Analisis manfaat kemitraan dalam mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dalam pembangunan hutan tanaman industri di provinsi Sumatera Selatan

(1)

(MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN

TANAMAN INDUSTRI

DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

WULANING DIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

ii

PENYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS MANFAAT KEM ITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2006

WULANING DIYAH


(3)

iii

ABSTRAK

WULANING DIYAH. Analisis Manfaat Kemitraan dalam Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua dan ERNAN RUSTIADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Ketidaktegasan hak pemilikan dan ketidakseimbangan akses terhadap sumberdaya hutan antar pihak yang terlibat dalam pengelolaan (pemanfaatan) hutan di Provinsi Sumatera Selatan, menimbulkan ketimpangan kesejahteraan, deforestasi dan degradasi hutan. Pemberdayaan masyarakat di dalam/sekitar hutan melalui kemitraan dalam mengelola hutan (MHBM) adalah salah satu kebijakan untuk mengatasinya. Penelitian ini menganalisis manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang diterima masyarakat peserta kemitraan MHBM, tingkat keberhasilan tanaman dan peran kelembagaan kemitraan MHBM. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, kesediaan membayar (willingness to pay), pembuatan petak contoh seluas 0,1 ha dan Teori Permainan (Game Theory). Temuan studi menunjukkan, bahwa pelaksanaan kemitraan MHBM masih lebih menguntungkan pihak perusahaan HTI daripada masyarakat peserta kemitraan. Agar kemitraan MHBM dapat terus berkelanjutan, maka perlu diupayakan sedemikian sehingga manfaat yang diterima masyarakat dapat lebih meningkat secara proporsional.

Kata kunci :


(4)

iv

©Hak cipta milik Wulaning Diyah, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(5)

v

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM

MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

(MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN

TANAMAN INDUSTRI

DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

WULANING DIYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

(7)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2005 ini adalah pengelolaan hutan tanaman, dengan judul Analisis Manfaat Kemitraan dalam Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan

Penulis menyadari, bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan dan membiayai penulis dalam melaksanakan pendidikan

2. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Dosen Pembimbing.

3. Pimpinan dan staf PT. Musi Hutan Persada yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data 4. Teman-teman PWD’03 sebagai teman seperjuangan

5. Mas Bambang, Mbah Mulyadi, Neneng, Pak Salman, Mbak Titin, Mas Mul, Tanti dan teman-teman di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan yang membantu dalam pengumpulan data

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, eyang, suami dan anak-anak tercinta (mas Tiyok, Yayas, dan Tata) serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya.

Semoga tesis ini bermanfaat

Bogor, Juni 2006


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1967 dari ayah Soepardi K (Alm) dan ibu Tuginah. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara. Pada tahun 1994, penulis menikah dengan Ir. Setyo Yuwono dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Saraswati Widyasari dan Satyaning Widyarini.

Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Gunung 02 Jakarta dan lulus tahun 1980, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 11 Jakarta dan lulus tahun 1983. Setelah lulus dari SMA Negeri 6 Jakarta tahun 1986 penulis pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur PMDK. Penulis memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkannya pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada pergurunan tinggi yang sama pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui Proyek PKMDP BAPPENAS.

Penulis bekerja sebagai staf Sub Dinas Inventarisasi dan Tata Guna Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Seksi yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Pengolahan Data dan Sistem Informasi Kehutanan.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman ix xi DAFTAR TABEL ………….………..………..

DAFTAR GAMBAR ……….

DAFTAR LAMPIRAN …………...……….. xii

I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang .………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 6

1.3. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. Batasan Operasional ……….. 7 7 II TINJAUAN PUSTAKA 10 2.1 Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya ……… 10

2.2 Pembangunan Hutan Tanaman ……….. 14

2.3. Masyarakat Desa Hutan ……… 19

2.4. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ………. 21

2.5. Kelembagaan Pengelolaan Hutan ………. 26

2.6. Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) ……….. 31

III METODOLOGI PENELITIAN ……… 34

3.1. 3.2. 3.3. Kerangka Pemikiran ……….. Model/Hipotesis ……… Metode Penelitian ……….. 34 39 39 IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ………... 53

4.1. 4.2. 4.3. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. Pembangunan HTI PT. Musi Hutan Persada ……… Pelaksanaan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) ……… 53 57 59 V HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 64


(10)

x 5.2.

5.3. 5.4. 5.5. 5.6. 5.7.

Peranan Kehutanan terhadap Aspek Ekonomi dan Pengembangan Wilayah ……… Manfaat Ekonomi ……….. Manfaat Sosial ………... Manfaat Lingkungan ………. Keberhasilan Fisik Pembuatan Tanaman ……….. Kelembagaan MHBM ………...

65 72 80 90 93 94

VI IMPLIKASI KEBIJAKAN MENGELOLA HUTAN

BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) ………. 108

6.1.

6.2.

Substansi Program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat ……… Pemberdayaan Masyarakat ………

108 110

VII SIMPULAN ……….. 114

7.1. 7.2.

Simpulan ……… Saran ………..

114 116 DAFTAR PUSTAKA ……….

LAMPIRAN ………...

118 122


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan

Fungsinya ………... ……… 2

2 Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Fungsinya ……….. 2

3 Daftar Perusahaan Pelaksana Pembangunan Hutan Tanaman dan Realisasi Tanamannya di Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan Tahun 2002 ……….………. 4

4 Realisasi Penanaman HTI Sesuai Kelas Perusahaan sampai dengan Tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan ……….………. 17

5 Konsekuensi Pahala (Payoff) dari Permainan Pertukaran (Jasa) …… 30

6 Matrik Pembahasan dalam Penelitian ………. 52

7 Luas Penebangan Tanaman HTI dan Jumlah Produksi Hasil Hutan Tahun 1999-2003 ……… 54

8 Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) dari Tahun 2001-2003 … 54 9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari Sub Sektor Kehutanan dan Industri Pengolahan Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Tahun 2001-2003 ………....……….. 54

10 Tingkat Kepadatan dan Distribusi Penduduk di Lokasi Penelitian …. 57 11 Tingkat Kesejahteraan Penduduk di Lokasi Penelitian ………….….. 57

12 Luas Areal Pencadangan PT. Musi Hutan Persada Berdasarkan Wilayah Administratif dan Penataan Ruang Sesuai Peruntukkan (Fungsi) ……….……….. 58

13 Jumlah Responden Berdasarkan Umur ……….……….. 64

14 Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………. 64

15 Jumlah Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ….... 65

16 Kontribusi Sub Sektor Kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Menurut Harga Berlaku (jutaan Rp) ……… 68

17 Hasil Perhitungan Location Quotient (LQ) ………. 68

18 Penerimaan PSDH Kabupaten Muara Enim 2002-2005 ………. 70

19 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden Sebelum MHBM .……….. 73

20 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden Sesudah MHBM ………… 74

21 Perubahan Tingkat Pendapatan Respoden Sebelum dan Sesudah MHBM ……… 74

22 Hasil Penyesuaian dan Pengujian Tingkat Pendapatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah MHBM ……… 75

23 Hasil Pengujian Tingkat Pendapatan dengan Adanya MHBM …….. 76

24 Hasil Wawancara Responden mengenai Manfaat Sosial MHBM ….. 81

25 Hasil Analisa Regresi Berganda dari Peubah Penduga Kesediaan Membayar (Willingness to pay = WTP) Manfaat Sosial ………….… 82 26 Banyaknya Responden yang Bersedia Membayar ……….. 84

27 Kesediaan Membayar Berdasarkan Tingkat Pendapatan ……… 84

28 Total Kesediaan Membayar Responden ……….. 85

29 Surplus Konsumen Responden ……….………... 86


(12)

xii 31 Rata-rata Peningkatan Pendapatan Desa Peserta MHBM …………... 88 32 Perkembangan Kejadian Kebakaran pada Hutan Tanaman PT. Musi

Hutan Persada ……….. 91

33 Matrik Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Masyarakat ……. 100 34 Matrik Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Pemerintah .……. 101 35 Matrik Payoff Interaksi antara Pemerintah dengan Masyarakat ……. 101


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur Pikir Penelitian ……….…. 38

2 Bagan Organisasi Kelompok Tani MHBM………... 61

3 Peta Lokasi Penelitian MHBM PT. Musi Hutan Persada ……… …… 63


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil Pengujian Pengaruh Kegiatan MHBM terhadap Pendapatan

Masyarakat ………..………. 122

2 Hasil Analisa Regresi Kesediaan Membayar (WTP) Terhadap

Manfaat Sosial ………... ……….. 126

3 Tabel PDRB Kab. Muara Enim Tahun 2001-2003 atas Dasar

Harga Berlaku (jutaan rupiah)………... 130

4 Besar Payoff Masing- masing Pihak yang Terlibat dalam MHBM ……….. ………..

131

5 Rekapitulasi Prosentase Tumbuh Tanaman pada Tiap Lokasi

Sampel ………... ……… . 132

6 Rekapitulasi Data Responden dalam Rangka Analisis MHBM HTI


(15)

xv

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah sebagai negara dengan potensi sumber daya hutan yang sangat besar dan menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan hutan Indonesia tahun 2005, luas kawasan hutan Indonesia seluas 133,574 juta hektar yang terbagi dalam Hutan Konservasi seluas 19,876 juta hektar, Hutan Lindung seluas 30,052 juta hektar, Hutan Produksi Tetap seluas 35,259 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas seluas 25,656 juta hektar, dan Hutan Produksi Konversi seluas 22,732 juta hektar. (Departemen Kehutanan 2005). Sumber daya hutan tersebut sangat vital bagi perekonomian Indonesia, baik dalam penyediaan kayu untuk keperluan domestik maupun untuk ekspor yang memberikan konstribusi 3,8 - 5,95 milyar US dollar per tahun (Departemen Kehutanan 2003a)

Namun demikian, paradigma pembangunan kehutanan masa lalu yang bersifat timber oriented itu dan telah memberikan pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), menyebabkan pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang ditunjukkan denga n kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari. Fenomena yang ada saat ini adalah deforestasi dan degradasi hutan telah terjadi di semua fungsi kawasan hutan.

