Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman

(1)

(2)

(3)

ABSTRAK *Santa Franesia **Muhammad Husni ***Rosnidar Sembiring

Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (2) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pada Pasal 43 ayat (3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah, bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis sebagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut UU Nomor 1 Tahun 2011.

Hasil pembahasan menjelaskan Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kata Kunci : Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Hak Tanggungan, Eksekusi Sertifikat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun skripsi ini berjudul : “Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, M.Hum. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O. k. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak M. Husni, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosem Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu serta Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis. 9. Kepada Papa, I. Sihite; Mama, R. Sianturi; Kakak, Jeny Van Ony Sihite,

SE; Adik, Hans Topril Sihite dan Moreno Leo Sihite, atas segala perhatian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Kepada sahabat-sahabat, Danny Tambunan, Dian Stevany Tongli, Daniella Ambarita, Hanny Silalahi, Monica Sari Tarigan, Venny Rahmatunisa, dan


(6)

Dandy Tarigan, yang telah memberikan dukungan dan doa selama menjalani perkulihan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 11.Kepada Mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara stambuk 2010, selama menjalani perkuliahan.

12.Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2014


(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata pengantar ... ii

Daftar isi ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat penulisan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN ... 12

A. Pengertian Perjanjian Kredit, Asas-Asas Perkreditan , Serta Fungsi Kredit ... 12

B. Analisis Terhadap Permohonan Kredit dan Berakhirnya Perjanjian Kredit ... 21

C. Pengertian Hak Tanggungan, Dasar Hukum, Serta Asas – asas Hak Tanggugan ... 29

D. Objek dan Subjek Hukum Hak Tanggungan Serta Tahap – Tahap Pemberian (Pembebanan) Hak Tanggungan ... 38


(8)

BAB III UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN

KAWASAN PERMUKIMAN ... 49

A. Pengertian Perumahan dan Kawasan Permukiman ... 49

B. Asas, Tujuan dan Rauang Lingkup Perumahan dan Kawasa Permukiman ... 49

C. Hak dan Kewajiban para Pihak dan Larangan ... 60

D. Penyelesaian Sengketa di Bidang Perumahan ... 64

BAB IV PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH MENURUT UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN ... 68

A. Pengaturan dan Penyelengaraan Kredit Atau Pemilikan Rumah dan UU No 1 Tahun 2011 ... 68

B. Hak dan Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ... 73

C. Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan ... 81

BAB V PENUTUP ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 95


(9)

ABSTRAK *Santa Franesia **Muhammad Husni ***Rosnidar Sembiring

Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (2) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pada Pasal 43 ayat (3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah, bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis sebagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut UU Nomor 1 Tahun 2011.

Hasil pembahasan menjelaskan Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kata Kunci : Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Hak Tanggungan, Eksekusi Sertifikat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, rumah merupakan kebutuhan dasar manusia mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.1 Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau didalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan diseluruh wilayah Indonesia.2

Perwujudan kesejahteraan rakyat ditandai dengan meningkatnya kehidupan yang layak dan bermartabat serta cukupnya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.3

1

Konsiderans a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

2

Konsiderans b Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

3

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 1.

Sandang, pangan dan papan sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Sandang dan pangan merupakan suatu kebutuhan yang selalu berulang dibutuhkan dalam jangka panjang, namun dapat diperoleh dalam waktu yang


(11)

relatif singkat serta mudah diperoleh setiap saat. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan akan papan masih dirasakan berat oleh sebagian besar masyarakat. Secara umum, ada 2 (dua) pola dalam upaya pemenuhan akan kebutuhan perumahan, yakni dalam bentuk kredit kepemilikan rumah atau melalui sewa.

Menurut Undang-Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman pasal 1 ayat 7, Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan hunian pembinaan keluarga”4

4

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perubahan AtasUndang Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman.

, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, Pasal 1 Ayat 2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

Pembangunan perumahan merupakan salah satu hal penting dalam strategi pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan ketahanan nasional. Terkait hal tersebut maka pembangunan perumahan dan permukiman sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman ditujukan untuk ;


(12)

1. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

2. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta

penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;

3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan;

4. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang

pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;

5. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan

6. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Sasaran pembangunan perumahan dan permukiman adalah untuk menciptakan lingkungan dan ruang hidup manusia yang sesuai dengan kebutuhan hidup yang hakiki, yaitu agar terpenuhinya kebutuhan akan keamanan, perlindungan, ketenangan, pengembangan diri, kesehatan dan keindahan serta kebutuhan lainnya dalam pelestarian hidup manusiawi.

Tingginya permintaan akan rumah dan perumahan menjadi peluang usaha bagi perusahaan yang bergerak dibidang perumahan (pengembang) untuk membangun rumah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Permasalahan dalam hal ini untuk mendapatkan rumah tidaklah mudah karena butuh biaya yang relatif besar, dan untuk mengatasi masalah tersebut maka masyarakat dalam membeli rumah dapat membayar secara tunai atau melalui angsuran. Bagi masyarakat yang tidak dapat membayar tunai dapat memiliki rumah dengan cara kredit melalui bank atau dalam masyarakat dikenal dengan


(13)

Kredit Pemilikan Rumah (KPR). KPR merupakan salah satu cara bagi setiap orang untuk mendapatkan rumah selain pembelian dengan cara tunai ataupun angsuran bertahap.

Kredit Pemilikan Rumah adalah salah satu fasilitas kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah khususnya dalam jual beli rumah. Pelayanan kredit ini diberikan hampir semua bank yang mempunyai fasilitas Kredit Pemilikan Rumah baik bank-bank swasta ataupun bank Pemerintah. Perkataan kredit tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi diatur oleh undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, Pasal 1 ayat (11) sebagamana telah disebutkan diatas.

Pengertian Pasal 1 ayat (11) tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian meminjam uang antara bank sebagai lembaga keuangan dan bertidak sebagai kreditur dengan nasabah atau debitur. Dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya, bahwa dalam jangka waktu yang disepakatinya akan dikembalikan atau dibayar lunas.

