam melakukan hal tersebut maka yang akan terjadi adalah kesia-siaan, hanya sebatas jadi saja, yang penting sudah dilaksanakan. Selanjutnya, dalam mengkaji makna syair yang diucapkan Rabiah, penulis menggunakan ilmu semantik agar lebih detail dalam memahami dan menganalisa. Dalam kajian semantik ada yang disebut sebagai aspek makna, yaitu; makna yang menunjukan fungsi sebagai pengertian, perasaan, nada, dan tujuan. 7 Aspek makna sebagai pengertian dalam syair itu dapat dilihat dari kata- katanya yang berbunyi ―sehingga hijab diantara keduanya akan tersingkap sama sekali dari orang-orang yang berziarah dan tujuan mereka akan semakin yakin, kemudian hamba-hamba Allah yang setia akan mampu menatap-Nya ‖. Ini menunjukan bahwa maksud atau pesan yang ingin disampaikan adalah agar kita benar-benar merasa yakin dalam beribadah sehingga mampu bertemu dengan Allah. Tidak ada lagi embel-embel –Surga dan Neraka— dalam beribadah, semua hanya karena Allah semata lillah. Dalam syair itu juga terdapat makna yang menunjukan sebuah perasaan; yaitu ketika ia ingin membakar Surga dan memadamkan Neraka. Perasaan itu timbul karena rasa jengkel terhadap tingkah laku seseorang yang apabila beribadah hanya karena ingin mendapat Surga dan takut akan Neraka. Perasaan itu ia wujudkan dengan membawa sebuah simbol; obor dan seember air. Sebagai seorang penyair –karena ucapan-ucapannya termasuk ke dalam sebuah sastra—, 6 James Drever, Kamus Psikologi, terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psyhology, Jakarta: Bina Aksara, 1988, hal. 263 7 Prof. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2; Relasi Makna, Paradigmatik, Sintagmatik, Derivasional, Bandung : PT Refika Aditama, 2013, hal. 3 Rabiah, aspek makna perasaan yang menyelimuti dirinya diungkapkan di dalam kata-kata yang menyatakan tentang lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Selain menunjukan makna perasaan, syair itu juga menunjukan makna tentang sebuah tujuan. ―jika Surga dan Neraka tak pernah ada, maka tak ada satupun orang yang akan beribadah dan taat kepada Allah‖. Tujuan yang dimaksud oleh Rabiah dalam syairnya ini adalah agar seseorang beribadah dan taat kepada Allah semata-mata untuk mengabdikan diri pada Allah –Lillah Billah — tanpa ada rasa takut akan Neraka dan harapan akan Surga. Sebagaimana dijelaskan dalam al- Qur’an surah az-Zarriyat ayat 56;        ―Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada- Ku‖. Ibadah itu tidak melulu berupa sholat, puasa, haji, zakat, dan perbuatan mahdzoh lainnya. Dalam hubungan ekonomi, politik, sosial, keluarga, dan pendidikan pun bisa dijadikan sebagai sarana dalam beribadah. Yang terpenting dalam ibadah itu harus di dasari oleh perasaan ―Lillah‖ – segala perbuatan apa saja lahir maupun batin, baik yang berhububungan dengan langsung kepada Allah wa Rosulihi SAW maupun berhubungan dengan sesama makhluq, baik kedudukan hukumnya wajib, sunnah, atau mubah, asal bukan perbuatan yang merugikan yang tidak di ridloi Allah, bukan perbuatan yang merugikan, melaksanakanya supaya disertai niat beribadah mengabdikan diri kepada Allah dengan ikhlas tanpa pamrih; baik pamrih ukhrowi, maupun pamrih duniawi —, dan juga harus didasari perasaan ―Billah‖ – merasa dan menyadari bahwa segalanya termasuk gerak gerik, lahir batin, tenaga, pikiran dll adalah ciptaan Allah, yakni laa haula walaa quwwata illaa billaah tiada daya kekuatan melainkan karena Allah —. Dari ungkapan yang di lontarkan Rabiah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya segala sesuatu baik itu yang berupa ibadah atau perbuatan lainnya harus semata-mata di dasari karena Allah, karena perasaan cinta kepada Allah.