Berdasarkan data hasil Inventarisasi Hutan Indonesia (National Forest Inventory) tahun 1985 – 1997, total deforestasi hutan Indonesia adalah 22,46 juta hektar, yang berarti rata-rata per tahun mencapai 1,6 juta hektar. Bahkan dalam 10 tahun terakhir kerusakan hutan tersebut diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahunnya. Menurut hasil tata batas pengukuhan kawasan hutan sampai dengan tahun 2000, luas hutan di Provinsi Sumatera Selatan adalah 3.773.457 hektar atau 37,34% dari luas daratan. Selain itu, berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2000 ternyata luas lahan kritis (penutupan lahan non hutan) dalam kawasan hutan tetap telah mencapai 1.871.947 hektar. Lahan kritis itu tampak lebih jelas pada areal HPH yang telah habis masa berlaku konsesinya (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002).


(16)

xvi Tabel 1 Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Indonesia berdasarkan

fungsinya

Kawasan Hutan (ribu ha) Hutan Tetap

Kondisi Penutupan

Vegetasi HL

KSA-KPA

HP HPT Jumlah HPK

Total %

Hutan 20.852,6 12.926,1 20.945,8 18.129,4 72.853,9 11.038,3 83.892,2 63,02 Non hutan 4.748,4 2.867,0 10.527,0 4.340,5 22.482,9 9.469,5 31.952,4 24,00

Tdk ada data

4.359,6 3.678,0 3.859,6 3.159,3 15.056,6 2.227,0 17.283,5 12,98

Jumlah 29.960,6 19.471,1 35.332,4 25.629,2 110.392,4 22.734,7 133.128,1

Sumber : Badan Planologi Kehutanan (2003) (Data digital penutupan lahan skala 1:250.000 Hasil penafsiran Citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000

Keterangan : HL = 29.960.600 ha; KSA-KPA = 19.471.100 ha; HP = 35.332.400 ha; HPT = 25.629.200 ha; HPK= 22.734.700 ha

Tabel 2 Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsinya

Kawasan hutan (ha) Hutan Tetap

Kondisi Penutupan

vegetasi HL KSA-KPA HP Jumlah

HPK Total %

Hutan 190.684 465.880 746.614 1.403.178 -- 1.403.178 37,19 Non hutan 348.961 245.898 1.277.088 1.871.947 -- 1.871.947 49,61 Jumlah 539.645 711.778 2.023.702 3.275.125 498.332 3.773.457

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan (2002)

Keterangan : HL = 539.645 ha; KSA-KPA = 711.778 ha; HP = 2.023.702 ha; HPK= 498.332 ha

Masalah lain yang timbul dalam pengelolaan hutan adalah kurang memperhatikan hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sumberdaya alam (hutan). Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam memperoleh akses masyarakat kepada sumberdaya alam (hutan) dan selanjutnya berakibat kepada munculnya ketimpangan kesejahteraan antara masyarakat lokal yang hidup di dalam atau sekitar hutan dengan pihak pengelola hutan. Hal ini mudah dipahami, misal dalam pembangunan HTI, karena HTI dari sejak awal akan berhadapan dengan masyarakat karena untuk memulai kegiatan penanaman HTI perusahaan harus melakukan penyiapan lahan untuk penanaman sesuai sistem silvikultur HTI, yaitu Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Dengan demikian, jika terjadi tumpang tindih dengan lahan hutan masyarakat, maka akan habislah tanam tumbuh milik masyarakat, habislah hutan milik masyarakat, yang pada akhirnya memicu adanya persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat desa di dalam atau sekitar hutan. Masyarakat tersebut umumnya memiliki ketergantungan


(17)

xvii yang tinggi terhadap hutan, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dari aktifitas di dalam hutan dengan keanekaragaman sumber daya hayati yang menjadi sumber kehidupan mereka. Padahal masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan termasuk untuk memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan budaya. Pada gilirannya, ketimpangan kehidupan dalam masyarakat tersebut menjadi potensi meledaknya kekecewaan dan keresahan masyarakat dan mengarah pada terjadinya kekerasan. Selain itu, sumberdaya hutan yang dikuasai oleh pihak pengelola hutan tidak sepenuhnya dimanfaatkan sehingga menimbulkan inefisiensi sekaligus menutup akses kelompok masyarakat yang lemah terhadap sumberdaya hutan tersebut dan menimbulkan kerugian sosial yang tinggi (Anwar 2005).

Sebagai respon atas perubahan dan perkembangan tatanan sosial kemasyarakatan saat ini, telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang menuju ke arah pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan kapasitas masyarakat lokal (masyarakat sekitar hutan). Pada paradigma yang baru ini, masyarakat tidak hanya sebagai obyek dalam pembangunan kehutanan, namun juga dilibatkan sebagai subyek pembangunan kehutanan.

Atas dasar paradigma tersebut, salah satu solusi yang diambil untuk mengurangi dan menyelesaikan konflik dan ketimpangan yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan adalah menyempurnakan program kegiatan dalam pembangunan hutan tanaman melalui redistribusi lahan (dalam hal ini pengelolaan lahan) dengan memberi kesempatan masyarakat atau kelompok masyarakat setempat sebagai mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 68 mengenai Peran serta masyarakat dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry. Selain itu dari hasil Rumusan Rapat Kerja Nasional tahun 2002 di Jakarta tanggal 10-12 Juli 2002, dalam era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan bahwa program-program kehutanan harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan perhutanan sosial ya ng berorientasi pada


(18)

xviii pelestarian hutan. Lestari hutan itu pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Haryadi 2002)

Tabel 3 Daftar perusahaan pelaksana pembangunan HTI dan realisasi tanamannya di Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan tahun 2002

No. Nama perusahaan Luas konsesi HTI

(ha)

Realisasi tanaman 1. PT. Musi Hutan Persada 294.600 193.500

2. PT. Pakerin 43.380 7.600

3. PT. Waihijau Hutani 21.250 17.000

4. PT. Tunas Bentala 13.288 1.750

5. PT. SBA Wood Industries 40.000 2.037 6. PT. Inhutani V (Persero)

- Eks HPH 232.500 1.500

- Eks HTI PT. Rimba Jaya Borang 8.950 500 7. PT. Ciptamas Bumisubur 6.000 3.000

Jumlah 661.768 226.887

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002

Salah satu pengelola hutan (perusahaan HTI) yang melakukan redistribusi lahan di Provinsi Sumatera Selatan adalah PT. Musi Hutan Persada melalui kegiatan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM), yang dilaksanakan mulai tahun 1999 – 2000 yang meliputi beberapa lokasi di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) nya. Tujuan dilakukannya MHBM dalam pembangunan hutan tanaman adalah untuk (PT. MHP 2004): 1. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan

pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan

2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan

3. Menyelaraskan kegiatan pembangunan hutan tanaman dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial masyarakat sekitar hutan

4. Meningkatkan mutu sumber daya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah 5. Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak


(19)

xix Penerapan MHBM itu ditujukan untuk mengurangi konflik lahan dengan masyarakat, dan dalam pelaksanaan MHBM itu masing- masing pihak baik perusahaan maupun masyarakat sekitar hutan mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, yang ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi sumber daya hutan serta peningkatan kesejahteraan mayarakat. Hak-hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam Akta Kesepakatan MHBM antara perusahaan dan masyarakat. Saat ini PT. MHP telah membuat 27 (duapuluh tujuh) Akta Kesepakatan dengan masyarakat yang tinggal di dalam/sekitar areal HPHTI PT. MHP sebanyak 25 (duapuluh lima) desa pada 12 (duabelas) kecamatan yang meliputi areal hutan seluas 39.571,536 Ha.

Salah satu kegiatan yang paling penting dalam program MHBM ini adalah kegiatan pengelolaan pembangunan HTI dengan membangun kemitraan bersama kelompok masyarakat. Apabila sebelumnya komponen pekerjaan dalam pembangunan HTI dilaksanakan oleh perusahaan, maka dengan adanya MHBM komponen-komponen pekerjaan itu diserahkan pada kelompok masyarakat. Komponen pekerjaan tersebut adalah persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, perlindungan dari api, dan penebangan (pemanenan).

