Peranan Kehutanan terhadap Ekonomi dan Pengembangan Wilayah

lxxviii Sedangkan Tabel 15 merupakan jumlah tanggungan keluarga dari responden pada masing- masing desa yang menjadi lokasi penelitian. Tabel 15 Jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga Jumlah responden per desa Kategori Subanjeriji Gn. Megang Lecah 3 orang 5 7 9 3 – 4 orang 25 33 21 = 5 orang 18 20 10 Jumlah 48 60 40

5.2. Peranan Kehutanan terhadap Ekonomi dan Pengembangan Wilayah

Sumberdaya adalah segala bentuk-bentuk input yang dapat menghasilkan utilitas kemanfaatan proses produksipenyediaan barang dan jasa. Sumberdaya selalu memiliki sifat kelangkaan scarcity dan memiliki kegunaan utility melalui suatu aktifitas produksi atau melalui penyediaan berupa barang dan jasa. Selain itu, keberadaan sumberdaya tersebar tidak merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh sebab itu, evaluasi terhadap sumberdaya merupakan pilar yang paling utama dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Evaluasi sumberdaya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya untuk berbagai penggunaan. Hasil dari suatu evaluasi sumberdaya menjadi suatu dasar bagi tahap-tahap selanjutnya dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Mengingat keterbatasan atau kelangkaan dan ketidak- merataan, maka setiap potensi sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sumberdaya harus dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin Rustiadi et al. 2003. Kunci utama keberhasilan pengelolaan sumberdaya yang open access seperti sumberdaya hutan sebenarnya adalah adanya kesadaran dan kemauan dari berbagai pihak yang berkepentingan stakeholders untuk dapat memanfaatkan sumberdaya secara lestari. Selain itu, pembangunan yang bersifat sektoral harus dilengkapi dengan pertumbuhan regional atau faktor lokasi. Faktor lokasi yang dimaksud harus memperhatikan sektor unggulan pada suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap daerah mempunyai karakteristik lxxix tersendiri, dimana karakteristik fisik dan non fisik lingkungan suatu daerah berbeda dengan daerah lain. Seperti yang dikemukakan oleh Azis 1985 dalam Attar 2000 bahwa perencanaan pembangunan daerah haruslah merupakan gabungan dari perencanaan sektoral dan regional. Artinya harus melibatkan aspek tata ruang dalam perencanaan. Karakteristik fisik lingkungan menjadi sangat penting artinya bagi pembangunan karena alam dan lingkungan menjadi modal yang penting dalam pengetahuan tentang kontribusi sektoral yang dikaitkan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya alam pada masing- masing wilayah sebagai dasar perumusan strategi perencanaan pembangunan wilayah. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Muara Enim mempunyai kawasan hutan seluas 383.078 ha, yang terdiri atas Hutan Suaka Alam 10.191 ha, Hutan Produksi Terbatas 94.813 ha, Hutan Produksi Tetap 168.782 ha dan Hutan Konversi 72.497 ha. Selain itu kondisi topografinya cukup beragam dengan tingkat kemiringan tanahnya pada umumnya cenderung landai kemiringan 12 dan tingkat ketinggiannya relatif rendah 100 m dpl serta jumlah curah hujan beragam berkisar antara 50 mm sampai 350 mm. Dengan karakteristik fisik lingkungan seperti itu menjadikan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah pertanian agararis. Metode Location Quotient LQ merupakan pendekatan yang dipergunakan untuk melihat suatu kegiatan basis atau bukan basis pada suatu wilayah. Dalam penelitian ini aktifitas kegiatan yang ditelaah adalah sub sektor Kehutanan. Hal ini mudah dipahami mengingat wilayah Kabupaten Muara Enim seluas 923.877 ha memiliki kawasan hutan produksi seluas 263.595 ha, termasuk seluas 161.400 ha yang merupakan areal HPHTI PT. MHP seluas 96.840 ha berupa tanaman HTI PT. MHP. Dengan ketersediaan sumberdaya lahan hutan tersebut maka Kabupaten Muara Enim memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan sektor kehutanan ke masa depan, karena ketersediaan lahan merupakan prasyarat utama yang harus ada dalam sektor kehutanan. Dalam tahun 2004 Departemen Kehutanan telah menetapkan jatah produksi hasil hutan kayu yang berasal dari pemanfaatan hutan alam produksi secara nasional sebesar 5.743.759 m3, dan untuk tahun 2005 sebesar 5.456.570 m3 dengan kebutuhan bahan baku industri perkayuan di dalam negeri sebesar 42,5 lxxx juta m3. Kekurangan pasokan bahan baku kayu itu dapat menggunakan produksi dari hutan rakyat, HTI, kayu dari rehabilitasi kebun, dan kayu impor. Dengan adanya kebijakan Departemen Kehutanan tersebut, maka pembangunan HTI di Kabupaten Muara Enim mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan dapat berperan untuk memasok kebutuhan industri perkayuan dalam negeri. Sesuai dengan Bagan Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Tanaman IUPHHT tahun 2004, PT. Musi Hutan Persada memproduksi kayu bulat hasil tanaman HTI di wilayah Kabupaten Muara Enim sebanyak 602.304 m3 sedangkan untuk tahun 2005 direncanakan sebanyak 273.625,4 m3 Tabel 16 Produksi hasil hutan menurut wewenang pengelolaannya dan jenis komoditi yang dihasilkan tahun 2002-2004 Hutan Rakyat Hutan Negara Tahun Kayu Bulat Kayu Olahan Cerucuk Kayu Bulat Kayu Olahan Cerucuk 2002 - - - 675.152,35 392.041,039 - 2003 2.943,30 1.471,650 37.612 476.293,26 395.254,331 - 2004 10.863,51 1.526,756 3.361 602.303,17 454.125,419 - Total 13.806,81 2.997,406 40.973 1.753.748,78 1.241.420,789 - Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004 Catatan : Kayu bulat berasal dari tanaman A.mangium m 3 Kayu olahan berupa pulp ton Pembangunan kehutanan selain secara mikro memberikan manfaat positif bagi ekonomi masyarakat di dalamsekitar hutan, secara makro regional memberikan dampak positif terhadap ekonomi wilayah Kabupaten Muara Enim, baik secara langsung melalui penciptaan nilai tambah maupun tidak langsung melalui keterkaitannya dengan sektor ekonomi lainnya. Untuk melihat atau mengetahui pengaruh pembangunan kehutanan terhadap ekonomi wilayah Kabupaten Muara Enim, salah satunya dengan melihat kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten. PDRB adalah salah satu indikator untuk mengukur pertumbuhan perekonomian suatu wilayah. Berdasarkan harga berlaku, terdapat tiga sektor yang dominan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap PDRB Kabupaten Muara Enim yaitu lxxxi Pertambangan dan Penggalian; Pertanian masuk didalamnya sub sektor Kehutanan dan Perdagangan dan Hotel. Tabel 17 Kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Muara Enim menurut harga berlaku jutaan Rp Tahun PDRB PDRB Kehutanan Pertanian Kab.ME Prop.SS Prop.SS Kab.ME Kontribusi Kehutanan Kabupaten 2002 1.034.745 6.135.409 49.297.459 840.219 102.934 1,68 2003 1.184.690 6.862.395 55.248.758 901.976 122.770 1,79 Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004 Dengan menggunakan data PDRB Kabupaten Muara Enim dan Provinsi Sumatera Selatan untuk sektor Kehutanan, Tabel 18 menunjukkan hasil penghitungan Koefisien Lokasi. Tabel 18 Hasil Penghitungan Location Quotient LQ Tahun Nilai LQ 2002 0,984345 2003 1,095832 Hasil penghitungan nilai LQ pada Tabel 18 terlihat bahwa pada tahun 2003 sub sektor kehutanan mempunyai nilai LQ 1 yaitu 1,095832. