anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan dapat mencapai kesempurnaan batiniyah.
Maka Rabiah sering dibawa ayahnya kesebuah musolah dipinggir kota Basrah. Ditempat inilah Rabiah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang
Khaliq.
7
Sejak kecil, Rabiah sudah terbiasa menggantungkan semua harapan kepada dirinya sendiri. Ia sangat memahami kondisi ekonomi orang tuanya, sehingga ia tidak
pernah merasa menuntut banyak terhadap orang tuanya. Ia selalu menerima apapun yang diberikan padanya.
Pernah suatu hari, ketika seluruh angggota keluarga telah duduk disekitar meja makan, kecuali Rabiah. Diceritakan oleh Muhammad Atiyah Khamis sebagai berikut:
Ia masih saja berdiri memandang ayahnya, seolah minta penjelasan dari ayahnya mengenai makanan yang terhidang. Karena ayahnya masih berdiam diri, Rabiah
berkata; ―Ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal.‖ Dengan keheranan ayahnya menatap muka putrinya yang masih kecil itu, yang telah
memperlihatkan iman yang kuat. Ayahnya menjawab: ―Rabiah, bagaimana pendapatmu jika tiada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?‖
Rabiah menjawab: ―Biar saja kita menahan lapar di dunia ini, lebih baik dari pada kita menahannya kelak diakhirat dalam api neraka.‖
8
Saat masih kecil Rabiah adalah gadis yang saleh. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal. Ia menjadi anak yatim piatu, yang tidak mewarisi harta benda dari
kedua orang tuanya. Dalam usia yang masih muda Rabiah dan kakak-kakanya harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidup.
7
Ismail, op.cit., hal 133
8
Muhammad Atiyah Khamis, Rabiah al-Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin dari Rabiah El Adawiyah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hal. 8
3. Masa Remaja Hingga Dewasa Rabiah
Menjelang dewasa Rabiah telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, akan tetapi hal ini tidak menjadikannya asing dengan kemiskinan dan penderitaan, ia tidak
merasa canggung bekerja dari pagi hingga sore untuk menyambung hidupnya.
9
Kini Rabiah hidup bersama dengan tiga saudara perempuannya. Ia meneruskan pekerjaan ayahnya dengan menyembrangi orang disungai Dijlah dengan sampannya.
Hal ini ia lakukan secara terus menerus hingga pada akhirnya ia dikenal dengan nama Rabiah al-Adawiyah.
10
Menurut cerita, Rabiah adalah anak yang paling siap mental dan fisiknya dibanding dengan ketiga sauda-saudaranya yang lain untuk hidup mandiri. Akan
tetapi ia sering menangis karena teringat kedua orang tuanya. Namun tak jarang juga ia menangis tanpa sebab yang pasti. Pernah pada suatu sore setelah pulang dari sungai
Rabiah menangis tersedu, kemudian kakaknya, Abdah, menegurnya:
―apa yang sedang engkau sedihkan Rabiah?‖, ―tak tahulah aku, namun aku merasa sedih sekali.‖ Jawabnya. Dan Rabiah terus
menangis. Disela tangisannya ia berkata, ―aku merasakan suatu kesedihan yang aneh
sekali. Tak tahulah aku apa sebabnya. Seolah-olah ada suatu jeritan yang sangat dalam dari lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat
didalam pendengaranku, yang tak dapat aku hadapi, kecuali dengan mengucurkan air mataku.‖
11
Setelah peristiwa tersebut, Rabiah selalu mimpi pada malam hari, berulang- ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpi itu Rabiah melihat cahaya yang sangat
terang, yang akhirnya menyatu dalam jiwa dan tubuhnya. Selama beberapa malam mimpi itu hadir dalam tidurnya, maka pada suatu siang, saat Rabiah berada sendirian
diatas perahunya, nyatalah mimpi itu. Rabiah menatap cakrawala, tiba-tiba ia
9
Suryadilaga, M al-Fatih. Miftahus Sufi. Yogykarta : Teras, 2008. Hal. 113
10
Semait, op. cit., hal. 478
11
Khamis, op.cit., hal 10
mendengar suara yang sangat merdu:
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu dikegelapan malam terdengar bacaan Quran. Alangkah bahagianya karena Tuhan
mendengarnya. Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air mata pun bercucuran. Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu, sedang hatinya penuh cinta ilahi. Ia
berkata, Tuhanku, Tuhanku. Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku.