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi jatah produksi hasil hutan kayu nasional yang berasal dari hutan alam produksi, sehingga memberi kesempatan hutan produksi alam mampu untuk melakukan regenerasi (suksesi) alami. Departemen Kehutanan mengharapkan kekurangan bahan baku ini dapat dipenuhi dari produksi hutan rakyat, HTI, kayu dari rehabilitasi kebun dan kayu impor. Dengan adanya kebijakan itu, maka pembangunan HTI berpotensi besar untuk dapat mendukung dan berperan dalam memasok kebutuhan bahan baku industri perkayuan lokal dan nasional, yang pada akhirnya apabila industri kehutanan mampu berkembang akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan dan mengurangi konflik dan ketimpangan dalam


(20)

xx pemanfaatan sumberdaya hutan dengan masyarakat adalah dengan melakukan MHBM. Pembangunan hutan tanaman dengan menerapkan MHBM tersebut diharapkan dapat : (1) Menunjang supply kebutuhan bahan baku yang berkesinambungan, (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (3) Menunjang aspek konservasi dan perlindungan hutan, (4) Meningkatkan produktifitas lahan, dan (5) Meningkatkan peran serta masyarakat

Program MHBM yang merupakan salah satu model perhutanan sosial dan baru 3-4 tahun dikembangkan oleh pihak HPHTI PT. MHP di Provinsi Sumatera Selatan, belum tersedia informasi yang lengkap menggambarkan bagaimana pelaksanaan MHBM, antara lain menyangkut seberapa besarnya keterlibatan atau peran serta masyarakat atau kelompok masyarakat di dalam atau sekitar hutan dan pemerintah atau instansi terkait dalam MHBM dan apakah MHBM yang telah diterapkan oleh perusahaan tersebut bermanfaat oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya serta mampu untuk mengurangi deforestasi atau luas lahan yang tidak produktif dalam mencapai kelestarian hutan. Padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk dapat menggambarkan keberhasilan MHBM. Oleh sebab itulah penelitian ini perlu dilakukan.

Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah :

1. Bagaimana peranan sektor Kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah?

2. Seberapa besar manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dari pelaksanaan MHBM yang diterima masyarakat?

3. Bagaimana tingkat keberhasilan fisik tanaman HTI dengan menerapkan MHBM?

4. Bagaimana peranan kelembagaan MHBM dalam pembangunan HTI?

1.3. Manfaat dan Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji manfaat dari penerapan MHBM dalam pembangunan HTI bagi masyarakat dan mengkaji bagaimana peranan kelembagaan MHBM untuk mengurangi luas lahan tidak produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(21)

xxi Sedangkan tujuan operasionalnya adalah :

1. Mengetahui bagaimana peranan sektor Kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah

2. Mengetahui berapa besar manfaat ekonomi yang diterima masyarakat dari pelaksanaan MHBM

3. Mengetahui besarnya manfaat sosial dan manfaat lingkungan yang diterima oleh masyarakat dari pelaksanaan MHBM

4. Mengetahui tingkat keberhasilan fisik tanaman HTI dengan menerapkan MHBM

5. Mengetahui peranan kelembagaan MHBM dalam pembangunan HTI Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi, sumbangan pemikiran dan masukan kepada pemerintah daerah, perusahaan swasta dan masyarakat mengenai pembangunan hutan tanaman dengan menerapkan MHBM sebagai salah satu bentuk upaya meningkatkan produktifitas hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan

2. Memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dan perusahaan dalam pengambilan keputusan pada kegiatan pembangunan hutan tanaman untuk dapat mengurangi ketimpangan penghasilan antara pihak pengelola hutan dan masyarakat setempat

1.4. Batasan Operasional

Beberapa batasan (definisi) operasional yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon ya ng secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan

b. Hutan alam adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya


(22)

xxii c. Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan

potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif d. Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah

upaya- upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat

e. Masyarakat setempat adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkait dengan hutan (profesi), kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya

f. Social forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan

g. Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) adalah konsep pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dilaksanakan bersama-sama (kemitraan) antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar, atau yang terkait dengan lahan atau areal pengusahaan HTI, dengan prinsip saling menguntungkan

h. Areal kerja MHBM adalah areal yang terdapat pada/atau dalam kawasan HPHTI perusahaan pengelola HTI dalam luasan tertentu untuk dikelola oleh kelompok

i. Jasa Kerja adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak perusahaan atau pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan atas hasil pelaksanaan dari setiap komponen pekerjaan pengelolaan HTI berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

j. Jasa Manajemen adalah sejumlah uang yang disepakati berdasarkan besaran prosentase tertentu dari jasa kerja kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM


(23)

xxiii

k. Jasa produksi adalah sejumlah uang yang diberikan oleh perusahaan pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atas hasil panen kayu tanaman daur kedua.

l. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.


(24)

xxiv

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya

Sumberdaya alam dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat pula diartikan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Rees (1990) dalam Fauzi (2004a) menyatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yaitu: (1) Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya, (2) Harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Selain itu Fauzi (2004a) menyebutkan bahwa selain dua kriteria di atas, sumberdaya juga terkait pada dua aspek, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan, dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan.

Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan bia ya sosial yang ditanggung. Pada dasarnya masalah ini timbul karena beberapa sumberdaya dikategorikan sebagai barang publik (public goods) dimana konsumsi yang berlebihan (over consumption) akan dapat terjadi.

Pemanfaatan sumberdaya terkait dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Yakin (1997), menyebutkan bahwa hak pemilikan atau status penguasaan sumberdaya sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien. Bagaimana produsen dan konsumen menggunakan sumberdaya alam atau lingkungan tergantung pada hak pemilikan (pengelolaan) yang mengatur sumberdaya tersebut. Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004a) dan Tietenberg (1992) dalam Yakin (1997) menyebutkan bahwa struktur hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya yang bisa menghasilkan alokasi yang efisien harus mempunyai empat karakteristik penting, yaitu :

(1) Universalitas (universality) bahwa semua sumberdaya adalah dimiliki secara pribadi dan seluruh hak-haknya dirinci dengan jelas dan lengkap


(25)

xxv (2) Eksklusivitas (exclusivity) bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki hanya oleh pemilik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain

(3) Bisa dipindah-tangankan (transferability) bahwa seluruh hak pemilikan itu bisa dipindah-tangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas

(4) Bisa dipertahankan (enforcebility) bahwa hak pemilikan tersebut harus aman (secure) dari perampasan atau pengambil-alihan secara tidak baik dari pihak lain.

Jika hak kepemilikan sumberdaya tidak dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak ada hak yang sah memungkinkan mereka melarang pihak lain untuk mengkonsumsi sumber daya tersebut. Menurut Gibb dan Bromley (1989) dalam Fauzi (2004a) ada beberapa hak pemilikan terhadap sumberdaya alam yang umumnya terdiri dari :

(1) State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah,

(2) Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi)

(3) Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama.

Dalam pemanfaatan sumberdaya, terdapat dua tipe akses yang berbeda, yaitu akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access). Berkaitan dengan hak pemilikan, maka Fauzi (2004a) menyatakan bahwa secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya, yaitu :

(1) Tipe pertama dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari

(2) Tipe kedua dimana sumber daya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan teridentifikasi dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari


(26)

xxvi (3) Tipe ketiga dimana terdapat kombinasi antara hak pemilikan komunal dengan akses yang terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin akan melahirkan “the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna.

(4) Tipe keempat dimana kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumber daya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.

The tragedy of the common terjadi pada sumber daya bersama (common resources) – biasanya mengarah sebagai a common pool resources – yang dimanfaatkan (diakses) oleh banyak pihak. Sumber daya itu bisa berupa ekosistem laut yang diambil hasilnya berupa ikan, atmosfir dengan pelepasan gas-gas ke udara atau hutan yang diambil hasilnya berupa kayu. Penggunaan (pemanfaatan) yang berlebihan memunculkan permasalahan yang sering mengancam kelestariannya (sustainability). Jika setiap pihak yang memanfaatkannya dapat mengendalikan pemanfaatannya, maka sumber daya dapat lestari (Hardin 1968 dalam Ostrom et al. 2001).

Lloyd (1977) dalam Ostrom et al. (2001), menyatakan bahwa pada sumberdaya yang bersifat a common pool resources akan terjadi penggunaan yang berlebihan, karena penggunaan saat ini akan memberikan keuntungan yang besar daripada biaya potensial yang akan ditanggung di masa ya ng datang dengan penggunaan yang tidak dibatasi, terutama saat para pengguna hanya menanggung sebagian biaya tetapi mengambil seluruh keuntungan saat ini.

Sedangkan menurut Yakin (1997), keberadaan penggunaan sumber daya bersama (common resources) tidak me menuhi prinsip-prinsip pemilikan sumber daya yang bisa mendorong ke arah alokasi yang efisien. Oleh karena itu pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki kendali untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Sumber daya jenis ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen


(27)

xxvii ekonomi tertentu sehingga akses terhadap sumber daya ini tidak dibatasi, sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus keuntungan yang masih bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya.