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa sub sektor kehutanan mulai mempunyai peran penting sebagai sektor basis dalam perencanaan pembangunan di Kabupaten Muara Enim dan dapat diharapkan akan mampu memberikan kontribusi pendapatan yang memadai terhadap PDRB sehingga mampu mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. Selain itu, juga menunjukkan bahwa Kabupaten Muara Enim merupakan lokasi pusat sentra produksi dalam sektor kehutanan. Dalam Teori Basis Ekonomi, berarti sektor kehutanan mampu memenuhi kebutuha n dalam wilayah sendiri dan berpotensi untuk mengeluarkan produksi ke luar wilayah. Dengan kata lain, kehutanan merupakan sektor yang hasil produksinya dapat dipasarkan untuk pasar lokal dan di luar pasar lokal dan sebaiknya memperoleh perhatian dalam perencanaan pembangunan wilayah. Oleh karena itu pihak pemerintah daerah harus mempersiapkan upaya- upaya untuk lebih memajukan dan mengembangkan sektor kehutanan. lxxxii Sektor yang menjadi basis diharapkan menjadi penggerak dan pendorong bagi perekonomian wilayah dan diharapkan akan menimbulkan dampak positif bagi sektor perekonomian bukan basis dan perekonomian kabupaten secara keseluruhan. Pemerintahan di tingkat desa dapat mengakomodasi sektor kehutanan sebagai sektor yang dikembangkan dengan memasukkannya didalam perencanaan pembangunan wilayah dan kemudian diusulkan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Seperti yang disampaikan Soekartawi dalam Attar 2000, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, dimulai dari tahap musyawarah pembangunan tingkat desa yang dimasukkan dalam musyawarah tingkat kecamatan, dimana di tingkat kecamatan tersebut menentukan skala prioritas pembangunan di desa-desa dalam wilayah kecamatan. Dengan dimasukkannya sektor kehutanan sebagai sektor yang penting untuk dikembangkan dan kemudian masuk ke dalam perencanaan pembangunan wilayah melalui Musyawarah Pembangunan Kehutanan MUSBANGHUT dan Rapat Kerja Daerah Kehutanan RAKERDAHUT baik tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten dan tingkat provinsi diharapkan pengelolaan kehutanan menjadi lebih baik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi Rustiadi et al . 2003. Ada beberapa indikator yang menjadi tolok ukur pembangunan wilayah, salah satunya adalah keterkaitan linkages dan yang menjadi ukurannya adalah keterkaitan ke depan forward linkages dan keterkaitan kebelakang backward linkages baik langsung maupun tidak langsung, serta efek pengganda multiplier effects . Keterkaitan ke depan ditunjukkan dengan adanya perkembangan aktifitas ekonomi yang memanfaatkan output dari aktifitas yang sudah ada, sedangkan keterkaitan ke belakang ditunjukkan dengan adanya perkembangan aktifitas ekonomi yang memberikan bahan input untuk aktifitas ekonomi yang sudah ada. Kriteria keterkaitan itu dipergunakan untuk mengetahui sejauhmana pertumbuhan sektor dipengaruhi dan mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Untuk wilayah Kabupaten Muara Enim, sektor kehutanan dalam hal ini pembangunan HTI dan termasuk didalamnya program kegiatan MHBM, kurang memiliki keterkaitan langsung ke depan. Hal ini menunjukkan bahwa ouput dari lxxxiii pembangunan HTI kurang berperan didalam menyediakan input bagi sektor- sektor perekonomian di Kabupaten Muara Enim. Ouput dari pembangunan HTI berupa kayu jenis Acacia mangium hampir seluruhnya dikirim ke pabrik pulp dan kertas PT. Tanjung Enim Lestari dan sangat sedikit digunakan dikonsumsi untuk masyarakat lokal. Dengan demikian tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan industri atau sektor lain yang memanfaatkan output dari pembangunan HTI didalam wilayah tersebut. Demikian juga untuk keterkaitan langsung ke belakang. Pembangunan HTI kurang mempunyai kaitan dengan sektor atau industri lainnya. Hal ini berarti bahwa untuk menghasilkan output, pembangunan HTI kurang memerlukan input dari sektor lain karena dalam pembangunan HTI output didapat dari hasil kegiatan penanaman, bukan berasal dari sektor atau industri lain. Namun demikian, pembangunan HTI mempunyai keterkaitan tidak langsung baik ke depan maupun ke belakang terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar areal HTI. Masyarakat dapat menjadi tenaga kerja dalam pelaksanaan pembangunan HTI, selain itu terbuka kesempatan berusaha melalui usaha rumah makan, tempat tinggal dan menyediakan kebutuhan karyawanpekerja sehari- hari. Seperti disebutkan di atas, bahwa sub sektor kehutanan mampu memberikan kontribusi pendapatan yang memadai terhadap PDRB kabupaten. Kontribusi pendapatan itu antara lain didapat dari penerimaan yang berasal dari Iuran Hasil Pengusahaan Hutan IHPH dan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH. Dalam tahun 2002, penerimaan Kabupaten Muara Enim yang berasal dari IHPH sebasar Rp. 382.933.406,- sedangkan penerimaan yang berasal dari PSDH dalam periode 2002-2005 sebesar Rp. 8.594.149.098,- Pembayaran PSDH didasarkan atas jumlah produksi hasil hutan yang dihasilkan. Tabel 19 Penerimaan PSDH Kabupaten Muara Enim 2002-2005 Tahun Jumlah Pene rimaan Rp 2002 3.305.958.986 2003 2.996.457.691 2004 1.525.799.568 2005 765.932.853 Jumlah 8.594.149.098 Catatan : Data s.d. Agustus 2005 Sumber : Dinas Kehutanan Muara Enim, 2005 lxxxiv Namun demikian, tampaknya pemerintah daerah harus menghadapi kendala yang cukup berat dalam mempersiapkan upaya- upaya untuk lebih memajukan dan mengembangkan sektor