12
Kemudian Rabiah pun langsung beranjak pulang dan ingin segera tidur, akan tetapi setelah sampai dirumah ada kejadian yang mengejutkannya lagi, tempat
tidurnya diselimuti oleh cahaya yang menyenandungkan kalimat yang pernah didengarnya, dan memanggil Rabiah:
„Hai Rabiah, belum datangkah saatnya engkau kembali kepada Tuhan-Mu? Ia telah memilihmu, menghadaplah kepada-Nya.
13
Peristiwa-peristiwa itu menghantarkan Rabiah kepada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada Allah.
Selama hidup Rabiah tidak pernah belajar dibawah bimbingan Seykh atau pembimbing spiritual manapun, namun Rabiah mencari sendiri berdasarkan
pengalaman langsung kepada Tuhan.
14
Maha Suci Allah yang telah membalas keimanan dan ketakwaan seorang hambanya yang bernama Ismail. Seorang yang miskin harta tapi kaya akan rasa cinta
dan syukur kepada Tuhannya. Ia tidak bisa memberikan anak perempuannya pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi. Tapi hal ini tidak membuat ia
pasrah, justru semua ilmu yang ia miliki ia amalkan bersama anaknya. Ia tanamkan segala hal-hal baik dalam diri Rabiah sehingga Rabiah memiliki hati yang suci dan
bersih. Seiring berjalannya waktu, Basrah, Irak yang tadinya merupakan pusat kota dan
sangat maju akhirnya mengalami kemunduran dikarenakan banyak perbedaan pendapat dikalangan aliran-aliran yang berkembang. Kerusuhan dan perpecahan
terjadi antara kaum syiah dan khawarij. Kemudian bencana alam pun mulai melanda
12
Ibid., hal 12
13
Ibid., hal 12
14
Margaret Smith, Mistisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya. Terj. Amroeni Drajat Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007 , hal. 277
kota, kemarau panjang membuat kering kota Basrah. Kehidupan masyarakat pun menjadi sangat sulit. Kaum miskin menjadi semakin menderita akibat kejadian
tersebut.
4. Menjadi Budak
Kehidupan Rabiah dan keluarganya pun semakin menderita, ia tinggal bersama ketiga saudaranya. Suatu ketika Rabiah dan keluarganya pergi meninggalkan
rumahnya, mereka berkelana dan pergi keberbagai daerah untuk menjalani hidup. Dalam pengembraan tersebut dikisahkan Rabaiah terpisah dari saudara-saudaranya,
dalam keadaan seperti itu Rabiah jatuh ketangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya seharga enam ribu dirham.
15
Setelah dijual oleh perampok seharga enam ribu dirham, Rabiah menjalani hari- harinya sebagai budak pada suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali al-Atik
yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al-Atik berasal dari suku Qais, dari
sinilah ia dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.
16
Rabiah dibeli oleh orang yang sangat kejam dan bengis, tak pandang bulu, walaupun Rabiah seorang wanita ia diperlakukan dengan sangat kejam pula oleh
tuannya. Namun Rabiah menjalani hidupnya dengan cinta, ia tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi sampai berputus asa terhadap kehidupannya. Siang hari ia bekerja
membanting tulang mengerjakan semua pekerjaan yang dibebankan oleh majikannya kepadanya, malam harinya ia habiskan dengan beribadah kepada Allah.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Ia Rabiah mencoba untuk melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh
tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabiah menangis sambil menundukan
15
Khamis, Muhammad Atiyah, Penyair Wanita Sufi Rabiah al-Adawiyah, Jakarta : Pustka Firdaus, 1994. Hal, 15
16
Widad El Sakkaini, Pergulatan Hidup Prempuan Suci Rabiah al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Illahi. Penerjemah Nabil Fethi Safwat dan Zoya Herawati Surabaya:
Risalah Gusti, 1999, h. 122.
mukanya ketanah, lalu ia bermunajat kepada Allah: ―ya Allah, aku adalah orang asing di negeri ini, yang tidak memiliki ayah serta bunda, seorang tawanan yang tak
berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuat aku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapt memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui
apakah engkau berkenan atau tidak.‖ Kemudian terdengarlah suara yang berbunyi: ―Rabiah, janganlah engkau
berduka, sebab esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga para malaikat iri kepadamu.‖
17
Ujian-ujian yang dialaminya membuat ia semakin dekat dengan Tuhan. Pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan, dari celah-celah kamar
ia mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Rabiah. Ia tertegun melihat Rabiah sedang bersujud dan diatas kepala tergantung sebuah lentera tanpa rantai yang
cahayanya menyinari seluruh rumah. seraya Rabiah pun berdoa, ― Ya Tuhanku, engkau tau bahwa hatiku selalu mendamba-Mu dan benar-benar tunduk pada
perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaan-Mu, jika itu terserah pada-Mu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu barang sesaat pun. Namun engkau telah
membuatku tunduk kepada seorang makhluk, oleh karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.