Rappaport (1984) dalam Ostrom et al. (2001) menyatakan bahwa the tragedy of the common dapat dicegah melalui suatu mekanisme penggunaan sehingga tindakan yang diambil oleh para pengguna lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi merupakan motivator dan mekanisme sosial berfungsi untuk mengontrol kepentingan pribadi tersebut, seperti komunikasi, kepercayaan dan kemampuan untuk menjalin kerjasama serta peraturan (rules) akan dapat mengendalikan (mengurangi) terjadinya tragedi.

Menurut Wade (1988) dalam Agrawal (2001), menyebutkan ada 14 (empatbelas) kondisi penting yang dapat memfasilitasi keberhasilan pengelolaan sumber daya bersama (common resources), yaitu :

1. Sistem karakteristik sumber daya a. Berukuran kecil

b. Ditetapkan batasnya secara baik 2. Karakteristik kelompok masyarakat

a. Berukuran kecil

b. Ditetapkan batasnya secara jelas

c. Pengalaman keberhasilan masa lalu – kapital sosial

(1 dan 2) Hubungan antara sistem karakteristik sumber daya dan karakteristik kelompok masyarakat

(1) Overlap antara kelompok masyarakat lokal dan lokasi sumber daya (2) Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sistem sumber daya oleh

anggota kelompok masyarakat 3. Pengaturan kelembagaan

a. Merencanakan akses kelompok masyarakat lokal dan ketentuan pengelolaan


(28)

xxviii b. Mudah dalam penerapan ketentuan (peraturan)

c. Pengelompokan sanksi-sanksi

(1 dan 3) Hubungan antara sistem sumber daya dan pengaturan kelembagaan yaitu penyesuaian dalam pembatasan pemanfaatan/pengambilan sumber daya untuk regenerasi sumber daya

4. Lingkungan eksternal

a. Teknologi : pengeluaran teknologi biaya rendah

b. Negara : Pemerintah pusat seharusnya tidak mengurangi hak (kewenangan) masyarakat lokal

2.2. Pembangunan Hutan Tanaman

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, karena hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Mengingat begitu besarnya manfaat dan peranan hutan maka harus dijaga kelestariannya.

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa sumber daya hutan di Indonesia mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu fungsi lindung, fungsi produksi dan fungsi konservasi, maka dalam penyelenggaraan (pengelolaan dan pemanfaatan) hutan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.

Selain itu disebutkan juga bahwa penyelenggaraan hutan bertujuan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :

a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;


(29)

xxix c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)

d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/1997 disebutkan bahwa hutan tanaman industri (HTI) merupakan hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan dan diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi deforestasi; yang bertujuan untuk :

a. menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa

b. meningkatkan produktifitas lahan dan kualitas lingkungan hidup c. memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha

HTI merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan asas manfaat yang lestari dan asas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435/Kpts-II/1997 tanggal 1 Agustus 1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman maka sistem silvikultur yang dapat diterapkan, yaitu: (1) sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaaan Buatan (THPB) utamanya untuk jenis tanaman pokok, dan (2) Sistem Tebang Tanam Jalur (TPTJ) dengan berbagai modifikasi.

Kartini (2002), menyatakan jika dilihat dari sistem silvikultur yang digunakan yaitu THPB, maka sistem ini mempunyai peranan yang tinggi dari dua aspek yaitu :

1. Aspek produksi atau industri, karena : (a) operasi pemanenan terkonsentrasi pada areal yang relatif kecil dan produksinya tinggi; (b) kua litas kayu mudah ditingkatkan sesuai dengan permintaan industri; (c) peremajaan hutan dilakukan setelah pemanenan; (d) bersifat terpusat dan menghasilkan


(30)

xxx tegakan seumur, murni (sejenis), teratur dan relatif cepat tumbuh, sehingga memperoleh kualitas kayu yang relatif seragam dan cepat dipungut hasilnya. 2. Aspek sosial, karena : (a) pelaksanaan peranannya dapat dilakukan dengan

sistem tumpangsari sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat; (b) kegiatan yang harus dilakukan dalam sistem THPB cukup banyak sehingga memerlukan banyak tenaga kerja dalam pelaksanaannya.

Beberapa jenis tanaman yang ditanam dalam pembangunan HTI dengan sistem silvilultur THPB sesuai Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, yaitu : 1. Tanaman pokok yang dibudidayakan adalah jenis tanaman yang cepat

tumbuh, memiliki nilai ekonomis tinggi, dan memiliki prospek pasar nasional dan regional

2. Tanaman unggulan setempat; dikembangkan untuk areal-areal tertentu dalam rangka upaya konservasi tanah maupun jenis (misalnya jenis Meranti) 3. Tanaman campuran; dapat dikembangkan dari jenis tanaman unggulan atau andalan dan tanaman pohon kehidupan atau serba guna. Tanaman kehidupan atau unggulan ditanam pada areal yang berbatasan/ (berdekatan) dengan pemukiman, berfungsi sebagai pengamanan sekaligus sebagai media pengembangan ekonomi rakyat setempat

Gagasan pembangunan hutan tanaman (HTI) yang pada awalnya ditujukan untuk merehabilitasi lahan- lahan hutan yang kritis dan tidak produktif dan mempunyai tujuan utama untuk turut menjamin penyediaan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu di Indonesia, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam prakteknya pembangunan HTI tidak berjalan mulus

Menurut Anwar (2000) bahwa dalam pelaksanaan HTI, permasalahan yang timbul sama dengan permasalahan pada hutan secara umum, yaitu permasalahan dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern), sebagai berikut :

1. Permasalahan teknis; meliputi kesulitan dalam pengadaan bibit unggul yang teruji, land clearing tanpa pembakaran sulit dilakukan

2. Permasalahan sosial budaya seperti adanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan pelaksana HTI, hilangnya mata pencaharian masyarakat, kebakaran hutan dan lahan akibat kebiasaaan pembukaan lahan dengan membakar


(31)

xxxi 3. Permasalahan finansial, karena sistem pendanaan HTI yang sebelumnya dilakukan yaitu melalui pinjaman Dana Reboisasi (DR) saat ini tidak lagi diberikan kepada perusahaan pelaksana HTI

4. Permasalahan lingkungan, seperti berkurangnya keragaman hayati berupa habitat satwa dan tumbuhan

5. Permasalahan politik, seperti terjadinya gejolak politik membuat kekacauan kebijaksanaan kehutanan terutama dalam pengelolaan hutan tanaman; dan adanya sorotan dari LSM dan lembaga pencinta lingkungan terhadap kebijakan pembangunan HTI

Perusahaan HTI dalam melakukan pembangunan HTI di lapanga n mengalami benturan-benturan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan seperti (Kanwil Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 1998) :

a. Adanya perambahan oleh masyarakat baik untuk motivasi untuk dapat menuntut ganti rugi ataupun untuk tujua n menguasai lahan tersebut

b. Adanya klaim dari masyarakat yang menyebutkan bahwa didalam areal pencadangan HPHTI terdapat hak ulayat atau tanah adat mereka yang tidak boleh diganggu

Tabel 4 menunjukkan realisasi penanaman HTI di Provinsi Sumatera Selatan yang mulai dilakukan tahun 1990 sampai dengan 2002 sesuai dengan kelas perusahaan masing- masing pelaksana HTI.

Tabel 4 Realisasi penanaman HTI sesuai kelas perusahaan sampai dengan tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan Nama Perusahaan HTI Luas

HPHTI

Realisasi penanaman

Keadaan perusahaan

HTI Kayu Pulp/Serat

PT. Musi Hutan Persada 296.400 198.000 Aktif PT. Ciptamas Bumisubur 6.000 3.000 Aktif PT. Pakerin 43.380 7.600 Tidak aktif PT. SBA Wood Industries 40.000 2.037 Aktif

HTI Kayu Pertukangan

PT. Inhutani V

- Eks PT. Rimba Jaya Borang 8.950 500 Tidak aktif - Eks HPH 232.500 1.500 Tidak aktif PT. Waihijau Hutani 21.250 17.000 Tidak aktif PT. Tunas Bentala 13.288 1.750 Aktif Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002


(32)

xxxii Selain itu menurut Muhshi (1999), berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan LATIN, jumlah konflik yang terjadi dalam areal HPH dan HTI dari tahun 1990 – 1996 masing- masing berjumlah 8741 dan 5757. Secara umum hambatan yang dihadapi dalam pembangunan HTI disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu :

1. Sebagai usaha komersial belum layak secara finansial terutama oleh investor yang tidak terikat pada investasi industri. Pasokan kayu dari hutan alam terus melimpah – karena dipasok dari kayu hasil illegal logging – yang menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Oleh sebab itu perhitungan kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaitkan HTI dengan industri yang mengolah hasil kayunya; 2. Konflik penggunaan lahan dengan masyarakat lokal (sekitar hutan) sebagai

akibat dari peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodir sistem dan praktek penguasaan serta pengelolaan hutan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Oleh sebab itu berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan nomor 177/Kpts-II/2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Kriteria dan Indikator Usaha Pengelolaan Hutan Secara Lestari pada Unit Manajemen Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman, maka agar pengelolaan hutan dapat secara lestari maka pengelolaan hutan harus mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi antara lain meliputi: (a) kawasan hutan yang mantap; (b) produksi yang berkelanjutan; (c) manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan; dan (d) lingkungan yang mendukung sistem penyangga kehidupan.

