xxviii b. Mudah dalam penerapan ketentuan peraturan
c. Pengelompokan sanksi-sanksi 1 dan 3 Hubungan antara sistem sumber daya dan pengaturan kelembagaan
yaitu penyesuaian dalam pembatasan pemanfaatanpengambilan sumber daya untuk regenerasi sumber daya
4. Lingkungan eksternal
a. Teknologi : pengeluaran teknologi biaya rendah b.
Negara : Pemerintah pusat seharusnya tidak mengurangi hak kewenangan masyarakat lokal
2.2. Pembangunan Hutan Tanaman
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan,
karena hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Mengingat begitu
besarnya manfaat dan peranan hutan maka harus dijaga kelestariannya. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan
bahwa sumber daya hutan di Indonesia mempunyai 3 tiga fungsi, yaitu fungsi lindung, fungsi produksi dan fungsi konservasi, maka dalam penyelenggaraan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Selain itu disebutkan juga bahwa penyelenggaraan hutan bertujuan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan : a.
Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
xxix c.
Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai DAS d.
Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan
lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355Kpts-II1997 disebutkan bahwa hutan tanaman industri HTI merupakan hutan yang dibangun dalam
rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil
hutan dan diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi deforestasi; yang bertujuan untuk :
a. menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna
meningkatkan nilai tambah dan devisa b.
meningkatkan produktifitas lahan dan kualitas lingkungan hidup c.
memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha HTI merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan
asas manfaat yang lestari dan asas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem
silvikultur intensif. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435Kpts-II1997 tanggal 1 Agustus 1997 tentang Sistem Silvikultur dalam
Pembangunan Hutan Tanaman maka sistem silvikultur yang dapat diterapkan, yaitu: 1 sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaaan Buatan THPB
utamanya untuk jenis tanaman pokok, dan 2 Sistem Tebang Tanam Jalur TPTJ dengan berbagai modifikasi.
Kartini 2002, menyatakan jika dilihat dari sistem silvikultur yang digunakan yaitu THPB, maka sistem ini mempunyai peranan yang tinggi dari dua
aspek yaitu : 1.
Aspek produksi atau industri, karena : a operasi pemanenan terkonsentrasi pada areal yang relatif kecil dan produksinya tinggi; b kua litas kayu mudah
ditingkatkan sesuai dengan permintaan industri; c peremajaan hutan dilakukan setelah pemanenan; d bersifat terpusat dan menghasilkan
xxx tegakan seumur, murni sejenis, teratur dan relatif cepat tumbuh, sehingga
memperoleh kualitas kayu yang relatif seragam dan cepat dipungut hasilnya. 2.
Aspek sosial, karena : a pelaksanaan peranannya dapat dilakukan dengan sistem tumpangsari sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat;
b kegiatan yang harus dilakukan dalam sistem THPB cukup banyak sehingga memerlukan banyak tenaga kerja dalam pelaksanaannya.
Beberapa jenis tanaman yang ditanam dalam pembangunan HTI dengan sistem silvilultur THPB sesuai Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, yaitu :
1. Tanaman pokok yang dibudidayakan adalah jenis tanaman yang cepat
tumbuh, memiliki nilai ekonomis tinggi, dan memiliki prospek pasar nasional dan regional
2. Tanaman unggulan setempat; dikembangkan untuk areal-areal tertentu
dalam rangka upaya konservasi tanah maupun jenis misalnya jenis Meranti 3.
Tanaman campuran; dapat dikembangkan dari jenis tanaman unggulan atau andalan dan tanaman pohon kehidupan atau serba guna. Tanaman kehidupan
atau unggulan ditanam pada areal yang berbatasan berdekatan dengan pemukiman, berfungsi sebagai pengamanan sekaligus sebagai media
pengembangan ekonomi rakyat setempat Gagasan pembangunan hutan tanaman HTI yang pada awalnya ditujukan
untuk merehabilitasi lahan- lahan hutan yang kritis dan tidak produktif dan mempunyai tujuan utama untuk turut menjamin penyediaan pasokan bahan baku
industri pengolahan kayu di Indonesia, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam prakteknya pembangunan HTI tidak berjalan mulus
Menurut Anwar 2000 bahwa dalam pelaksanaan HTI, permasalahan yang timbul sama dengan permasalahan pada hutan secara umum, yaitu permasalahan
dari dalam intern dan dari luar ekstern, sebagai berikut : 1.
Permasalahan teknis; meliputi kesulitan dalam pengadaan bibit unggul yang teruji, land clearing tanpa pembakaran sulit dilakukan
2. Permasalahan sosial budaya seperti adanya konflik lahan antara masyarakat
dengan perusahaan pelaksana HTI, hilangnya mata pencaharian masyarakat, kebakaran hutan dan lahan akibat kebiasaaan pembukaan lahan dengan
membakar
xxxi 3.