Melihat kejadian seperti itu tuannya pun malu kepada Rabiah, akhirnya Rabiah dibebaskan oleh tuannya dan ia pun ditawari untuk tinggal bersama tuannya. Akan
tetapi Rabiah menolak, ia memilih untuk meniggalkan rumah tuannya dan ia ingin hidup sendiri dalam kedekatan dengan Tuhannya. Dalam kebebasannya, ia selalu giat
beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya, bahkan dalam doanya ia tidak mau
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
18
17
A.J. Arberry, Warisan Para Auliya, terj. Anas Mahyudin dari Moslem Saints and Mystic [Episodes dari The Taadzkirat al-Auliya karangan Fariduddin al-Altar], Bandung: Pustaka,
1994, hal. 50
18
Suryadilaga, op. cit., hal 114
Kemudian Rabiah pergi mengembara di padang pasir, dan ia menemukan tempat. Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Suatu
ketika Rabiah memiliki niat untuk pergi melaksanakan ibadah haji, dan niat itu ia realisasikan, bermodal seekor keledai dan sedikit barang-barang untuk kebutuhan
hidupnya akhirnya ia berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi sekali lagi ia mengalami kemalangan, keledai yang menemani perjalananya mati. Kemudian ia
berjumpa dengan sekelompok orang yang menawarkan bantuan untuk membawakan barang-barang miliknya, tetapi tawaran itu di tolaknya sambil berkata bahwa ia tidak
akan pernah bergantung kepada selain Allah. Ia hanya percaya bantuan Allah dan tidak pada ciptaan-Nya.
Maka berlalulah sekelompok orang itu meninggalkan rabiah seorang diri ditengah gurun pasir yang sangat luas. Di gurun tersebut Rabiah menundukan
kepalanya sambil berdoa: ―Ya Allah, apa lagi yang akan Kau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkaulah yang meanggilku ke rumah-Mu, tetapi
ditengah perjalanan ini Engkau malah mengambil keladaiku dan membiarkan aku seorang diri ditengah gurun pasir ini.‖
Setelah memanjatkan doa, maka keledai yang tadinya sudah mati seketika langsung bangkit kembali. Dengan tangkas Rabiah langsung menaikan kembali
barang-barang yang semula dibawa oleh keledainya itu dan ia pun langsung meneruskan kembali perjalanannya itu.
19
Dalam perjalanan selanjutnya, Rabiah memilih untuk hidup zuhud. Pada suatu hari setelah Rabiah menjalani puasa selama tujuh hari, ia tidak mempunyai makanan
sedikitpun untuk dimakan, dan selama satu malam itu ia tidak tidur sama sekali dikarenakan waktunya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah. Ketika ia dilanda
kelaparan yang sangat, datanglah seseorang kerumahnya dan memberi semangkuk makanan, lantas makanan tersebut diterimanya. Kemudian ia menaruh makanan
tersebut untuk mengambil lampu minyak sebagai penerang, ketika ia kembali,
19
Smith., op. Cit., hal. 10
didapatinya seekor kucing telah menggulingkan makanannya. Ia lalu berkata ―aku
akan mengambil minum dan berbuka dengan air saja.‖ Ketika ia membawa kendi tiba-tiba lampu minyaknya padam, ia bermaksud untuk minum dikegelapan malam
lantas ketika ia ingin meminum air dikendi itu tiba-tiba kendi itu terjatuh dan pecah. Rabiah pun sedih sekali dan berteriak-teriak seakan rumahnya terbakar api kemudian
ia berucap dalam keadaan yang sangat bingung, ―Ya Allah, apa maksud Mu
memperlakukan aku seperti ini, akankah engkau hancurkan diri yang rapuh ini?‖ tiba- tiba ia mendengar sebuah suara yang mengatakan:
―Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku meyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tidak mungkin berada
dalam kalbu yang memiliki dua dunia. Wahai Rabiah, Aku mepunyai kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu dalam
satu kalbu.‖
Rabiah lalu menjawab:
―Ketika mendengar peringatan itu, kutinggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku shalat seakan-akan ini terakhir
kalinya dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi mahluk-mahluk lainnya, aku takut mereka menarikku dari diri-
Nya, maka aku katakana, ‗ya Tuhan sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan engkau biarkan mereka
menarikku dari-Mu.
