penyerapan tenaga kerja pada lapangan kerja terbanyak terjadi pada tahun 2004 dengan perkembangan penyerapan sebesar 184,05 atau mengalami peningkatan
dari 14.077 orang menjadi 39.986 orang. Ini berarti jumlah tenaga kerja semakin banyak tertampung pada lapangan kerja yang tersedia atau jumlah pegangguran
semakin sedikit. Dan perkembangan penyerapan tenaga kerja yang paling sedikit terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar -64,79 atau mengalami penurunan dari
39.986 orang menjadi 14.077 orang. Hal ini dikarenakan jumlah perusahaan makanan dan minuman yang juga selalu berkembang mengikuti dengan jumlah
tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan. Tetapi pada level perusahaan besar dan sedang jumlah pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah perusahaan besar
tidak seperti pada indusri lainnya..
4.2.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri makanan dan Minuman
Di Surabaya
Jumlah perusahaan yang ada di Surabaya memberikan peranan dan kontribusi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi di Surabaya, karena dengan
banyaknya kawasan-kawasan industri yang berorientasi pada tenaga kerja dan diharapkan nantinya akan dapat menyerap tenaga kerja dan dapat mengurangi
tingkat pengangguran yang ada di Surabaya, sehingga dapat terciptanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Berdasarkan pada tabel 2, jumlah perusahaan industri makanan dan minuman di Surabaya dari tahun 1992-2006 berfluktuasi. Perkembangan jumlah
perusahaan sebesar 31,96 atau mengalami peningkatan dari 122 unit menjadi 161 unit. Dan perkembangan jumlah perusahaan yang paling sedikit terjadi pada
tahun 2001 yaitu sebesar -15,87 atau mengalami penurunan dari 126 unit menjadi 106 unit. Hal ini dikarenakan nilai persentase perkembangan industri
kecil tidak mengalami penurunan atau kenaikan yang terlalu mencolok hal ini
disebabkan jumlah industri kecil didaerah-daerah dengan mengedepankan produk unggulan didaerah masing-masing di Surabaya juga ikut berkembang sejalan
dengan jumlah tenaga kerja yang membutuhkan
.
Perkembangan jumlah perusahaan industri makanan dan minuman di Surabaya selengkapnya tersaji pada tabel 2 yang di gambarkan dari tahun1992-
2006, berikut ini :
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Industri Makanan dan Minuman Di Surabaya tahun 1992–2006 dalam unit usaha
Tahun Jumlah Unit Usaha Industri
Makanan dan minuman unit Perkembangan
1992 143 -
1993 140 -
2,09 1994 135
- 3,57
1995 122 -
9,62 1996
122 0,00
1997 161 31,96
1998 146 -
9,31 1999 134
- 8,21
2000 126 -
5,97 2001 106
- 15,87
2002 114 -
7,54 2003 108
- 5,26
2004 114
5,56 2005 111
- 2,63
2006 118
6,30 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah
4.2.3. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto PDRB Di Surabaya
Produk Domestik regional Bruto PDRB sebagai salah satu indikator pembangunan regional, juga berfungsi sebagai tolak ukur dalam tingkat
kemakmuran suatu daerah. Menurut definisinya Produk Domestik regional Bruto PDRB adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi di suatu
wilayah regional tertentu dalam jangka waktu satu tahun. Dengan semakin banyaknya kawasan perindustrian di Surabaya di harapkan akan dapat
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat PDRB serta tingkat kemakmuran masyarakat yang ada di Surabaya melalui penyerapan tenaga kerja
