Keberhasilan Fisik Pembuatan Tanaman Kelembagaan MHBM

cvi karbon hutan berdasarkan definisi reforestasi dan aforestasi upaya mengonversi lahan bukan hutan sejak 50 tahun lalu menjadi hutan, masing- masing adalah : penghutana n kembali reforestasi, penanaman hutan atau hutan tanaman industri, hutan kemasyarakatan, perhutanan sosial agroforestri dan penanaman jenis pohon serba guna, reboisasipenghijauan, hutan rakyat, dan perubahan lahan pertanian menjadi hutan. Atas dasar kemampuan yang dimiliki hutan itu, maka negara- negara maju yang menghasilkan karbon dari kegiatan industri dan transportasi dinegaranya tetapi tidak mempunyai hutan untuk menyerap limbah karbon tersebut, bersedia menyalurkan dana kepada negara yang memp unyai potensi sumberdaya yang mampu menyerap karbon secara alami. Kemampuan hutan Indonesia menyerap karbon 1.238,525 Gt Giga ton per tahun. Saat ini harga karbon di pasar berkisar US 1 sampai US 30 per ton CO atau US 0,3 sampai US 8,0 per ton C Kompas 2003. Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematangsiantar dapat diketahui bahwa tanaman Acacia mangium mampu meyerap 133,39 ton C per hektar. Jika per ton C dapat laku US 10 per ton maka rehabilitasi HTI bisa mendapatkan dana sebesar US 1.333,9 per hektar Kompas 2003 Dari uraian di atas, maka dengan adanya peningkatan luas areal yang berpenutupan hutan melalui kegiatan penanaman serta penurunan kebakaran hutan karena dilakukannya MHBM maka hutan mempunyai kemampuan untuk menjalankan fungsi perlindungan lingkungan yang mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari mengatur tata air, mengendalikan banjir dan mencegah erosi karena terserapnya air hujan dengan baik, menciptakan udara bersih dan segar, melindungi habitat flora dan fauna serta terbentuknya kembali lapisan humus yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun selain memberikan fungsi perlindungan, ternyata bila dana sebesar US 1.333,9 per hektar itu dikalikan dengan luas hutan yang ada dan dijaga kelestariannya, maka akan diperole h keuntungan pengolahan sumber daya hutan yang cukup besar.

5.6. Keberhasilan Fisik Pembuatan Tanaman

Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 265Kpts-II2000 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, bahwa suatu kegiatan penanaman HTI cvii dinyatakan sangat baik jika mempunyai prosentase tumbuh di atas 91. Berdasarkan hasil penghitungan jumlah tanaman akasia Acacia mangium yang hidup di lapangan dan dibandingkan dengan jumlah tanaman yang seharusnya ada tumbuh dari setiap petak contoh seluas 0,1 ha, menunjukkan bahwa kisaran prosentase tumbuh tanaman HTI di areal kerja MHBM rata-rata 91,44 dan termasuk dalam kategori sangat baik. Tingginya persentase tumbuh tanaman HTI di wilayah itu, selain disebabkan karena masyarakat kelompok tani MHBM dalam melakukan kegiatan harus sesuai dengan Standard Operating Procedure SOP yang ditetapkan oleh PT. MHP atas setiap komponen pekerjaan, sesuai dengan yang tercantum dalam Akta Kesepakatan yang telah ditandatangani bersama antara masyarakat dan PT. MHP.. Hasil pekerjaan sesuai dengan SOP sangat perlu dilakukan oleh masyarakat karena nantinya akan terkait dengan besarnya nilai jasa kerja yang akan diterima oleh masyarakat pada akhir pelaksanaan pekerjaan.