5. Pilhan Rabiah Untuk Tidak Menikah
Rabiah telah dewasa dalam pertapaan, dan tidak pernah sekalipun berfikir untuk berumah tangga. Bahkan ia akhirnya memilih untuk hidup zuhud, menyendiri dan
menghabiskan waktu hanya untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah menikah, karna tidak ingin perjalananya menuju Allah terhambat oleh suatu pernikahan.
Menurutnya menikah dapat menghambat ibadahnya kepada Allah. Ia tidak ingin ada suatu apapun yang dapat menghalangi dirinya untuk beribadah kepada
Allah. Ia pernah memanjatkan doa kepada Allah yang berbunyi: ―Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang menyibukkan ku untuk menyembah- Mu. Dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.
20
Pernah suatu waktu seorang yang bernama Abdul Wahid bin Zayd datang untuk melamarnya, ia dalah seorang yang terkenal kezuhudan dan kesuciannya, dan ia
merupakan pendiri salah satu dari jamaah pemondokan dekat basrah pada tahun 793M. Akan tetapi Rabiah tidak menerima lamarannya tersebut, justru ia malah
menjauhkan diri darinya dan berkata, ―Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama denganmu. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual
dalam diriku?‖.
21
Kisah lain menceritakan Hasan Basri yang dalam sebuah majlis para sufi mencoba mendesak Rabiah agar memilih seorang diantara para sufi untuk dijadikan
suami. Kemudian Rabiah menjawab: Ya baiklah, siapa diantara kalian yang paling pintar, yang memungkinkan aku untuk menjadikannya suami? Para sufi pun sepakat
dengan menjawab Hasan Basri-lah yang paling pintar diantara kami semua. Lalu Rabiah berkata kepada Hasan untuk menjawab empat pertanyaannya yang apabila ia
bisa menjawab maka sudilah Rabiah menjadikannya sebagai suaminya. Lalu Hasan berkata: ―katakanlah, dan jika Allah mengizinkan aku akan menjawab semua
pertanyaanmu itu. Pertanyaan pertama yang diajukan Rabiah adalah: ―Apakah yang akan
dikatakan oleh hakim dunia saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam
20
Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi, terj. M.Royhan Hasbullah dan M. Sofyan Amrullah, ed. Bhs. Indonesia Herry Muhammad, dari Rabiah al-Adawiyah, Adzaru al-
Basrah al-Batul, Surabaya: Pustaka Progresif, 1993, hal. 64
21
Smith, op.cit., hal 13
a tau murtad?‖ Hasan menjawab: ―hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat
menjawab. Lalu Rabiah melanjutkan pertanyaan yang kedua, ―Pada waktu aku dalam
kubur nanti, disaat malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?‖ Hasan menjawab, hanya Allah Yang Tahu.
Lalu Rabiah melanjutkan pertanyaanya yang ketiga, ―Pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan nanti semua akan menerima
buku ditangan kanan dan ditangan kiri. Bagaimanakah dengan aku? Akaknkah aku menerima deng
an tangan kanan atau dengan tangan kiri?‖ maka Hasan menjawab, hanya Allah-lah Yang Mengetahui.
Dan tibalah Rabiah menanyakan satu pertanyaannya yang terakhir, ―Pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lainnya
akan m asuk neraka. Dimanakah aku aku berada?‖ Hasan menjawab seperti jawaban
yang sudah-sudah, hanya Allah Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya Rabiah mengatakan kepada Hasan, ―Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, dan bagaimana aku harus bersuami dengan seorang yang
kepadanya tidak dapat kujadikan tempat bersandar.
22
Kisah lain tentang seorang laki-laki yang melamar Rabiah adalah seorang gubernur yang menulis surat kepada rakyat Basrah agar mencarikannya seorang istri.
