Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan

81 Dengan diundangkannya UUHT ini menghapus dualisme peraturan jaminan yang berhubungan dengan tanah. Di samping itu, diharapkan dengan kehadiran UUHT akan dapat mengantisipasi perkembangan dunia bisnis maupun perbankan mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses pembangunan, pemberi kredit maupun penerima kredit serta pihak-pihak terkait perlu mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat memberikan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

C. Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan

Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Grosse Acte Hyptheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Pasal 14 ayat 2 dan 3 berikut penjelasan UUHT. Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika pada suatu saat debitur cedera janji. Dalam pasal 20 Universitas Sumatera Utara 82 Undang-Undang Hak Tanggungan ditetapkan bahwa apabila debitur cedera janji, maka berdasarkan hak yang ada pada pemegang Hak Tanggungan, yaitu: Pertama, janji untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri, melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dan irah-irah yang tercantum pada Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan title eksekutorial yang sama kekuatannya dengan Putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, kreditur dapat melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotek yang ada dalam pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBG. Ketentuan dalam Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte Hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang disebut di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam Pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut, ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya. 33 33 Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan. Universitas Sumatera Utara 83 Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT disebutkan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBG Reglement Acara Hukum Perdata Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. Di samping melalui 2 cara di atas, eksekusi Hak Tanggungan dimungkinkan pula untuk dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, sepanjang hal tersebut disepakati oleh pemegang dan pemberi Hak Tanggungan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Penegasan bahwa sertifikat Hak Tanggungan adalah sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek, dimaksudkan untuk menyamakan persepsi terhadap salah satu dokumen yang harus diserahkan untuk pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, yang sebelumnya sering menimbulkan perbedaan pendapat dan persepsi mengenai tata cara eksekusi Hak Tanggungan. Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat, dengan ciri khas eksekusi “mudah dan pasti”. Akan tetapi, praktiknya tidak demikian. Beberapa ketentuan UUHT tidak tegas, tidak lengkap, serta tidak memperhatikan konfigurasi peraturan dalam sistim hukum yang bverlaku termasuk tentang banyaknya upaya hukum yang bias disalahgunakan untuk menangguhkan lelang eksekusi objek Hak Tanggungan, sehingga justru memicu ketidakpastian. Untuk membatasi hambatan tersebut, diperlukan adanya tambahan ketentuan terutama yang menegaskan bahwa lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan parate eksekusi dilaksanakan tanpa fiat pengadilan. Adapun yang Universitas Sumatera Utara 84 dilaksanakan berdasarkan title eksekutorial Sertifikay Hak Tanggungan sama sekali tidak boleh ditangguhkan kecuali terdapat unsur pidana. Apabila suatu kredit diikat dengan Hak Tanggungan, maka jika debitur nasabah ingkar janji tanah yang dijadikan agunan dapat dieksekusi secara paksa. Bank tidak perlu berpekara ke Pengadilan yang memakan waktu lama, tenaga besar, dan biaya mahal. Bank dapat langsung meminta kepada pengadilan agar mengeksekusi barang jaminan untuk selanjutnya djual lelang. Sebagai dasar permintaan eksekusi barang jaminan oleh bank adalah sertikat hak tanggungan itu mempunyai eksekutorial, sehingga disamakan dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Lebih lanjut dijelaskan Khoidin, eksekusi atas objek Hak Tanggungan dilaksanakan dengan mendasarkan pada pasal 224 Herziene Inlandsch Rglement HIR. Pasal 224 HIR bersifat limitatif, artinya yang dapat dieksekusi secara paksa atas perintah pengadilan hanyalah grose akta hipotik dan surat-surat utang. Persoalannya, apakah sertifikat hak tanggungan yang ditetapkan sebagai pengganti grose akta hipotik telah memenuhi ketentuam Pasal 224 HIR. Secara historis, title eksekutorial pada awalnya diletakkan pada grose akta hipotik, lalu dipindah ke sertifikat hipotik dan terakhir pada sertifikat hak tanggungan. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria No 15 Tahun 1961, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 594.33102Agr 9 Sep 1987; SE Kepala Badan Pertanahan Nasional No 594.3239KBPN 29 Des 1988 dan dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Universitas Sumatera Utara 85 Pengalihan titel eksekutorial dari grose akta hpotik ke sertifikat hipotik lalu ke sertifikat Hak Tanggungan merupakan penyimpangan terhadap Pasal 224 HIR yang bersifat memaksa. Khoidin membenarkan pendapat tersebut. Menurutnya, kendati pengalihan tersebut dikukuhkan dengan undang-undang juga kurang tepat, karena UU No.4 Tahun 1996 merupakan hukum materiil bukan hukum formil. Hukum materiil mengatur hak dan kewajiban, sedangkan hukum formil bersifat imperative yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiil. Menurut pasal 224 HIR suatu grose dari akta hipotik dan surat utang yang dibuat di hadapan notaries di Indonesia, di mana pada kepalanya memakai kalimat Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim. Pengaturan eksekusi grose akta dalam Pasal 224 HIR tersebut dimaksudkan untuk memperlancar kegiatan di bidang ekonomi, yaitu agar pelaku usaha dapat menyelesaikan sengketa utang-piutang dan kredit macet secara cepat dan tepat. Di samping itu, Pasal 224 HIR juga bertujuan mengurangi beban hakim dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang, karena tidak perlu memeriksa perkara melalui persidangan, sehingga dapat mereduksi penumpukan perkara di lembaga peradilan. Kongesti perkara yang mengakibatkan inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi sangat tidak disukai oelh pelaku usaha yang mengedepankan prinsip efektif dan efisien dengan menekankan serendah mungkin ongkos produksi. Undang-Undang mengambil sebagian wewenang hakim dalam menerbitkan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, selanjutnya Universitas Sumatera Utara 86 diberikan kepada notaris selaku satu-satunya pejabat umum. Dengan demikian maka notaris berwenang menerbitkan grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dieksekusi seperti putusan hakim. Pelaksanaan wewenang notaris untuk menerbitkan grose akta tersebut tetap berada di bawah pengawasan hakim selaku organ kekuasaan yudikatif. Dalam hal pengadilan menilai terdapat kekeliruan, kesalahan, atau tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil dalam grose akta, maka dapat menilak untuk menjalankan eksekusi. Pemberian fiat eksekusi dilakukan ketua pengadilan negeri karena notaris diawasi hakim. Jadi, dengan adanyaPasal 224 HIR penyelesaian sengketa utang-piutang atau kredit macet dapat berjalan efektif dan efisien sesuai prinsip ekonomi tanpa meninggalkan sistem hukum yang berlaku. Sertifikat hak tanggungan tidak memenuhi syarat sebagai grose akta menurut Pasal 224 HIR, karena pertama, tidak dibuat oleh pejabat umum satu- satunya yang ditunjuk oleh undang-undang, dan bukan merupakan salinan dari minuta akta yang dibuat dan disimpan oleh pejabat umum. Kedua, pencantuman irah-irah pada sampul sertifikat hak tanggungan tidak sesuai ketentuan penempatan titel eksekutorial sebagaimana diatur undang-undang. Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Ketentuan ayat ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh undang-undang ini bagi para kreditor pemegang Hak Tanggungan Universitas Sumatera Utara 87 dalam hal harus dilakukan eksekusi. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanyamenjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Ketiga, sertifikat hak tanggungan cacat yuridis. Kepala kantor pertanahan selaku pejabat administrasi Negara melakukan tindakan di luar kewenangannya, yaitu melegalisasi salinan APHT yang tidak dibuat olehnya. Keempat, dalam sertifikat hak tanggungan tidak terdapat ketentuan yang bersifat condemnatoir seperti putusan hakim dan grose akta notariil, sehingga sertifikat Hak Tanggungan tidak dapat disamakan kualitasnya dengan putusan hakim. Sertifikat Hak Tanggungan hanya berisi pernyataan konstitutif dari pejabat yang menerbitkan, yakni uraian tentang objek, subjek, dan jumlah utang yang dijamin. Pernyataan tersebut tidak memerlukan indakan eksekusi, karena