Pesan itu semakin menegaskan paradigma penyelenggaraan kehutanan secara benar dalam hal (Sutisna 2004) :

1. Hutan fungsi manapun harus bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kelompok masyarakat kaya atau sedang berkuasa, sesuai fungsi hutan tersebut (lindung, produksi, konservasi)

2. Manfaat hutan bukan hanya dapat dinikmati masyarakat yang ada saat ini melainkan harus berkelanjutan, baik dalam hal nilai ekonomis maupun nilai- nilai lainnya (estetika, ilmiah, budaya). Artinya bila ada kawasan hutan


(33)

xxxiii yang rusak, maka generasi sekarang berkewajiban memperbaikinya sampai menjadi produktif kembali dalam fungsi utamanya

3. Penyelenggaraan kehutanan tidak dapat ditentukan dan atau dilakukan sepihak oleh pemerintah seperti masa lalu, melainkan harus bersama masyarakat secara berkeadilan dan terpadu. Begitupun anggota masyarakat yang menguras manfaat hutan secara sewenang-wenang untuk kepentingan sendiri harus dihentikan demi hukum, karena manfaat hutan harus secara berkeadilan dinikmati bersama oleh masyarakat luas.

2.3. Masyarakat Desa Hutan

Menurut Soejarwo (1998), masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang pada umumnya merupakan suatu masyarakat zona sosial ekonomi yang berada di dalam kawasan hutan dan luar hutan. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya kuat dalam menjaga adat istiadat dari berbagai pengaruh dari luar, memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber ekonomi untuk bertani dan sumber energi. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merasakan betapa pentingnya hutan dalam menunjang kehidupan mereka. Hutan disamping dapat menyediakan keperluan hidup mereka sehari-hari seperti kebutuhan pangan (vitamin, protein, karbohidrat dan lain- lain), kayu bakar, kesuburan tanah, sumber air dapat juga memberikan peluang untuk meningkatkan pendapatan, seperti kayu, rotan, madu, getah-getahan dan lain- lain.

Masyarakat memiliki pandangan dan persepsi tertentu mengenai hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya mempunyai makna ekonomis, tetapi juga sosial budaya dan religius. Hutan bukan hanya dilihat sebagai sumber flora dan fauna yang beraneka ragam, tetapi mereka menganggap bahwa masyarakat dan hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan Dengan demikian, sangat jelas bahwa hutan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat.

Menurut Laksono et al. (1995) agar masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat hidup dengan baik, harus meliputi beberapa dimensi :

1. Keamanan dan kecukupan akses ke sumber daya alam – baik untuk saat ini dan masa yang akan datang


(34)

xxxiv 2. Kesempatan yang bersifat ekonomi – aktifitas yang dilakukan sebaiknya

dapat memelihara atau meningkatkan kesempatan hidup

3. Kesempatan pengambilan keputusan – aturan tentang partisipasi yang berarti dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka

4. Keadilan – pemecahan konflik yang fair dan distribusi keuntungan, aturan, tanggung jawab dan insentif

5. Keaslian dan identitas – respek terhadap nilai kultural masyarakat, perilaku, penggunaan lahan dan bahan-bahan baku, baik pada saat ini dan untuk masa yang akan datang bagi kelangsungan generasi

6. Keselamatan dan kesehatan – baik fisik dan mental

Anwar (2000) menyebutkan bahwa tiadanya keseimbangan hak- hak dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut sering menimbulkan kebocoran wilayah, terjadinya proses pemiskinan masyarakat komunal lokal serta beban-beban (social costs) yang harus ditanggung oleh masyarakat tersebut sedangkan mereka tidak memperoleh kompensasi.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa untuk mendapatkan manfaat hutan yang optimal maka harus memperhatikan kelestarian fungsi kawasannya, oleh sebab itu untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari adalah sangat penting untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat khususnya yang tinggal didalam dan disekitar hutan. Selain itu, masalah hak-hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Dengan adanya pengukuhan hak- hak kepemilikan, akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak itu dapat menjaga kelestarian (upaya konservasi) dan mempertahankan apa ya ng telah menjadi miliknya dari intervensi atau ancaman dari pihak luar (Anwar 2000)

Selanjutnya Anwar (1995) menyatakan bahwa keberhasilan suatu pembangunan wilayah sangat tergantung apakah masyarakat lokal diberi hak-hak bahwa mereka dapat diikut-sertakan dalam pengambilan pilihan keputusan dalam merancang dan melaksanakan proyek pembangunan yang bersangkutan.apabila masyarakat lokal dapat diikut-sertakan dan mereka mempunyai hak-hak akses kepada sumber daya proyek pembangunan wilayah maka mereka akan


(35)

xxxv mempunyai ‘rasa memiliki’. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan, maka mereka akan tidak menghiraukan proyek tersebut dan mungkin bahkan sampai mencoba menentangnya atau merusaknya. Dengan demikian, maka secara umum adanya penegasan hak- hak akses atau kepemilikan merupakan aspek fundamental dalam sistem ekonomi, khususnya dalam ekonomi pertukaran (exchange economy). Hak-hak tersebut mengandung arti bahwa akses dalam bentuk Hak-hak-Hak-hak pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap sumberdaya (access to resources) menjadi sangat penting.

Menurut Fuad (2001), masyarakat lokal memang mempunyai posisi sangat penting sebagai subyek pengelolaan hutan karena :

1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap mereka yang sebenarnya.

2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika mereka merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan. Mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki. Kepercayaan ini penting bila kehutanan memerlukan dukungan masyarakat.

3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan sebagai subyek dalam pembangunan masyarakat sendiri. Dapat dirasakan bahwa mereka pun mempunyai hak untuk ‘urun rembug’ dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep man centered development, yaitu bahwa pembangunan harus dipusatkan kepada kepentingan manusia – artinya suatu jenis pembangunan lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri.

2.4. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Prinsip kelestarian hutan tidak cukup hanya ditinjau dari sisi mempertahankan – jika memungkinkan meningkatkan – daya dukung dan fungsi lingkungan (environmental sustainability) atau dari sisi produktifitas dan keuntungan ekonomi antar generasi (economic sustainability) semata, tetapi juga tidak bisa mengabaikan kelestarian ditinjau dari aspek sosial (social


(36)

xxxvi

sustainability), yaitu kesesuaian pengelolaan sumber daya hutan dengan norma-norma sosial setempat (Sardjono 2004).

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu prinsip pengelolaan hutan yang seharusnya memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya terga ntung pada hutan atau berbasis pada hutan. Selain itu pengelolaan hutan berbasis masyarakat mempunyai cakupan yang luas mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil, pemasaran sampai dengan konservasi dan rehabilitasi dan sebagainya (Djogo 2004). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan perwujudan dari berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara luas. Kerjasama dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan modifikasi atau adaptasi yang diperlukan terhadap hak-hak masyarakat komunal sekitar hutan sehingga dapat dilakukan beberapa perbaikan terhadap hak-hak mereka agar dapat mengarah kepada upaya penanggulangan terjadinya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup disekitarnya. Keterlibatan, peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam mengelola hutan bisa dinyatakan dengan berbagai bentuk yaitu dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benar-benar.

Ada berbagai model dan nama pengelolaan hutan yang berbasis atau berorientasi pada masyarakat di Indonesia tergantung cara pandang berbagai pihak, antara lain : HPH Bina Desa, Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Disebut PHBM murni jika seluruh perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pengambil keputusan sampai pada peraturan pemerintah (lokal/tradisional) dan bagi hasil dibuat sendiri oleh masyarakat tanpa ada campur tangan pihak luar. Bentuk PHBM ini disebut sebagai Sistem Hutan Kerakyatan, termasuk didalamnya Hutan Adat. Sedangkan disebut Hutan Kemasyarakatan bila kegiatan pengelolaan hutan bermitra dengan masyarakat di kawasan hutan milik negara dan disebut Hutan Rakyat jika diselenggarakan di lahan milik perorangan dan kelompok masyarakat. Namun disepakati oleh


(37)

xxxvii pemerintah bahwa secara formal model- model pengelolaan hutan itu yang dilaksanakan baik di kawasan hutan milik negara maupun lahan milik pribadi berada di bawah payung perhutanan sosial (social forestry) (Djogo 2004).

Pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini juga dipengaruhi oleh pengembangan model pengelolaan dari luar negeri seperti Social Forestry,

Community Forestry, dan Community Based Forest Management (CBFM) (Djogo 2004). Menurut Rose (2001), CBFM merupakan pengelolaan sumber daya yang bersifat common property yang berbasis masyarakat. Di dalam CBFM ini, masyarakat lokal mempunyai psikologi, sosial dan moral yang diperlukan untuk sampai pada pengaturan kerjasama untuk kepentingan bersama. CBFM sangat adaptif terhadap perubahan sumber daya secara alami, tetapi tidak adaptif terhadap perubahan sumber daya secara (untuk) komersial. Dalam beberapa kasus, masyarakat akan mengabaikan sumber daya dan lingkungan lebih besar jika mendapat tekanan komersial dari pihak luar, tapi sayangnya institusi kemasyarakatan sering tidak mampu untuk menghadapi fenomena ini.