Kredit Pemilikan Rumah termasuk dalam lingkup perjanjian, Perjanjian adalah terjemahan dari kons overenkomst, Hukum Perjanjian, yang diartikan sebagai peristiwa hukum sebagaimana di kemukakan sebagai berikut: Supaya perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak yang membuatnya, menyangkut para pihak yang bersangkutan maka perjanjian itu harus dibuat secara


(14)

sah.5 Dari segi bahasa dapat pula diterjemahkan dengan persetujuan. Subekti mengartikannya sebagai perbuatan hukum, sebagaimana terlihat dari terjemahan yang dilakukannya terhadap isi Pasal 1313 KUHPerdata, yang bunyinya: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 6

Pemerintah perlu lebih berperan dalam penyelenggaraan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah,dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa, agar setiap orang mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit harus ditandatangani oleh kedua belah pihak (bank dan debitur) yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.15

7

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan yang berkaitan dengan perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada

5

Ibid, hal. 39.

6

Subekti, Hukum Perjanjian, hal. 37.

7

Konsiderans c Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.


(15)

Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, di sini yang akan penulis fokuskan adalah masalah Pengaturan dan Penyelenggaraan Kredit atau Pembiayaan pemilikan rumah, Hak Tanggungan yang dapat dijadikan Jaminan Kredit, dan Hak kewajiban,Larangan, serta Penyelesaian sengketa di bidang perumahan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman?

2. Bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah?

3. Bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:


(16)

1. Untuk mengetahui pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

2. Untuk mengetahui hak tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, larangan, serta upaya dalam penyelesaian sengketa di bidang perumahan

D.Manfaat Penulisan

Manfaat dari Penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian kredit pemilikan rumah.

b. Memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum perbankan dan bidang perkreditan yaitu kredit pemilikan rumah.

c. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang.

2. Manfaat secara Praktis

a. Memberi sumbangan pengetahuan kepada Pemerintah tentang KPR untuk MBR.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat pada umumnya dan dunia perbankan pada khusus nya tentang KPR.


(17)

c. Menberikan penjelasan serta pengetahuan bagi pihak developer dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh penulis dari berbagai sumber, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Perjanjian Krdit Pemilikan Rumah Menurut UUNo 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman belum pernah diteliti sebelumnya dan ini merupakan penulisan yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian penulisan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, sebab penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan penelitian yang diterapkan adalah penelitian hukum normatif 8

2. Data

Disebut penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis.

8

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal 2.


(18)

Data yang dikumpulkan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data sekunder. Metode pengumpulan data sekunder terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini, yang digunakan adalah Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tetang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan beberapa peraturan yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu berupa bahan yang berhubungan dengan topic penulisan skripsi ini, buku-buku karangan para sarjana,, makalah, jurnal.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, website internetdan lain-lain.

3. Alat Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teorities ilmiahbyang dapat dipergunakan


(19)

sebagai dasar dalam pnelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.

b. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pada Bab I, penulis menguraikan tentang hal-hal umum yang mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, manfaat dan tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran umum tentang perjanjian kredit yang dimulai dengan definisi perjanjian kredit, asa dan fungsi kredit, analisis terhadap permohonan kredit dan berakhirnya perjanjian kredit, pengertian hak tanggungan, subyek dan obyek hak tanggungan, sifat-sifat hak tanggungan, dan tahap-tahap pemberian (pembebanan) hak tanggungan.

BAB III : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran mengenai perumahan dan kawasan permukiman menurut UU No 1 Tahun 2011 dimulai dari definisi perumahan dan kawasan permukiman, asas, tujuan, dan ruang lingkup perumahan dan kawasan permukiman, penyelenggaraan perumahan dan kawasan


(20)

permukiman, dan pencegahan serta peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh.

BAB IV : Dalam Bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan yakni pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011, hak tanggungan yang dapat dijadikan jaminan kredit, dan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.

BAB V : Dalam Bab terakhir ini, penulisan memberikan kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang mudah-mudahan berguna bagi perkembangan ilmu hukum.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Perjanjian Kredit, asas-asas perkreditan, serta fungsi kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Perihal ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dengan judul “Tentang Perikatan. Kata perikatan ini mempunyai arti yang lebih lugasbdaripada perikatan/perjanjian, sebab kata perikatan tidak hanya mengandung pengertian hubungan hukum yang timbul dari perjanjian saja, tetapi juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari undang-undang, tidak memerlukan adanya suatu persetujuan.

Untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan saksi-saksi juga itikad baik pihak-pihak diharapkan dlam perjanjian.

Menurut pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana yang satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang


(22)

atau lebih’. Jika diperhatiakan dengan seksama rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjianakan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebig orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.9

9

Kartini Muljadi, et.al., Seri Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, hal.92.

Dalam pembuatan perjanjian sekuramg-kurangnya harus memperhatikan: keabsahan dan persyaratan secara hukum, juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kredit serta persyaratan lainnya yang harus diperhatikan dalam perjanjian kredit.

Perjanjian Kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata yaitu pada Pasal1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata.

Perjanjian kredit seperti diuraikan tersebut di atas, yang menunjukkan unsur pinjam meminjam didalamnya yaitu pinjam meminjam antara bank dengan pihak debitur. Menurut Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan bahwa:


(23)

“Pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula’.

Pada pasal 1754 KUHPerdata intinya menyebutkan, bahwa perjanjian simpan-meminjam merupakan perjanjian yang isinya pihak pertama menyerahkan suatu barang yang dapat diganti, sedangkan pihak kedua berkewajiban mengembalikan barang dalam jumlah dan kualitas yang sama. Subekti menyatakan: dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah sesuatu perjanjian simpan-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.10

Dari pengertian kredit pada Pasal 1 angka (11) UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia perjanjian kredit belum diatur secara tegas. Umdang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam Pasal 1 angka (11) tidak dijumpai penegertian perjanjian kredit, hanya ditemukan “…berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain…”, demikian pula dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijumpai penegertian lebih lanjut tentang perjanjian kredit.

