PENGEMBANGAN SOAL MATEMATIKA UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu proses dan tujuan yang penting dalam pembelajaran di sekolah adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Abidin (2016: 1), kompetensi yang seharusnya dicapai dalam pendidikan abad ke-21 antara lain kemampuan berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi, serta mampu menguasai media teknologi informasi dan komunikasi. Apabila kemampuan berpikir kritis dikembangkan, seseorang akan cenderung mencari kebenaran, berpikir terbuka, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir sistematis, mantap dalam menyampaikan pendapat dan alasannya, punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan dapat mengambil keputusan dengan baik (Facione, 2013: 23). Seseorang yang berpikir secara kritis juga akan dapat menjawab permasalahan-permasalahan dengan baik. Namun, berpikir kritis tidak hanya berpusat pada menjawab pertanyaan, tetapi juga mempertanyakan kembali jawaban yang sudah ada. Selain itu, orang yang berpikir kritis dapat menggunakan ide abstrak untuk membuat model penyelesaian masalah nyata secara efektif.

Perkembangan teknologi juga menjadi dasar akan pentingnya kemampuan berpikir kritis bagi setiap siswa. Teknologi yang semakin pesat memungkinkan arus informasi masuk ke Indonesia dengan cepat dan hampir tanpa batas. Sehingga, setiap orang dapat memperoleh berbagai informasi dengan mudah. Akan tetapi, tidak semua informasi yang masuk tersebut baik


(2)

2 untuk masyarakat, apalagi siswa sekolah. Pemerintah sulit membatasi dan menyaring berbagai informasi yang masuk. Maka dari itu, siswa perlu dibekali kemampuan berpikir kritis agar dapat menyaring informasi tersebut secara mandiri.

Matematika merupakan salah satu sarana yang tepat untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa di sekolah. Matematika banyak mengandalkan kemampuan berpikir, mulai dari hal yang konkret hingga abstrak. Menurut Kowiyah (2012: 176), belajar matematika pada hakikatnya berkenaan dengan stuktur dan ide abstrak yang disusun secara sistematis dan logis melalui proses penalaran deduktif. Selain itu, Santrock (2011: 223) juga menyampaikan bahwa kemampuan matematika merupakan salah satu dasar bagi pengembangan kemampuan berpikir kritis pada masa remaja. Senada dengan hal itu, Sembiring (2010: 1) juga menyatakan bahwa dengan belajar matematika siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya, karena matematika melibatkan dan membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis dan kreatif.

Hal ini didukung oleh Permendiknas No. 23 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa dalam mata pelajaran matematika, siswa SMA diharapkan memperoleh berbagai kompetensi lulusan, diantaranya: (1) membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif; (2) menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditegaskan kembali dalam kurikulum 2013, bahwa menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten


(3)

3 dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah merupakan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa di berbagai mata pelajaran. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan sudah seharusnya mampu menunjukkan hasil memuaskan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki pola pemikiran kritis.

Akan tetapi, kebiasan melatih kemampuan berpikir kritis belum sepenuhnya diterapkan kepada siswa sekolah. Menurut Jacqueline dan Brooks (1993), sedikit sekolah yang mengajarkan siswanya untuk berpikir kritis. Sekolah justru mendorong siswa untuk memberi jawaban tunggal yang benar secara imitatif daripada mendorong mereka memunculkan ide-ide baru atau memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Kecenderungan di lapangan menunjukkan, guru lebih sering meminta siswa untuk membaca, mendefinisikan, mendeskripsikan, menyatakan, dan mendaftar daripada menganalisis, menarik kesimpulan, menghubungkan, mensintesis, mengevaluasi, mengkritik, mengkreasi, dan memikirkan ulang. Akibatnya beberapa sekolah meluluskan siswa dengan tingkat berpikir rendah.

Banyak sekolah yang memfokuskan kegiatan pembelajarannya pada ujian, sehingga guru akan mengajarkan pengetahuan dan keahlian yang akan diujikan saja. Akibatnya, siswa lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih soal ujian. Padahal, tidak banyak dari soal ujian itu yang menuntut siswa untuk berpikir kritis.