sudah mengikat sejak pernyataan dibuat. Dengan demikian, jika sertifikat hak tanggungan hendak dipersamakan dengan putusan hakim, maka kualitasnya adalah sama dengan putusan deklaratoir, sehingga tidak dapat dieksekusi meski diberi titel eksekutorial. Konstruksi sertifikat Hak Tanggungan yang diberi titel eksekutorial bertentangan dengan sistem hukum, terutama jika dikaitkan dengan fungsi keadilan sebagai institusi yang memberikan fiat eksekusi. Konstruksi yang benar Universitas Sumatera Utara 88 terdapat dalam Pasal 224 HIR, yakni titel eksekutorial ditempatkan pada grose akta hipotik yang dibuat oleh notaries yang diawasi hakim. Oleh karena itu, jika grose akta tersebut hendak dieksekusi secara paksa harus meminta fiat eksekusi kepada pengadilan. Agar eksekusi Hak Tanggungan dapat dilaksanakan menurut Pasal 224 HIR, maka titel eksekutorial harus dicantumkan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT yang dibuat oleh pejabat umum, bukan pada sertifikat hak tanggungannya. Oleh karena itu, pada sertifikat Hak Tanggungan tidak perlu diberi titel eksekutorial. Meski sertifikat Hak Tanggungan diberi titel eksekutorial tetap tidak dapat dieksekusi noneksekutabel karena di dalamnya tidak terdapat klausul yang bersifat condemnatoir. Pendaftaran hak tanggungan seharusnya menggunakan sistem registration of deed pendaftaran akta, bukan registration of title pendaftaran hak. Di Indonesia pernah digunakan sistem pendaftaran akta berdasarkan Overschrijvingsordonanstie Stb. 1934. No. 27, termasuk dalam pendaftaran hipotik dan credietverband Stb. 1909. No. 584. Namun berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 sistem pendaftaran akta diganti dengan sistem pendaftaran hak. Dengan sistem pendaftaran akta, yang didaftarkan adalah akta pemberian haknya. Salinan APHT tanpa titel eksekutorial yang dibuat oleh pejabat umum diserahkan ke kantor pertanahan untuk didaftar. Kantor pertanahan tidak perlu membuat buku tanah seperti yang terjadi selama ini. Kantor pertanahan cukup Universitas Sumatera Utara 89 mencatat adanya Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya tanpa membuat buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan. Sedang pada grose APHT yang mempunyai titel eksekutorial dibubuhi catatan bahwa hak tanggungan tersebut telah didaftarkan guna memenuhi asas publisitas, kemudian ditandatangani oleh pejabat kantor pertanahan. Kantor pertanahan membuat buku daftar Hak Tanggungan yang sudah didaftarkan dan mengirimkan salinannya ke Pengadilan Negeri untuk diketahui jika kelak dimintakan eksekusi. Grose APHT yang sudah didaftarkan dapat dieksekusi secara paksa atas perintah ketua pengadilan negeri. Apabila pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan tanpa pembuatan buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan maka dapat dilakukan penyederhanaan birokrasi, sehingga menghindari ekonomi biaya tinggi. Di samping, itu proses pendaftarannya dapat dilaksanakan dalam waktu satu hari, karena cukup dilakukan pencatatan mengenai adanya Hak Tanggungan pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya, tanpa harus membuat buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan. Keuntungan lain adalah mencegah kolusi dan korupsi. Selama ini pendaftaran Hak Tanggungan sangat birokratis, karena melalui banyak meja sebagai akibat harus dibuat buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan. Setiap meja harus disediakan biaya siluman jika ingin prosesnya cepat. Apabila digunakan sistem pendaftaran akta, maka tidak perlu melalui banyak meja, karena Universitas Sumatera Utara 90 cukup dilakukan pencatatan pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya, sehingga menghemat biaya. Apabila pemerintah tetap menghendaki pendaftaran Hak Tanggungan menggunakan sistem pendaftaran hak dengan pembuatan buku tanah dan sertifikat hak tanggungan, maka pada sertifikat Hak Tanggungan tidak perlu diberi titel eksekutorial. Mengapa demikian? Karena fungsi serifikat Hak Tanggungan hanya sebagai tanda adanya lahirnya Hak Tanggungan dan untuk memenuhi asas publisitas. Oleh karena itu, titel eksekutorial dicantumkan pada grose APHT-nya bukan pada sertifikatnya. Jadi, dari proses pendaftaran hak diterbitkan sertikat Hak Tanggungan yang berisi salinan buku tanah tanpa dilampiri salinan APHT. Pada grose APHT dibubuhi catatan bahwa Hak Tanggungan telah didaftar, lalu grose tersebut diserahkan pada pemegang Hak Tanggungan. Pada kepala grose APHT