kehutanan. Padalah telah diketahui bahwa kunci utama keberhasilan pengelolaan sumberdaya bersama common resources yang open access karena cukup banyak pihak yang memanfaatkannya dan sering terjadi pemanfaatan yang berlebihan overuse seperti sumberdaya hutan, sebenarnya adalah adanya kesadaran dan kemauan dari berbagai pihak yang berkepentinganstakeholders untuk dapat memanfaatkan sumberdaya secara lestari. Akibat terjadi kesenjangan yang cukup besar antara kemampuan sumberdaya hutan untuk menyediakan dan permintaan bahan baku untuk industri menyebabkan kondisi hutan semakin memprihatinkan dan terdegradasi akibat illegal logging . Karena adanya praktik illegal logging ini, baik IHPH, PSDH maupun Dana Reboisasi DR tidak dapat dipungut sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Padahal, IHPH dan PSDH merupakan sumber penerimaan daerah dari sub sektor kehutanan yang akan dipergunakan untuk pembangunan dan pengembangan wilayah. Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan diperkirakan hampir 2,28 juta ha kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan dalam kondisi kritis. Seluas 1,8 juta ha sudah tidak ada vegetasinya dan satu juta ha lagi terdegradasi akibat marak illegal logging. Akibat praktik illegal logging ini diperkirakan Sumatera Selatan mengalami kerugian berkisar Rp. 10 milyar per tahun Republika 2005. Jika diperbandingkan, kerugian akibat illegal logging tersebut ternyata jumlahnya lebih besar daripada sumbangan PSDH dan IHH terhadap penerimaan Kabupaten Muara Enim. Selain itu akibat adanyan kesenjangan yang cukup besar antara jatah produksi hasil hutan dari pemanfaatan hutan alam produksi dengan kebutuhan bahan baku industri perkayuan, maka beberapa pihak berpendapatan bahwa kondisi seperti itu mendorong semakin berkembangnya illegal logging. WALHI menyatakan bahwa setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 ha musnah akibat destructive logging penebangan yang merusak, dan Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah per tahun. Pihak lain Bank Dunia lxxxv memperkirakan jumlah kerugian akibat illegal logging di Indonesai yaitu US 600 juta per tahun, sama dengan empat kali APBN untuk sektor kehutanan Dephut 2005 5.3.Manfaat Ekonomi Dalam penelitian mengenai manfaat ekonomi, yang diteliti adalah besarnya perubahan pendapatan yang diterima masyarakat dari pelaksanaan MHBM di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang, yang berasal dari kegiatan pokok yaitu pembangunan HTI berupa jasa kerja, jasa produksi yang terdiri atas pekerjaan penyiapan lahan manual, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan; dan yang berasal dari kegiatan penunjang berupa tumpangsari atau agro trisula. Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan Pokok Jasa Kerja Untuk mengetahui perubahan pendapatan karena kegiatan MHBM ini telah dilakukan penelitian pada 2 dua desa yang mengikuti kegiatan MHBM yang berada disekitar lokasi pembangunan HTI yaitu Desa Subanjeriji Kecamatan Rambang Dangku dan Desa Gunung Megang Kecamatan Gunung Megang. Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat pendapatan responden sebelum dilakukannya kegiatan MHBM, masyarakat pada kedua desa itu mempunyai pendapatan rata-rata berada diantara Rp. 350.000,- - Rp. 500.000,-, yaitu di Desa Subanjeriji sebesar Rp. 475.000,-, dan di Desa Gunung Megang sebesar Rp. 485.416,66. Pada umumnya masyarakat pada Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang bekerja sebagai tenaga kerja pada kegiatan pembangunan HTI. Dalam melakukan pengujian untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat pendapatan yang nyata antara Desa Subanjeriji dan Gunung Megang sebelum dilakukan kegiatan MHBM dipergunakan Uji Dua Sampel Independen Uji Mann Whitney. Hipotesis Ho yang disusun adalah tidak terdapat perbedaan pendapatan antara kedua desa tersebut sebelum dilakukannya MHBM. Hipotesis itu ditolak apabila didapat nilai signifikan Z a 0,05. Berdasarkan hasil uji didapat nilai signifikan Z a 0,05 yaitu 0,388 dan ini berarti hipotesis Ho lxxxvi diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang nyata dari kedua desa tersebut sebelum mengikuti Program MHBM atau dengan kata lain kedua desa itu memiliki tingkat pendapatan yang sama. Sebaran tingkat pendapatan rata-rata responden pada kedua desa tersebut terlihat pada Tabel 20. Kegiatan pembangunan HTI yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui Program MHBM yang dimulai pada tahun 2002 – 2003 memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penyediaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja lokal di wilayah tersebut. Melalui kegiatan MHBM, masyarakat akan melakukan pekerjaan seperti penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tahun ke-I, ke-II dan ke-III, dan perlindungan hutan serta penebanganpemanenan kayu. Kebutuhan bibit, pupuk, ajir dan peralatan disediakan oleh PT.MHP. Sesuai dengan Akta Kesepakatan MHBM, dari hasil pelaksanaan pekerjaan tersebut jasa kerja yang akan diterima oleh peserta adalah Rp. 750.000,- per ha untuk penyiapan lahan secara manual, Rp. 550.000,- per ha untuk penanaman dan pemupukan, Rp. 80.000,- per ha untuk pemeliharaan tahun ke-I, ke-II dan ke-III. Untuk jasa manajemen, kepengurusan MHBM masing- masing desa akan mendapatkan 1 dari jasa kerja, sedangkan jasa produksi dari kegiatan pemanenan yang diterima adalah Rp. 2.500,- per m3. Tabel 20 memperlihatkan sebaran tingkat pendapatan responden sebelum dilakukannya kegiatan MHBM Tabel 20 Sebaran tingkat pendapatan responden sebelum MHBM Subanjeriji Gn. Megang Pendapatan org Org 250.000 - - - - 250.000 – 350.000 5 10,42 3 5,00 350.001 – 500.000 30 62,50 37 61,67 500.001 – 700.000 10 20,83 18 30,00 700.000 – 1.000.000 3 6,25 2 3,33 1.000.000 - - - - Sumber : Hasil kuisioner dan pengolahan data Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat pendapatan masyarakat peserta MHBM yang menjadi responden di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang setelah dilakukannya kegiatan MHBM, rata-rata tingkat pendapatan rumah tangga responden Desa Subanjeriji sebesar Rp. 541.145,83 sedangkan rata-rata tingkat lxxxvii pendapatan responden Desa Gunung Megang sebesar Rp. 550.833,33,-. Pendapatan yang diterima oleh kelompok kerja MHBM tersebut ini berasal dari jasa