Permasalahan finansial, karena sistem pendanaan HTI yang sebelumnya dilakukan yaitu melalui pinjaman Dana Reboisasi DR saat ini tidak lagi
diberikan kepada perusahaan pelaksana HTI 4.
Permasalahan lingkungan, seperti berkurangnya keragaman hayati berupa habitat satwa dan tumbuhan
5. Permasalahan politik, seperti terjadinya gejolak politik membuat kekacauan
kebijaksanaan kehutanan terutama dalam pengelolaan hutan tanaman; dan adanya sorotan dari LSM dan lembaga pencinta lingkungan terhadap
kebijakan pembangunan HTI Perusahaan HTI dalam melakukan pembangunan HTI di lapanga n
mengalami benturan-benturan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan seperti Kanwil Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 1998 :
a. Adanya perambahan oleh masyarakat baik untuk motivasi untuk dapat
menuntut ganti rugi ataupun untuk tujua n menguasai lahan tersebut b.
Adanya klaim dari masyarakat yang menyebutkan bahwa didalam areal pencadangan HPHTI terdapat hak ulayat atau tanah adat mereka yang tidak
boleh diganggu Tabel 4 menunjukkan realisasi penanaman HTI di Provinsi Sumatera Selatan
yang mulai dilakukan tahun 1990 sampai dengan 2002 sesuai dengan kelas perusahaan masing- masing pelaksana HTI.
Tabel 4 Realisasi penanaman HTI sesuai kelas perusahaan sampai dengan tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan
Nama Perusahaan HTI Luas
HPHTI Realisasi
penanaman Keadaan
perusahaan
HTI Kayu PulpSerat
PT. Musi Hutan Persada 296.400 198.000
Aktif PT. Ciptamas Bumisubur
6.000 3.000 Aktif
PT. Pakerin 43.380 7.600
Tidak aktif PT. SBA Wood Industries
40.000 2.037 Aktif
HTI Kayu Pertukangan
PT. Inhutani V - Eks PT. Rimba Jaya Borang
8.950 500 Tidak aktif
- Eks HPH 232.500 1.500
Tidak aktif PT. Waihijau Hutani
21.250 17.000 Tidak aktif
PT. Tunas Bentala 13.288 1.750
Aktif Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002
xxxii Selain itu menurut Muhshi 1999, berdasarkan hasil pendataan yang
dilakukan LATIN, jumlah konflik yang terjadi dalam areal HPH dan HTI dari tahun 1990 – 1996 masing- masing berjumlah 8741 dan 5757. Secara umum
hambatan yang dihadapi dalam pembangunan HTI disebabkan oleh 2 dua faktor yaitu :
1. Sebagai usaha komersial belum layak secara finansial terutama oleh investor
yang tidak terikat pada investasi industri. Pasokan kayu dari hutan alam terus melimpah – karena dipasok dari kayu hasil illegal logging – yang
menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial,
jika ia mandiri. Oleh sebab itu perhitungan kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaitkan HTI dengan industri yang mengolah hasil kayunya;
2. Konflik penggunaan lahan dengan masyarakat lokal sekitar hutan sebagai
akibat dari peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodir sistem dan praktek penguasaan serta pengelolaan hutan yang hidup dan
berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan nomor
177Kpts-II2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Kriteria dan Indikator Usaha Pengelolaan Hutan Secara Lestari pada Unit Manajemen Usaha Pemanfaatan
Hutan Tanaman, maka agar pengelolaan hutan dapat secara lestari maka pengelolaan hutan harus mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi antara lain
meliputi: a kawasan hutan yang mantap; b produksi yang berkelanjutan; c manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan; dan d lingkungan yang
mendukung sistem penyangga kehidupan. Pesan itu semakin menegaskan paradigma penyelenggaraan kehutanan
secara benar dalam hal Sutisna 2004 : 1.
Hutan fungsi manapun harus bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kelompok masyarakat kaya atau sedang berkuasa, sesuai fungsi hutan
tersebut lindung, produksi, konservasi 2.
Manfaat hutan bukan hanya dapat dinikmati masyarakat yang ada saat ini melainkan harus berkelanjutan, baik dalam hal nilai ekonomis maupun
nilai- nilai lainnya estetika, ilmiah, budaya. Artinya bila ada kawasan hutan
xxxiii yang rusak, maka generasi sekarang berkewajiban memperbaikinya sampai
menjadi produktif kembali dalam fungsi utamanya 3.
Penyelenggaraan kehutanan tidak dapat ditentukan dan atau dilakukan sepihak oleh pemerintah seperti masa lalu, melainkan harus bersama
masyarakat secara berkeadilan dan terpadu. Begitupun anggota masyarakat yang menguras manfaat hutan secara sewenang-wenang untuk kepentingan
sendiri harus dihentikan demi hukum, karena manfaat hutan harus secara berkeadilan dinikmati bersama oleh masyarakat luas.
2.3. Masyarakat Desa Hutan