(4)

4 Kebanyakan soal ujian lebih difokuskan pada pengetahuan dan keahlian yang cenderung mudah daripada kemampuan kognitif yang lebih kompleks (Quality Counts, 2001: 36). Sebagian besar soal ujian yang sering digunakan di sekolah berbentuk pilihan ganda. Hal ini memungkinkan siswa untuk sekadar menebak jawaban. Sedangkan untuk mengukur kemampuan berpikir diperlukan alasan dan sumber informasi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Soal pilihan ganda juga lebih menuntut daya ingat siswa, sehingga soal tersebut kurang mampu mengukur kemampuan proses mental yang lebih tinggi (Arikunto, 2013: 180).

Menurut Hendriana (2009: 3), pada saat pembelajaran matematika, siswa cenderung hanya mencatat cara guru menyelesaikan soal latihan. Sehingga, siswa akan kebingungan ketika menjumpai soal yang berbeda dengan soal latihan. Senada dengan hal itu, Rohaeti (2008: 2) mengemukakan bahwa siswa lebih suka menghafalkan rumus dan langkah penyelesaian dari soal yang telah dikerjakan guru atau yang terdapat dalam buku pegangan. Maka dari itu, menghafal bukan merupakan cara yang tepat dalam belajar matematika. Matematika akan dapat dipelajari dengan baik jika siswa lebih banyak mengerjakan soal yang bervariasi.

Dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir kritis saat pembelajaran matematika, para siswa sudah seharusnya terbiasa mengerjakan soal yang tidak hanya memerlukan ingatan yang baik saja. Karenanya, seorang guru matematika dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan mengajukan permasalahan yang menarik dan menantang bagi siswa.


(5)

5 Kemudian siswa dan guru memecahkan masalah tersebut sambil membahas teori, definisi maupun rumus matematikanya bersama-sama (Shadiq, 2008: 26). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Winn (2004: 497) bahwa jika guru ingin mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswanya, maka sudah seharusnya guru lebih banyak memberikan latihan soal daripada sekadar penjelasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Osborne (2010) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mendorong siswa berpikir kritis adalah menyajikan permasalahan yang dapat dilihat dari berbagai sisi. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk menggali dan meneliti masalah lebih dalam.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap guru matematika di SMA N 1 Boyolali, diperoleh hasil bahwa soal yang digunakan untuk Ulangan Harian (UH), Ujian Tengah Semester (UTS), dan Ujian Akhir Semester (UAS) belum teruji kualitasnya. Sebagian besar soal disusun hanya beberapa hari sebelum tes dilaksanakan. Soal yang digunakan diambil dan diadaptasi dari buku pegangan dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang beredar. Soal yang ditujukan khusus untuk mengukur kemampuan berpikir kritis belum pernah disusun. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan guru dalam hal waktu dan tenaga.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan penelitian pengembangan perangkat soal yang mampu mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berdasarkan indikator yang ditentukan. Perangkat soal hasil pengembangan diharapkan mampu memperbaiki kualitas alat evaluasi


(6)

6 hasil pembelajaran. Judul penelitian yang diangkat adalah “Pengembangan Soal Matematika untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA.

B. Identifikasi Masalah

Kemampuan berpikir matematis siswa yang kurang dilatih dalam proses pembelajaran matematika di sekolah merupakan permasalahan utama dalam kajian penelitian ini. Hal ini terjadi karena apa yang disajikan kepada siswa kurang memotivasi mereka untuk berpikir lebih mendalam dan mendorong mereka dapat secara bebas untuk memandang suatu permasalahan dari berbagai sudut.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang memperkuat permasalahan tersebut untuk diteliti. Adapun identifikasi masalah dari judul yang penulis pilih adalah sebagai berikut:

1. Berpikir kritis merupakan salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika, namun proses pembelajaran di sekolah masih belum sepenuhnya merangsang kemampuan berpikir kritis.

2. Soal yang digunakan guru di sekolah belum mengukur kemampuan berpikir kritis.

3. Pengukuran hasil belajar siswa menggunakan instrumen yang belum teruji kualitasnya, sehingga instrumen evaluasi belum memenuhi standar pengukuran.