kerja dari kegiatan pokok. Ternyata rata-rata pendapatan responden Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang mengalami peningkatan masing- masing sebesar Rp. 66.145,83 dan Rp. 65.416,67. Tabel 21 menunjukkan sebaran tingkat pendapatan rata-rata responden sesudah dilakukannya kegiatan MHBM dan tingkat pendapatan responden pada desa Desa Lecah yang tidak mengikuti MHBM, sedangkan Tabel 22 memperlihatkan sebaran perubahan tingkat pendapatan responden sebelum dan sesudah dilakukannya Program MHBM. Tabel 21 Sebaran tingkat pendapatan responden sesudah MHBM Ikut MHBM Tidak ikut MHBM Subanjeriji Gn. Megang Lecah Pendapatan Org Org Org 250.000 - - - - - - 250.000 – 350.000 1 2,08 - - 8 20,0 350.001 – 500.000 23 47,92 29 48,33 21 52,5 500.001 – 700.000 18 37,50 26 43,33 10 25,0 700.000 – 1.000.000 6 2,50 5 8,33 1 2,5 1.000.000 - - - - - - Sumber : Hasil kuisioner dan pengolahan data Tabel 22 Perubahan tingkat pendapatan responden sebelum dan sesudah MHBM Subanjeriji Gn. Megang Pendapatan Tetap Meningkat Tetap Meningkat 250.000 - - - - 250.000 – 350.000 1 4 - 3 350.001 – 500.000 19 11 26 11 500.001 – 700.000 7 3 15 3 700.000 – 1.000.000 3 - 2 - 1.000.000 - - - - Jumlah 30 18 43 17 Sumber : Hasil pengolahan data Sebelum dilakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh Program MHBM terhadap peningkatan pendapatan masyarakat peserta MHBM tersebut, peningkatan pendapatan ini dikoreksidisesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat inflasi yang terjadi pada tahun 2003 5,06 dan 2004 6,40 BPS, 2006. Hasil penyesuaian tingkat pendapatan masyarakat terlihat pada Tabel 23, Selanjutnya baru dilakukan pengujian dengan menggunakan Uji Sampel lxxxviii Berhubungan Uji Wilcoxon untuk mendapatkan nilai signifikannya. Hipotesis Ho yang disusun adalah tidak terdapat perbedaan pendapatan di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang antara sebelum dan sesudah dilakukannya MHBM. Hipotesis itu ditolak apabila didapat nilai signifikan Z a 0,05. Berdasarkan hasil uji didapat nilai signifikan Z a 0,05 berarti hipotesis Ho diterima. Tabel 23 Hasil Penyesuaian dan Pengujian Tingkat Pendapatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah MHBM Nama Desa Jumlah responden Sebelum MHBM Hasil koreksi Sesudah MHBM Perubahan Nilai sign Subanjeriji 48 475.000,- 529.435,- 541.145,83 +11.710,83 0,250 Gn. Megang 60 485.416,66 541.045,42 550.833,33 + 9.787,91 0,330 Sumber : Hasil pengolahan data Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi peningkatan pendapatan pada kedua desa itu setelah mengikuti Program MHBM, tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata dengan pendapatan sebelum mengikuti Program MHBM, atau dengan kata lain pendapatan masyarakat sebelum MHBM sama dengan pendapatan sesudah MHBM. Seperti disebutkan di atas, bahwa dengan adanya Program MHBM ternyata telah meningkatkan pendapatan masyarakat peserta MHBM. Untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan pendapatan antara desa yang mengikuti MHBM dengan desa yang tidak mengikuti MHBM dilakukan pengumpulan data di desa yang tidak melaksanakan Program MHBM untuk mengetahui tingkat pendapatan rata-ratanya. Berdasarkan hasil pengumpulan data di Desa Lecah, Kecamatan Lubai, pendapatan rata-rata masyarakat adalah sebesar Rp. 454.375,-. Untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan pendapatan antara Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang dengan Desa Lecah, dilakukan pengujian dengan Uji Dua Sampel Independen Uji Mann Whitney. Hipotesis Ho yang disusun adalah tidak terdapat perbedaan pendapatan antara ketiga desa dengan adanyadilakukannya MHBM. Hipotesis itu ditolak apabila didapat nilai signifikan Z a 0,05. Berdasarkan hasil uji didapat nilai signifikan Z a 0,05 berarti hipotesis Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang nyata antara ketiga desa tersebut atau dengan kata lain dengan adanyadilakukannya Program MHBM terdapat perbedaan tingkat lxxxix pendapatan antara ketiga desa tersebut. Hasil pengujian tingkat pendapatan ketiga desa itu dengan adanya MHBM seperti pada Tabel 24. Tabel 24 Hasil pengujian tingkat pendapatan dengan adanya MHBM Lokasi Desa Jumlah responden Penduduk rata-rata KK Nilai signifikan Subanjeriji – Lecah 88 892 0,04 Subanjeriji – Gunung Megang 108 1472 0,415 Gunung Megang – Lecah 100 1096 0,000 Jasa Produksi Dalam pembangunan HTI PT. MHP, penanaman tanaman pokok dilakukan dengan jarak tanam 3 x 3 meter sehingga jumlah tanaman per ha sebanyak 1.110 batang per ha. Bibit A.mangium yang digunakan berasal dari benih dan diproduksi dari persemaian benih unggul hasil pemuliaan pohon yang dilakukan oleh perusahaan. Hasil kayu dari kegiatan pembangunan HTI PT. MHP merupakan pemasok utama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas PT. Tanjung Enim Lestari di Muara Enim. Berdasarkan pengalaman pemanenan tanaman daur pertama, diperkirakan potensi tegakan pada akhir daur kedua 8 tahun adalah 200 m3 per ha, sehingga taksiran volume total yang akan didapat dari areal kerja MHBM Desa Subanjeriji seluas 5.737,88 ha sebanyak 1.147.576 m3 dan dari areal MHBM Desa Gunung Megang seluas 4.063,13 ha sebanyak 812.626 m3. Jika jasa produksi yang diterima masyarakat Rp. 2.500,- per m3, maka pada pemanenan atau penebangan akhir daur kedua, masyarakat Desa Subanjeriji akan mendapat pendapatan sebesar Rp. 2.868.894.000,- dan untuk Desa Gunung Megang sebesar Rp. 2.031.565.000,- Jumlah sebesar itu merupakan simpanan kekayaan bagi masyarakat yang merupakan aset di masa akan datang. Namun, yang menjadi potensi permasalahan adalah pembayaran jasa produksi untuk masing- masing kelompok kerja MHBM pada akhir daur. Dalam program MHBM, lokasi dan luas areal kerja masing- masing kelompok kerja telah ditetapkan dalam Akta Kesepakatan, dan pada saat kegiataan pemanenan penebangan dilakukan, kayu-kayu hasil tebangan yang berasal dari berbagai petak areal kerja MHBM itu akan dikumpulkan pada satu lokasi. Hal ini berpotensi terjadi kesalahan dalam penentuan jumlah produksi dan asal kayu. xc Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan Penunjang Di dalam Akta Kesepakatan disebutkan bahwa bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan penunjang yang dilakukan secara mandiri, tetapi kegiatan itu tidak mereka lakukan. Dengan