10

Subekti, jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal 13.


(24)

nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam (debitur).

Pembuatan perjanjian kredit tersebut diartikan diperlukan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak , sehingga apabila terjadi permasalahan di kemudian hari maka para yang berkepentingan dalam perjanjian kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah dirugikan.

Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian kredit berarti setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalm SK Direksi Bank Indonesia No 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 17/7/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang perjanjian kredit yang dinyatakan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakti pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Baik dibawah tangan maupum dihadapan Notaris.

Ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. Dalam perjanjian kredit tersebut tidak dapat ditentukan apa yang harus dimasukkan, karena ada perubahan-perubahan dalam kebutuhan pelayanan yang spesifik. Syarat-syarat tersebut diperjanjikan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dari debitur sehingga tidak mungkin dibuatkan formulir perjanjian yang sama untuk semua debitur.


(25)

Dalam membuat perjanjian kredit terdapat beberapa judul dalam praktek perbankan tidak sama satu sama lain, ada yang menggunakan perjanjian krdit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan lain sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian tersebut berbeda-beda tetap secara yuridis isi perjanjian pada hakikatnya sama yaitu memberikan pinjaman uang.

Mengenai pembakuan bentuk draft isi perjanjian kredit, antara bank sendiri belum terdapat kesepakatan. Namunmengenai isi perjanjian kredit seperti dikemukakan dalam oleh Hasanuddin, pada pokoknya selalu memuat hal-hal berikut:11

a. Jumlah maksimum kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya. b. Besarnya bunga kredit dan biaya-biaya lainnya.

c. Jangka waktu pembayaran kredit.

d. Ada dua jangka waktu pembayaran yang digunakan, yaitujangka waktu angsuran biasanya secara bulanan dan jangka waktu kredit.

e. Cara pembayaran kredit. f. Klausula jatuh tempo.

g. Barang jaminan kredit dan kekuasaan yang menyertainya serta persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak, dan asuransi atas barang jaminan.

h. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur, termasuk hak bank untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kredit.

i. Biaya akta dan biaya penagihan hutang yang juga harus dibayar debitur.

11

Hassanudin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal.60.


(26)

2. Fungsi dan Jenis-Jenis Kredit

Fungsi utama dari kredit pada dasarnya adalah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, mendorong prtumbuhan produksi, jasa-jasa pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia.

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang lebih baik. Maksudnya, baik bagi debitur maupun kreditur mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambar apabila mereka memperoleh keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan, dan masyarakat ataupun Negara mengalami suatu penambahan dari penambahan pajak, juga kemajuan ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun makro. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi :12

1) Meningkatkan daya guna uang;

2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang; 3) Meningkatkan daya guna dan peredaran uang; 4) Salah satu alat stabilitas ekonomi;

5) Meningkatkan kegairan berusaha; 6) Meningkatkan pemerataan pendapatan;

12

Thomas Suyatno, et.al., Dasar-Dasar Perkreditan, Cetakan Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1990, hlm. 12-13.


(27)

7) Meningkatkan hubungan Internasional.

Beragamnya jenis usaha, menyebabkan beragam pula kebutuhan akan dana. Kebutuhan akan dana. Kebutuhan dana yang beragam menyebabkan jenis kredit juga menjadi beragam. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dana yang diinginkan nasabah.

Dari segi tujuan kredit, jenis kredit terdiri atas :13

a) Kredit Konsumtif

Yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari.

b) Kredit Produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi.

Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru.

Kredit eksploitasiyaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi, serta piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku pendek. Di Indonesia jenis

13

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 488.


(28)

kredit eksploitasi ini boleh dikatakan sudah dilakukan sejak lama yaitu sejak tahun 1950-an.14

c) Perpaduan antara Kredit Konsumtif dan Kredit Produktif.

Khusus untuk pemerintahan daerah, kredit atau pinjaman daerah hanya diperkenankan untuk alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutup kekurangan kas. Namun, dimugkinkan pinjaman daerah dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Menurut Kasmir, kredit produktif merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal kerja atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha yang dibiayai. Sedangkan kredit konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan konsumsi, baik pangan, sandang, maupun papan. Contoh jenis kredit ini adalah kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor yang kesemuanya untuk dipakai sendiri.15

Menurut Muchdarsyah Sinungan kredit konsumtif adalah kredit yang dipergunakan oleh peminjam untuk keprluan konsumsi, artinya uang kredit akan habis terpakai untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kredit produktif

14

Faried Wijaya, et.al., Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1991, hlm. 60.

15


(29)

digunakan untuk kebutuhannya. Sedangkan kredit produktif digunakan untuk peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.16

Kredit Pemilikan Rumah dalam hal ini tergolong dalam kredit konsumtif di mana pengertian dimana pengertian kredit pemilikan rumah adalah kredit yang diberikan oleh suatu lembaga keuangan atau bank yang bertindak sebagai kreditur kepada debitur yang tidak mempunyai dana yang cukup untuk membeli rumah beserta tanah secara tunai.17

1) Penjual, yaitu pihak yang memiliki rumah baik itu perorangan maupun pengembang yang menyediakan perumahan dan bermaksud menjual rumah tersebut kepada yang membutuhkan.

Dengan demikian pengertian Kredit Pemilikan Rumah adalah kredit yang diberikan oleh bank untuk membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah rumah berikut tanahnya untuk dimiliki.

Menurut Pasal 43 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa pemilikan rumah sebgaimana disebutkan dalam ayat (1) dapat difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan rumah dan dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.

Ada beberapa pihak yang saling terkait dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yaitu :

16

Op Cit., hlm 20-21.

17


(30)

2) Pembeli yaitu pihak yang dalam hal ini membutuhkan rumah berikut tanahnya, tetapi tidak cukuo dananya untuk membeli rumah tersebut secara tunai.

3) Bank, dalam hal ini pihak yang bersedia menyediakan/menyalurkan dananya.

