49
perjanjian”.
95
8. Klausula Eksonerasi
”Klausul baku yang berisi ketentuan dan persyaratan dikenal sebagai klausula eksonerasi exoneration clouse atau klausa eksemsi exsemtion clause”.
96
Klausul baku yang merupakan klausul eksonerasi jelas telah merugikan pihak penutup kontrak atau penerima tawaran, karena ia harus bertanggungjawab atas
akibat hukum tertentu dan memikul kewajiban tertentu yang menurut hukum bukan merupakan tanggungjawab atau kewajibannya.
Menurut Rijken klausula eksonerasi adalah “klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian yang mana satu pihak akan menghindarkan diri untuk memenuhi
kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum”.
97
Klausula berat sebelah ini dalam bahasa Belanda disebut dengan onredelijk bezwarend atau dalam bahasa Inggris disebut dengan unreasonably onerrous.
”Dalam pustaka-pustaka Hukum Amerika Serikat, klausula itu disebut juga dengan istilah exculpatory clause; warranty disclaimer clause atau limitation of liability
clause”.
98
Sutan Remy Sjahdeni memberi pengertian klausula eksonerasi dengan istilah klausul eksemsi, yaitu: “klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan
95
Ibid., hal. 20.
96
Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No.6 Tahun 2003, hal. 45.
97
Seperti dijelaskan dalam Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Op.cit., hal. 80.
98
Ibid., hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
50
pihak lainnya dalam yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut”.
99
Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. ”Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan
pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksenorasi tersebut”.
100
Bagaimanapun juga eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan jika terjadi sengketa
mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu
adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Suatu perjanjian dengan memakai syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun
pengalihan tanggung jawab. ”Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum.
Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut”.
101
Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi yaitu:
99
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 75.
100
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 20.
101
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 115.
Universitas Sumatera Utara
51
a. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi,
b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri. c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah
satu pihak misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada phak ketiga yang terbukti mengalami kerugian.
102
Oleh karena itu syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasanpenghapusan kewajiban
sendiri dan menciptakan keajiban tetapi membebankan pihak lain. Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena
keadaan memaksa atau karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan
demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat- syarat perjanjian:
1. Eksonerasi karena keadaan memaksa force majeur; Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para
pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban tanggung jawab.
2. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian;
Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai
melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha dibebaskan
dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau hilang, bukan tanggung jawab pengangkut.
3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga; Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi
tanggung jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban
pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga.
103
102
Ibid., hal. 116.
103
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Op.cit., hal. 21-22.
Universitas Sumatera Utara
52
Dalam sistem hukum Indonesia, tentang klausul baku yang berisi klausul eksonerasi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pada Bab V, Ketentuan Pencantuman Klausul Baku, Pasal 18 yang berbunyi:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klasul baku pada
setiap dokumen danatau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan
bahwa pelaku
usaha berhak
menolak penyerahan
kembali uang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh kosumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak pelaku usaha dalam asa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi kententuan sebagimana dimaksud pada ayat 1
dan 2 dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini
Universitas Sumatera Utara
53
Berdasarkan sejarahnya tentang kontrak baku telah dikenal bangsa Romawi dimana yang disebut sebagai kontrak model. Hal tersebut sebagaimana
dikutip oleh L.J.van Apeldoorn, yang menyatakan bahwa: Dalam banyak cabang perdagangan dan perusahaan sejak lama lebih berlaku
perjanjian dari pada undang-undang, karena untuk sebagian besar mereka
tidak berpedoman kepada peraturan perundang-undangan, melainkan kepada model kontrak. Dalam perdagangan besar hampir umum dikuasai oleh
syarat-syarat yang tetap yang diletakan dalam formulir-formulir. Apa yang mula-mula merupakan
syarat dalam kontrak perseorangan kemudian menjadi syarat untuk masa dan akhirnya biasanya menjadi hukum objektif, hukum
kebiasaan.
104
B. Alasan Hukum CV. Asi Murni Menggunakan Perjanjian Baku Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.
Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan
kehendak atau konsensus. Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelenggaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang
diterbitkan dalam
perjanjian itu.
