Prinsip-Prinsip Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

89

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT HILANG

ATAU RUSAKNYA BARANG DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN ANTARA CV. ASI MURNI DENGAN KONSUMEN

A. Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1. Prinsip-Prinsip Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas, dalam kenyataannya justru banyak yang didahulukan pengesahannya daripada Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan pihaknya contoh peraturan di bidang perpajakan daripada peraturan-peraturan yang membebaninya dengan kewajiban yang besar seperti di bidang perlindungan konsumen. Menurut Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan, yaitu: a. Kebijkan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kapada konsumen hak atas informasi. b. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen hak atas keamanan dan kesehatan. 144 Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, sehingga akan memberi rasa aman pada masyarakat selaku konsumen. 144 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 65-66. Universitas Sumatera Utara 90 Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atauliability based on fault adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam hukum pidana dan perdata. 1. Aspek hukum pidana Bentuk-bentuk tindak pidana yang menjadi dasar pembebanan tanggung jawab produsen terhadap konsumen adalah: a. Negligence Negligence ialah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan standard of conduct yang ditetapkan oleh undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat terhadap risiko yang tidak rasional. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya perbuatan kurang cermat yang merugikan orang lain, yang semestinya seorang penjual atau produsen mempunyai duty of care. Untuk dapat menggunakan negligence sebagai dasar gugatan harus memenuhi syarat-syarat: a. Adanya suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal. b. Yang dibuktikan adalah bahwa tergugat produsen lalai dalam duty of care terhadap penggugat konsumen. c. Kelakuan itu seharusnya penyebab nyata proximate cause dari kerugian yang timbul. 145 145 Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia dengan Belanda, Yogyakarta, 1988, hal. 7. Universitas Sumatera Utara 91 Pada tahap pembuktian terhadap adanya negligence mencakup dalam pembuktian terhadap: ”kerugian yang diderita ditimbulkan oleh cacat yang ada pada produk, bahwa cacat tersebut telah ada pada penyerahan dan bahwa cacat pada produksi disebabkan oleh kurang cermatnya produsen”. 146 b Warranty breach of warranty Gugatan yang dilakukan oleh konsumen terhadap produsen berdasarkan breach of warranty pelanggaran janji-janji atau jaminan ini didasarkan pada adanya suatu hubungan kontrak. Dalam hal ini produsen secara tegas atau diam-diam memberi jaminan bahwa produknya dapat memenuhi kebutuhan. Pada umumnya warranty janji, jaminan itu dapat dikelompokkan dalam 2 dua kategori, yaitu: “Express warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara tegas eksplisit dan Implied warranties, janji, jaminan yang dinyatakan secara diam-diam implisit”. 147 2. Aspek hukum perdata Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHP Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 146 Ibid., hal. 14. 147 Ibid., hal. 7. Universitas Sumatera Utara 92 4 empat unsur-unsur pokok, yaitu: a. Adanya perbuatan, b. Adanya unsur kesalahan, c. Adanya kerugian yang diderita, d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alteram partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. b. Prinsip praduga untuk selalu betanggung jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, sampai ia membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik omkering van bewijslast diterima dalam prinsip tersebut. Selain UUPK mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK. Dasar demikian dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah presumption of innocence yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku Universitas Sumatera Utara 93 usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of non liability principle hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari prinsip ini adalah kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabinbagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. ”Dalam hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya”. 148 d. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut absolut liability. Prinsip tanggung jawab ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, sebaliknya absolut liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. R.C. Hoeber, selanjutnya menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak ini dapat dikarenakan: 1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya 148 Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976, hal. 19. Universitas Sumatera Utara 94 kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks. 2. Diasumsikan produsen lebih mengantipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya. 3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. 149 Prinsip tanggung jawab mutlak secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini diberi nama product liability. Menurut asas tanggung jawab, maka produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. Gugatan product liability ini dapat dilakukan berdasarkan adanya pelanggaran yang disebabkan: ”melanggar jaminan breach of warranty, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, adanya unsur kelalaian yaitu produsen lalai memenuhi standar yang baik dan menerapkan tanggung jawab mutlak”. 150 e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen, bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. “Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan kalusula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak 149 R.C Hoeber, seperti dikutip dalam Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 64. 150 Ibid., hal. 65. Universitas Sumatera Utara 95 harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas”. 151 Setelah berlakunya UUPK, perlakuan terhadap konsumen korban tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, telah berubah, baik dari segi peraturan hukumnya sendiri, maupun praktik peradilan. Penempatan dalam sistem UUPK menjamin kepentingan dan hak-hak serta kewajiban kedua belah pihak, yaitu hak dan kewajiban para pihak yang bersifat timbal balik. Hak konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha untuk memenuhinya, sebaliknya hak pelaku usaha merupakan kewajiban konsumen untuk memenuhinya, seperti yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Bab III Bagian Pertama UUPK hak dan kewajiban konsumen, serta Pasal 6 dan Pasal 7 Bab III Bagian Kedua UUPK hak dan kewajiban pelaku usaha. UUPK telah mengubah paradigma lama yang kurang berorientasi pada kepentingan hak konsumen. Pasal 63 butir c UUPK telah menempatkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti kerugian atas pelanggaran-pelanggaran norma- norma UUPK, di samping dijatuhkan sanksi pidana pokok berupa: 1. Pidana penjara maksimal 5 lima tahun atau pidana denda maksimal Rp.2.000.000.000,- dua miliar rupiah 2. Pidana penjara maksimal 2 dua tahun atau pidana denda maksimal Rp.500.000.000,- lima ratus juta rupiah. Selanjutnya dalam UUPK mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil yang menerapkan beban pembuktian terbalik maupun didukung oleh aspek hukum formil dengan membentuk lembaga 151 Ibid., hal. 65. Universitas Sumatera Utara 96 penyelesaian sengketa konsumen, di samping pengakuan gugatan dengan cara gugatan perwakilan kelompok class action dan legal standing seperti yang diatur dalam Pasal 46 UUPK. Sistem pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 UUPK, yaitu sistem pembuktian terbalik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 UUPK, bahwa pembuktian ada atau tidak adanya kesalahan, dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dan Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha pihak yang digugat. “Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28 UUPK ini, maka jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, dan cukup memiliki alasan yang sah menurut hukum, maka gugatan ganti kerugian yang dituntut penggugatkonsumen akan dikabulkan”. 152

2. Hak dan Kewajiban Konsumen Serta Pelaku Usaha.