Namun demikian, menurut Sardjono (2004) walaupun terdapat perbedaan dalam bentuk, konsep ataupun implementasinya – apakah itu didasarkan pada sistem tradisional ataupun inovasi baru – tetap prinsip-prinsip kuncinya harus terpenuhi, yaitu :

1. Masyarakat lokal memiliki kepastian kewenangan untuk mengelola kawasan dan atau hasil hutan (kayu, non kayu, jasa lingkungan), baik secara ruang (in space) dan secara waktu (in time) agar mereka dapat memiliki keterjaminan masa depan (future security).

2. Masyarakat lokal memiliki kepastian untuk bisa berperan-serta dalam setiap tahap kegiatan pengelolaan hutan; mereka harus terlibat aktif dalam perumusan kebijakan ataupun implementasinya (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan operasi dan pemantauan atau penilaiannya). 3. Masyarakat lokal memiliki kepastian untuk memperoleh keuntungan

terbesar dari kegiatan pengelolaan hutan; masyarakat harus secara jelas menempatkan porsi terbesar – dari sisi finansial, khususnya pengusahaan produk hutan kayu, non kayu, tetapi juga jasa lingkungan dan /atau yang adil, terutama dalam kasus manfaat atau produk atau jasa lingkungan yang


(38)

xxxviii non komersial seperti air minum dan bahan baku bagi kepentingan sosio-kultural – pada sisi masyarakat

4. Masyarakat lokal memiliki kepastian akan terbebas dari eksploitasi pasar dan tekanan pihak luar.

Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian sehingga memudahkan penerapan (Setiawan dan Rahmi 2000).

Anwar (2001), menyebutkan bahwa kemitraan merupakan suatu inovasi untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar partisipan dalam suatu hubungan usaha, dimana dimungkinkan semua partisipan mempunyai perasaan memiliki terhadap kelembagaan tersebut dan memiliki peran proporsional dalam mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Kemitraan usaha dibangun dengan tujuan saling memperkuat dan saling menguntungkan serta menghindari adanya konflik atau dominasi suatu kelompok tertentu terhadap partisipan lainnya. Kemitraan perlu memilih strategi yang tepat dan sesuai dengan kondisi usaha yang dikembangkan sehingga sistem koordinasi organisasinya lebih efisien. Dalam kemitraan dibutuhkan strategi yang mampu menekan biaya-biaya transaksi hingga ke tingkat paling minimum

Smith (1982) dalam Setiawan dan Rahmi (2000), menyarankan kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses perencanaan sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting. Kalau tidak, masyarakat akan melihat proses partisispasi tidak jauh dari sekedar kosmetik karena banyak keputusan kunci yang diambil tanpa melibatkan masyarakat.

Kemitraan dimaknai sebagai bentuk kerjasama yang mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak atau lebih secara adil dan sederajat sesuai tata nilai yang berlaku dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sekurang-kurangnya ada


(39)

xxxix beberapa prasyarat dan prinsip yang harus dipenuhi untuk membangun sebuah kemitraan yang kuat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah kemauan untuk duduk dan bicara bersama dan saling percaya, saling mengerti dan menghormati, tukar menukar impian dan bayangan, tukar menukar informasi, mencari kesamaan dan ketidak samaan secara damai, mencapai kesepakatan minimal, sering bertemau dan berbicara bersama, memantau kegiatan berdasarkan indikator yang disetujui bersama, serta memperbaiki dan memperluas kersajama (Campbell 1999 dalam Nurfatan 2005)

Kelestarian barang publik seperti sumber daya hutan, hanya bisa lestari manfaatnya apabila tidak terjadi konflik penggunaan, dijaga oleh seluruh masyarakat, atau paling tidak seluruh masyarakat tidak merusaknya. Oleh karena itu, adalah salah apabila hanya mengharapkan dari petugas kehutanan berapapun jumlahnya diterjunkan ke lapangan. Kelestarian sumber daya hutan akan hanya bisa terpelihara oleh publik secara keseluruhan. Masalahnya adalah instrumen kebijakan seperti apa yang mampu menuju kearah pemahaman dan implementasi kelestarian barang publik tersebut (hutan) sesuai dengan kehendak publik (Warsito et al. 2003)

Menurut Anwar (2000) konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat maupun antar individu didalam kelompok yang sama. Definisi konflik sangat beragam, ada yang menggambarkan bahwa konflik adalah perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Prosensnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lainnya telah menghalangi atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya, atau jika ada kegiatan yang tidak cocok dengan kepentingan salah satu pihak. Menurut Anwar (2000) konflik punya sebab-sebab ganda, biasanya merupakan kombinasi dari masalah dalam hubungan antar pihak-pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan merupakan konflik struktural karena terjadi ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Pihak yang berwenang mempunyai peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Disisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali jadi alasan.


(40)

xl Oleh sebab itu, menurut Ostrom (1994) dalam Laksono et al. (1995) kerjasama dalam pengelolaan sumber daya alam akan efektif apabila memenuhi kondisi sebagai berikut :

1. Memiliki batas-batas yang jelas

2. Mempunyai kemampuan untuk melindungi sumberdaya hutan

3. Memiliki mekanisme yang efektif dalam pengambilan keputusan dan pemecahan konflik

4. Mempunyai kemampuan untuk memonitor kualitas sumberdaya hutan 5. Memiliki organisasi yang efisien untuk meningkatkan efektivitas dan

frekuensi komunikasi

6. Memiliki insentif dan keuntungan untuk pengelolaan hutan yang baik

7. Memiliki input – masyarakat sebagai tenaga kerja, teknologi, modal informasi (information capital) dan input lainnya yang diperlukan untuk pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable)

8. Memiliki nilai konservasi atau komitmen untuk memelihara hutan

Kesuksesan kerjasama antara perusahaan dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan tergantung pada (Nawir et al. 2002) :

1. Mempunyai hubungan dengan proses industri atau pasar kayu, dimana sangat penting untuk mengamankan pasar produk kayu melalui kerjasama dengan masyarakat

2. Menghitung input dari kedua belah pihak untuk menentukan besarnya pembagian keuntungan dan harga beli kayu yang berasal dari masyarakat 3. Pengelolaan komponen biaya krusial (seperti biaya transaksi dan biaya

sosial) yang didasarkan pada biaya yang efektif pada penge lolaan kayu hutan tanaman skala kecil

4. Mendisain mekanisme penanaman modal kembali sebagai bagian dari kerjasama

2.5.Kelembagaan Pengelolaan Hutan 2.5.1. Arti Penting Kelembagaan

Peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan sangatlah penting. Kelembagaan yang baik akan menentukan keberhasilan suatu kegiatan


(41)

xli pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta ataupun masyarakat. Kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik organisasi, pasar dan sebagainya) serta informal (norma, kondisi, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial dan sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Kherallah and Kristen 2001 dalam Fauzi 2004b). Secara lebih spesifik, Doughlass North, ahli ekonomi kelembagaan menyatakan bahwa institusi lebih pasti terjadi pada hubungan antar manusia serta mempengaruhi perilaku dan

outcomes seperti keragaan ekonomi, efisien dan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Dalam perspektif ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economic/NIE), Williamson (2000) dalam Fauzi (2004b) misalnya melihat bahwa kelembagaan beroperasi baik pada level makro maupun level mikro. Pada tingkat makro, kelembagaan merupakan rules of the game yang mempengaruhi perilaku dan keragaan dari pelaku ekonomi, dimana organisasi dibentuk dan biaya transaksi (Coase 1937) secara embedded ada didalamnya. Doughlass North, dengan faham Neo classical Economy dan new institutional economy melihat bahwa kelembagaan tidak bisa terlepas dari konsep biaya transaksi (transaction costs) yang dicetuskan pertama kali oleh Coase tahun 1937. Dengan demikian kelembagaan tidak lain adalah transaction minimazing arrangement/kesepakatan yang meminimasi biaya transaksi. Dalam pandangan North, kelembagaan yang menurunkan biaya transaksi adalah kunci keberhasilan indikator ekonomi. Perkembangaan kelembagaan sangat bersifat path dependent Dengan kata (keterkaitan antar periode) sehingga tidak semua kelembagaan bersifat efisien dan kelembagaan yang tidak efisien. Dan lembaga yang tidak efisien inilah yang menghambat petumbuhan ekonomi.

Anwar (2000) menyebutkan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen, yaitu :

(1) Batasan yuridiksi, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya yang menjadi faktor produksi, barang dan jasa. Selain itu ditegaskan bahwa batas kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan


(42)

xlii sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Batas kewenangan juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan (sustainability) dan pembagian manfaat bersih dari masing- masing pihak.

(2) Hak kepemilikian, yaitu hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Anwar (2000) menyatakan property rights yang paling adalah kepemilikan (ownership) terhadap lahan. Hak kepemilikan yang lebih jelas atau pasti akan menentukan bersarnya bargaining position terhadap suatu persoalan. Berkaitan dengan hak kepemilikan pengelolaan sumberdaya alam diperlukan adanya suatu aturan main yang jelas.