demikian, masyarakat tidak memperoleh tambahan pendapatan dari kegiatan penunjang ini. Untuk kegiatan penunjang, pihak perusahaan telah menyelenggarakan pelatihanpenyuluhan pada awal-awal kegiatan MHBM, yaitu pada tahun 2002- 2003 yang diikuti oleh perwakilan masing- masing kelompok kerja MHBM sebagai kader dan membangun demplot kegiatan agribisnis trisula. Mulai tahun 2004 sampai penelitian dilakukan, pihak perusahaan tidak menyelenggarakannya lagi karena pihak perusahaan mengharapkan melalui kader itu akan terjadi transformasi informasi dan pengetahuan mengenai tumpangsari dan agro trisula kepada anggota kelompok kerja MHBM lainnya. Sedangkan bagi masyarakat, alasan tidak melakukan tumpangsari atau agro trisula karena belum paham dalam prosedur perizinan atau pengurusannya, terbatasnya modal, sulitnya melakukan pengawasan dan penjagaan tanaman tumpangsari dari gangguan binatang serta mereka harus menyediakan dana dan sarana transportasi untuk mengangkut produk dari areal MHBM ke luar pasar. Selain itu mereka khawatir akan mengalami kesulitan dalam pemasaran hasilnya nanti akibat produksi sayuran yang melimpah. Khusus mengenai modal untuk melaksanakan kegiatan penunjang, pihak perusahaan tela h menawarkan fasilitas bantuan bibit yang bersifat pinjaman dengan pengembalian, tetapi masyarakat kurang berminat untuk memanfaatkannya. Menurut Suharjito 2004, bahwa dalam pengelolaan hutan kemitraan dengan masyarakat kolaboratif masih akan menghadapi kendala-kendala sebagai berikut penelitian terhadap hasil pelaksanaan di PT. Wira Karya Sakti di Jambi dan PT. Arara Abadi di Riau : 1 Menunjukkan adanya kecenderungan hubungan yang asimetrik, dimana posisi perusahaan lebih kuat dalam segala hal modal, teknologi, manajemen dibandingkan posisi masyarakat petani. Distribusi keuntungan dan resiko antara pihak perusahaan dan masyarakat rumah tangga petani. xci Perusahaan lebih banyak memperoleh keuntungan finansial, dukungan sosial, jaminan bahan baku, sebaliknya rumah tangga petani lebih banyak menanggung resiko. Model pengelolaan ini akan mengalami kesulitan mewujudkan fairness, keadilan dan keseimbangan. 2 Model kolaboratif yang dikembangkan belum menjadi media suatu proses belajar a learning process dan peningkatan kapasitas bagi rumah tangga petani secara individual maupun kolektif dalam pengelolaan sumber daya hutan. 3 Sistem kolaboratif yang dikembangkan menimbulkan ketergantungan pihak petani terhadap pihak perusahaan; pasar kayu akasia masih terbatas yaitu perusahaan industri pulp dan kertas sebagai penampung tunggal sedangkan tingkat harga ditetapkan sepihak oleh perusahaan industri. Jika dilihat kendala-kendala tersebut di atas maka hal yang serupa terjadi dalam pelaksanaan program MHBM PT. MHP ini. Walaupun terjadi peningkatan pendapatan di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang, ternyata lebih kecil bila dibandingkan dengan peningkatan yang seharusnya didapatkan mereka. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa untuk melaksanakan kegiatan MHBM sesuai SPK dan SOP yang diterima, masing- masing kelompok kerja MHBM harus menyediakan sendiri modal kerjanya. Pada umumnya mereka mengalami kesulitan dan tidak mempunyai modal yang cukup. Oleh sebab itu, mereka harus mencari pihak ketiga kontraktor atau pemborong yang bersedia membantu mereka dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Namun konsekuensinya, nilai jasa kerja yang akan mereka terima akan lebih kecil dari nilai jasa kerja yang seharusnya, yaitu untuk penanaman dan pemupukan Rp.300.000,- - Rp. 450.000,- per Ha, penyiapan lahan secara manual Rp. 600.000 – Rp. 650.000,- per Ha, pemeliharaan tahun ke-I, ke-II dan ke-III Rp. 35.000,- - Rp. 45.000,- per Ha dengan sistem kerja borongan. Mereka tidak bisa menolak dengan sistem kerja dan nilai jasa kerja seperti itu, karena jika mereka tidak mampu melaksanakannya maka perusahaan PT. MHP menganggap masyarakat tidak mampu untuk melaksanakan pekerjaan membangun HTI yang diserahkan kepada mereka dan akan mengambil alih pekerjaan tersebut serta menyerahkannya kepada pihak ketiga kontraktor yang perusahaan anggap xcii mampu baik dalam permodalan, skill, peralatan, dan mudah diarahkan. Mereka khawatir untuk selanjutnya PT. MHP tidak memberikan SPK kegiatan HTI kepada mereka. Jika hal ini terjadi, maka kelompok kerja MHBM akan mengalami kerugian karena mereka tidak akan menerima jasa kerja dan jasa manajemen MHBM. Pada akhirmya, kelompok kerja MHBM mau tidak mau akan menerima sehingga pada akhirnya mereka tetap berperan sebagai tenaga kerja dari pihak ketiga kontraktor tersebut, sama seperti ketika program MHBM belum ada. Permasalahan mengenai modal ini sebenarnya telah disampaikan kepada pihak perusahaan untuk dapat dicari alternatif pemecahannya. Mereka mengharapkan agar mereka diberikan modal awal berupa pinjaman ya ng nantinya akan diperhitungkan apabila mereka mendapatkan jasa kerja. Alternatif lainnya adalah agar pembayaran jasa kerja diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pelaksanaan pekerjaan. Kelompok Tani MHBM juga pernah mengajukan permohonan peminjaman dana kepada lembaga keuanganbank setempat tetapi tidak berhasil mengingat kegiatan HTI merupakan kegiatan yang memerlukan waktu yang lama dan mengandung resiko yang cukup tinggi. Tetapi sampai saat dilakukan penelitian, ketiga alternatif itu belum dapat disetujui baik oleh pihak perusahaan maupun pihak bank. Berbeda dengan kelompok kerja MHBM yang memiliki modal kerja, maka jasa kerja yang akan diterima sesuai dengan yang tercantum dalam SPK sehingga nilai jasa kerja yang diterima akan lebih besar. Untuk Desa Subanjeriji, walaupun SPK langsung mereka terima dari PT. MHP tetapi karena sebagian besar kelompok kerja MHBM tidak mempunyai modal kerja, sehingga harus bekerjasama dengan pihak ketiga. Sedangkan untuk Desa Gunung Megang, kelompok kerja MHBM menerima SPK tidak langsung dari PT. MHP tetapi melalui pihak ketiga sehingga mereka tidak mempunyai pilihan lain selain bekerjasama dengan pihak ketiga. Sebelumnya telah disebutkan bahwa dengan keikut-sertaannya masyarakat dalam program MHBM, pendapatan rata-rata yang diterima oleh masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang mengalami peningkatan yaitu masing- masing menjadi sebesar Rp. 541.145,83 dan