13
Pencarter Kapal Terhadap Pengangkutan Barang Dengan Kapal Studi di
PT. Berkah Anugrah Sejati Belawan,” dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimana tanggungjawab pemilik kapal dan pencarter kapal apabila akibat
lalai atau kesalahan perbuatan mereka menyebabkan timbulnya kerugian terhadap barang yang diangkut?
b. Bagaimana proses pengajuan claim terhadap kerugian yang timbul terhadap rusaknya atau hilangnya barang yang ditimbulkan oleh kesalahan atau
kelalaian pencarter dan pemilik kapal? Jika diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini,
baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum
dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa
dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.
12
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
12
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
14
“Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”.
13
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa: “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”
14
Snelbecker mendefenisikan
“teori sebagai
perangkat proposisi
yang terintegrasi secara sintaksis yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan
secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.
15
Mengenai tanggung jawab hukum, Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan, “Bahwa seseorang bertanggung jawab secara
hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan
yang bertentangan”.
16
Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa: ”kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut kekhilapan negligence; dan
kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan culpa,
13
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hal. 6.
15
Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 34-35.
16
Hans Kelsen sebagaimana diterjemakan oleh Somardi, General Theory Of law and State, Teori UmumHukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-
Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
15
walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan”.
17
Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri dari: a. Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; b. Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain; c. Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggung jawaban
mutlak yang
berarti bahwa
seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
18
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan ”tanggung jawab sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, apabila ada sesuatu hal, boleh
dituntut, dipersalahkan, diperbolehkan dan sebagainya”.
19
Menurut Aridwan Halim, ”tanggung jawab adalah suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak maupun kewajiban
ataupun kekuasaan”.
20
Dalam kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu liability the state of being liable dan responsibility the state or fact being responsible. Liability
merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab,
yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk
17
Ibid, hal. 83.
18
Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, Nuansa Nusamedia, Bandung, 2006, hal. 140.
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit., 1996, hal. 1014.
20
Aridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
16
menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial. “Kondisi bertanggung jawab
terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-
undang dengan segera atau pada masa yang akan datang”.
21
Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu
kewajiban, ketrampilan dan kecakapan. “Responsibility juga berarti kewajiban
bertanggung jawab
atas undang-undang yang dilaksanakan, dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya”.
22
Menurut Roscoe Pound, jenis tanggung jawab dapat dibedakan atas 3 tiga sebab, yaitu:
. “pertanggungjawaban atas kerugian dengan disengaja, atas kerugian
karena kealpaan dan tidak disengaja, dan dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja”.
23
Selanjutnya Roscoe Pound menyatakan bahwa tanggung jawab bersumber dari: 1. Perjanjian, dimana para pihak mengadakan perjanjian tersebut masing-masing
dituntut untuk bertanggungjawab atas pemenuhan isi perjanjian yang mereka buat.
2. Perbuatan melawan hukum, yang terbagi atas: a. Perbuatan diri sendiri, baik yang disengaja dolus maupun yang tidak
disengaja culpa b. Perbuatan orang lain orang yang masih berada di bawah tanggungan si
penanggung jawab yang bersangkutan c. kejadian lain yang bukan merupakan perbuatan, tetapi menimbulkan
21
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 335.
22
Ibid., hal. 335-336
23
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum An Introduction to the Philosophy of Law diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Bhratara Niaga Media, Jakarta, 1996, hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
17
akibat yang tetap harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang oleh hukum dianggap sebagai penanggungjawabnya.
24
Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban hukum. “Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari
segala peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk mengukuti peraturan hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk
mengikuti peraturan-peraturan hukum tersebut”.
25
Menurut teori Johannes Gunawan menjelaskan Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengandung materi pertanggungjawaban dengan struktur yaitu:
a. Contract Liability Contract Liability atau pertanggungjawaban kontrak adalah tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjiankontrak dari pelaku usaha baik barang maupun jasa, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan.
b. Product Liability Product Liability atau tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para
produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut.
c. Profesional Liability Profesional Liability atau tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab
hukum legal liability dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.
d. Criminal Liability Criminal Liability adalah tanggung jawab pidana yang mengatur tentang
tindak atau perbuatan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 61, 62, dan Pasal 63, di mana maksimum sanksi pidananya penjara lima
tahun atau denda dua miliar.
26
24
Ibid., hal. 163-164.
25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 281.
26
Johannes Gunawan dalam Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
18
Pengaturan atas tanggung jawab perusahaan pengangkut atas kelalaiannya telah diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan selanjutnya disebut UULLAJ, yang berbunyi: “Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau
pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan”. Mengenai tanggung jawab perusahaan pengangkutan lainnya dapat dilihat
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 193 UULLAJ, yaitu: 1. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau
rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.
2. Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.
4. Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat
muatan angkutan barang. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan
peraturan pemerintah. Selain itu, secara umum mengenai tanggung jawab perusahaan pengangkut
diatur pada Pasal 1367 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi: “seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam pengawasannya”.
Dalam hukum
perdata, gugatan
untuk meminta
pertanggungjawaban bersumber pada 2 dua dasar hukum, yaitu: “berdasarkan pada wanprestasi
contractual liability sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata dan
Universitas Sumatera Utara
19
berdasarkan perbuatan melanggar hukum onrechtmatigedaad sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata”.
27
Pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang melalui perusahaan angkutan tentunya berhubungan erat dengan perjanjian. Bahwa dasar hubungan yang terjadi
antara perusahaan pengangkutan barang dengan konsumen yang membutuhkan jasa pengangkutan adalah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini
mempunyai hak dan kewajiban. Untuk itu dalam membahas masalah perjanjian tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata
khususnya Bab II Buku III yang berjudul perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian.