B. Analisis Terhadap Permohonan Kredit dan Berakhirnya Perjanjian Kredit

1. Analisis Terhadap Permohonan Kredit

Menurut Kasmir (2003:117-119), prinsip-prinsip pemberian kredit yang biasa digunakan oleh kreditur, yang biasa dikenal dengan prinsip 5C, 4P yaitu :

1. Karakter (character)

Merupakan sifat atau watak seseorang. Untuk dapat melihat watak atau sifat dari calon pelanggan dapat dilihat dari latar belakang sipelanggan, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi.

2. Kemampuan (capacity)

Merupakan analisis untuk mengetahui kemampuan debitur dalam membayar kredit, dari penilaian ini terlihat kemampuan debitur atau pelanggan dalam mengelola bisnisnya. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya dalam mengelola usahanya, sehingga akan terlihat kemampuannya dalam membayar kredit yang telah diberikan.


(31)

3. Modal (capital)

Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan dengan melakukan pengukuran dari segi likuiditas, solvabilitas dan rentabilitasnya.

4. Kondisi ekonomi (condition of economy)

Dalam menilai pemberian kredit hendaknya juga dinilai dari kondisi ekonomi, social, dan politik yang ada sekarang dan prediksi yang akan datang.

5. Jaminan (collateral)

Merupakan jaminan yang diberikan oleh pelanggan atau debitur yang bersifat fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah permohonan pemberian kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya dan kesempurnaannya, sehingga jika terjadi suatu masalah maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.

6. Kepribadian (personality)

Merupakan segi yang subjektif namun menjadi suatu yang penting dalam penentuan pemberian kredit sehingga perlu dikumpulkan data-data mengenai calon pelanggan atau debitur tersebut.

7. Tujuan (purpose)

Yang menjadi sorotan dari segi ini yaitu menyangkut tujuan penggunaan kredit tersebut tidak mengandung spekulatif.


(32)

8. Masa depan (prospect)

Artinya masa depan dari kegiatan yang mendapatkan pemberian kredit tersebut, adapun unsure-unsur yang dapat menjadi penilaian mengenai masa depan tersebut diantaranya mengenai pengelolaan bidang usaha, kebijakan pemerintah dan sebagainya.

9. Cara pembayaran (payment)

Cara pembayarannya, misalya mengenai kelancaran aliran dana (cash flow).

Prinsip-prinsip yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu kredit dapat dilihat dari 5 prinsip yaitu, watak, kemampuan, modal kondisi perekonomian dan jaminan. Dari kelima prinsip yang telah disebutkan antara lain merupakan bagian yang paling penting adalah bagi kreditur untuk memberikan kredit ke calon debitur ada pada prinsip watak, karena watak merupakan sifat dasar yang membuat pola piker seseorang dan tingkah lakunya menjadi suatu hal yang yang baik atau tidak baik, dalam proses pemberian kredit ini walaupun calon debitur memenuhi dalam empat prinsip yang lain tanpa memenuhi prinsip watak akan sulit menagih atau dalam penyelesian pembayaran kredit suatu saat nanti dikarenakan ada indikasi tidak ada itikad baik atau bisa disebut masuk ke daftar orang tercela.

Sistem pemberian kredit adalah ketentuan yang dirancang atau dibuat oleh pihak kreditur dalam proses pemberian kredit dengan maksud mempermudah kreditur untuk melaksanakan pemberian kredit kepada debitur, ketentuan tersebut


(33)

harus dilakukan untuk mencegah resiko kemacetan pelunasan kredit oleh pihak debitur. Sedangkan menurut Thomas Suyatno, dkk (2007:69) adalah :

”Sistem pemberian kredit adalah cara atau ketentuan-ketentuan yang diberlakukan dalam proses pemberian kredit. Sistem pemberian kredit ini bertujuan untuk mempermudah pihak kreditur dalam melakukan penyaluran kredit kepada calon debitur dan juga untuk menghindari terjadinya penyelewengan serta kemacetan dalam pelunasan kredit oleh debitur”.

Pengertian yang telah disampaikan di atas, maka dapat diambil suatu penjelasan bahwa sistem pemberian kredit adalah cara atau ketentuan yang harus dilalui oleh debitur selaku pemohon dan kreditur selaku pemberi dalam proses pemberian kredit. Ini bertujuan untuk mengantisipasi agar kegiatan pemberian kredit tidak melanggar batasan-batasan yang telah di tentukan dan mempermudah pihak kreditur dalam melakukan penyaluran kredit kepada calon, debitur dan juga untuk menghindari terjadinya penyelewangan serta kemacetan dalam pelunasan kredit oleh debitur.

Prosedur pemberian kredit dilakukan dengan beberapa tahap dimana tujuanya adalah untuk memastikan kelayakan suatu kredit, baik itu diterima atau ditolak.

Menurut Thomas Suyatno, dkk (2007:69-87), prosedur pemberian kredit


(34)

1. Pengajuan Permohonan Kredit

Pengajuan permohonan kredit ini mencakup permohonan suatu fasilitas pemberian kredit, persiapan berkas-berkas permohonan kredit, pencatatan suatu permohonan kredit dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan.

2. Penyeleksian Pemberian Kredit

Menurut Djumhana (2000:394) penyeleksian pemberian kredit meliputi 5C, 4P dan 3R yaitu character, sifat-sifat calon pelanggan seperti kejujuran, perilaku dan ketaatannya. Capacity (kemampuan), perhatian yang diberikan terhadap kemampuan calon pelanggan secara umum atau kondisi kekayaan yang dimiliki perusahaan collateral, jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Condition, menunjukkan pengaruh langsung dari tren ekonomi pada umumnya terhadap perusahaan yang bersangkutan yang mungkin mempunyai kemampuan pelanggan dalam memenuhi kewajibannya.