Sementara itu,
yang dimaksud
dokumen pengangkutan ialah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan,
berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak. Mengenai saat perjanjian pengangkutan terjadi dan mengikat pihak-pihak,
sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan
diikuti oleh perusahaan pengangkutan.
104
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 170-171.
Universitas Sumatera Utara
54
Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian. Pihak-pihak dalam perjanjian diberi
kebebasan dalam menentukan aturan yang mereka kehendaki dalam perjanjian dan melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka
selama para pihak tidak melanggar ketentuan mengenai klausula yang halal, artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat.
Walaupun setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian tetapi Undang-Undang mengatur batasan-batasan dari kebebasan tersebut. Suatu perjanjian
dikatakan tidak boleh bertentangan dengan: 1. Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
2. Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Pasal 1339 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.
Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka ada 2 dua hal yang harus
diperhatikan di dalam membuat suatu perjanjian baku, yaitu : 1. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang, moral kesusilaan, ketertiban
umum, kepatutan, dan kebiasaan Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHPerdata. 2. Memiliki itikad baik Pasal 1338 KUHPerdata.
Moral kesusilaan diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat diakui oleh umumkhalayak ramai. Sedangkan ketertiban umum adalah kepentingan
Universitas Sumatera Utara
55
masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan, yang dalam berhadapan
dengan kepentingan
perseorangan itu
dipermasalahkan apakah
kepentingan masyarakat itu dikesampingkan. Keadilan dapat dimasukan ke dalam arti kepatutan. Dengan demikian sesuatu
yang tidak adil berarti tidak patut. Dengan kata lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka isiklausula-klausula suatu perjanjian tidak boleh tidak adil.
Klausula-klausula perjanjian yang secara tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya adalah syarat-syarat yang bertentangan dengan keadilan.
Sedangkan kebiasaan pada umumnya dapat diartikan sebagai kebiasaan setempat yaitu aturan-aturan yang diindahkan dalam lingkungan tertentu. Itikad
baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan konsumen maupun tidak merugikan kepentingan umum. Niat tersebut harus
merupakan niat
yang jujur
untuk tidak
merugikan konsumenmerugikan
kepentingan umum. Dalam perjanjian pengangkutan di perusahaan CV. Asi Murni, tidak semua
unsur dalam asas kebebasan berkontrak terpenuhi. Hal ini dikarenakan posisi tawar menawar bargaining position perusahaan pengangkut lebih kuat dari pihak
pengirim konsumen. Pelaksanaan kebebasan berkontrak akan tercapai bila para pihak mempunyai
posisi seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki posisi lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak yang lemah demi
kepentingannya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
56
Jadi kedudukan pengangkut lebih dominan daripada pengirim, karena pengangkut mempunyai wewenang yang lebih untuk menentukan segala sesuatu yang
berhubungan dengan
perjanjian pengangkutan,
sehingga asas
kebebasan berkontrak tidak terpenuhi semuanya karena perjanjiannya sudah ditetapkan
dalam bentuk yang baku, dimana bentuk dan isi perjanjian telah ditentukan oleh pihak perusahaan pengangkut secara sepihak tanpa mengikutsertakan pihak
pengirim.
105
Perjanjian pengangkutan dikatakan tidak sejalan dengan asas kebebasan berkontrak karena perjanjian pengangkutan menggunakan bentuk perjanjian baku
dimana perjanjian yang didalam pembuatannya hanya ditentukan oleh salah satu pihak saja yaitu pengangkut, sementara pihak yang lain yaitu pengirim tidak
diikutkan dalam pembuatannya dan karena sesuatu hal mau tidak mau pengirim harus memenuhi isi perjanjian pengangkutan tersebut yang sebetulnya tidak sesuai dengan
keinginan pengirim. Banyak pengirim barang yang tidak memperdulikan dalam pelaksanaan
pengiriman barang menggunakan perjanjian dalam bentuk baku. Pada umumnya pengirim hanya tinggal menandatangani bukti pengiriman barang tanpa pernah
membacakan isi dari hak-haknya. Menurut Hartono kondisi tersebut terjadi dikarenakan:
Beberapa pengirim barang mengatakan malas membaca syarat-syarat perjanjian yang ada dalam surat muatan karena tulisannya yang terlalu kecil, selain itu ada
juga yang mengatakan tidak sempat membaca karena terburu-buru dan ada yang menganggapnya bukan merupakan suatu hal yang penting untuk dibaca, bahkan
ada yang tidak tahu bahwa tulisan-tulisan yang ada dalam surat muatan itu adalah suatu perjanjian.