2. Pengaruh Sastra Cinta Mahabbah Terhadap Pendidikan Islam

Istilah pendidikan dalam konteks Islam mengacu pada term al –Tarbiyah, penggunaan kata al –Tarbiyah berasal dari kata Rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestariannya atau eksistensinya. 8 Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si peserta didik menuju kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal. 9 Manusia ideal adalah manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad saw, yaitu menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dalam kajian tasawuf, manusia ideal disebut dengan Insan kamil yang berarti manusia sempurna. Insan kamil adalah dambaan atau tujuan hidup semua manusia, ia merupakan sebuah pencapaian yang akan menjadikan seorang manusia berahlak mulia. Oleh karena itu tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah ―memanusiakan manusia‖, yang berarti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohaniah, intusi, kata hati, akal sehat, dan fitrah. Salah satu yang dapat dijadikan jalan bagi seseorang dalam menjadi insan kamil adalah dengan jalan cinta. Jika setiap anak didik ditanamkan perasaan cinta dalam melakukan segala sesuatu, baik itu dalam proses belajar, pergaulan, pekerjaan niscaya tak ada lagi orang-orang yang melakukan tindakan yang bersifat merugikan diri sendiri dan orang lain. Agar perasaan cinta timbul –terlebih lagi cinta kepada Allah—, maka harus dibiasakan atau dikenalkan sejak usia dini, karena pendidikan merupakan suatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan pertama berada dalam 8 Ahmad Syalabi, Tarikh al –Tarbiyat al–Islamiyat, Kairo : al-Kasyaf, 1954, hal 21 9 Abudinnata, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 101 lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekitar, dilanjutkan kedalam lembaga- lembaga pendidikan lainnya; baik formal maupun non formal. Salah satu asas metode pendidikan Islam adalah asas keteladanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan diteladani. 10 Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan terarah. 11 Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan intelektual seorang anak, karena orang tua bertanggung jawab terhadap iman dan moral seorang anak. Jika seorang anak dibiasakan atau di didik untuk cinta kepada Allah –bukan lagi di didik karena ancaman akan neraka dan harapan akan surga— , dalam setiap perbuatan dan pekerjaannya, otomatis anak akan terbiasa untuk cinta kepada Allah. Karena cinta itu perlu dibiasakan, seperti pepatah orang jawa ―witing tresno soko jalaran soko kulino‖ yang kurang lebih artinya dalam bahasa indonesia adalah cinta timbul karena sering bersama atau biasa. Pertumbuhan karakter seorang anak itu ditentukan oleh pendidikan pertama yang ia terima, terlebih lagi dalam urusan agama. Jika dalam tahap pertama anak didik tidak pernah diajarkan atau diberi contoh oleh kedua orang tua akan agama, pentingnya beragama, dan bagaimana caranya menjalankan perintah agama, maka akan dipastikan anak itu akan jauh dari nilai-nilai keagamaan. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Kak Seto, bahwa pendidikan pertama seorang anak –berkisar antara 0-5 tahun— merupakan masa kritis. Hal ini disebabkan karena pada usia inilah terjadi pembentukan struktur dasar kepribadian seorang anak. Untuk mengisi masa-masa kritis yang sangat singkat ini, orang tua harus berbuat banyak. Selain memperhatikan kebutuhan fisik, orang 10 Al-Rasyidin, Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, Tanggerang : Ciputat Press, 2005, hal 70 11 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 9 tua juga harus memberikan rangsangan-rangsangan mental kepada anak. Salah satu aspek terpenting dalam tahap pertama adalah mengenalkan atau membiasakan anak hidup dengan cinta kasih sayang, sebab dengan cinta maka anak akan dapat menerima berbagai pengaruh positif yang diberikan kepadanya. 12 Tahap selanjutnya adalah mengajarkan bagaimana seharusnya hubungan seorang hamba dalam konteks mencintai Allah, merupakan tahapan yang sulit, yang jika tidak dibiasakan sejak usia dini akan membuatnya sulit untuk dapat mencintai-Nya. Pendidikan seperti ini –mencintai Allah—, membutuhkan latihan- latihan yang teratur. Salah satu cara agar bisa belajar mencintai Allah adalah dengan menggunakan sastra sebagai sarana pembelajaran. Melalui sastra, seorang pendidik bisa mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika. Selain itu juga dapat mengembangkan kecakapan hidup, belajar sepanjang hayat, serta pendidikan keseluruhan dan kemitraan. 13 Melanie Budianta dalam bukunya yang berjudul ―Membaca Sastra‖ mengemukakan istilah ―dulce et utile ‖, yaitu.sastra mempunyai fungsi ganda, pertama, yakni menghibur dengan cara keindahan, memberi makna tentang kehidupan, kematian, kesengsaraan, serta kegembiraan. Kedua, sastra mempunyai fungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, serta tentang apa yang baik dan buruk. 14 Dalam dunia pendidikan, sastra atau syair mempunyai manfaat yang mencakup 4 hal, yaitu : 1. Membantu keterampilan berbahasa, menyimak, wicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan sastra atau syair dalam proses pendidikan berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. 2. Menigkatkan pengetahuan budaya, setiap system pendidikan seharusnya menanamkan wawasan tentang pemahaman budaya bagi setiap pserta 12 Seto Mulyadi, Pendidikan Indonesia; Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta, Jakarta: Dasmedia Utama, hal. 244, 245 13 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008. hal. 170 14 Melani Budianta, Membaca Sastra, Jakarta : Indonesia Tera. 2002. Cet.I hal. 19 didik karna pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa memiliki. Melalui pemahaman budaya para siswa dapat berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman. 3. Mengembangkan cipta dan rasa, melalui sastra peserta didik dapat mengembangkan kecakapan yang bersifat indra, penalaran, social dan religious. 4. Menunjang pembentukan watak, dalam proses pendidikan yang mengikutsertakan sastra dapat membuat persaan lebih tajam. Sastra dapat mengantarkan seseorang mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kesedihan, kebencian, kematian dll. Seseorang yang biasa mendalami karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai. 15 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, pendidikan merupakan suatu yang paling penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikan harus di dasari semata-mata karena Allah, mencari keridhaan Allah, dan mengamalkan ilmu dari hasil pendidikan juga harus karena Allah, kerena cintanya kepada Allah. Jika setiap pendidikan Islam ditanamkan pengertian seperti ini – cinta kepada Allah —, bukan lagi mengajarkan akan ganjaran surga dan neraka atas setiap perbuatan, niscaya pendidikan Islam akan mengalami kemajuan; baik dari sudut moral, etika, dan kinestika.