(7)

7 C. Batasan Masalah

Untuk memfokuskan masalah yang akan dikaji, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada:

1. Soal matematika yang dikembangkan dalam penelitian ini berbentuk uraian yang mencakup topik aritmatika dan aljabar sederhana.

2. Uji coba soal matematika dilakukan pada siswa kelas XI SMA N 1 Boyolali kelompok matematika dan ilmu alam (MIA).

3. Kriteria instrumen evaluasi yang baik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aspek validitas isi, validitas konstruk, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda butir soal.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah instrumen evaluasi yang dikembangkan memenuhi kriteria sebagai instrumen evaluasi yang baik dalam mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA kelas XI?

E. Tujuan penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. menghasilkan instrumen evaluasi matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI.


(8)

8 2. mendeskripsikan kualitas instrumen evaluasi matematika untuk

mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI.

F. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikembangkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:

1. Bagi siswa, penelitian ini memberikan kesempatan untuk lebih tertarik dan semangat dalam mengerjakan latihan-latihan soal matematika.

2. Bagi guru, penelitian ini sebagai masukan dan pertimbangan jenis tes dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan sumbangan dalam rangka peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada siswa.

4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi salah acuan dalam mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya.


(9)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Matematika

Menurut Mahmudi (2011: 1), hingga saat ini tidak ada kesepakatan bulat mengenai pengertian matematika. Sebagaimana musik yang tidak hanya sekadar bernyanyi, matematika juga tidak hanya sekadar berhitung menggunakan rumus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), matematika diartikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Sedangkan, Downing (2009: 205) menyampaikan dalam bukunya, Dictionary of Mathematics Terms, bahwa matematika merupakan studi berkelanjutan mengenai struktur dan pola dari hal-hal yang sebenarnya ada namun abstrak. Dan dalam Oxford Dictionaries, matematika didefinisikan sebagai “the abstract science of number, quantity, and space” atau dapat diartikan sebagai ilmu yang bersifat abstrak mengenai bilangan, kuantitas, dan ruang.

Karena sifatnya yang abstrak tersebut, banyak orang yang memiliki persepsi buruk tentang matematika. Menurut Stacey, Burton, & Mason (2010: 109), sebagian besar orang menganggap matematika itu sulit dan hanya bisa dikuasai oleh orang yang pandai saja. Muncul juga persepsi bahwa matematika yang dipelajari di sekolah sangat jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Matematika akan sangat terasa manfaatnya bagi


(10)

10 seseorang ketika ia mengerjakan soal matematika dan belajar pelajaran lain yang menjadikan matematika sebagai dasarnya. Sehingga, banyak orang mempertanyakan untuk apa sebenarnya mereka belajar matematika.

Anggapan atau persepsi seseorang terhadap matematika akan mempengaruhi bagaimana cara orang tersebut dalam belajar dan mengajarkan matematika. Menurut Shadiq & Mustajab (2011: 25), secara umum teori belajar dibedakan menjadi dua, yaitu teori belajar tingkah laku dan teori belajar kognitif. Penganut teori belajar tingkah laku meyakini bahwa proses pembelajaran terjadi melalui hubungan antara stimulus dan respons. Penganut teori belajar ini berpendapat bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat apabila interaksi antara keduanya semakin sering terjadi (law of exercise). Mereka mengibaratkan belajar seperti berlubangnya sebuah batu ketika ditetesi air secara terus menerus. Sedangkan penganut teori belajar kognitif lebih fokus pada proses mengaitkan antara pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang di dalam struktur kognitifnya dengan pengalaman barunya. Teori ini menekankan pada makna dari proses internal manusia. Dengan kata lain, tingkah laku yang nampak pada proses belajar tidak dapat diukur maupun dijelaskan tanpa melibatkan proses mental (Sugihartono, 2007: 104).