106
105
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
106
Hasil wawancara dengan Hartono, Kepala Operasional CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
57
Alasan lainnya pihak perusahaan CV. Asi Murni menggunakan perjanjian baku dikarenakan untuk mempermudah proses dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan. Hal ini dikarenakan setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. ”Jika ada orang yang
membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian standar baku, maka tanda tangan itu membangkitan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan
menghendaki isi
formulir yang
ditandatangani. Tidak
mungkin seseorang
menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.
107
Selain itu, alasan penggunaan perjanjian baku dalam pengangkutan barang oleh pihak perusahaan CV. Asi Murni dikarenakan, ”penggunaan perjanjian baku
dapat diperkenankan untuk digunakan dalam setiap perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen, asalkan isiklausulnya tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan”.
108
C. Alasan Ekonomi CV. Asi Murni Menggunakan Perjanjian Baku Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.
Aktivitas bisnis
merupakan fenomena
yang sangat
komplek karena
mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan masyarakat, seringkali dapat dilihat bahwa aktivitas manusia dalam dunia bisnis
tidak lepas dari peran perusahaan pengangkutan selaku pemberi layanan dibidang jasa pengangkutan barang bagi masyarakat. ”Peranan pengangkutan dalam dunia
perniagaan bersifat mutlak. Sebab nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung
107
Hasil wawancara dengan Hartono, Kepala Operasional CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
108
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
58
dari barang itu sendiri tetapi juga tergantung pada tempat dimana barang itu berada”.
109
Salah satu bentuk bentuk layanan dibidang pengakutan adalah kecepatan dan ketepatan dalam pengiriman barang. Apabila angkutan terlambat atau macet
maka seketika itu masyarakat gelisah dan harga barang-barang pun menjadi goncang. Pengangkutan bukan hanya berpengaruh terhadap sirkulasi barang tetapi juga
berpengaruh pada tinggi rendahnya harga barang tersebut. Peranan pengangkutan disamping untuk melancarkan arus barang dan
mobilitas manusia juga untuk membantu tercapainya pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara optimal. Untuk itu jasa angkutan harus tersedia secara merata dan
terjangkau daya beli masyarakat. Salah satu sarana pengakutan melalui darat adalah dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Terjadinya perjanjian pengangkutan menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim
atau penumpang secara timbal balik. Serangkaian perbuatan semacam ini tidak terdapat pengaturannya dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan yang
hidup dalam praktek pengangkutan, oleh karena itu serangkaian perbuatan tersebut perlu ditelusuri melalui kasus perjanjian pengangkutan.
Pada awal dimulainya sistem perjanjian, prinsip penting di dalam perjanjian itu adalah kebebasan berkontrak di antara pihak dengan kedudukan seimbang dan
tercapainya kesepakatan bagi para pihak-pihak. “Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, pihak perusahaan selanjutnya mencari format
109
H.M.N Purwosujipto, Op.cit., hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
59
yang lebih praktis dalam menjalankan operasionalnya dengan membuat perjanjian pengangkutan dalam bentuk baku”.
110
Dalam penyelenggaraan usaha jasa di bidang pengangkutan, pihak perusahaan CV. Asi Murni telah menyiapkan atau menyediakan blankoformulirmodel yang
isinya telah dibuat dalam bentuk baku. Blanko tersebut kemudian disodorkan kepada setiap konsumen jasa pengangkutan, yang isinya tidak diperbincangkan terlebih
dahulu dengan konsumen. Pada tahap tersebut konsumen hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tercantum dalam formulir
tersebut atau menolaknya. Ketentuan-ketentuan yang sudah dibakukan ini dapat dilihat dibagian
belakang tanda bukti pengiriman consigment note ataupun pada tanda bukti terima kiriman yang tertuang dalam point-point. Perjanjian baku yang ditetapkan
sepihak oleh pihak perusahaan pengangkutan dituangkan dalam bentuk formulir dan ditandatangani oleh pengirim. ”Dimana formulir ini sudah terlebih dulu
disediakan dalam jumlah banyak sehingga memudahkan apabila sewaktu-waktu akan dipergunakan dan dapat menghemat waktu dikarenakan isi dari perjanjian baku ini
berlaku bagi setiap konsumen pengguna jasa pengangkutan tanpa terkecuali”.
