Asas-Asas Umum Dalam Hukum Perjanjian

35 sesuatu.” Pihak-pihak dalam perikatan, sekurangnya ”terdiri dari 2 dua pihak yaitu yang mempunyai kewajiban itu dinamakan juga pihak yang berhutang atau debitur, sedangkan pihak yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih atau kreditur pihak berpiutang”. 57 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perikatan adalah: “suatu hubungan hukum di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”. 58 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah: “suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”. 59 Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur dari perikatan yaitu: a. Adanya suatu hubungan hukum; b. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda; c. Antara dua orangpihak atau lebih; d. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur; e. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur; f. Adanya prestasi. 60

3. Asas-Asas Umum Dalam Hukum Perjanjian

Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai 57 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 18. 58 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit., hal. 3. 59 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 122. 60 I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak; Contract Drafting Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Kesaint Blanc, Jakarta, 2003, hal. 21-22. Universitas Sumatera Utara 36 asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian, yang memiliki asas-asas sebagai berikut. a. Asas Personalia ”Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah hanya untuk kepentingan perseorangan saja”. 61 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat 1 KUHPerdata, Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.” Sedangkan Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Namun, ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, yang berbunyi: “dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat seperti itu.” b. Asas konsensualisme ”Asas konsensualisme adalah bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau kehendak mengenai isi atau pokok perjanjian”. 62 61 Salim HS., Op.cit., hal. 13. 62 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1982, hal. 21. Universitas Sumatera Utara 37 Asas konsensualisme ini kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian, bahwa dengan adanya konsensualisme, perjanjian itu telah lahir atau terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak diperlukan formalitas lain. c. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak Freedom of Contract diatur di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan Hak Asasi Manusia dalam mengadakan perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. ”Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata banyak didalam Undang-Undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan pada asas ini”. 63 Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh undang- undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan ”sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik dan mereka wajib melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat layaknya undang-undang”. 64 Oleh karena Buku III KUHPerdata bersistem terbuka dan pasal-pasalnya 63 Purwahid Patrik, Op.cit., hal. 4. 64 Munir Fuady, Op.cit., hal. 30. Universitas Sumatera Utara 38 merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap, maka para pihak boleh mengenyampingkan pasal-pasal dalam hukum perjanjian jika mereka menghendaki. ”Tetapi, jika dalam perjanjian tersebut para pihak tidak mengatur mengenai sesuatu hal, maka bagi sesuatu hal tersebut berlakulah ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata”. 65 Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun. 3. Menentukan mengenai klausulaisi dalam perjanjian, pelaksanaan, serta persyaratannya. 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan. 5. Menentukan cara membuat perjanjian. 66 d. Asas Kepercayaan. ”Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari”. 67 e. Asas Kekuatan Mengikat. Berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, bahwa dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. ”Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar undang-undang”. 68 f. Asas Itikad Baik 65 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 13. 66 Salim HS, Op.cit., hal. 9. 67 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Op.cit., hal. 87. 68 Ibid., hal. 88. Universitas Sumatera Utara 39 Asas ini menghendaki agar suatu perjanjian dilaksanankan dengan itikad baik. Itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 dua, yaitu: a. Itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum tidak lain adalah perkiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan bahwa syarat- syarat yang diperlukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi semuanya. b. Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari suatu hubungan hukum tidak lain maksudnya adalah itikad baik pada waktu melaksanakan perjanjian. Itikad baik disini juga terletak pada sanubari manusia, yang selalu ingat bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. 69 g. Asas Keseimbangan. Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi kreditur berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya debitur, namun kreditur juga memiliki beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. ”Jadi, kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang”. 70 h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan. Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa: “perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”. 69 J.Satrio, Hukum Perjanjian Perjanjian Pada Umumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 379. 70 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Op.cit., hal. 88. Universitas Sumatera Utara 40

4. Syarat Sahnya Perjanjian