Personality atau kepribadian calon pelanggan merupakan segi yang subjektif namum menjadi suatu yang penting dalam penentuan pemberian kredit. Purpose (tujuan), yang menjadi sorotan dari segi ini yaitu menyangkut tujuan penggunaan kredit tersebut tidak mengandung unsure spekulatif. Prospect atau masa depan dari kegiatan yang mendapatkan pemberian kredit tersebut, adapun unsur-unsur yang dapat menjadi penilaian mengenai prospek tersebut yaitu bidang usaha, kebijakan pemerintah dan sebagainya. Payment atau cara pembayarannya, misalnya mengenai aliran dana (cash flow).


(35)

Return atau balikan maksudnya yaitu hasil yang akan dicapai dari pemberian kredit tersebut. Repayment atau perhitungan pembayaran dari pemberian kredit tersebut. Risk bearing ability atau perhitungan besarnya kemampuan calon pelanggan dalam menghadapi resiko yang tidak terduga.

3. Keputusan Atas Permohonan Kredit

Dalam hal ini, yang dimaksud dalam keputusan atas permohonan kredit adalah menyetujui dan atau mengusulkan permohonan pemberian kredit, harus memperhatikan syarat-syarat umum dalam tahap penyeleksian calon pelanggan.

4. Pelunasan Pemberian Kredit

Dipenuhinya semua kewajiban hutang pelanggan terhadap perusahaan yang berkaitan.

Pendapat yang telah diuraikan di atas mengenai prosedur pemberian kredit, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prosedur yang harus dilalui dalam proses pemberian kredit yaitu pengajuan pemberian kredit, penyeleksian dan analisis data, keputusan atas permohonan kredit, dan pelunasan pemberian kredit. Pada pengajuan pemberian kredit tahap ini dilakukan secara tertulis dan ditujukan ke pihak kteditur, penyeleksian dan anlisis data menggunakan penilaian character, capacity, capital, collateral dan condition (5C), keputusan atas permohonan kredit yaitu menyetujui permohonan kredit dengan memperhatikan syarat-syarat umum tahap penyeleksian calon pelanggan, dan yang terakhir pelunasan pemberian kredit tahap ini melakukan penandatanganan antara pihak kreditur dengan debitur


(36)

secara tertulis perjanjiannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku setelah proses tersebut baru pihak debitur mendapatkan fasilitas kredit yang diinginkan.

2. Berakhirnya Perjanjian Kredit

Suatu perjanjian dapat hapus selain atas persetujuan dari kedua belah pihak, juga dapat hapus karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang yang dinyatakan cukup untuk itu.

Dalam prakteknya, perjanjian kredit bank itu hapus karena:

a. Ditentukan oleh para pihak di dalam perjanjian

b. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya. c. Adanya pernyataan penghentian perjanjian secara sepihak oleh bank.

Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan:18

1) Pembayaran.

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. 3) Pembaharuan utang.

4) Perjumpaan hutang atau kompensasi 5) Pencampuran utang.

6) Pembebasan utang

7) Musnahnya barang yang terutang. 8) Batal/pembatalan

9) Berlakunya syarat batal

18

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung 2008, hal. 105.


(37)

10)Lewatnya waktu

Dalam Pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatan untuk untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.

Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak. Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal KUHPerdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur.

Cara keenam yaitu pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada empat cara terakhir dari Pasal 1381 KUHPerdata maka kreditur tidak menerima prestasi, karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur. Untuk mengetahui di manakah pengaturan dari berlakunya syarat batal, sebagai salah satu cara hapusnya perikatan maka kita harus melihat kepada Bab I KUHPerdata yaitu berturut-turutnPasal 1253 dan seterusnya dan pasal 1266 KUHPerdata.


(38)

C. Pengertian Hak Tanggungan, Dasar Hukum, serta Asas-Asas Hak Tanggungan

1. Pengertian Hak Tanggungan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan sebagai jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:899). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 disebutkan pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud kan dengan hak tanggungan adalah :

“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.”

Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan sebagai berikut ini.

1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah

Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur yang memberikan wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan


(39)

mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil pemjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada hak lain (droit de suite). 19

2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.

3. Untuk pelunasan hutang tertentu

Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur.

4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : “Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan

19


(40)

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan terebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tangungan dengan peringkat yang lebih rendah”. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.

Prof. Budi Harsono mengartikan Hak Tanggungan adalah :

“Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas hutang ebitur kepadanya”.20

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;

Esensi dari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika debitur cedera janji.

Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah dikemukakan cirri hak tanggungan adalah :

2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau disebut dengan Droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan

20Ibid


(41)

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnyamelalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hokum bagi pihak yang berkepentingan; dan

4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditur pemegang hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berbunyi: “Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan, sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu.

2. Dasar Hukum Hak Tanggungan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak atas tanah adalah Bab 21 Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan hipotek dan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan


(42)

Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. Ketidaksesuaian ini karena pada undang-undang lama yang dapat dijadikan objek hipotek dan credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, sedangkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang menjadi objek hak tanggungan tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah dengan hak pakai dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

Lahirnya Undang-Undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah dalam Pasal 51 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33,dan Pasal 39 diatur dalam undang-undang.” Tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang hak tanggungan belum terbentuk maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur di dalam KUH Perdata dan Credietverband. Perintah Pasal 51 UUPA baru terujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 terdiri atas 11 bab dan 31 pasal. Ada 4 pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu:

1. Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi


(43)

kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;

2. Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan yang lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;

3. Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia;

4. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tantang Peraturan Dasar


(44)

Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan;

5. Bahwa berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah meliputi

1. Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

2. Objek Hak Tanggungan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

3. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

4. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan, dan Hapusnya Hak Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

5. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);


(45)

7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

9. Ketentuan penutup (Pasal 27 sampai dengan pasal 31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).

Kebendaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengakhiri dualism hukum yang berlaku dalam pembebanan hak atas tanah. Secara formal pembebanan hak atas tanah berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPA, tetapi secara materiil berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata dan Credietverband.

3. Asas-Asas Hak Tanggungan

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini.