111
Klausula baku muncul dengan alasan kepraktisan atas perkembangan ekonomi yang menuntut dilakukannya perjanjian, terutama untuk perjanjian dengan melibatkan
banyak pihak, termasuk dalam perjanjian pengangkutan barang. ”Pihak perusahaan
110
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
111
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
60
terlebih dahulu menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa kwitansi yang dibelakangnya tercantum
perjanjian pengangkutan dan kemudian diberikan kepada pihak konsumen untuk disetujui dan ditandatangani”.
112
Namun dalam kenyataannya penggunaan klausula baku dalam perjanjian banyak merugikan konsumen. Hal ini karena posisi konsumen yang tidak seimbang
dengan posisi pelaku usaha. Dengan kondisi tersebut klausula yang diperjanjikan lebih banyak berpihak pada kepentingan pelaku usaha. Atas alasan tersebut maka
diperlukan sebuah pengaturan tentang klausula baku, sehingga penggunaannya dalam kontrak tetap dapat menguntungkan para pihak dan tidak terdapat
marginalisasi konsumen. Pengaturan mengenai klausula baku merupakan konsekuensi dari upaya
kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen
dalam prinsip kebebasan berkontrak. ”Kebebasan berkontrak adalah apabila para pihak dikala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas
menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang disepakati”.
113
Perjanjian baku
memiliki kelebihan
dan kekurangannya.
Kelebihan kontrak baku adalah lebih efisien, karena antara para pihak tidak perlu lagi
merumuskan klausula yang akan dipakai dalam perjanjian tersebut, sedangkan kelemahan perjanjian baku adalah kurangnya salah satu pihak dalam hal ini adalah
112
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
113
N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
61
konsumen untuk melakukan negosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan.
Perusahaan pengangkutan yang pekerjaannya melayani orang banyak, tidak mungkin
melakukan atau
mengadakan perjanjian
tertulis dengan
tiap-tiap konsumennya secara individual karena akan membutuhkan banyak waktu, uang, dan
tenaga. ”Hal ini juga dinilai tidak praktis dan kurang efisien. Karena itu pihak perusahaan selanjutnya menggunakan perjanjian baku dalam perjanjian pengangkutan
yang dibuatnya”.
114
Alasan lainnya perusahaan menggunakan perjanjian baku adalah dikarenakan masalah biaya. Hal ini menyangkut dalam pembuatan perjanjian baku tidak
memerlukan biaya yang besar karena dibuat secara kolektif dan digunakan untuk secara menyeluruh dalam kegiatan pengangkutan barang .
Apabila menggunakan perjanjian dalam pengangkutan yang masing-masing konsumen saling berbeda atau juga menggunakan jasa Notaris, tentunya akan
berdampak bagi biaya pembuatan perjanjian yang akan dikeluarkan lebih tinggi. Oleh sebab itu, untuk menyiasati agar biaya pengiriman tidak terlalu
memberatkan konsumen dan juga terkait dengan persaingan biaya pengiriman antara perusahaan, maka pihak perusahaan membuat alternatif agar perjanjian
pengangkutan dibuat dalam bentuk yang telah baku.
115
”Penggunaan perjanjian baku yang dilakukan oleh perusahaan CV. Asi Murni dalam kegiatan usahanya apabila dilihat dari segi ekonomi dapat mengurangi beban
pengeluaran, sehingga dengan demikian dapat menekan biaya pengiriman”.
116
114
Hasil wawancara dengan Hartono, Kepala Operasional CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
115
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
116
Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
62
BAB III TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN
PENGANGKUTAN A. Tanggung Jawab Pengangkut Menurut Perundang-Undangan
1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.