Seluruh rakyat setuju kepada Rabiah, dan ketika laki-laki itu mengajukan lamarannya melalui sepucuk surat, jawaban Rabiah adalah:
―penolakan terhadap dunia ini adalah perdamaian, sedangkan nafsu terhadapnya akan membawa kesengsaraan. Kendalikanlah nafsumu dan jangan biarkan orang
lain mengendalikan dirimu. Bagimu, pikirkanlah hari kematianmu, sedang bagiku, Allah dapat memberiku semua apa yang telah engkau tawarkan itu dan bahkan
22
Ibid., hal 14
berlipat ganda. Aku tidak suka dijauhkan dari Allah walaupun hanya sesaat. Karenanya, selamat tinggal.‖
Sungguh apa yang telah dilakukan oleh Rabiah itu mempunyai nilai yang sangat tinggi, ia tidak ingin ada yang menggangu hubungannya dengan dengan
Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang ada di hatinya, ia tidak rela ada ruang sedikitpun dalam hatinya untuk dibagi selain kepada Tuhan. Itulah yang disebut dengan cinta,
tak ada sedikitpun ruang yang akan dibagi selain pada yang dicintainya. Hanya ada cinta, melebur menjadi satu dan tak dapat terpisahkan.
6. Detik-detik Wafatnya Rabiah
Rabiah sama seperti manusia umumnya, menjalani hidup hingga usai lanjut. Pada suatu hari Rabiah saat menderita dan sedih sekali, sahabatnya berkata padanya,
―Wahai yang mulia didunia ini, tak tampak penyakitmu dimataku, tatapi engkau sangat merasakan
sakit dan selalu manangis.‖ Lalu Rabiah menjawab: ―sakitku adalah dari dalam dadaku, dimana penyembuh dari seluruh dunia tidak akan dapat
menyembuhkannya, dan pembalut lukaku adalah menyatu dengan Sahabatku, hanya itulah yang dapat meringankannya. Bukankah esok aku akan dapat meraih tujuanku.
Tetapi karena rasa sakit ini tidak mengganguku, tampaknya aku menderita, tak ada yang da
pat kuperbuat dari semua ini.‖ Yakni, tanda-tanda penderitaan fisikku tidak sebesar penderitaan spritualku.
Menjelang akhir hidup Rabiah, Muhammad bin Amr bercerita bahwa ia datang untuk melihat Rabiah, ia adalah seorang wanita yang sudah tua berusia delapan puluh
tahun, ia kelihatan seolah-olah seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Dirumahnya kulihat tempat gantungan baju dari kayu Persia,
tingginya kira-kira dua hasta. Selain itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat dan sebuah tikar dari bulu. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi
Sahwwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabat dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, ―janganlah
kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.‖
23
Saat-saat terakhir ajalnya akan tiba, Rabiah menolak didampingi siapa pun, sekalipun orang-orang yang ingin mendampinginya adalah orang-orang yang sangat
soleh. Rabiah berkata kepada mereka: ―Bangun dan keluarlah Lapangkan jalan utusan Allah yang akan menjemputku.
Setelah orang-orang disekitar Rabiah keluar dan menutup pintu, terdengarlah suara Rabiah mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu dijawab suara: ―Wahai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan mendapat keridhaan. Maka masuklah kedalam hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.
24
Dikisahkan bahwa kain kafan untuk membungkus jenazahnya itu telah disiapakan olehnya dan digantung disamping tempat ibadahnya. Detik-detik terakhir
menjelang kematiannya ia memanggil seorang pembantunya dan berkata kepadanya, ―Wahai Abda, jangan beritahu orang lain bahwa kematianku sudah dekat, apabila
saatnya tiba, tutuplah aku dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan menggunakan kafan ini.‖ Maka ketika ia meninggal, ditutup tubuhnya yang telah rentan dengan kain
kafan dari wol yang biasa dia gunakan. Setelah satu tahun kematiannya , Abda mengisahkan bahwa ia telah berjumpa
dengan Rabiah dalam suatu mimpi. Rabiah datang dengan menggunakan jubah sutera berwarna hijau dengan hiasan border benang emas dan kain selendang sutera brokat
yang belum pernah dilihat oleh Abda sebelumnya didunia ini. Lalu Abda betanya padanya, ― Wahai Rabiah, engkau kemanakan kain kafan dan selendang sutera yang
engkau kenakan saat kematianmu itu? Rabiah menjawab, semua itu telah diambil dariku dan diganti dengan apa yang engkau lihat ini dan pakian yang aku kenakan
sebagai kain kafan telah dilipat, disegel dan dibawa oleh malaikat, sehingga pakaianku akan lengkap udah saat hari kebangkitan nanti. Abda bertanya lagi, apakah
23
Khamis, op, cit., hal 80
24
Ibid., hal. 80
engkau melaksanakan harimu sebagaiman engkau masih didunia? Lalu dijawab, apakah itu dapat dibandingkan dengan rahmat Allah kepada orang-orang suci-Nya.