C. Cinta Palsu; Mewaspadai Bisikan Hawa Nafsu

1. Cinta Palsu

Tindak kekerasan, kejahatan, dan kemaksiatan sudah sangat sering sekali terjadi, baik itu yang berada dalam sebuah perkampungan, pedesaan, dan 15 B.Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta : Kansius. 1988. Hal. 17 perkotaan. Hampir setiap hari berita-berita tentang tindakan seperti itu bermunculan di layar televisi. Berita-berita tentang tindakan seorang guru mencabuli anak didiknya sudah sangat biasa, seorang ayah menghamili putrinya pun sudah sering terjadi. Fenomena-fenomena seperti ini menandakan bahwa sesungguhnya kita sedang mengalami kondisi yang sangat kritis. Moral kita telah merosot sesuai dengan perkembangan zaman, tergerus oleh budaya-budaya luar yang jauh dari nilai-nilai religiusitas. Setiap Manusia sudah tentu akan mengalami atau merasakan apa yang disebut dengan cinta, akan tetapi tidak semua manusia dapat mengerti dan memahami apa yang disebut cinta itu, cinta yang sejati, yang tulus dan murni. Sering sekali cinta dijadikan sandaran dalam melakukan perbuatan yang tidak baik, atas nama cinta seseorang merelakan dirinya untuk melakukan perbuatan dosa. Dalam kehidupan saat ini, cinta sudah seperti barang dagangan yang dijajakan di emperan jalan sudut kota. Cinta digambarkan dengan ikatan dua orang kekasih yang menyatukan perasaan. Realita cinta yang berkembang saat ini hanya sebatas cinta palsu –yang menurut saya hanya sebatas nafsu yang dibungkus dalam bingkai cinta —. Atas nama cinta sesuatu yang tabu menjadi biasa, sesuatu yang bersifat sakral tak lagi dihiraukan. Seperti fenomena yang sering terjadi, yaitu pasangan muda dan mudi –tak jarang para pelajar— yang secara hukum agama maupun negara tidak dibenarkan untuk melakukan hubungan suami-istri pun bisa melakukannya. Gejala seperti ini sudah tak asing lagi di negara yang sedang berkembang, terutama di Indonesia, pengaruh budaya dari luar diambil tanpa ada filter lagi. Media-media sosial dijadikan ajang oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab sebagai tempat untuk memprovokasi, mendikte, bahkan sampai menyebarkan virus-virus cinta yang hanya mengutamakan nafsu semata. Cinta telah bergeser dari makna sebenarnya, yang terjadi saat ini adalah virus-virus cinta palsu yang sarat dengan nafsu dan jauh sekali dari hakikat cinta sesungguhnya, yang sejati, tulus dan murni. Keadaan seperti ini mungkin tidak akan terjadi apabila dalam proses pendidikan –baik formal atau non formal— di biasakan atau di tanamkan tentang peran cinta dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana cara hidup dalam bermasyarakat, bersosial, dan beragama dengan sudut pandang cinta, terlebih lagi bagi seorang muslim dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam. Dan untuk mencegah virus-virus cinta palsu ini menyebar dengan cepat pada generasi muda, alangkah baiknya jika para pendidik menggunakan konsep Mahabbah, yang salah satu caranya adalah dengan menginternalisasikan syair-syair yang mebahas atau menyinggung masalah cinta. Karena dengan sastra –syair— peserta didik dapat mengambil tauladan dari kisah-kisah yang telah terjadi pada masa lampau, dan karena ketauladanan adalah salah satu dari asas-asas pendidikan Islam.

2. Mewaspadai Bisikan Nafsu

Perkataan ―nafsu‖ sudah sangat populer dalam kehidupan ini, ia merupakan ekspresi dari ―aku‖ manusia, dalam bahasa arab nafsu biasa disebut dengan Nafs. Nafsu adalah pokok yang menghimpun akan sifat-sifat tercela yang ada pada diri manusia 16 Jihad terbesar seorang manusia dalam hidupnya adalah melawan atau menaklukan nafsunya sendiri; dalam artian membimbing nafsu ke arah yang sebenarnya, untuk bisa sampai mencinta dan dicintai oleh Allah, seorang hamba harus keluar dari perbudakan nafsu. Dalam setiap urusan manusia haruslah senantiasa didasarkan karena Allah, dan mencari keridhaan-Nya serta dalam rangka untuk mendekatkan diri pada-Nya dan perjumpaan dengan-Nya. Jika dalam kenyataannya manusia tidak pernah melandaskan cara berfikir, berbuat pada dasar ini –Lillah dan Billah—, maka 16 Al Ghazali, Tentang Rahasia Keajaiban Hati, Surabaya : al-Ikhlas, hal. 15 sudah pasti dapat dikatakan bahwa ia mendasarkan atau melandaskan pada dasar nafsu –Linnafsu Binnafsu—. Seperti firman Allah dalam surah an-Naziyat ayat 37-41                             ―Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan dunia. Maka sungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya‖. Nafsu merupakan nikmat yang sangat besar yang diberikan oleh Allah kepada mahluknya kecuali malaikat, oleh sebab itu nafsu harus diarahkan, jangan sampai nafsu memegang kendali atas diri kita. Nafsu bisa menjadikan seorang manusia lebih tinggi derajatnya dibanding malaikat dan bisa pula menjadikannya lebih rendah dibanding bintang. Nafsu juga bisa dijadikan kendaraan dalam mencintai,dan ma’rifat kepada Allah. Sebagai contoh, ketika kita merasakan lapar lalu kita makan dan didalam proses makan itu kita niat untuk melaksanakan kewajiban sebagai hamba – memberi hak kepada tubuh — dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dari proses itu kita akan bisa sampai kepada Allah dengan cara menggandeng nafsu bersama-sama tunduk beribadah kepada Allah. Nafsu yang bisa sampai kepada Allah adalah nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang sudah bersih, sudah lunak, dan tenang. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 27-30                 