di sektor industri tersebut. Pertumbuhan Produk Domestik regional Bruto PDRB di Surabaya dari tahun 1992-2006, selengkapnya tersaji pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto PDRB Atas dasar Harga Konstan Di Surabaya Tahun 1992-2006 dalam juta
rupiah
Tahun Produk Domestik Regional Bruto
PDRB Jutaan rupiah Perkembangan
1992 3.126.827,90 -
1993 3.436.548,33 9,90 1994 11.974.999,76 248,46
1995 13.335.639,26 11,36 1996 14.855.897,48 11,39
1997 15.724.321,44 5,85 1998 12.897.079,61 -
17,98 1999 13.036.491,01 1,08
2000 13.455.465,85 3,22 2001 14.028.424,46 4,26
2002 50.812.060,00 262,20 2003 52.690.389,10 4,23
2004 56.020.541,83 5,78 2005 59.195.273,64 5,67
2006 63.678.350,00 7,57
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah
Berdasarkan tabel 3 di atas, pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto PDRB dari tahun 1992-2006 berfluktuasi. Pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto tertinggi terjadi pada tahun 2002 dengan perkembangan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto sebesar 262,20 atau mengalami
peningkatan dari Rp 14.028.424,46 juta menjadi Rp 50.812.060,00 juta. Dan perkembangan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto yang terendah
terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar – 17,98 atau mengalami penurunan dari Rp 15.724.321,44 juta menjadi Rp 12.897.079,61 juta. Hal ini dikarenakan bahwa
produk domestik regional bruto bukan satu-satunya indikator bagi investor asing untuk menanamkan modalnya. Indikator tersebut adalah dukungan pemerintah
dalam menjamin stabilitas ekonomi.
4.2.3. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Industri Makanan dan
Minuman Di Surabaya
Produktivitas tenaga kerja adalah jumlah produksi yang dihasilkan dalam waktu tertentu dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan atau jumlah
output dibagi dengan jumlah inputnya. Perkembangan produktivitas tenaga kerja industri makanan dan minuman
di Surabaya dari tahun 1992-2006 selengkapnya tersaji pada tabel 4 :
Tabel. 4 Perkembangan produktivitas Tenaga Kerja pada Industri Makanan dan Minuman Di Surabaya tahun 1992–2006 dalam ribuan rupiah
Tahun Produktivitas Tenaga Kerja
dalam ribuan rupiah Perkembangan
1992 15.602 -
1993 16.701 7,04
1994 16.385 -
1,89 1995 18.422
12,43 1996 21.716
17,88 1997 28.652
31,93 1998 33.401
16,57 1999 40.978
22,69 2000 45.182
10,25 2001 59.503
31,69 2002 64.798
8,89 2003 65.001
0,32 2004 68.959
6,09 2005 92.520
34,17 2006 106.398
15
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah
Berdasarkan tabel 4 diatas, perkembangan produktivitas tenaga kerja dari tahun 1992-2006 berfluktuasi. Perkembangan produktivitas tenaga kerja
terbanyak terjadi pada tahun 2005 dengan perkembangan produktivitas tenaga kerja sebesar 34,17 atau mengalami peningkatan dari Rp 68.959 ribu menjadi
Rp 92.520 ribu. Dan perkembangan produktivitas tenaga kerja yang paling sedikit terjadi pada tahun 1994 yaitu sebesar -1,89 atau mengalami penurunan dari
16.701 ribu menjadi Rp 16.385 ribu. Hal ini dikarenakan jumlah perusahaan industri makanan dan minuman tumbuh tidak seimbnag dengan perkembangan
produktivitas tenaga kerja para pekerja, dan semakin banyaknya persaingan antar perusahaan sehingga para pekerja tidak bisa mengikuti perkembangan tersebut
karena SDM yang rendah, dan banyak perusahan yang lebih memilih memakai tehnologi atau mesin baru yang lebih canggih, jadi produktivitas tenaga kerja
semkain menurun karena tidak dibutuhkan lagi.