(3) Aturan representasi mengatur siapa ya ng berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang akan diambil dan apa akibatnya terhadap performance ditentukan oleh kaidah perwakilan atau representasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Anwar (2000) dalam aturan perwakilan yang dipersoalkan adalah masalah sistem atau prosedur mengenai keputusan. Dalam proses ini, bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut.

2.5.2. Teori Permainan (Game Theory)

Sebagai program yang boleh dibilang baru dan belum stabil, pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai salah satu model pengelolaan hutan secara lestari belum mengarah kepada keseimbangan dalam bentuk kelembagaan yang mantap. Oleh karena itu masih mengalami interaksi menuju suatu sistem kelembagaan yang memuaskan bagi semua pihak, baik pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat (peserta program)

Terdapat berbagai cara untuk mengetahui interaksi pihak-pihak dalam melaksanakan suatu program, diantaranya dengan menggunakan model game theory. Teori Permainan (Game Theory) merupakan pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik diantara stakeholders atas perbagai


(43)

xliii kepentingan. Pendekatan ini dipergunakan untuk menganalisis proses pengambil keputusan dari persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih dari suatu kelompok untuk suatu kepentingan yang semuanya terlibat dalam usaha untuk memenangkan permainan. Anggapan yang mendasari Teori Permainan ini adalah bahwa setiap individu maupun kelompok mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional. Teori Permainan ini dimaksudkan untuk menghadapi suatu permasalahan yang memberikan suatu teori tentang perilaku strategis dan ekonomi, manakala orang saling berhubungan secara langsung dibandingkan melalui pasar. Teori Permainan berkaitan dengan aksi dari individu yang khawatir bahwa kegiatan mereka akan mempengaruhi satu dengan lainnya. Teori Permainan tidak berguna ketika keputusan yang dibuat mengabaikan reaksi yang lainnya atau memperlakukan yang lain sebagai tekanan pasar.

Anwar (2001), menyebutkan bahwa bekerjasama (cooperation) diantara anggota masyarakat digambarkan dalam suatu model sederhana dari satu lain (one-shot) keadaan yang terjadi pada persoalan yang disebut Dilema Narapidana (Prisoner’s Dilemma Game) yang menggambarkan keadaan terjadinya interaksi antara dua agent atau kelompok dimana kedua kelompok masing- masing sebenarnya mempunyai kesempatan unt uk memperoleh manfaat atau keuntungan (benefit) dari adanya kerjasama yang jujur antara mereka dengan saling menguntungkan. Namun jika salah satu atau kedua pihak yang berinteraksi masing- masing secara sendiri-sendiri mencoba untuk berlaku curang kepada pihak lainnya, maka yang terjadi akan merugikan pihak lainnya.

Ada beberapa unsur atau konsep dasar yang sangat penting dalam penyelesaian tiap kasus dengan Teori Permainan, yaitu : 1) jumlah pemain, 2) ganjaran (payoff), 3) jumlah strategi permainan, 4) matriks permainan. Permainan diklasifikasikan menurut jumlah kepentingan atau tujuan yang ada dalam permainan itu. Pengertian jumlah pemain tidak selalu sama dengan jumlah orang yang terlibat dalam permainan. Jumlah pemain disini berarti jumlah kelompok pema in berdasarkan masing- masing kepentingan atau tujuannya. Dengan demikian, dua orang atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama sebagai satu (kelompok) pemain.


(44)

xliv Strategi menunjukkan untuk setiap situasi yang timbul dalam proses permainan, gerakan khusus mana yang harus dipilih. Ross (2004) menyebutkan strategi harus ditetapkan terlebih dahulu, untuk menentukan tindakan apa yang diambil untuk merespon setiap strategi yang dimainkan oleh pemain lainnya. Yang disebut permainan (game) adalah suatu situasi diman sedikitnya ada satu pemain yang dapat bertindak untuk memaksimalkan kegunaannya (utility) dengan cara mengantisipasi respon yang timbul akibat tindakan yang dilakukan oleh pemain tersebut. Jika semua pemain melakukan tindakan yang optimal seperti yang dilakukan oleh salah satu pemain, berarti situasi itu berada dalam kondisi kompetisi sempurna. Semua situasi kompetitif yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat berikut yang dapat disebut sebagai permainan (game), yaitu: 1) jumlah pemain terbatas, 2) untuk setiap pemain, ada sejumlah kemungkinan tindakan yang terbatas, 3) ada pertentangan kepentingan (conflict of interest) antara pemain, 4) aturan permainan yang mengatur di dalam memilih tindakan diketahui oleh setiap pemain, 5) hasil seluruh kombinasi tindakan yang mungkin dilakukan berupa bilangan yang positif, negatif atau nol. Tanda negatif merupakan simbol kekalahan, begitu permainan selesai pemain yang kalah akan membayar (mungkin dalam bentuk uang) kepada pihak pemenang sejumlah yang sudah ditentukan. Nilai pembayaran ini disebut payoff.

Pilihan rasional didalam teori ekonomi neoklasik akan memaksimalkan penghargaan seseorang. Dari pandangan tersebut, hal ini merupakan masalah matematika : memilih aktifitas yang memaksimalkan penghargaan. Pilihan ekonomi yang rasional merupakan solusi bagi suatu permasalahan matematika. Dalam game theory, dimana suatu kasus menjadi lebih kompleks, hasilnya tidak tergantung hanya pada kondisi pasar, tetapi juga secara langsung pada strategi yang dipilih oleh orang la in, tetapi kita dapat berpikir tentang pilihan strategi yang rasional sebagai masalah matematika yaitu memaksimalkan penghargaan dari suatu kelompok pembuat keputusan yang saling berinteraksi.

Tabel 5 Konsekuensi Pahala (Payoff) dari Permainan Pertukaran (Jasa) Pihak agen B

Jujur Tidak jujur

Jujur T/2, T/2 - ß, a


(45)

xlv Pada Tabel 5 di atas menyatakan tentang hasil- hasil pahala (payoff) yang diperoleh bagi kedua belah pihak yang bertukar barang/jasa (exchange of goods) dari suatu pertukaran yang dilaksanakan sekali (tunggal) dan hasil payoff-nya tergantung pada kombinasi dari strategi-strategi yang mereka pilih.

2.6.Kesediaan Membayar (Willingness to Pay)

Sumber daya alam, selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat

amenity seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya (Fauzi 1999).

Secara umum dapat didefinisikan bahwa valuasi ekonomi pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kualitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan terlepas apakah nilai pasar (market prices) tersedia atau tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo klasikal (neo classical economic theory) yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen (Barbier et al. 1997 dalam Fauzi 1999).

Pengertian nilai (value), khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan, yang disebut nilai ekonomi sumber daya alam. Nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya, yang secara formal disebut kesediaan membayar (willingness to pay=WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan Pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran kesediaan menerima (willingness to accept =WTA) (Fauzi 2004a).

Untuk dapat dicapai suatu kesepakatan antara dua pihak yang berkeinginan untuk suatu perubahan tersebut dan pihak yang menerima terjadinya perubahan tersebut maka perbedaan antara WTP dengan WTA adalah sekecil mungkin.


(1)

Collinearity Diagnostics(a)

Variance Proportions Mod

el

Dim ensio n

Eigenva lue

Condition Index

(Consta nt) umur

jml_t g

pndd kn

pek_ ut

pndp tn jarak

sist_ pek

sist_

upah manfaat

1 1 8.367 1.000 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00

2 .932 2.996 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .47 .02 .00

3 .284 5.428 .00 .00 .00 .02 .00 .00 .02 .08 .77 .00

4 .144 7.619 .00 .02 .05 .55 .00 .01 .02 .01 .02 .00

5 .108 8.816 .00 .00 .07 .01 .01 .00 .60 .22 .00 .02

6 .069 11.014 .00 .02 .22 .19 .12 .01 .01 .03 .02 .13

7 .037 15.110 .00 .00 .00 .18 .14 .82 .06 .16 .00 .00

8 .033 15.937 .00 .01 .02 .01 .30 .06 .04 .01 .02 .76

9 .018 21.716 .00 .91 .62 .03 .10 .01 .10 .00 .05 .01

10 .009 30.326 .99 .04 .01 .01 .34 .09 .15 .01 .09 .08

a Dependent Variable: wtp

Casewise Diagnostics(a)

Case

Number

Std.