5.7. Kelembagaan MHBM

Beberapa tulisan menyimpulkan bahwa, kelembagaan institution mempunyai dua pengertian, yaitu: 1 kelembagaan sebagai suatu aturan main rule of the game dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya, menyangkut hak-hak dan tanggung jawabnya; 2 kelembagaan sebagai suatu organisasi yang mempunyai hierarki. Kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian ekonomi menggamb arkan aktifitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga melainkan oleh mekanisme administratif dan kewenangan. Anwar 2001 menyatakan bahwa penentuan pilihan kelembagaan yang tepat akan dapat mengatur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input ke arah efisiensi yang tinggi, keadilan fairness dan aktifitas ekonomi dalam pembangunan wilayah yang berkesinambungan sustainable. Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya secara optimal dapat melalui pembagian pekerjaan sehinggan setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional. Peningkatan pembagian kerja selanjuntnya akan mengarah ke cviii spesialisasi ekonomi yang akan berimplikasi pada peningkatan efisiensi dan produktifitas yang tinggi. Kelembagaan muncul sebagai upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan yang semakin komplek dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya kelembagaan mengatur tiga hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu : pengaturan, pemanfaatan, transfer serta distribusi sumber daya. Penanganan terhadap ketiga hal pokok tersebut akan meningkatkan sifat keragaman dan dinamika dari kelembagaan. Agar dapat berfungsi dengan baik, kelembagaan haruslah mapan solid and survive selama periode waktu tertentu yang ditunjukkan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan teknnologi dan pola kehidupan masyarakat, sehinggsa interaksi kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dan teknologi baru yang sustanainable terhadap sumberdaya. Selain itu supaya institusi dapat berjalan dan ditaati oleh para anggotanya maka dalam institusi tersebut harus ada struktur insentif yang mengandung rewards dan sanksi sehingga masyarakat akan mentaatinya. Menurut Pakpahan 1991 ada tiga komponen utama kelembagaan yaitu : 1. Batas kewenangan yuridictional boundary, yang diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki seorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya harus dikonsumsi secara bersama, maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan para pengguna sumber daya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan. 2. Hak kepemilikan property right adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur interaksihubungan anggota masyarakat. Dengan demikian tidak ada seorang pun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah : 1 Hak individu merupakan kewajiban orang lain, dan 2 kepemilikan yang jelas dapat memudahkan individumasyarakat untuk mengakses dan mengkontrol terhadap sumberdaya. cix 3. Aturan representasi rule of representation adalah aturan representasi yang mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Untuk memahami tentang kinerja dari kelembagaan MHBM, dengan mengacu pada tiga komponen utama kelembagaan tersebut di atas, maka : 1. Dalam konteks MHBM, indikator batas kewenangan mencakup luas dan letak kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Batas kewenangan ini tercantum dalam Akta Kesepakatan MHBM. 2. Dalam program MHBM, masyarakat diberikan hak untuk melakukan penanaman HTI pada areal yang ditetapkan sebagai areal kerja MHBM dan mendapatkan imbalan upahjasa kerja dan bahan-bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan tersebut. Selain itu, masyarakat mendapat hak untuk melakukan kegiatan tumpangsariagro trisula. Namun demikian, masyarakat mempunyai kewajiban untuk : 1 menjaga dan mengamankan areal HPHTI danatau areal kerja MHBM berikut seluruh aset lainnya yang berada didalamnya; 2 mencegah dan mengendalikan api kebakaran hutan; 3 memelihara dan merawat alat-alat kerja dan pelengkapan; 4 menjaga ketentraman, ketertiban dan suasana kondusif bagi kelancaran dan kenyamana n pelaksanaan pekerjaan, kelangsungan usaha dan kehidupan bermasyarakat; 5 menyelesaikan perselisihan yang timbul akibat adanya keberatanklaim atas areal kerja MHBM dari pihak lain. 3. Dalam konteks MHBM, keputusan yang diambildisepakati dalam hasil musyawarah misalnya dalam kegiatan patroli keamanan hutan, penegakan hukum bila terjadi masalah atau perselisihan antar anggota MHBM. Untuk menganalisis apakah kesepakatan dalam pengelolaan hutan yang bekerjasama dengan masyarakat dapat terus berlanjut, maka dilakukan analisis Game Theory . Pada Game Theory, digunakan asumsi rasionalitas dimana tiap orang akan memaksimumkan pahalanya rewards berupa keuntungan, cx pendapatan, atau keuntungan subyektifnya, dalam lingkungan keadaan dimana dia menghadapinya Anwar 2002. Dalam analisis Game Theory ini digunakan model interaksi yang sederhana antara 2 stakeholder player, dimana yang menjadi player adalah pemerintah daerah G, masyarakat peserta MHBM F, perusahaan HTI PT. MHP C Pemilihan strategi dan interaksi antara 2 player didasarkan pada issue riil serta kondisi yang relevan di lapangan. Sebelum menetapkan strategi yang akan digunakan, perlu dijelaskan apa yang mendasari penetapan strategi tersebut baik oleh pihak pemerintah daerah, perusahaan maupun masyarakat. Pihak Pemerintah Daerah a. Secara hukum, kawasan hutan produksi Subanjeriji merupakan bagian dari kawasan hutan yang ditetapkan sebagai areal HPHTI PT.Musi Hutan Persada yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 38Kpts- II1996 tanggal 29 Januari 1996 b. Bahwa dari kawasan hutan produksi di Kabupaten Muara Enim, berdasarkan hasil citra landsat tahun 2000 seluas 153.822 ha kondisi penutupan vegetasinya adalah non hutantidak produktif. Diharapkan dengan adanya pembangunan HTI akan mengurangi luas hutan yang tidak produktif. c. Secara hidrologis, kawasan hutan produksi Subanjeriji dan sekitanya merupakan sumber air, juga menjaga tata air yang amat vital bagi kehidupan masyarakat. d. Perlu dihindari adanya anggapan bahwa kawasan hutan setiap saat dapat diubah status fungsinya dan dapat diberikan kepada masyarakat. Apabila hal ini terjadi, maka kelompok masyarakat lain akan melakukan hal yang sama serupa. Pihak Perusahaan a. Secara hukum, kawasan hutan produksi Subanjeriji merupakan bagian dari kawasan hutan yang ditetapkan sebagai areal HPHTI PT.Musi Hutan Persada yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 38Kpts- II1996 tanggal 29 Januari 1996 cxi b. Produksi hasil hutan kayu dari areal HPHTI khususnya dari kawasan hutan produksi Subanjeriji me njadi terjamin c. Memperbaiki hubungan dengan masyarakat yang tidak harmonis Pihak Masyarakat Kawasan hutan produksi Subanjeriji yang ditetapkan sebagai areal HPHTI PT. MHP merupakan tempat berladangberkebun karet bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut. Strategi yang Ditempuh Pihak Pemerintah Daerah