4.2.5. Perkembangan Tingkat Inflasi
Inflasi merupakan proses kenaikan harga-harga barang yang berlangsung secara terus-menerus yang terjadi dalam satu periode tertentu dan biasanya dalam
jangka waktu satu tahun. Perkembangan tingkat inflasi di Surabaya dari tahun 1992 sampai dengan
tahun 2006 selengkapnya tersaji pada tabel 5 berikut ini :
Tabel 5 : Perkembangan Tingkat Inflasi Di Surabaya Tahun 1992-2006 dalam satuan presentase
Tahun Tingkat Inflasi
Perkembangan
1992 5,28 -
1993 10,19 92,99
1994 8,25 -
19,03 1995 7,80
- 5,46
1996 6,68 -
14,35 1997 9,11
36,37 1998 95,21
945,12 1999 1,39
-98,54 2000 10,46
652,52 2001 14,13
35,08 2002 9,15
- 35,24
2003 4,79 -
47,65 2004 5,92
23,59 2005 14,12
138,52 2006 6,71
- 52,47
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah
Berdasarkan pada
tabel 5 diatas, perkembangan tingkat inflasi dari tahun 1992-2006 berfluktuasi. Perkembangan tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun
1998 dengan perkembangan tingkat inflasi sebesar 945,12 atau mengalami peningkatan dari 9,11 menjadi 95,21 . Dan perkembangan tingkat inflasi yang
terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar -98,54 atau mengalami penurunan dari 95,21 menjadi 1,39 . Tingginya inflasi terjadi dikarenakan terjadinya krisis
moneter berkepanjangan dan karena adanya pergantian kepala negara republik Indonesia, dan ini sangat mempengaruhi tingkat inflasi di semua kota termasuk
Surabaya.
4.3. Analisis dan Pengujian Hipotesis 4.3.1.
Pengujian Hasil Analisis Analisis Regresi Linier Berganda Sesuai Dengan Asumsi Klasik Best Linear Unbiassed Estimator
Sebelum kita uji persamaan regresi linier berganda sesuai dengan pengujian secara simultan maupun parsial, maka kita lihat terlebih dahulu apakah
Y = β
+ β
1
X
1
+ β
2
X
2
+ β
3
X
3
+ β
4
X
4
yang diasumsikan tidak terjadi pengaruh antar variabel bebas atau regresi bersifat BLUE Best Linear Unbiassed Estimator,
artinya koefisien regresi pada persamaan tersebut benar-benar linear tidak bias.
1. Pengujian Autokorelasi
Asumsi pertama dari regresi linier adalah ada atau tidaknya autokorelasi yang dilihat dari besarnya nilai Durbin Watson. Dalam analisis nilai Durbin
Watson adalah sebesar 1.228. Untuk mengetahui ada atau tidaknya gejala autokorelasi, maka perlu dilihat tabel Durbin Watson. Jumlah variabel bebas
adalah tiga buah K=4 dan jumlah data adalah sebanyak 15 tahun n=15 maka diperoleh D
L
= 0,688 dan D
U
= 1,977. Selanjutnya nilai tersebut diplotkan ke dalam kurva Durbin Watson.
Berdasarkan kurva Durbin Watson maka dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi berada pada daerah keragu-raguan.
Gambar 6 : Kurva Durbin Watson
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa nilai DW berada pada daerah keragu-raguan hal itu disebabkan karena ada kemungkinan terjadi korelasi
antara komponen pengganggu ke-t dengan komponen pengganggu ke t-1.
2. Pengujian Multikolinieritas
Asumsi klasik kedua adalah ada atau tidaknya multikolinearitas antara sesama variabel bebas yang ada dalam model dengan kata lain tidak adanya
hubungan sempurna antara variabel bebas yang ada dalam model. Identifikasi secara statistik atau tidaknya gejala multikolinier dapat
dilakukan dengan menghitung Variance Inflation Factor VIF, dengan rumus sebagai berikut :
toleransi Rj
VIF 1
1 1
2
Algifari, 1997;79
VIF menyatakan tingkat “pembengkakan” varians. Apabila VIF lebih kecil dari 10 hal ini berarti tidak ada gejala multikolinearitas.
Ada autokorelasi positif
Ada autokorelasi negatif
Daerah keragua-
raguan Daerah
keragua- raguan
Tidak ada autokorelasi
positif dan tidak
DL = 0,688 DU = 1,977
4 – DU = 2,023 4 – DL = 3,312 1,868