Matematika yang ada di sekolah saat ini sebenarnya tidak sekadar belajar berhitung. Menurut Ebutt & Straker (Marsigit, 2005: 5-6),


(11)

11 terdapat 4 hakikat matematika di sekolah, yaitu: (1) matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan, (2) matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah, (3) matematika sebagai sarana untuk mengomunikasikan ide dan informasi, dan (4) matematika sebagai suatu kegiatan yang memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi, dan penemuan.

Di sekolah, siswa juga tidak hanya sekadar mempelajari angka maupun simbol-simbol. Menurut Robert M. Gagne (Shadiq & Mustajab, 2011: 10), terdapat dua macam objek matematika, yaitu objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung terdiri dari: (1) fakta, yang berarti konvensi atau kesepakan, seperti simbol-simbol matematika, (2) konsep atau ide abstrak yang digunakan untuk mengelompokkan suatu objek dan kejadian, (3) prinsip, yang berarti kumpulan dari beberapa konsep berikut kaitannya, dan (4) keterampilan. Sedangkan objek tidak langsung meliputi hal-hal yang mempengaruhi hasil belajar, misalnya kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, dan ketelitian. Dengan kata lain, objek tak langsung berupa kemampuan yang dipelajari siswa ketika mereka belajar objek langsung.

2. Pendidikan Matematika

Pendidikan memiliki arti yang lebih luas dari sekadar pembelajaran. Dalam KBBI, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pembelajaran adalah proses untuk menjadikan seseorang berilmu.


(12)

12 Pendidikan lebih condong kepada pembentukan karakter seseorang, sedangkan pembelajaran condong kepada pembentukan kecerdasan.

Menurut PPPPTK Matematika (2011), pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yaitu: (1) tujuan bersifat formal, yaitu penataan nalar anak sebagai cara pembentukan pribadi anak; dan (2) tujuan yang bersifat material, yaitu memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Secara lebih rinci, NCTM (2000) mengemukakan bahwa tujuan belajar matematika adalah agar siswa mampu: (1) memecahkan masalah (problem solving); (2) bernalar dan membuktikan sesuatu (reasoning and proof); (3) belajar berkomunikasi (communication); (4) menemukan hubungan dari berbagai hal (connections); dan merepresentasikan sesuatu (representations). Selaras dengan hal tersebut, berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan diadakannya pendidikan matematika adalah agar siswa:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalsasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model


(13)

13 matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dalam mencapai tujuan pendidikan matematika, NCTM (2000) membagi materi matematika menjadi lima, yaitu: (1) operasi bilangan; (2) aljabar; (3) geometri; (4) pengukuran; dan (5) analisis data dan peluang. Sedangkan PPPPTK Matematika (2011) membaginya menjadi: (1) bilangan; (2) pengukuran dan geometri; (3) peluang dan statistika; (4) trigonometri; (5) aljabar; dan (6) kalkulus. Tidak jauh berbeda dengan pendapat tersebut, Kemendikbud (2013) membagi cakupan materi matematika sekolah di Indonesia menjadi: (1) aljabar; (2) geometri; (3) trigonometri; (4) statistika; dan (5) kalkulus.

3. Penilaian dalam Pendidikan Matematika

Sebagian orang yang menganggap bahwa pengukuran, penilaian, dan evaluasi memiliki arti yang sama. Sehingga, penggunaannya tergantung pada kata mana yang siap diucapkan. Sedangkan, sebagian yang lain lebih memilih membedakan istilah-istilah tersebut.

Menurut Arikunto (2013: 3), penilaian adalah pengambilan keputusan terhadap sesuatu yang bersifat kualitatif. Sedangkan pengukuran bersifat kuantitatif. Dan evaluasi diartikan sebagai gabungan


(14)

14 dari pengukuran dan penilaian. Sebenarnya, ketika seseorang melakukan penilaian, maka orang tersebut secara otomatis telah melakukan pengukuran. Dengan kata lain, evaluasi dan penilaian memiliki makna yang sama.