Rp. 550.833,33,-. Sehingga xciii pendapatan per kapita per tahun masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang masing- masing sebesar Rp. 1.372.029,- dan Rp. 1.429.696,-, Berdasarkan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani yang dinilai dari total pendapatan per kapita dalam satu tahun yang dihubungkan dengan garis kemiskinan, Sajogyo 1977 dalam Cahya t 2004 menyatakan bahwa suatu penduduk di pedesaan dikatakan berada di atas garis kemiskinan apabila pendapatan perkapitanya senilai dengan beras lebih dari 320 kg. Jika harga beras pada saat penelitian di lokasi penelitian Rp. 2.900,- per kg, dikatakan miskin bila pendapatan per kapita per tahun dibawah Rp. 928.000,-. Berdasarkan hasil penelitian pendapatan masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang lebih besar dari Rp. 928.000,- sehingga masyarakatnya tidak termasuk kategori miskin. Demikian pula jika menggunakan dasar perhitungan BPS Tahun 2004 bahwa garis kemiskinan untuk perkotaan adalah Rp. 143.000,- per kapita per bulan atau Rp. 1.716.000,- per kapita per tahun; sedangkan untuk penduduk yang tinggal dipedesaan adalah Rp. 109.000,- per kapita per bulan atau Rp. 1.308.000,- per kapita per tahun. Untuk penduduk yang mempunyai pendapatan per kapita per tahun di atas nilai itu, maka akan masuk dalam kategori penduduk tidak miskin dan bila pendapatannya kurang dari nilai tersebut, maka akan masuk dalam kategori miskin. Pendapatan per kapita per tahun masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang lebih besar dari Rp. 1.308.000,-,- sehingga masyarakat kedua desa itu tidak termasuk dalam kategori miskin. 5.4.Manfaat Sosial Kesediaan Membayar Willingness to pay Masyarakat Sumber daya hutan hasil kegiatan MHBM dapat bersifat barang publik public good dan dapat sebagai barang privat private good, dimana masing- masing barang tersebut mempunyai kurva permintaan yang berbeda. Selain itu, juga telah diketahui sumberdaya hutan memiliki nilai ekonomis dan ekologis bagi masyarakat. Kedua fungsi tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dan dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. xciv Oleh sebab itu, meskipun masyarakat memiliki pandangan yang sama tentang manfaat dari kegiatan MHBM, namun jika dikaitkan secara moneter, akan memiliki penilaian yang berbeda terhadap manfaat tersebut. Melalui metode Analisis Willingness to Pay selain memberikan gambaran manfaat kegiatan MHBM sekaligus dapat dijadikan tolak ukur bagi kerugian masyarakat apabila kegiatan tersebut ditiadakan. Sebelum diberikan pertanyaan mengenai berapa besarnya jumlah kesediaan membayar, para responden diberikan pertanyaan mengenai manfaat sosial yang diterima oleh mereka apakah telah sesuai dengan harapankeinginan mereka antara lain menyangkut : penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan dalam bidang kehutanan dan pertanian serta peningkatan pengetahuan dalam berorganisasi. Berdasarkan wawancara di lapangan terhadap 108 responden, sebanyak 32 orang 29,63 menyatakan bermanfaat, 70 orang 64,81 menyatakan kurang bermanfaat dan sebanyak 6 orang 5,56 menyatakan tidak bermanfaat. Alasan mereka yang menjawab tidak, lebih didasarkan pada manfaat langsung yang mereka terima berupa peningkatan pendapatan, yaitu mereka merasa kehidupan mereka sebelum adanya program MHBM tidak ada bedanya atau sama dengan kehidupan mereka saat ini sesudah adanya program MHBM. Secara lengkap pernyataan mereka tentang manfaat sosial yang diterima terlihat pada Tabel 25. Selanjutnya berdasarkan wawancara besarnya Willingness to Pay responden berkisar antara 0 – Rp. 500.000,- dengan rata-rata WTP sebesar Rp. 158.333,33. Bila rata-rata tersebut dikalikan dengan jumlah peserta MHBM pada kedua desa itu diperkirakan 1.698 orang maka total WTP peserta MHBM mencapai Rp. 268.849.994,30 Tabel 25 Hasil wawancara responden mengenai manfaat sosial MHBM Jawaban Hasil Wawancara Lokasi Desa Ya Kurang Tidak Jumlah Subanjeriji 20 26 2 48 Gunung Megang 12 44 4 60 Jumlah 32 70 6 108 Dari 108 orang tersebut, responden mengatakan bahwa kegiatan tersebut bermanfaat melalui penyediaan lapangan kerja, peningkatan kualitas produktifitas lahan, peningkatan pengetahuan tentang kehutanan dan berorganisasi, walaupun xcv demikian mereka merasa bahwa manfaat yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan dan seharusnya bisa lebih dari itu, dan sebanyak 11 orang tidak menyatakan tidak bersedia membayar. Alasan mereka tidak bersedia membayar adalah karena mereka merasakan manfaat yang mereka terima tidak sesuai dengan yang diharapkan. Apabila dikaji korelasi antara nilai WTP Y sebagai variabel tak bebas dependent variabledan varabel- veriabel bebas independent variable seperti : karakteristik sosial responden yang meliputi : usia X 1 , tingkat pendidikan X 2 dan jumlah tanggungan keluarga X 3 , dan pekerjaan utama D 1 ; pendapatan X 4 , jarak antara tempat tinggal dengan lokasi MHBM X 5 , sistem penyerahanpelaksanaan pekerjaan dan pemodalan D 2 , sistem pembayaran jasa kerja D 3 dan manfaat sosial yang diterimadirasakan X 6 maka nilai WTP ini dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas tersebut pada tingkat selang kepercayaan 95 dan didapat persamaan berikut hasil analisa regresinya pada Tabel 26 : WTP Y = -86357,057 + 12300,314X 2 + 0,179X 4 + 58802,525X 6 + 1,675 2,092 3,755 5,201 79026,113D 2 + 46341,835D 3 4,057 3,696 R 2 = 0,672 R 2 adj = 0,642 Bilangan didalam adalah nilai t-hitung Tabel 26 Hasil Analisa Regresi Berganda dari Peubah Penduga terhadap Kesediaan Membayar Willingness to pay=WTP Manfaat Sosial Peubah Beta ß Std.Err ß ß t Sign ? Korelasi Constant -86357,057 51543,436 -1,675 0,097 Umur X1 -466,347 851,706 -0,043 -0,548 0,585 0,021 Jumlah tanggungan X2 12300,314 5878,384 0,162 2,092 0,039 0,270 Pendidikan X3 -3041,924 7875,078 -0,025 -0,386 0,700 0,193 Pekerjaan utama D1 11848,364 29888,867 0,024 0,396 0,693 0,068 Pendapatan X4 0,179 0,048 0,257 3,755 0,000 0,516 Jarak rumah-lokasi MHBM X5 -977,528 7611,269 -0,009 -0,128 0,898 -0,297 Penyerahan pekerjaan dan pemodalan D2 79026,113 19478,125 0,304 4,057 0,000 0,603 Pembayaran jasa kerja D3 -46341,835 12537,794 -0,233 -3,696 0,000 -0,467 Manfaat diterima X6 58802,525 11306,368 0,345 5,201 0,000 0,597 : nyata pada tingkat kepercayaan 95 xcvi