diberi titel eksekutorial, sedang pada bagian akhir diberi catatan diberikan sebagai grose pertama dengan menyebut nama kreditor selakupemegang grose. Apabila konstruksi sertifikat Hak Tanggungan dibuat seperti tersebut di atas, maka dapat dilakukan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR. Dengan demikian, yang dieksekusi adalah grose APHT yang dibuat pejabat umum, sedangkan keberadaan sertifikat Hak Tanggungan untuk memenuhi syarat bagi permintaan fiat eksekusi kepada pengadilan. Pembuatan APHT seharusnya diserahkan pada notaris selaku satu-satunya pejabat umum,sedang jabatan PPAT dihapus saja. Universitas Sumatera Utara 91 Dari uraian di atas ternyata pengertian eksekusi grosse actesertifikat Hak Tanggungan harus dengan perintah dan di bawah pengawasan Ketua Pengadilan Negeri telah dimasukkan kedalam pengertian parate eksekusi. Konseptor UUHT ternaa kurang memahami perbedaan ketentuan parate eksekusi hipotik pertama ex Pasal 1178 BW dengan ketentuan eksekusi grosse akte hipotik ex Pasal 224 HIR258 RBG. Akibatnya dalam UUHT pengertian parate eksekusi Hak Tanggungan pertama telah dicampur baur dengan pengertian eksekusi grosse akta Hak Tanggungan. Menurut hemat penulis dan sesuai dengan praktik, tidak semua dokumen eksekutorial dapat dieksekusi dengan cara parate eksekusi. Dokumen eksekutorial atau grosse acte yang tergolong parate eksekusi adalah dokumen dengan hak yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT berikut penjelasannya. Selanjutnya, apa yang dijelaskan dalam penjelasan umum butir 9 dan penjelasan Pasal 14 ayat 2 dan 3 serta penjelasan Pasal 26 UUHT adalah tergolong grosse acte atau dokumen eksekutorial yang tidak tergolong parate eksekusi karena harus atas persetujuan dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Dari banyak kasus yang dirangkum oleh Adrian Sutedi,S.H.,M.H. diperoleh hasil eksekusi lelang titel eksekutorial Hak Tanggungan oleh kreditur Bank Swasta melalui Pengadilan Negeri sebagai berikut 34 34 Adrian Sutedi,S.H.,M.H., Hukum Hak Tanggungan Jakarta: Sinar Grafika,2012, hlm.125. : Universitas Sumatera Utara 92 1. Proses eksekusi di pengadilan cukup lama. Hal itu antara lain disebabkan oleh tindakan penyitaan objek Hak Tanggungan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan oleh Pengadilan Negeri. 2. Proses pelelangan oleh Juru Lelang Pejabat Lelang relative masih kurang baik. Hal ini terutama karena keadaan Juru Lelang pada KLN KP2LN kurang memadai. 3. Biaya eksekusi dan biaya pelelangan bea pajak, dan lain-lain sangat tinggi. Seluruh biaya yang dimaksud pada akhirnya atau pada hakikatnya akan mengurangi hasil lelang eksekusi Hak Tanggungan dan menjadi beban debitur. 4. Keadaan objek Hak Tanggungan pada umumnya masih tergolong baik dalam arti menutup utang dan marketable. 5. Pembelian objek Hak Tanggungan oleh Kreditor Bank Swasta belum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku efektif. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Peraturan Pelaksanaan Pasal 6 huruf k Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 hanya memungkinkan pembelian agunan tanah oleh Bank Pemerintah. Universitas Sumatera Utara 93

BAB V PENUTUP

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Perjanjian Kerja Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Menurut Hukum Islam.

0 0 15

penerapan asas-asas hak tanggungan dalam pelaksanaan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan di PT.Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Cabang Surakarta.

0 1 129

Pengawasan Perumahan Bersubsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo.

0 1 15

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

0 0 48

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

0 0 82

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 3. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Kredit Perumahan Menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Pada Perumahan Alamanda Indah Medan

0 0 29

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI PERUMAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN

1 1 12

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung jawab developer dalam perjanjian pengikatan jual beli perumahan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 19

PERANAN NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN KREDIT PEMILIKAN RUMAH MELALUI PERJANJIAN BAKU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - Unissula Repository

0 0 24