Herlien menyatakan bahwa: “janji antara para pihak hanya dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada asas adanya keseimbangan hubungan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan
kedua belah
pihak sebagaimana
masing-masing pihak
mengharapkannya”.
28
Dalam hal adanya keseimbangan dalam suatu perjanjian, Laesio Enormis, menyatakan bahwa, “suatu janji yang tidak diimbangi dengan sesuatu yang equivalent
sama nilainya dengan isi janji itu oleh pihak kedua lazimnya perjanjian sepihak
27
Ibid., hal. 30.
28
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 305.
Universitas Sumatera Utara
20
eenzijdige overeenkomst atau abstract promise tidak merupakan janji yang wajar, dan karenanya tidak pula mengikat”.
29
Asas keseimbangan, dikaitkan dengan asas dalam perjanjian, dikatakan lahir sebagai suatu penolakan terhadap asas kebebasan berkontrak. “Asas kebebasan
berkontrak pada kenyataannya dikatakan telah membawa ketidakadilan, karena didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar
bargaining position yang seimbang, tetapi pada kenyataannya para pihak tidak selalu dalam posisi memiliki posisi tawar yang seimbang”.
30
Mengenai asas keseimbangan R. Kranenburg mengatakan bahwa: Asas keseimbangan merupakan dasar berfungsinya kesadaran hukum orang, yang
mana kesadaran hukum seseorang adalah menjadi sumber hukum seseorang. Dalil atas asas keseimbangan tersebut adalah bahwa tiap orang menerima
keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu, dan dalam hal pembagian keuntungan dan
kerugian tersebut tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, maka tiap-tiap anggota-anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.
31
Pada asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan
bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Jika asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya
kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi kontrak.
29
Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita, Alumni, Bandung, 1974, hal. 26.
30
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 1-2.
31
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pusaka, Jakarta, 1984, hal. 63 - 64.
Universitas Sumatera Utara
21
“Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak seimbang
maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable”.
32
Sutan Remy Syahdeini menjelaskan bahwa: Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain
adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak
masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.
33
“Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-
undang bagi para pihak”.
34
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan
keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap
menurut hukum adalah :
32
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredt Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,
hal. 185.
33
Ibid., hal. 186.
34
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
22
a. Orang-orang yang belum dewasa. b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang- Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963
menyatakan bahwa perempuan yang bersuami tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa
bantuan atau izin dari suaminya. Selain itu, terdapat subjek hukum yang dilarang undang-undang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, diantaranya adalah: a. Orang-orang dewasa yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
b. Badan hukum yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan. c. Seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama
meninggalkan tempat
tinggalnya, tetapi
sebelum pergi
ia tidak
memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya.
35
3. Mengenai suatu hal tertentu. Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai
objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek
dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas. 4. Suatu sebab yang halal.
Mengenai suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah
35
Erza Putri, Subjek Hukum Dalam Perjanjian, http:erzaputri.blogspot.com, diakses tanggal 28 Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
23
sebab dalam arti yang menyebabkanyang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan Undang- Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Terhadap 2 dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari
perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu. Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam
suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka
suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. ”Sedangkan apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal
demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan”.
36
Pada saat ini, terdapat bentuk perjanjian dengan cara penyiapan suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak konsumen
untuk disetujui, dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak konsumen untuk menentukan isi perjanjian.
Ketika perjanjian ditandatangani, umumnya para pihak hanya mengisikan data- data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausulanya dan pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai
36
Subekti, Op.cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
24
kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga
biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah.
37
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut UUPK, pengertian klausula baku adalah
“setiap aturanketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Perjanjian baku kebanyakan adalah perjanjian adhesie, yaitu perjanjian
dimana salah satu pihak pembuat perjanjian berada dalam keadaan terjepitterdesak. Keadaan demikian tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai
kedudukan yang lebih kuat. “Pihak yang lebih kuat di dalam membuat penawaran dalam perjanjian dengan pihak yang lemah menggunakan prinsip take it or leave it
ambiltinggalkan”.
38
Ketentuan di dalam perjanjian pengangkutan, pengirim tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi
perjanjian. Hal tersebut terjadi baik karena kedudukannya maupun karena kebutuhannya, sehingga pengirim hanya dapat menerimamenolak isi perjanjian
secara utuhkeseluruhan. Oleh karena itu, hal tersebut menyebabkan kebebasan berkontrak yang merupakan asas dari suatu perjanjian akan sulit terwujud karena
asas kebebasan berkontrak dapat terwujud bila para pihak memiliki posisi tawar
37
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76.
38
Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
25
yang sama kuat. Posisi yang tidak seimbang tersebut juga menyebabkan batas- batas kebebasan berkontrak seperti itikad baik, tidak melanggar norma-norma
kepatutan, dan perasaan keadilan akan sulit diterapkan. Perjanjian baku memang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang, namun
berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam kenyataannya dapat diterima. Penerimaan perjanjian baku oleh masyarakat motifasinya adalah bahwa hukum berfungsi untuk
melayani kebutuhan masyarakat dan bukan sebaliknya. Masyarakat memang diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak dilarang oleh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Pada prinsipnya Undang-undang tidak melarang adanya klausula baku dalam suatu perjanjian yang dibuat, namun yang dilarang hanyalah pencantuman klausula
baku yang memberatkan atau merugikan salah satu pihak.
2. Konsepsi