A. Cooperatif

Koordinasi dengan instansi terkait sampai dengan tingkat desa dan lembaga non pemerintah lainnya LSM, Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat untuk mencari solusi dalam upaya pemecahan masalah

B. Non Cooperatif

1. Melarang masyarakat untuk melakukan aktifitas apa pun di dalam kawasan hutan menutup akses masyarakat terhadap kawasan hutan 2. Mengeluarkan perambah hutan dari kawasan hutan yang telah dirambahnya atau mengupayakan program lainnya yang dapat mengakomodasikan keinginan dari masyarakat 3. Meminta perusahaan dan masyarakat tidak melakukan kegiatan sebelum ada penyelesaian masalah Pihak Perusahaan A. Cooperatif 1. Menawarkan program MHBM kepada masyarakat pada kawasan hutan yang menjadi konflikberpotensi terjadi konflik 2. Koordinasi dengan instansi terkait sampai dengan tingkat desa dan lembaga non pemerintah lainnya LSM, Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat untuk mencari solusi dalam upaya pemecahan masalah cxii

B. Non Cooperatif

1. Melarang masyarakat untuk melakukan aktifitas apa pun di dalam kawasan hutan menutup akses masyarakat terhadap kawasan hutan 2. Tidak melakukan pembangunan HTI pada areal yang menjadi sengketa Pihak Masyarakat A. Cooperatif 1. Masyarakat menerima bahwa lahan yang dijadikan tempat berladangberkebun karet merupakan kawasan hutan produksi dan telah ditetapkan sebagai areal HPHTI PT. MHP 2. Menerima dan ikut serta dalam program MHBM yang ditawarkan perusahaan

B. Non Cooperatif

Masyarakat tidak mengakui bahwa tempat berladang atau berkebun karet sebagai kawasan hutan sehingga mereka tetap berusaha membuka atau mengusahakannya. Jika memungkinkan akan mengupayakan memilikinya. Adapun yang menjadi pay off dari permainan ini adalah :

1. Pihak masyarakat

a. Akses masyarakat atas lahan hutan menjadi terbuka b. Produktifitas lahan menjadi optimal sudah ditanami dan akan menghasilkan sehingga dapat mengurangi tingkat degradasi lahan c. Terciptanya lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat d. Tingkat pendapatan dan kesejahteraan ma syarakat meningkat e. Redistribusi dalam arti pengelolaan kepada nasyarakat berjalan dengan baik

2. Pihak perusahaan

a. Luas tanaman HTI menjadi meningkat b. Terjaminnya produksi hasil hutan untuk sumber bahan baku industri c. Supremasi hukum dihargai karena kawasan tersebut menurut aspek legal formal merupakan kawasan hutan d. Terjaminnya fungsi produksi, hidrologi dan ekologi hutan cxiii