Residual

wtp

11

3.097

300000.0

38

-3.353

.00

a Dependent Variable: wtp

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 3815.7156 369392.9063 156851.8519 76177.73257 108

Residual -186446.3594 172175.2344 .0000 53210.35729 108

Std. Predicted Value -2.009 2.790 .000 1.000 108

Std. Residual -3.353 3.097 .000 .957 108


(2)

Regression Standardized Residual

2.75 2.25 1.75 1.25 .75 .25 -.25 -.75 -1.25 -1.75 -2.25 -2.75 -3.25

Histogram

Dependent Variable: wtp

Frequency

20

10

0

Std. Dev = .96 Mean = 0.00 N = 108.00

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: wtp

Observed Cum Prob

1.00 .75

.50 .25

0.00

Expected Cum Prob

1.00

.75

.50

.25


(3)

Lampiran 3 Tabel PDRB Kab. Muara Enim Thn 2001 – 2003

Atas dasar Harga Berlaku (Jutaan Rupiah)

Lapangan Usaha

2001

2002

2003

Total

1. Pertanian

902,917.00 1,034,745.00 1,184,690.00 3,122,352.00

- Tan bahan makanan

279,120.00 331,526.00 367,470.00 978,116.00

- Tan Perkebunan

389,425.00 437,998.00 501,210.00 1,328,633.00

- Peternakan & hasil lainnya

64,128.00 72,632.00 85,913.00 222,673.00

- Kehutanan

93,124.00 102,934.00 122,770.00 318,828.00

- Perikanan

77,120.00 89,655.00 107,327.00 274,102.00

2. Pertambangan & Penggalian

3,765,161.00 3,823,316.00 4,212,887.00 11,801,364.00

- Minyak & gas bumi

2,404,441.00 2,261,047.00 2,456,699.00 7,122,187.00

- Non Migas

1,294,177.00 1,482,054.00 1,668,247.00 4,444,478.00

- Penggalian

66,543.00 80,215.00 87,941.00 234,699.00

3. Industri Pengolahan

138,117.00 153,666.00 169,467.00 461,250.00

- Industri migas

- - - -

- Industri tanpa migas

138,117.00 153,666.00 169,467.00 461,250.00

4. Listrik, gas dan air bersih

47,784.00 54,139.00 59,331.00 161,254.00

- Listrik

46,732.00 52,948.00 57,930.00 157,610.00

- Gas

- - -

- Air bersih

1,052.00 1,191.00 1,401.00 3,644.00

5. Bangunan

210,391.00 237,765.00 282,981.00 731,137.00

6. Perdagangan, Hotel & restoran 295,007.00 358,188.00 417,658.00 775,846.00

- Perdag. Besar & eceran

255,755.00 312,894.00 366,226.00 679,120.00

- Hotel

1,131.00

1,284.00 1,449.00 2,733.00

- Restoran/rumah makan

38,121.00

44,010.00 49,983.00 93,993.00

7. Pengangkutan & Komunikasi

105,632.00 130,000.00 159,805.00 395,437.00

- Pengangkutan

92,381.00 114,041.00 139,446.00 345,868.00

- Komunikasi

13,251.00 15,959.00 20,359.00 49,569.00

8. Keuangan, Persewaan,

70,482.00 84,529.00 95,198.00 179,727.00

dan Jasa Perusahaan

- Bank

1,120.00 1,417.00 1,774.00 3,191.00

- Lembaga Keuangan bukan

bank

1,012.00 1,149.00 1,246.00 2,395.00

- Jasa penunjang keuangan

- - -

- Sewa Bangunan

64,487.00 77,894.00 87,760.00 165,654.00

- Jasa Perusahaan

3,863.00 4,069.00 4,418.00 8,487.00

9. Jasa-jasa

219,129.00 259,061.00 280,378.00 758,568.00

- Pemerintahan umum

189,142.00 226,528.00 245,485.00 661,155.00

- Jasa Sosial Kemasyarakatan

15,498.00 16,828.00 17,804.00 50,130.00

- Jasa Hiburan dan Kebudayaan 212.00 234.00 252.00 698.00

- Jasa Perorangan dan RT

14,277.00 15,471.00 16,837.00 46,585.00


(4)

Lampiran 4. Besarnya Payoff masing-masing Pihak yang Terlibat

dalam MHBM

Data per tahun

No. URAIAN

2003 2004 2005

Total Rata-rata/thn Rata2/ha/thn A. Wilayah MHBM Ds.

Subanjeriji (luas 5.737,88 ha)

1 Produksi dari kegiatan pemanenan HTI

a.1. Dalam m3 51,338.00 49,303.00 12,251.40 112,892.40 37,630.80

a.2. Dalam ton 47,949.69 46,049.00 11,442.81 105,441.50 35,147.17

b. Luas (Ha) 326.00 340.10 107.90 774.00 258.00

2

Pendapatan perusahaan

(Rp)

a. dari kulit kayu 431,547,228.00 414,441,018.00 102,985,268.40 948,973,514.40 316,324,504.80 b. dari kayu 3,970,994,300.00 3,813,587,050.00 947,645,790.00 8,732,227,140.00 2,910,742,380.00

3

Pembayaran Provisi SDH

(Rp) 143,746,400.00 138,048,400.00 36,754,200.00 318,549,000.00 106,183,000.00 4 Pembayaran PBB atas areal

MHBM (Rp) 14,229,942.40 14,229,942.40 14,229,942.40 42,689,827.20 14,229,942.40

5 6,493,740.00 6,493,740.00 6,493,740.00 19,481,220.00 6,493,740.00

Pendapatan masyarakat dari kegiatan MHBM (jumlah peserta 675 org) (Rp/org/thn)

B. Wilayah MHBM Desa Gn. Megang (luas 4.063,13 ha)

1Produksi dari kegiatan pemanenan HTI

a.1. Dalam m3 39,386.00 54,129.00 16,771.10 110,286.10 36,762.03

a.2. Dalam ton 36,786.52 50,556.49 15,664.21 103,007.22 34,335.74

b. Luas (Ha) 293.00 398.80 115.10 806.90 268.97

2

Pendapatan perusahaan

(Rp)

a. dari kulit kayu 331,078,716.00 455,008,374.00 140,977,866.60 927,064,956.60 309,021,652.20 b. dari kayu 3,046,507,100.00 4,186,878,150.00 1,297,244,585.00 8,530,629,835.00 2,843,543,278.33

3

Pembayaran Provisi SDH

(Rp) 110,280,800.00 151,561,200.00 50,313,300.00 312,155,300.00 104,051,766.67 4 Pembayaran PBB atas areal

MHBM (Rp)

10,076,562.40 10,076,562.40 10,076,562.40 30,229,687.20 10,076,562.40


(5)

rata-rata dari kegiatan MHBM (peserta 1.023 org)

(Rp/org/thn)

C Total

Payoff Perusahaan

1Produksi dari kegiatan

pemanenan HTI

a.1. Dalam m3 90,724.00 103,432.00 29,022.50 223,178.50 74,392.83

a.2. Dalam ton 84,736.22 96,605.49 27,107.02 208,448.72 69,482.91

b. Luas (Ha) 619.00 738.90 223.00 1,580.90 526.97

2 Pendapatan perusahaan

a. dari kulit kayu 762,625,944.00 869,449,392.00 243,963,135.00 1,876,038,471.00 625,346,157.00 b. dari kayu 7,017,501,400.00 8,000,465,200.00 2,244,890,375.00 17,262,856,975.00 5,754,285,658.33

Jumlah pay off 7,780,127,344.00 8,869,914,592.00 2,488,853,510.00 19,138,895,446.00 6,379,631,815.33

Payoff Pemerintah

Daerah 12,106,328.96

3

Pembayaran Provisi SDH

(Rp) 254,027,200.00 289,609,600.00 87,067,500.00 630,704,300.00 210,234,766.67 4 Pembayaran PBB atas areal

MHBM (Rp)

24,306,504.80 24,306,504.80 24,306,504.80 72,919,514.40 24,306,504.80

Jumlah pay off 278,333,704.80 313,916,104.80 111,374,004.80 703,623,814.40 234,541,271.47 398,952.69

2480

Payoff Masyarakat 401,432.69

5 Pendapatan masyarakat 13,103,736.00 13,103,736.00 13,103,736.00 39,311,208.00 13,103,736.00

Jumlah pay off 13,103,736.00 13,103,736.00 13,103,736.00 39,311,208.00 13,103,736.00

Kesimpulan :

a. Payoff perusahaan : Rp. 12.106.328,66/ha/thn b. Payoff pemerintah : Rp 401.432,69/ha/thn

c. Payoff masyarakat : Rp 6.551.868,00/thn Keterangan :

1. PSDH thn 2003 & 2004 = Rp. 2800/m3 PSDH thn 2005 = Rp. 3000/m3

2. PBB (Areal yg ditanami & umur tanaman 1-3 th = Rp. 2480/ha PBB (Areal yg tidak ditanami/tidak produktif = Rp. 480/ha 3.

Harga kayu HTI Acacia mangium = Rp. 85.000/m3

4.

Harga kulit kayu A. mangium = Rp. 100000/ton

5. Volume 1 m3 kayu = 0,85 ton kayu 6. Volume kulit kayu = 8 - 10% volume kayu


(6)

Lampiran 5 Rekapitulasi Prosentase Tumbuh Tanaman pada Tiap Lokasi Sampel

No.

Lokasi / nomor

petak sampel

Jumlah

tanaman

yang

seharusnya

hidup (btg)

Jumlah

tanaman

hidup

dilapangan

(btg)

Tinggi

rata-rata

(cm)

Prosen

tumbuh

(%)

1 Blok Caban Utara

Petak 1

111

109

52

98.20

Petak 2

111

97

55

87.39

Petak 3

111

105

55

94.59

Petak 4

111

106

55

95.50

Petak 5

111

97

50

87.39

2 Blok Subanjeriji

Petak 6

111

102

52

91.89

Petak 7

111

103

52

92.79

Petak 8

111

102

55

91.89

Petak 9

111

98

54

88.29

Petak 10

111

96

54

86.49

Prosen tumbuh

rata-rata

91.44

Sumber : Hasil

pengolahan data