1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996);

3. Hanya dibebani pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat(4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);


(46)

5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru aka nada dikemudian hari (Pasal 4ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996). Dengan syarat diperjanjikan dengan tegas;

6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

8. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

9. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

10.Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;

11.Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

12.Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 13.Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;

14.Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

Di samping itu, dalam undang-undang hak tanggungan ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum,


(47)

artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan substansi undang-undang hak tanggungan.

D. Objek dan Subjek Hukum Hak Tanggungan serta Tahap-tahap pemberian (pembebanan) Hak Tanggungan

1. Objek Hukum Hak Tanggungan

UUPA mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan Hak Tanggungan. Menurut UUPA, Hak Tanggungan dapat dibebankan di atas tanah Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39). Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan undang-undang yakni, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, hal tersebut terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan di dalam Pasal 51 UUPA tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut : a) Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna Bangunan, d) Hak Pakai Atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipidahkan tangankan, e) Hak Ha katas tanah berikut bangunan, tanaman, hasil karya yang telah ada atau aka nada yang merupaka satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan


(48)

milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Khususnya hak pakai, dalam kenyataannya tidak semua Tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Ada Tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara yang walaupun telah terdaftar, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama badan keagamaandan social dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu (khusus), adalah bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Adapun Hak Pakai Atas Tanah Negara yang dapat dipindahtangankan meliputi Hak Pakai yang diberikan krpada orang perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.

Salah satu subjek Hak Pakai adalah orang asing, tetapi tidak semua orang asing dapat ditunjuk sebagai subjek Hak Pakai. Hanya orang asing yang berkedudukan di Indonesia sajalah yang dapat sebagai subjek Hak Pakai. Pengertian berkedudukan di Indonesia bila diartiakn secara sempit adalah bertempat tinggal tetap di Indonesia dan bukan sekedar berada di Indonesia pada waktu-waktu tertentu saja. Bertempat tinggal tetap tidak berarti ia harus terus-menerus berada di Indonesia. Walaupun demikian tempat tinggalnya harus di Indonesia, bukan di negara lain. Tujuan utama diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut bukan dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional, tetapi sekedar untuk memberikan kemungkinan bagi


(49)

orang asing untuk medapatkan/memiliki rumah di Indonesia. Tentunya persyaratan “bermanfaat bagi pembangunan nasional” harus diartikan secara luas, demikian juga dengan pengertian “berkedudukan di Indonesia” tidak harus diartikan bertempat tinggal tetap atau sementara di Indonesia asalkan orang asing tersebut kehadirannya di Indonesia dapat memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.

Apapun bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hakatas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta autentik.

Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untukmemenuhi publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.

Sesuai dengan amanat Pasal 51 UUPA, ha katas tanah yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Di dalam perkembangan kemudian,yaitu menurut Peraturan Menteri Agraria No 1 Tahun 1966 tanggal 5 januari 1966, Hak Pakai Atas Tanah Negara juga wajib didaftarkan, sehingga Hak Pakai tersebut dapat dialihkam. Oleh karena itu, di samping untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Hak Pakai


(50)

atas Tanah Negara tertentu yang memenuhi kedua syarat tersebut juga dapat dijadikan objek Hak Tanggungan

Di samping Hak Pakai atas Tanah Negara, juga ada kemungkinan Hak Pakai terjadi di atas tanah Hak Milik yang sementara ini belum diatur, tetapi oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dibuka kemungkinannya untuk dapat dijadikan objek Hak Tanggungan apabila telah meemnuhi kedua syarat tersebut di atas. Mengenai hal ini akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UU No 4 Tahun 1996).

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (Undang-Undang Hak Tanggungan) ditegaskan bahwa terhadap tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang digunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun memenuhi kedua persyaratan tersebut, karena kekhususan sifat dan tujuan penggunaannya, tidak dapat dijadikan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tersebut juga dijelaskan bahwa Hak pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada orang perorangan atau badan hukumperdata, karena memenuhi kedua syarat tersebut di atas, dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.

Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada intansi Pemerintah, Badan Keagamaan dan Sosial, dan Perwakilan Negara Asing walaupun wajib didaftarkan, tetap karena menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, bukan merupakan objek Hak Tanggungan.


(51)

2. Subjek hukum dalam Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembedaan Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang. Biasanya dalam praktik pemberi Hak Tanggungan disebut dengan debitur, yaitu orang yang meminjamkan uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak Tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.21

3. Tahap-tahap pemberian (pembebanan) Hak Tanggungan

Undang-undang Hak Tanggungan menggunakan istilah pemberian sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 Pasal 3 menggunakan istilah Pemberian dan Pemasangan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman :

“Istilah pembebanan mempunyai arti identik dengan pemberian dan pemasangan. Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari

21

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008, hal. 104.


(52)

rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertifikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan”.22

a. Adanya Perjanjian Kredit

Rangkaian perbuatan hukum pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan memerlukan beberapa tahapan sebagai berikut:

Dibuatnya perjanjian pokok berupa penjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan pinjam meminjam uang antara kreditur dengan debitur. Hal ini sesuai sifat accesoir dari Hak Tanggungan yang pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang.

Pasal 10 ayat (1) UUHT mengatakan :

“Bahwa Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”.

Dalam perjanjian kredit, baru berupa janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertebtu sedangkan pemberian

22


(53)

Hak Tanggungan akan dilakukan dengan akta tersendiri yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT yag dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)).

Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian hutang yang menimbulkan hutang bentuknya:

1. Dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya dibuat oleh kreditur dan debitur atau akta otentik artinya dibuat olrh dan dihadapan notaries.

2. Perjanjian kredit atau perjanjian utang dapat dibuat oleh orang perorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit digunakan untuk kepentingan di wilayah Republik Indonesia.

3. Mengenai tempatnya perjanjian kredit dapat dibuat di dalam/di luar negeri.

b. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Pembebanan Hak Tanggungan yang ditandai dengan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat oleh PPAT yang ditandatangani kreditur sebagai penerimaan Hak Tanggungan dan pemilik hak atas tanah yang dijaminkan (debitur atau pemilik jaminan tapi bukan debitur). Bentuk Akta Pembebanan Hak Tanggungan adalah Akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Akta APHT merupakan bentuk standart yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT.