Berdasarkan hasil analisa regresi di atas, variabel bebas yang berpengaruh terhadap nilai WTP yaitu jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, sistem penyerahan pekerjaan dan pemodalan, sistem pembayaran jasa kerja dan manfaat yang diterimadirasakan oleh responden. Hal itu ditunjukkan dengan nilai signifikan yang nyata pada tingkat kepercayaan 95 taraf uji 5. Jika seorang responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga yang banyak dan pendapatan yang diterima dari kegiatan MHBM semakin besar terjadi peningkatan pendapatan responden akan dapat memberikan nilai WTP yang besar. Demikian juga jika pekerjaan langsung diserahkan kepada peserta MHBM dan pemodalan secara swadana dan manfaat yang diterimadirasakan sesuai dengan yang diharapkan, responden akan memberikan nilai WTP yang besar. Sebaliknya jika seorang responden, pendapatan yang diterima dari kegiatan MHBM tidak mengalami perubahan tidak terjadi peningkatan pendapatan responden akan memberikan nilai WTP yang kecil. Dari data responden, ternyata dari 108 orang responden sebanyak 35 orang 32,41 yang mengalami peningkatan pendapatan dan sisanya yaitu 73 orang 67,59 tidak mengalami peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini sangat terkait dengan sistem pelaksanaan pekerjaan. Hampir sebagian besar 85,18 pelaksanaan pekerjaan melalui pihak ketiga, sehingga nilai jasa kerja yang mereka terima lebih kecil dari yang seharusnya yang tercantum dalam SPK. Demikian juga jika pekerjaan HTI diserahkan kepada peserta MHBM melalui pihak ketiga dan pemodalan berasal dari pihak ketiga dan pembayaran jasa kerja dilakukan tidak tepat waktu berbelit- belit serta manfaat yang diterimadirasakan tidak sesuai dengan yang diharapkan, responden akan memberikan nilai WTP yang kecil atau nol bahkan dapat pula responden tidak mau menjawab. Dalam sistem pembayaran jasa kerja, sesuai SPK jasa kerja akan dibayarkan 22 hari setelah BAP ditandatangani. Kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara dengan kelompok kerja MHBM pembayaran sering memakan waktu sampai 3 bulan walaupun BAP sudah ditandatangani. Hal ini terkait dengan sistem birokrasi yang dilakukan di PT. MHP yang dianggap oleh mereka terlalu berbelit- belit. xcvii Selain itu jarak lokasi MHBM dan tempat tinggal responden sebenarnya juga mempengaruhi nilai kesediaan membayar responden walaupun demikian dalam persamaan WTP mempunyai nilai tidak signifikan t-hitung = 0,128 yang lebih kecil dari t tabel. Untuk Desa Subanjeriji, sebanyak 9 orang 18,75 berjarak kurang dari 5 km, 24 orang 50 berjarak 5-10 km, 15 orang 31 berjarak 10-20 km, sedangkan untuk Desa Gunung Megang, sebanyak 12 orang 20 berjarak 10-20 km, 17 orang berjarak 20-30 km dan 31 orang 51,67 berjarak lebih dari 30 km. Jauh jarak tempat tinggal dengan areal MHBM merupakan permasalahan yang dilontarkan oleh kelompok kerja MHBM Desa Gunung Megang karena untuk mencapai lokasi MHBM mereka memerlukan waktu perjalanan lebih dari 1,5 jam selain itu mereka harus menyiapkan sarana transportasi bahkan harus sampai menginap di lokasi MHBM. Namun demikian, permasalahan itu umumnya mereka abaikan mengingat kehidupan mereka tergantung pada kegiatan HTI atau MHBM Dari variabel-variabel bebas yang mempengaruhi nilai WTP, berdasarkan hasil pengujian denga n memperhatikan besarnya nilai koefisien determinasi R 2 dan nilai koefisien relasi antar variabel r 2 , tidak terjadi saling mempengaruhi multi collinearity antar variabel bebas karena didapat nilai R 2 0,672 dan r 2 yang tidak terlalu besar. Suatu persamaan akan terjadi multi kolinearitas, jika didapat nilai R 2 dan r 2 yang hampir sempurna yaitu antara 0,7 – 1,0. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 108 orang responden tentang jumlah kesediaan membayar, jumlah maksimum yang bersedia dibayar oleh responden adalah sebesar Rp. 500.000,- sedangkan yang terendah adalah sebesar Rp. 100.000,- Sebanyak 1 orang 0,01 bersedia membayar maksimum Rp. 500.000,- dan sebanyak 25 orang 23,15 bersedia membayar maksimum Rp. 100.000,- selain itu sebanyak 11 orang 10,18 dari responden tidak bersedia membayar. Hasil lengkap kesediaan membayar disajikan pada Tabel 27 dan Tabel 28. xcviii Tabel 27 Banyaknya responden yang bersedia membayar Besar WTP Rp Frekuensi org Prosentase Rp. 0,- 11 10,18 Rp. 100.000,- 25 23,15 Rp. 125.000,- 11 10,18 Rp. 150.000,- 20 18,52 Rp. 175.000,- 14 12,96 Rp. 200.000,- 5 4,63 Rp. 250.000,- 11 10,18 Rp. 300.000,- 5 4,63 Rp. 350.000,- 3 2,78 Rp. 400.000,- 2 1,85 Rp. 500.000,- 1 0,01 Jumlah 108 100 Tabel 28 Kesediaan membayar berdasarkan tingkat pendapatan Tingkat pendapatan Besar WTP Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Jumlah Rp. 0,- - - 9 2 - - 11 Rp. 100.000,- - 1 19 5 - - 25 Rp. 125.000,- - - 4 5 1 - 10 Rp. 150.000,- - - 11 7 1 - 19 Rp. 175.000,- - - 6 8 - - 14 Rp. 200.000,- - - 2 2 1 - 5 Rp. 250.000,- - - - 5 6 - 11 Rp. 300.000,- - - 1 3 1 - 5 Rp. 350.000,- - - - 3 - - 3 Rp. 400.000,- - - - 2 - - 2 Rp. 500.000,- - - - - 1 - 1 Jumlah - 1 52 42 11 - 108 Keterangan : Y1 = pendapatan Rp. 250.000,- Y2 = pendapatan Rp. 250.000,- – Rp. 350.000,- Y3 = pendapatan Rp. 350.000,- - Rp. 500.000,- Y4 = pendapatan Rp. 500.000,- - Rp. 700.000,- Y5 = pendapatan Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000,- Y6 = pendapatan Rp. 1.000.000,- Tujuan analisis WTP ini adalah untuk melihat gambaran seberapa besar manfaat sosial kegiatan MHBM yang diterima oleh masyarakat. Berdasarkan data jumlah responden dan jumlah maksimum kesediaan membayar pada setiap nilai WTP serta jumlah seluruh peserta MHBM pada kedua lokasi tersebut sebanyak xcix 1698 orang, maka dapat diperoleh total kesediaan membayar dari kegiatan MHBM di lokasi penelitian sebagaimana terlihat pada Tabel 29. Tabel 29 Total kesediaan membayar WTP responden Besar WTP Ni Total WTP Rp. 0,- 11 Rp. 0,- Rp. 100.000,- 25 Rp. 2.500.000,- Rp. 125.000,- 11 Rp. 1.375.000,- Rp. 150.000,- 20 Rp. 3.000.000,- Rp. 175.000,- 14 Rp. 2.625.000,- Rp. 200.000,- 5 Rp. 1.000.000,- Rp. 250.000,- 11 Rp. 2.750.000,- Rp. 300.000,- 5 Rp. 1.500.000,- Rp. 350.000,- 3 Rp. 1.050.000,- Rp. 400.000,- 2 Rp. 800.000,- Rp. 500.000,- 1 Rp. 500.000,- Jumlah 108 Rp. 17.100.000,- Berdasarkan besarnya kesediaan membayar responden untuk manfaat sosial dari kegiatan MHBM dibuat kurva permintaan kegiatan