3. Pihak pemerintah daerah kehutanan

a. Luas hutan yang produktif menjadi meningkat b. Supremasi hukum dihargai karena kawasan tersebut menurut aspek legal formal merupakan kawasan hutan c. Menghilangkan anggapan bahwa kawasan hutan dapat diubah setiap saat menjadi tempat berladang dan berkebun karet oleh masyarakat d. Bertambahnya sumber pembiayaan daerah yang berasal dari lahan dan hasil hutan e. Terjaminnya fungsi produksi, hidrologi dan ekologi hutan Jika secara ekonomi, besarnya payoff pemerintah daerah didasarkan pada pajak yang diterima per tahun berupa pembayaran Pajak Bumi Bangunan PBB yaitu sebesar Rp. 2.480,- per ha untuk areal hutan yang ditanami dan berumur 1-3 tahun dan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH sebesar Rp. 3.000,- per m 3 , yang berdasarkan perhitungan Rp. 234.541.271,- per tahun atau Rp 401.432,- per ha per tahun. Payoff perusahaan didasarkan pada pendapatan yang diterima berdasarkan perhitungan mencapai Rp. 6.379.631.815,- per tahun atau Rp. 12.106.328,- per ha per tahun atau kerugian yang ditanggung bila tidak melakukan penebangan perusahaan telah melakukan investasi dalam HTI sebesar Rp. 7.633.520,- per ha yang dipergunakan untuk kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan dan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan. Sedangkan payoff masyarakat didasarkan pada pendapatan rata-rata per tahun yaitu sebesar Rp. 6.551.868,-. Jika dibuatkan dalam matrik pay off untuk setiap pihak ya ng terlibat terlihat pada Tabel 34, 35 dan 36 Tabel 34 Matriks pay off interaksi antara perusahaan dan masyarakat Masyarakat Cooperatif A Non cooperatif B Cooperatif A 12.106.328 6.551.868 12.106.328 0 Perusahaan Non cooperatif B 0 6.551.868 0 -791.868 cxiv Tabel 35 Matriks payoff interaksi antara pemerintah dengan perusahaan Perusahaan Cooperatif A Non cooperatif B Cooperatif A 401.432 12.106.328 401.432 0 Pemerintah Non cooperatif B -400.952 12.106.328 -400.952 0 Tabel 36 Matriks payoff interaksi antara pemerintah dengan masyarakat Masyarakat Cooperatif A Non cooperatif B CooperatifA 401.432 6.551.868 401.432 -791.868 Pemerintah Non cooperatif B -400.952 6.551.868 -400.952 -791.868 Seperti disebutkan sebelumnya bahwa areal hutan yang dijadikan areal kerja Program MHBM adalah areal hutan konsesi HPHTI yang disengketakandiklaim oleh masyarakat dan areal-areal yang memiliki potensi konflik seperti areal yang diakui sebagai lahan adat, marga, desa dan sebagainya. Dengan demikian, adanya kelembagaan MHBM dapat mencegah dan mengurangi terjadinya konflik penggunaan lahan dengan masyarakat sekaligus me ningkatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam pengelolaan HTI. Peranan kelembagaan MHBM itu juga didukung dari hasil pengolahan dengan game theory tersebut, yaitu ternyata tidak ada pilihan strategi lain bagi semua pihak yang terlibat selain mereka harus melakukan strategi yang bersifat cooperatif yaitu terus melaksanakan program MHBM dalam pengelolaan hutan HTI karena memberikan solusi yang optimum bagi semua pihak. Pemerintah daerah menyadari bahwa apabila tidak dilakukannya pembangunan HTI pada areal tersebut, akan mengalami kerugian berupa penurunan besarnya PSDH dan PBB yang diterima. Selain itu pemerintah daerah juga ingin menghindari atau menghilangkan adanya anggapan bahwa kawasan hutan setiap saat dapat diubah status fungsinya dan dapat diberikan kepada masyarakat. Karena apabila hal ini terjadi, maka kelompok masyarakat lain akan melakukan hal yang sama serupa. Demikian pula pada interaksi antara pemerintah dengan perusahaan. Perusahaan menginginkan perlu ada kejelasan mengenai areal hutan yang mereka cxv kelola untuk membangun HTI. Mereka khawatir jika tidak melakukan program MHBM dalam pembangunan HTI akan mengalami kerugian yang lebih besar. Pihak perusahaan menyadari bahwa pembangunan HTI merupakan program jangka panjang dan memiliki resiko yang cukup tinggi, apalagi bila tidak ada jaminan keamanan dalam pelaksanaan di lapangan dan tidak tercipta hubungan