Pasal 10 ayat (2) UUHT menegaskan pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(54)

Pasal 11 ayat (1) menentukan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan berisi :

1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan

2) Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula dicantumkan satu domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak sicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan dianggap domisili yang dipilih.

3) Penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin. 4) Nilai Hak Tanggungan.

5) Uraian dengan jelas objek Hak Tanggungan.

6) Janji-janji Hak tanggungan yang akan diuraikan tersendiri.

Pemberian Hak Tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT dapat dilakukan melalui dua cara:

a. Penandatanganan APHT dilakukan oleh pemilik jaminan bersamaan dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. b. Dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan


(55)

c. Pendaftaran APHT di Kantor Pertanahan

Pasal 13 ayat (1) UUHT menegaskan Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor Pertanahan. Setelah Kantor Pertanahan menerima Pendaftaran dari PPAT dalam waktu 7 hari setelah APHT ditandatangani, maka Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada serifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Sebagai tanda bukti bahwa akta pembebanan Hak Tanggungan telah didaftarkan di Kantor Pertanahan, maka Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan diberikan kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan.

d. Nilai Hak Tanggungan

Pihak bank yang akan memasang Hak Tanggungan harus menentukan berapa besar nilai Hak Tanggungan yang harus ditetapkan dalam akta Pemberian Hak Tanggungan. Nilai Hak Tanggungan diperlukan untuk menentukan besarnya hak preferent yang dimiliki kreditur jika jaminan dieksekusi.

Nilai Hak Tanggungan adalah penetapan jumlah hutang yang dijaminkan Hak Tanggungan yang tercantum dalam akta pemberian Hak Tanggungan dengan maksud agar jumlah hutang debitur yang meliputi hutang pokok, bunga, dan denda dan biaya lainnya, apabila terjadi eksekusi atas jaminan, kreditur mempunyai kedudukan preferent atau didahului dari kreditur lainnya.


(56)

e. Peringkat Hak Tanggungan

Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan sehingga terdapat pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, peringkat ketiga, dan seterusnya (sesuai Pasal 5 UUHT). Dengan adanya peringkat Hak Tanggunan, maka jika objek Hak Tanggungan dieksekusi (dijual) maka hasil eksekusi terutama diperuntukkan bagi pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama. Bila hasil penjualan benda jaminan dapat melunasi seluruh hutang debitur kepada pemegang Hak Tanggungan pertama maka kelebihannya dibayarkan kepada pemegang Hak Tanggungan peringkat kedua.

f. Beralihnya Hak Tanggungan

Pasal 16 UUHT mengatur bagaimana akibat peralihan piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Beralihnya piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan mengakibatkan Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur baru. Oleh karena itu wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan.

g. Hapusnya Hak Tanggungan

UUHT pasal 18 menetapkan yang menyebabkan hapusnya Hak Tanggungan :

1. Hapusnya utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. 2. Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.


(57)

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.


(58)

BAB III

UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A. Pengertian Perumahan Dan Kawasan Permukiman

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Di Undang-Undang ini


(59)

ditambahkan pengertian Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

B. Asas, Tujuan, Dan Ruang Lingkup Perumahan Dan Kawasan Permukiman

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan berasaskan: a. kesejahteraan;

Asas kesejahteraan adalah memberikan landasan agar kebutuhan perumahan dan kawasan permukiman yang layak bagi masyarakat dapat terpenuhi sehingga masyarakat mampu mengembangkan diri dan beradab, serta dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

b. keadilan dan pemerataan;

Asas keadilan dan pemerataan adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.

c. kenasionalan;

Asas kenasionalan adalah memberikan landasan agar hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk warga negara Indonesia, sedangkan hak menghuni dan menempati oleh orang asing hanya dimungkinkan dengan cara hak sewa atau hak pakai atas rumah.


(60)

d. keefisienan dan kemanfaatan;

Asas keefisienan dan kemanfaatan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki berupa sumber daya tanah, teknologi rancang bangun, dan industri bahan bangunan yang sehat untuk memberikan keuntungan dan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

e. keterjangkauan dan kemudahan;

Asas keterjangkauan dan kemudahan adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar setiap warga negara Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan permukiman.

f. kemandirian dan kebersamaan;

Asas kemandirian dan kebersamaan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman bertumpu pada prakarsa, swadaya, dan peran masyarakat untuk turut serta mengupayakan pengadaan dan pemeliharaan terhadap aspek-aspek perumahan dan kawasan permukiman sehingga mampu membangkitkan kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri, serta terciptanya kerja sama antara pemangku kepentingan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.


(61)

g. kemitraan;

Asas kemitraan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran pelaku usaha dan masyarakat, dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung.

h. keserasian dan keseimbangan;

Asas keserasian dan keseimbangan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah, serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan.

i. keterpaduan;

Asas keterpaduan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilaksanakan dengan memadukan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian, baik intra- maupun antarinstansi serta sector terkait dalam kesatuan yang bulat dan utuh, saling menunjang, dan saling mengisi.


(62)

j. kesehatan;

Asas kesehatan adalah memberikan landasan agar pembangunan perumahan dan kawasan permukiman memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

k. kelestarian dan keberlanjutan; dan

Asas kelestarian dan keberlanjutan adalah memberikan landasan agar penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup, dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju kenaikan jumlah penduduk dan luas kawasan secara serasi dan seimbang untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

l. keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan

Asas keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman memperhatikan masalah keselamatan dan keamanan bangunan beserta infrastrukturnya, keselamatan dan keamananan lingkungan dari berbagai ancaman yang membahayakan penghuninya, ketertiban administrasi, dan keteraturan dalam pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman.


