1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu proses dan tujuan yang penting dalam pembelajaran di sekolah adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Abidin 2016:
1, kompetensi yang seharusnya dicapai dalam pendidikan abad ke-21 antara lain kemampuan berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi,
serta mampu menguasai media teknologi informasi dan komunikasi. Apabila kemampuan berpikir kritis dikembangkan, seseorang akan cenderung mencari
kebenaran, berpikir terbuka, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir sistematis, mantap dalam menyampaikan pendapat dan alasannya,
punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan dapat mengambil keputusan dengan baik Facione, 2013: 23. Seseorang yang berpikir secara kritis juga akan
dapat menjawab permasalahan-permasalahan dengan baik. Namun, berpikir kritis tidak hanya berpusat pada menjawab pertanyaan, tetapi juga
mempertanyakan kembali jawaban yang sudah ada. Selain itu, orang yang berpikir kritis dapat menggunakan ide abstrak untuk membuat model
penyelesaian masalah nyata secara efektif. Perkembangan teknologi juga menjadi dasar akan pentingnya
kemampuan berpikir kritis bagi setiap siswa. Teknologi yang semakin pesat memungkinkan arus informasi masuk ke Indonesia dengan cepat dan hampir
tanpa batas. Sehingga, setiap orang dapat memperoleh berbagai informasi dengan mudah. Akan tetapi, tidak semua informasi yang masuk tersebut baik
2 untuk masyarakat, apalagi siswa sekolah. Pemerintah sulit membatasi dan
menyaring berbagai informasi yang masuk. Maka dari itu, siswa perlu dibekali kemampuan berpikir kritis agar dapat menyaring informasi tersebut
secara mandiri. Matematika merupakan salah satu sarana yang tepat untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa di sekolah. Matematika banyak mengandalkan kemampuan berpikir, mulai dari hal yang konkret
hingga abstrak. Menurut Kowiyah 2012: 176, belajar matematika pada hakikatnya berkenaan dengan stuktur dan ide abstrak yang disusun secara
sistematis dan logis melalui proses penalaran deduktif. Selain itu, Santrock 2011: 223 juga menyampaikan bahwa kemampuan matematika merupakan
salah satu dasar bagi pengembangan kemampuan berpikir kritis pada masa remaja. Senada dengan hal itu, Sembiring 2010: 1 juga menyatakan bahwa
dengan belajar matematika siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya, karena matematika melibatkan dan membutuhkan pemikiran
kritis, sistematis, logis dan kreatif. Hal ini didukung oleh Permendiknas No. 23 Tahun 2006 yang
menyatakan bahwa dalam mata pelajaran matematika, siswa SMA diharapkan memperoleh berbagai kompetensi lulusan, diantaranya: 1 membangun dan
menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 2 menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan
inovatif dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditegaskan kembali dalam kurikulum 2013, bahwa menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten
3 dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam
memecahkan masalah merupakan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa di berbagai mata pelajaran. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan sudah
seharusnya mampu menunjukkan hasil memuaskan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki pola pemikiran kritis.
Akan tetapi, kebiasan melatih kemampuan berpikir kritis belum sepenuhnya diterapkan kepada siswa sekolah. Menurut Jacqueline dan Brooks
1993, sedikit sekolah yang mengajarkan siswanya untuk berpikir kritis. Sekolah justru mendorong siswa untuk memberi jawaban tunggal yang
benar secara imitatif daripada mendorong mereka memunculkan ide-ide baru atau memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada.
Kecenderungan di lapangan menunjukkan, guru lebih sering meminta siswa untuk membaca, mendefinisikan, mendeskripsikan, menyatakan, dan
mendaftar daripada menganalisis, menarik kesimpulan, menghubungkan, mensintesis, mengevaluasi, mengkritik, mengkreasi, dan memikirkan ulang.
Akibatnya beberapa sekolah meluluskan siswa dengan tingkat berpikir rendah.
Banyak sekolah yang memfokuskan kegiatan pembelajarannya pada ujian, sehingga guru akan mengajarkan pengetahuan dan keahlian yang akan
diujikan saja. Akibatnya, siswa lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih soal ujian. Padahal, tidak banyak dari soal ujian itu yang menuntut
siswa untuk berpikir kritis.
4 Kebanyakan soal ujian lebih difokuskan pada pengetahuan dan keahlian
yang cenderung mudah daripada kemampuan kognitif yang lebih kompleks Quality Counts, 2001: 36. Sebagian besar soal ujian yang sering digunakan
di sekolah berbentuk pilihan ganda. Hal ini memungkinkan siswa untuk sekadar menebak jawaban. Sedangkan untuk mengukur kemampuan berpikir
diperlukan alasan dan sumber informasi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Soal pilihan ganda juga lebih menuntut daya ingat siswa,
sehingga soal tersebut kurang mampu mengukur kemampuan proses mental yang lebih tinggi Arikunto, 2013: 180.
Menurut Hendriana 2009: 3, pada saat pembelajaran matematika, siswa cenderung hanya mencatat cara guru menyelesaikan soal latihan. Sehingga,
siswa akan kebingungan ketika menjumpai soal yang berbeda dengan soal latihan. Senada dengan hal itu, Rohaeti 2008: 2 mengemukakan bahwa
siswa lebih suka menghafalkan rumus dan langkah penyelesaian dari soal yang telah dikerjakan guru atau yang terdapat dalam buku pegangan. Maka
dari itu, menghafal bukan merupakan cara yang tepat dalam belajar matematika. Matematika akan dapat dipelajari dengan baik jika siswa lebih
banyak mengerjakan soal yang bervariasi. Dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir kritis saat
pembelajaran matematika, para siswa sudah seharusnya terbiasa mengerjakan soal yang tidak hanya memerlukan ingatan yang baik saja. Karenanya,
seorang guru matematika dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan mengajukan permasalahan yang menarik dan menantang bagi siswa.
5 Kemudian siswa dan guru memecahkan masalah tersebut sambil membahas
teori, definisi maupun rumus matematikanya bersama-sama Shadiq, 2008: 26. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Winn 2004:
497 bahwa jika guru ingin mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswanya, maka sudah seharusnya guru lebih banyak memberikan latihan soal
daripada sekadar penjelasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Osborne 2010 mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mendorong siswa
berpikir kritis adalah menyajikan permasalahan yang dapat dilihat dari berbagai sisi. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk menggali dan meneliti
masalah lebih dalam. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap guru matematika di
SMA N 1 Boyolali, diperoleh hasil bahwa soal yang digunakan untuk Ulangan Harian UH, Ujian Tengah Semester UTS, dan Ujian Akhir
Semester UAS belum teruji kualitasnya. Sebagian besar soal disusun hanya beberapa hari sebelum tes dilaksanakan. Soal yang digunakan diambil dan
diadaptasi dari buku pegangan dan Lembar Kerja Siswa LKS yang beredar. Soal yang ditujukan khusus untuk mengukur kemampuan berpikir kritis
belum pernah disusun. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan guru dalam hal waktu dan tenaga.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan penelitian pengembangan perangkat soal yang mampu mengukur kemampuan berpikir
tingkat tinggi siswa berdasarkan indikator yang ditentukan. Perangkat soal hasil pengembangan diharapkan mampu memperbaiki kualitas alat evaluasi
6 hasil pembelajaran
. Judul penelitian yang diangkat adalah “Pengembangan Soal Matematika untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis Siswa SMA .
”
B. Identifikasi Masalah