harmonis dengan masyarakat di dalamsekitar hutan. Pada interaksi antara perusahaan dengan masyarakat, solusi yang optimum adalah baik perusahaan maupun masyarakat memilih strategi cooperatif yaitu meneruskan program MHBM. Oleh karena itu, untuk menjalankan strategi tersebut seperti yang terjadi di lapangan, perusahaan berupaya menciptakan kondisi untuk meningkatkan tingkat acceptability masyarakat dengan melibatkan peranan tokoh masyarakat dan melakukan sosialisasi kepada mereka sejak awal kegiatan MHBM akan dilakukan. Selain itu diciptakan program penunjang berupa kegiatan tumpangsari dan agro trisula yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan agar masyarakat mau untuk berpartisipasi dalam kegiatan MHBM. Slamet 1990 dalam Winarto 2003 mengatakan bahwa partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya suatu program pembangunan. Dapat dikatakan bahwa tanpa adanya partisipasi masyarakat maka setiap pembangunan akan kurang berhasil. Oleh sebab itu perlu dipahami baik oleh pemerintah daerah maupun perusahaan, bahwa dalam mengelola hutan, kawasan hutan tidak hanya dipandang untuk menghasilkan produksi hasil hutan saja, tetapi perlu dipandang sebagai suatu ekosistem dimana yang terdiri dari sub-sub ekosistem baik yang bersifat hayati maupun non hayati, yang diantaranya adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang jumlahnya cukup banyak dan tidak mungkin dipindahkandikeluarkan dari kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengumpulan data wawancara dengan pengurus dan anggota kelompok MHBM serta pihak PT. MHP terhadap kele mbagaan MHBM, pelaksanaan MHBM di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan Akta Kesepakatan MHBM, yaitu dalam hal pembayaran jasa kerja yang terlambat dan penyerahan pekerjaan HTI yang tidak langsung ke kelompok kerja MHBM. Selain itu ada beberapa hal yang menjadi permasalahan menyangkut : 1 ketersediaan cxvi modal kerja kelompok MHBM, 2 Komunikasi antara anggota, dan 3 Kemampuan SDM pengurus dan anggota kelompok MHBM. Ketersediaan modal kerja kelompok MHBM Seperti disebutkan sebelumnya bahwa untuk melaksanakan pekerjaan sesuai SPK yang mereka terima dari PT. MHP, masing- masing kelompok MHBM harus menyediakan modal kerja. Tujuannya adalah diharapkan dengan adanya modal dan tenaga kerja yang berasal dari kelompok MHBM itu sendiri maka akan terjadi peredaran ua ng yang berasal dari berbagai pekerjaan dalam pembangunan HTI upah kerja dan nilai borongan dalam wilayah kelompok MHBM itu bermukim. Sehingga diharapkan peredaran uang ini akan menggerakkan perekonomian masyarakat dalam skala yang lebih luas. Namun kenyataannya sebagian besar kelompok MHBM menghadapi permasalahan keterbatasan modal sehingga timbul distribusi pendapatan yang tidak merata. Kelompok MHBM yang tidak mempunyai modal kerja dan berperan sebagai pekerja akan memperoleh pendapatan yang lebih kecil. Kondisi ini akan semakin tidak menyenangkan apabila modal kerja diperoleh dari pihak luar kelompok MHBM atau luar desa. Uang yang diperoleh sebagai hasil pembayaran pekerjaan dalam kegiatan HTI sebagian besar akan tersedot keluar sehingga pihak kelompok MHBM hanya memperoleh sedikit. Selain itu, apabila pihak pemberi modal berasal dari luar kadang-kadang mereka menyediakan sendiri para tenaga kerjanya yang mereka kenal sebelumnya daripada anggota kelompok MHBM itu sendiri. Permasalahan mengenai modal kerja ini sebenarnya telah disampaikan oleh kelompok kerja MHBM yang tidak mempunyai modal kerja kepada pihak perusahaan untuk dapat dicari alternatif pemecahannya. Mereka mengharapkan agar mereka diberikan modal awal berupa pinjaman yang nantinya akan diperhitungkan apabila mereka mendapatkan jasa kerja. Alternatif lainnya adalah agar pembayaran jasa kerja diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pelaksanaan pekerjaan, bukan pada saat pekerjaan selesai 100 dilaksanakan. Kelompok kerja MHBM juga pernah mengajukan permohonan peminjaman dana kepada lembaga keuanganbank setempat tetapi tidak