(63)

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk:

a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan hukum bagi setiap orang untuk bertempat tinggal secara layak, baik yang bersifat milik maupun bukan milik melalui cara sewa dan cara bukan sewa. Jaminan hukum antara lain meliputi kesesuaian peruntukan dalam tata ruang, legalitas tanah, perizinan, dan kondisi kelayakan rumah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran

penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;

Yang dimaksud dengan “penataan dan pengembangan wilayah adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan, sebagai bagian utama dari pengembangan perkotaan dan perdesaan yang dapat mengarahkan persebaran penduduk dan mengurangi ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang.

c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian


(64)

fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;

Yang dimaksud dengan “daya guna dan hasil guna sumber daya alam” adalah kemampuan untuk meningkatkan segala potensi dan sumber daya alam tanpa mengganggu keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan dalam rangka menjamin terwujudnya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berkualitas di lingkungan hunian perkotaan dan lingkungan hunian perdesaan.

d. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;

Yang dimaksud dengan “memberdayakan para pemangku kepentingan” adalah upaya meningkatkan peran masyarakat dengan memobilisasi potensi dan sumber daya secara proporsional untuk mewujudkan perumahan dan kawasan permukiman yang madani. Para pemangku kepentingan antara lain meliputi masyarakat, swasta, lembaga keuangan, Pemerintah dan pemerintah daerah.

e. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan f. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam

lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau” adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan


(65)

kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya, yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan tata ruang, kesesuaian hak atas tanah dan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan.

Ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman meliputi:

a. pembinaan;

Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.

Pembinaan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh: a) menteri pada tingkat nasional;

b) gubernur pada tingkat provinsi; dan

c) bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota.

b. tugas dan wewenang;

Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman mempunyai tugas dan wewenang.


(1)

94

2. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan pemilikan rumah dengan

membuat perjanjian kredit. Bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang saling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah, pada umumnya, mudah dijual, harganya terus meningkat, mempumyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani dengan hak tanggungan.

3. Kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Grosse Acte Hyptheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3) berikut penjelasan UUHT).


(2)

95

B. Saran

Bebrapa saran yang dapat penulis sampaikan, sebagai berikut :

1. Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan dan/atau

bantuan pembiayaan untuk pembangunan dan perolehan rumah umum dan rumah swadaya bagi MBR. Dalam hal pemanfaatan sumber biaya yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum atau rumah swadaya, MBR selaku pemanfaat atau pengguna yang mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan wajib mengembalikan pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud dapat berupa:

a. skema pembiayaan; b. penjaminan atau asuransi; dan/atau c. dana murah jangka panjang.

Kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud di atas diatur dengan Peraturan Pemerintah dan harus selalu memegang prinsip kehati-hatian dalam pemberian serta penyalurannya.

2. Hak Tanggungan memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang

berkepentingan khususnya bagi bank sebagai lembaga keuangan. Bank harus mempunyai keyakinan terhadap jaminan yang diserahkan oleh debitor sebagai jaminan kredit, mengingat unsur tersebut sangat penting. Karena jika suatu kredit yang tidak memiliki jaminan yang cukup mengandung resiko yang cukup besar.


(3)

96

3. Agar debitur tidak cedera janji yang dapat mengakibatkan eksekusi yang sah di hadapan pengadilan serta memiliki kekuatan hukum yang tetap, Debitur yang menerima kredit hendaknya mempergunakan kredit sesuai dengan kebutuhan dan telah diperhitungkan cashflow keuangan dengan matang sehingga kemampuannya untuk membayar angsuran bulanan tetap berjalan lancar.


(4)

97

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Undang-UndangNomor 1 tahun 2011 tentang perubahan AtasUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 TentangPerumahan danPermukiman.

Peraturan Memteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2011 Tentang Pengadaan Perumahan Dan Permukiman Dengan Dukumgan Bantuan Pembiayaan Perumahan dalam Bentuk Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui Kredit/ Pembiayaan Pemilikan Rumah.

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan

Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003).

Subekti, Hukum Perjanjian.

Kartini Muljadi, et.al., Seri Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.

Subekti, jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum

Indonesia, Alumni, Bandung, 1986.

Hassanudin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan

Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Thomas Suyatno, et.al., Dasar-Dasar Perkreditan, Cetakan Ketiga,

Gramedia, Jakarta, 1990.


(5)

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Faried Wijaya, et.al., Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank Perkembangan,

Teori dan Kebijakan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1991. Kasmir, Dasar-dasar Perbankan.

Sunaryo Basuki, Hukum Real Estate Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1991.

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung 2008.

Budi Harsono, 1999.

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008.

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer. Cetakan Ke 2. Edisi Revisi. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Effendi Perangin, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).

Frieda Husni Abdullah, Hukum Kebendaan Perdata. Jilid 1. Cetakan Pertama. (Jakarta: Ind. Hill-Co.,2002.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda. (Yogyakarta: Liberty, 1981).


(6)

99

A. Perlindungan, Komentar Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah dan Sejarah terbentuknya, Cetakan 1. (Bandung: Mandar Maju, 1996),

Naning Indratni, “UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Indonesia”, Suara Pembaruan 31 Maret 1996).

Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah

yang Dihadapi oleh Perbankan (suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Cetakan I, (Bandung Alumni, 1999)

Adrian Sutedi,S.H.,M.H., Hukum Hak Tanggungan (Jakarta: Sinar Grafika,2012).


Dokumen yang terkait

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Perjanjian Kerja Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Menurut Hukum Islam.

0 0 15

penerapan asas-asas hak tanggungan dalam pelaksanaan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan di PT.Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Cabang Surakarta.

0 1 129

Pengawasan Perumahan Bersubsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo.

0 1 15

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

0 0 48

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

0 0 82

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 3. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Kredit Perumahan Menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Pada Perumahan Alamanda Indah Medan

0 0 29

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI PERUMAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN

1 1 12

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung jawab developer dalam perjanjian pengikatan jual beli perumahan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 19

PERANAN NOTARIS DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN KREDIT PEMILIKAN RUMAH MELALUI PERJANJIAN BAKU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - Unissula Repository

0 0 24