25
Rabiah wafat pada usia kurang lebih 90 tahun, tepatnya pada tahun 185 H 801M sedangkan tempat wafat dan makamnya tidak diketahui secara pasti, ada
yang menyebutkan ia dikubur di Jerussalem di atas sebuah bukit, akan tetapi sumber yang lebih kuat menyebutkan bahwa Rabia di Basrah, daerah Syam Syiria.
Akhirnya Rabiah telah mencapai tujuan yang selama ini dicari dan didambakannnya. Menyatu, bertemu, dan memandangi keindahan Tuhan.
B. Mahabbah Rabiah al-Adawiyah
Dalam pembahasan tasawuf, cinta itu disebut sebagai mahabbah. Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam. Al Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seorang yang kasmaran pada sesuatu yang sedang dicintainya,
cinta seorang tua kepada anaknya, cinta sahabat kepada sahabatnya, cinta suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjanya. Mahabbah
pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seorang untuk mencintai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
yang mutlak. Yaitu cinta kepada Tuhan.
26
Selain itu Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan yang bersifat
material maupun spiritual, seperti cintanya orang yang kasmaran terhadap sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa
terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.
25
Shibt Ibnua al- Jauzi, Tarikh Mir’at az-Zaman, MS. Brit. Museum, fol. 257 a
26
Abudin Nata, Ahlak Tasawuf, Jakarta : PT Grafindo Persada 2008, hal 208
Konsep cinta mahabbah lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih
sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-
dalil syara’, baik dalam al-Quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.
Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud cinta disini adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut : 1.
Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap kepada-Nya. 2.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihinya. 3.
Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
27
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan oleh al Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, mahabbah itu ada tiga macam tingkatan,
yaitu: 1.
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan berzikir, suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan dengan berdialog dengan Allah,
senantia memuji-Nya. 2.
Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya,
kekuasaan-Nya, dan
lain-lain. Cinta
yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan
dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog tersebut. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dari
sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
27
Harun Nasution, Falsafat Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, cet. I, hal 70.
3. Cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa
ini timbul karena telah tahu atau mengenali betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk kedalam diri yang dicintai.
28
Ketiga tingkat Mahabbah tesebut tampak menunjukan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir,
dilanjutkan dengan leburnya diri fana dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal baqa dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkat ini tampaknya cinta yang
terakhirlah ingin dituju oleh mahabbah. Dengan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah
suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, sehingga yang sifat- sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang tidak dapat dilukiskan dengan suatu kata apapun, akan tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
29
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu,
tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud asketisme yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut
khauf kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak
membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.Rabiah merupakan pencetus konsep mahabbah. Bagi Rabiah, beribadah
kepada Allah itu karena memang ia cinta dan Allah itu layak untuk dicintai. Menurut Rabiah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam
segala aktifitasnya, bukan lagi karena takut akan siksa neraka ataupun berharap akan kenikmatan surga. Hal ini terungkap sebagaimana syair-syair yang diucapkannya .
karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah.
28
Ibid., hal 70-71
29
Nata, op, cit., hal 210-211
Didalam jiwanya tidak ada lagi yang tersisa sebagai ruang kosong untuk diisi dengan rasa cinta maupun benci kepada selain Allah.
30
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:
―Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena
mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada- Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku melihat
keindahan- Mu yang abadi.‖
31
Begitu besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk
mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun.tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya
telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap
seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.
32
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi mahabbah pun mulai menjadi tema menarik
di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan l
ebih ―manusiawi‖. Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian
menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer
30
Abdul Halim, Cinta Ilahi : Studi Perbandingan Antara al-Ghazali dan Rabiah al- Adawiyah, Tesis S2, Kera Sama Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakara
dengan Program Pascasarjana Universitas Indoesia, 1995, hal.72
31
Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman.hal 86
32
Nasution ,op. cit., hal. 74.