berhasil mengingat kegiatan HTI merupakan kegiatan yang memerlukan waktu yang lama cxvii dan mengandung resiko yang cukup tinggi. Tetapi, ketiga alternatif itu belum dapat disetujui baik oleh pihak perusahaan maupun pihak bank. Komunikasi antara anggota kelompok MHBM Dari hasil wawancara didapatkan bahwa antara anggota kelompok dan pengurus MHBM terjadi kurang komunikasi sehingga menimbulkan rasa curiga dan salah pengertian, misalnya dalam hal penerimaan dan penggunaan jasa manajemen yang besarnya adalah 1 dari nilai jasa kerja yang diperuntukkan bagi organisasi MHBM. Para anggota kelompok MHBM mencurigai pengurus MHBM telah menggunakan jasa manajemen itu untuk kepentingan pribadi. Selain itu rasa curiga juga timbul dalam penyampaian kesempatan kerja yang tertuang dalam Rencana Operasional RO kepada para kelompok MHBM. Para anggota kelompok MHBM merasa bahwa pengurus MHBM tidak menyampaikan secara jujur kompone n-komponen pekerjaan apa saja yang terdapat didalam RO. Akibat kurangnya komunikasi, salah pengertian pun juga timbul antara pengurus dan kelompok MHBM dengan pihak PT. MHP. Salah persepsi yang timbul diantaranya adalah : a. Pihak perusahaan kadangkala menganggap para pengurus MHBM setiap datang ke kantor perusahaan hanya menanyakan tentang jasa manajemen saja b. Pihak perusahaan merasa ruang geraknya menjadi terbatas. Jika saat program MHBM belum dilaksanakan, perusahaan bebas memilih kontraktor pemborong yang dianggap mampu capable dalam permodalan, skill, mudah diarahkan dan sebagainya. Tetapi dengan diterapkannya program MHBM, semua pekerjaan pembangunan HTI harus diserahkan dahulu kepada kelompok kerja MHBM, setelah kelompok kerja merasa tidak mamputidak sanggup melaksanakan pekerjaan itu, pihak perusahaan baru dapat mencari kontraktorpemborong. Itupun tetap harus seizin pengurus MHBM c. Dengan dilaksanakannya program MHBM, para petugas perusahaan yang berkompeten merasa memperoleh tambahan pekerjaan, misalnya menghadiri cxviii berbagai pertemuan dengan masyarakat, memilah- milahkan jasa manajemen, merekapitulasi data dan sebagainya Sebaliknya, para pengurus MHBM menganggap pihak perusahaan masih memiliki kekurangan, diantaranya : a. Pihak perusahaan tidak serius dalam melaksanakan kerjasama MHBM, diantaranya ada beberapa areal HTI yang ketika diserahkan kepada kelompok kerja MHBM sudah tidak ada lagi pekerjaan, yang ada tinggal pekerjaan perlindungan dari api dan agen perusak lainnya b. Batas waktu yang diberikan perusahaan kepada kelompok kerja MHBM sangat sempit, sehingga jika sampai pada batas waktu yang diberikan oleh perusahaan tidak bisa dipenuhi oleh kelompok kerja, maka pekerjaan HTI tersebut diambil alih oleh perusahaan untuk diserahkandicarikan ke kontraktorpemborong lainnya. Pengetahuan atau Kemampuan pengurus dan anggota kelompok Tidak dapat dipungkiri bahwa pengurus dan anggota dalam kelompok MHBM kurang memiliki pengetahuan atau kemampuan dalam berorganisasi, pembukuaan dan pengetahuan-pengetahuan la in yang diperlukan untuk dapat memajukan organisasi. Namun sejalan dengan dilakukannya kegiatan MHBM, dengan adanya penyuluhan dan berbagai pertemuan yang diikuti, telah mendidik mereka untuk memahami masalah organisasi, belajar mendengarkan pendapat orang lain, mengerti tentang akuntabilitas dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Namun demikian, masih diperlukan bantuan dari pihak-pihak lain untuk pembelajaran kepara anggota kelompok MHBM sehingga mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan agar pelaksanaan MHBM berhasil. Selain permasalahan yang dihadapi antara pengurusanggota kelompok MHBM dengan PT. MHP, berdasarkan hasil pengumpulan data di Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten, ternyata kegiatan MHBM PT. MHP yang dimulai tahun 2002 ini terkesan berjalan sendiri, kurang komunikasi dan koordinasi. Hal ini menyebabkan kurangnya data dan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan MHBM dan keterlibatan instansi cxix pemerintah dalam kegiatan MHBM