memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan isi dari buku tersebut, sesorang bisa
memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum,
dengan buku kita akan bisa “melihat dunia”. Mengikuti teori ini, ada beberapa perubahan besar yang mengikuti perkembangan teknologi dalam
berkomunikasi. Yang masing-masingnya sama memperluas perasaan, dan pikiran manusia. McLuhan membagi lagi kedalam empat periode.
Di dalam masing0masing kasus yang menyertai perubahan itu atau pergerakan dari era satu ke era yang lain dengan membawa bentuk baru
komunikasi yang menyebabkan beberapa macam perubahan dalam masyarakat.
http:nurudin.staff.umm.ac.id20100121teori- determinisme-teknologi-technological-determinism-
.
2.1.7 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik
Salah satu kebutuhan pokok komunikasi, seperti yang dikatakan Susanne K. Langer adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan
lambang sehingga manusia merupakan satu-satunya heewan yang menggunakan lambang animal symbolicum dan hal inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya.Mulyana, 2001:84. Lambang atau simbol adalahsesuatu yang digunakan untuk
menunjukan sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang mempunyai beberapa sifat berikut ini :
1. Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang.
Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Lambang hadir diman-mana dan tidak henti-hentinya menerpa manusia.
2. Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; manusialah
yang member makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala manusia, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Dengan kata lain,
sebenarnya tidak ada hubungan yang alami antara lambang dengan referent obyek yang dirujukan.
3. Lambang itu bervariasi. Dari suatu budaya ke budaya lain, dari
suatu tempat ke tempat lain, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lainnya.
Pada dewasa ini, peranan simbol sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaanya yang sangat tak terbatas, membuat
simbol menjadi suatu kebutuhan manusia untuk berkomunikasi bahkan mereka bersaing untuk mewakili sesuatu untuk mewakili simbol, seperti
simbol kekayaan, simbol status, dan lain-lain. Salah satu sifat dasar manusia adalah kemampuannya untuk menggunakan simbol. Kemampuan
manusia untuk menciptakan simbol membuktikan manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang
sederhana, sampai kepada simbol yang rumit. Simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan.
Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol
adalah dalam pengertian makna dan nilainya daripada pengertia stimulasi fisik dan alat-alt inderanya Mulyana dalam Sobur, 2004:166. Semua
makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Kebudayaan terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai
sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Manusi berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Setiap manusia
dalam pengertian tertentu membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk - bentuk simbolis
sebagai pembawa maupun pelaksana makna atau pesan yang akan di komunikasikan. Makna atau pesan sesuai dengan maksud pihak
komunikator dan mampu juga ditangkap dengan baik oleh pihak lain komunikan. Hanya saja, simbol-simbol komunikasi tersebut adalah
kontekstual dalam satu masyarakat dan kebudayaannya. Karena kebudayaan sendiri adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang
dalam simbol-simbol yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk- bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan
memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Jadi, makna yang “diejawantahkan” dalam simbol-
simbol, konsep yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu konteks social yang khusus, mewujudkan suatu pola atau system
yang dapat disebut kebudayaan Dillistone, 2002:116.
2.1.8 Konsep Makna