MHBM. Sebagaimana lazimnya kurva permintaan maka kurva permintaan kegiatan MHBM mempunyai kemiringan slope negatif. Kurva permintaan yang didapat sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Selanjutnya adalah melakukan perhitungan surplus konsumen yang dapat dilakukan dengan menderivasi fungsi permintaan terhadap kegiatan MHBM tersebut. Untuk itu diasumsikan bahwa : 1. Jumlah responden yang bersedia membayar sama dengan jumlah permintaan Qd 2. Nilai nominal yang bersedia dibayar oleh responden sam dengan harga kegiatan MHBM P Berdasarkan derivasi dan asumsi yang dikemukan, maka diperoleh fungsi permintaan untuk peserta MHBM yang dijadikan responden keseluruhan sebagai berikut : P = 370.840,9 – 3.436,517 Qd. Selanjutnya diperoleh nilai surplus konsumen seperti terlihat pada Tabel 30. Berdasarkan data pada Tabel 30 terlihat bahwa total surplus konsumen yang diperoleh adalah sebesar Rp. 51.925.000,- dan dibentuk grafik hubungan antara kuantitas permintaan Qd dan harga P yang merupakan kurva permintaan kegiatan MHBM. Surplus kons umen dalam hal ini berupa daerah yang diarsir. Angka yang ditunjukkan oleh surplus konsumen c tersebut menunjukkan besarnya manfaat MHBM yang seharusnya mereka nikmati dalam kapasitas responden sebagai peserta MHBM. Tabel 30 Surplus konsumen responden Jml Responden Qd P Surplus Konsumen Rp 11 108 0,- 0,- 25 97 100.000,- 9.700.000,- 11 72 125.000,- 9.000.000,- 20 61 150.000,- 9.150.000,- 15 41 175.000,- 7.175.000,- 5 26 200.000,- 5.200.000,- 11 21 250.000,- 5.250.000,- 5 10 300.000,- 3.000.000,- 3 5 350.000,- 1.750.000,- 2 3 400.000,- 1.200.000,- 1 1 500.000,- 500.000,- Jumlah 51.925.000,- P QD 120 100 80 60 40 20 600000 500000 400000 300000 200000 100000 -100000 Observed Linear Gambar 4. Kurva Permintaan Kegiatan MHBM Hal yang sangat diharapkan dari dilakukannya suatu kegiatan adalah dapat menghasilkan manfaat baik terhadap sumber daya lingkungan maupun terhadap sosial, ekonomi dan budaya masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi kegiatan. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa untuk mengetahui manfaat sosial MHBM yang diterima masyarakat dalam penelitian ini adalah dengan melihat ci indikator penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan dalam bidang kehutanan dan peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam berorganisasi Penyediaan Lapangan Kerja Telah disebutkan bahwa kegiatan dalam program MHBM meliputi pekerjaan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, perlindunganpencegahan dari kebakaran hutan sampai penebangan pemanenan kayu. Bila pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak. Dengan adanya program MHBM, pihak PT. MHP telah menyerahkan pekerjaan pembangunan HTI selama 1 satu daur tanaman kepada masyarakat peserta MHBM di wilayah Desa Subanjeriji seluas 5.737,93 ha dan Desa Gunung Megang seluas 4.063,13 ha. Jumlah peserta MHBM untuk kedua desa itu sebanyak 1698 orang dan mereka seluruhnya terlibat dalam kegiatan membangun hutan tanaman. Berdasarkan SOP yang telah ditetapkan oleh perusahaan, dalam kegiatan HTI mulai dari penyiapan lahan manual, penana man, pemupukan dan pemeliharaan, curahan tenaga kerjanya mencapai 45 HOK per ha. Secara rinci untuk setiap jenis pekerjaan terlihat pada Tabel 31. Apabila dijumlahkan untuk seluruh areal kerja MHBM Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang, mulai dari kegiatan persiapan lahan sampai pemeliharaan tanaman, maka kegiatan pembangunan HTI daur tanaman 8 tahun dengan program MHBM didapatkan curahan tenaga kerja sebesar 441.045,45 HOK atau sebesar 55.130 HOK per tahun cii Tabel 31 Curahan tenaga kerja dalam program HTI MHBM Jenis kegiatan Curahan Tenaga KerjaHa Pembibitan 1100 bibit Persiapan lahan 10 HOK Pengadaan ajir 1 HOK Pemancangan ajir 4 HOK Pembuatan jalur tanaman 6 HOK Pembuatan lempeng tanaman 5 HOK Pembuatan lubang tanaman 6 HOK Penanaman 5 HOK Pemupukan 4 HOK Pemeliharaan 4 HOK Jumlah 45 HOK Sumber : Standard Operation Procedure SOP MHBM Peningkatan Pendapatan Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa secara umum rata-rata pendapatan masyarakat desa yang menjadi peserta MHBM meningkat sesudah adanya kegiatan MHBM. Peningkatan pendapatan saat ini diperoleh oleh para peserta baru dari jasa kerja dalam kegiatan MHBM. Tabel 32 memperlihatkan rata-rata peningkatan respoden peserta MHBM. Tabel 32 Rata-rata peningkatan pendapatan desa peserta MHBM Rata-rata pendapatan masyarakat Lokasi desa Sebelum MHBM Sesudah MHBM Kenaikan Rp Subanjeriji 475.000,00 541.145,83 66.145,83 13,92 Gunung Megang 485.416,66 550.833,33 66.583,34 13,30 Peningkatan Pengetahuan Masyarakat. Adanya kegiatan MHBM disertai kegiatan penyuluhan formal maupun informal banyak menambah pengetahuan masyarakat baik menyangkut kegiatan kehutanan, pelestarian lingkungan, maupun berorganisasi. Sesuai dengan prinsipnya, program MHBM ditujukan untuk warga masyarakat secara kolektif komunal dan bukan untuk individu personal sehingga warga masyarakat yang akan ikut serta dalam program ini harus membentuk suatu kelompok dan terhimpun dalam suatu wadah atau organisasi yang jelas dan mewakili aspirasi seluruh warga masyarakat tersebut. Pembentukan kelompok masyarakat tersebut ciii harus self legitimate yaitu dibentuk berdasarkan kemauan atau aspirasi oleh, dari dan untuk warga masyarakat itu sendiri baik bentuk lembaga, nama, pengurus, Anggaran Dasar AD dan Anggaran Rumah Tangga ART dan sebagainya ditentukan oleh warga masyarakat itu sendiri. Saat ini dengan adanya wadah organisasi MHBM yang mereka bentuk, para peserta MHBM sering mengadakan rapat dan pertemuan untuk saling bertukar informasi dan untuk mengetahui perkembangan organisasi MHBM serta mengupayakan pemecahan permasalahan jika terjadi konflik. Dengan demikian, dengan adanya program MHBM, pengetahuan masyarakat tentang bagaimana berorganisasi bertambah. Sedangkan untuk pengetahuan bidang pertanian, pada awal-awal tahun pelaksanaan MHBM, pihak perusahaan menyelenggarakan pelatihan kursus tentang kegiatan budidaya tumpangsari atau agro trisula bagi peserta MHBM dengan tenaga penyuluh atau pembimbing berasal dari perusahaan sendiri. Materi yang diberikan terkait dengan kegiatan agribisnis trisula yaitu sayur cepat, ikan cepat dan ternak sehat.

5.5. Manfaat Lingkungan