PT. MHP ini. Baik Dinas Kehutanan Provinsi maupun Dinas Kehutanan Kabupaten belum pernah menerbitkan surat keputusan peraturanketentuan yang berkaitan dengan program MHBM PT. MHP ini, namun secara insidentil melakukan monitoring ke lapangan. Walaupun demikian, pemerintah sangat menduk ung dan membantu kelancaran aktifitas kelembagaan MHBM tersebut terutama untuk pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Muara Enim berupaya membantu menyelesaikan permasalahan para KT MHBM dengan mengadakan pertemuan dengan PT. MHP, yang salah satu hasilnya adalah akan membentuk suatu organisasiforumwadah bagi seluruh KT MHBM sehingga akan efisien dan efektif apabila ada permasalahan dengan PT. MHP. Sedangkan untuk Pemerintah Provinsi mulai tahun 2005, program MHBM PT. MHP akan dikaitkan dengan rencana pembangunan hutan campuran pangan HCP untuk mendukung Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan, yaitu dengan melakukan penanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, semangka dan cabe di areal MHBM. Sebenarnya permasalahan yang dihadapi dalam MHBM mudah dipahami. Para pengusaha hutan termasuk pekerjanya dapat dikatakan sebagian besar berasal dari luar kawasan hutan yang diusahakan. Sardjono 2004 menyatakan bahwa konsep perusahaan konsesi hutan sebagai organisasi sekaligus institusi merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat lokal atau sangat berbeda dengan organisasiinstitusi tradisional yang mereka kenal dan miliki. Hal ini terkait dengan aspek fisik, teknikcara dan aturan main. Berbagai perbedaan ini tentu saja memperbesar prasangka dan menuntut adanya toleransi yang tinggi dan penghargaan budaya atas dasar keterbukaan dan kesetaraan. Dalam hal ini perlu inisiatif aktif untuk melakukan sosialisasi dan asimilasi dari pihak luarpengusaha hutan. Menurut Sardjono 2004, ada beberapa penting yang seharusnya dilakukan terkait dengan kelembagaan adalah : 1 Upaya untuk mempelajari budaya dan adat istiadat lokal termasuk norma dan pantangan serta peran kepala adat 2 Melakukan komunikasi yang intens guna mempercepat terjadinya asimilasi cxx 3 Sedapat mungkin memberikan kesempatan yang besar bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam kegiatan keterbukaan. Kesemuanya merupakan pendekatan sosiologis yang merupakan syarat penting bagi terjadinya proses dan bentuk interaksi yang positif. Sardjono 2004 juga menyatakan bahwa sejujurnya bila tidak diliputi dengan prasangka negatif seperti bahwa masyarakat lokal itu ’pemalas’, tidak memiliki kualitas yang memadai untuk berperan serta dan bahkan menganggap mereka hanya sebagai faktor penghambat dalam berusaha, maka interaksi yang positif antara pengusaha hutan dan masyarakat bisa digalang. Masyarakat lokal juga merupakan aset berharga karena merupakan sumber tenaga kerja, penyedia jasa dan mitra berusaha yang potensial. Sebagai contoh, dalam aspek pengamanan kawasan dari gangguan penebang liar, perambah hutan dan penanggulangan kebakaran, dapat berjalan efisien dan efektif jika masyarakat lokal dilibatkan. Dengan demikian, apabila masyarakat diikutsertakan dalam pengelo laan hutan maka tujuan pembangunan kehutanan untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. cxxi VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Substansi Program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat Pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI merupakan hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi yang tidak produktif dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Namun, karena dalam proses pembangunannya lebih didasarkan pada aspek legalitas ijin perusahaan yang diperoleh dari Pemerintah atau Departemen Kehutanan, maka dalam pelaksanaan kegiatannya banyak mengorbankan hutan alam, realisasi penanaman tidak sesuai dengan target, penanaman dilakukan pada kawasan hutan produksi yang masih produktif, penunjukkan kawasan hutan yang akan dibangun hutan tanaman sangat bersifat makro dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Selain itu kegiatannya kurang melibatkan kelembagaan lokalbelum memanfaatkan kapasitas masyarakat lokal sehingga tumpang tindih dengan kepentingan masyarakat. Pihak pemegang HPHTI juga kurang melakukan pendekatan terhadap masyarakat lokal sehingga sebagian dari mereka beranggapan bahwa HTI dikembangkan untuk menghabiskan kayu dari areal-areal hutan yang masih potensial. Oleh sebab itu, dengan dilakukannya penyempurnaan kebijakan dalam pembangunan HTI melalui program Mengelola Hutan Bersama Mayarakat MHBM diharapkan memberi kesempatan masya rakat atau kelompok masyarakat setempat sebagai mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Dalam penelitian ini, kegiatan MHBM oleh PT. MHP di Provinsi Sumatera Selatan pada dasarnya berawal dari inisiatif pemerintah cq Departemen Kehutanan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan hutan. Inisiatif itu merupakan tindak lanjut dengan berubahnya paradigma pengelolaan hutan, yaitu dalam era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan bahwa program-program kehutanan harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan perhutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian hutan. Lestari hutan itu pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bagi pihak PT. MHP, pelaksanaan cxxii kegiatan MHBM adalah sebagai upaya untuk mengurangimeredam konflikklaim masyarakat dan memperbaiki ketidakharmonisan hubungan antara masyarakat sekitar areal HTI. Dalam kegiatan MHBM ini masyarkat akan melakukan pengelolaan hutan, mulai dari penyiapan lahan, penanaman tanaman pokok jenis Acacia mangium yang dikembangkan untuk bahan baku industri pulp, pemeliharaan tanaman, pencegahan kebakaran hutan dan pemanenanpenebangan. Dari pelaksanaan seluruh kegiatan itu, masyarakat akan mendapatkan jasa kerja, jasa manajemen 1 dari jasa kerja dan jasa produksi Rp. 2.500,-m3. Guna mengefektifkan pemanfaatan lahan dan membantu meningkatkan pendapatan, masyarakat yang ikut kegiatan MHBM diperbolehkan melakukan penanaman tanaman pangan tumpangsari di antara sela-sela tanaman kehutanan secara mandiri. Tanaman pangan adalah tanaman semusim yang ditanam secara tumpangsari seperti padi, cabe, jagung dan kacang tanah. Kombinasi jenis tanaman yang dibudidayakan dalam program MHBM ini dimaksudkan agar masyarakat peserta MHBM mendapatkan pendapatan secara kontinyu dari jenis-jenis tanaman yang ada. Dalam jangka pendek 1-3 tahun, yaitu sebelum tanaman kehutanan membentuk tajuk dan dapat menghasilkan, masyarakat akan mendapat tambahan pendapatan dari hasil panen tanaman tumpangsari. Selain kegiatan tumpangsari, masyarakat juga diperbolehkan untuk melakukan kegiatan pertanian berupa kegiatan agribisnis Trisula dengan konsep “sayur cepat, ikan cepat dan ternak sehat”. Kegiatan tersebut diharapkan ma mpu menghasilkan tambahan pendapatan harian- mingguan-bulanan. Pendapatan harian didapat dari bertanam sayur cepat yaitu menanam kangkung cabut. Penanaman dilakukan secara bertahap sehingga panen bisa dilakukan tiga hari sekali setelah hari ke-21 masa panen karena menggunakan teknologi bokasi dan penggunaan bibit unggul. Pendapatan mingguan didapat dari penjualan ikan lele dumbo karena jenis yang mudah cocok dengan lingkungan, cepat besar dan sumber pakannya dapat didukung oleh potensi alam sekitar. Panen ikan lele dumbo misalnya dapat dilakukan setiap 1 minggu sekali setelah 2 bulan 10 hari penebaran pertama dan kemudian seminggu sekali. Pendapatan bulanan didapat dengan bisa memelihara ternak berkaki empat atau bebek. Dalam pelaksanaannya, PT. MHP sengaja cxxiii membangun Demplot Trisula dengan tujuan : 1 sebagai ajang dan sarana riset sebelum suatu paket kegiatan agribisnis Trisula dianggap layak terap; 2 sebagai ajang dan sarana percontohan untuk menarik perhatian dan minat masyarakat setempat maupun sekitar. Untuk itu, PT. MHP memberikan penyuluhan dan pelatihan sehingga masyarakat dapat belajar dan melakukan kegiatan itu serta dapat mengembangkannya sendiri.

6.2. Pemberdayaan Masyarakat