Selain itu, Reynolds, Livingston, & Wilson (2010: 3) mengartikan penilaian sebagai langkah sistematis untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai karakteristik seseorang atau sesuatu. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penilaian dalam pendidikan adalah proses pengumpulan informasi untuk menentukan ketercapaian tujuan pendidikan dan dilanjutkan dengan tindak lanjut berdasarkan keputusan yang diperoleh. Penilaian dalam pendidikan dapat dilakukan oleh guru, lembaga pendidikan formal maupun nonformal, dan bahkan negara.

Penilaian merupakan bagian penting dalam pendidikan matematika. Menurut Herman (2012), penilaian bukan hanya berupa tes di akhir pembelajaran untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa dan cara mereka menjawab soal, tetapi penilaian seharusnya dilakukan pula pada saat pembelajaran berlangsung untuk memandu guru dalam merencanakan dan melakukan pembelajaran di kelas. Senada dengan hal itu, NCTM (2000) mengemukakakn bahwa penilaian tidak hanya dilakukan kepada siswa tetapi juga untuk siswa, yaitu memandu dan mengarahkan mereka dalam belajar.


(15)

15 Menurut Purwanto (2013: 5-7), penilaian dalam pendidikan memiliki empat fungsi, antara lain: (1) untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan siswa, yang terdiri dari fungsi formatif dan sumatif; (2) untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pendidikan dan pengajaran; (3) untuk keperluan bimbingan dan konseling (fungsi diagnostik); dan (4) untuk pengembangan dan perbaikan kurikulum, baik sekolah maupun negara. Selain empat fungsi tersebut, Arikunto (2013: 18-19) menambahkan bahwa penilaian juga memiliki fungsi selektif dan penempatan. Sedangkan Reynolds, Livingston, & Wilson (2010: 21) menambahkan fungsi penentu kebijakan di tingkat sekolah, daerah, maupun nasional.

Menurut de Lange (1995) penilaian dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkatan alat penilaian yang dikembangkan, yaitu:

a. Penilaian tingkat rendah

Penilaian pada tingkat ini mencakup pengetahuan tentang objek, definisi istilah, keterampilan serta algoritma standar. Misalnya, operasi pecahan, penyelesaian persamaan linear satu variabel, menghitung rata-rata dari sekumpulan data, dan bahkan masalah sederhana sehari-hari yang sebenarnya tidak memberikan tantangan bagi siswa.

b. Penilaian tingkat sedang

Pada tingkat ini, siswa dituntut untuk mampu menghubungkan dua atau lebih konsep maupun prosedur. Selain itu, masalah pada


(16)

16 tingkatan ini juga menuntut siswa untuk menggunakan beberapa strategi berbeda dalam menyelesaikan soal.

c. Penilaian tingkat tinggi

Penilaian pada tingkatan ini menuntut siswa untuk menggunakan kemampuan yang cukup kompleks, seperti berpikir matematis, kritis, kreatif, kemampuan interpretasi, komunikasi, refleksi, generalisasi dan matematisasi. Aspek utama dari tingkat ini adalah kemampuan siswa untuk mengkonstruksi sendiri penyelesaian yang diinginkan.

4. Instrumen Evaluasi untuk Mengukur Kemampuan Matematika Menurut Arikunto (2013: 40-63), evaluasi dalam pendidikan memiliki dua macam teknik, yaitu teknik tes dan nontes. Teknik nontes terdiri dari: (1) skala bertingkat; (2) kuisioner; (3) check list; (4) wawancara; (5) observasi; dan (6) riwayat hidup. Sedangkan tes biasanya berupa kumpulan soal yang memuat materi pembelajaran di sekolah. Dalam kaitannya mengukur pemahaman matematika, teknik tes lebih tepat daripada nontes. Hal ini dikarenakan teknik nontes cenderung diperuntukkan untuk mengukur kemampuan noneksak.

Menurut Arikunto (2013: 177), tes sendiri memiliki beberapa bentuk, diantaranya:

1) Tes subjektif

Tes ini biasanya berbentuk soal uraian (esai). Tes subjektif memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan. Kelebihan tes


(17)

17 bentuk ini adalah: mudah disusun; lebih mampu menghindari tebakan dalam menjawab; lebih ekonomis; mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat dengan kalimatnya sendiri; dan lebih mampu mengetahui pemahaman siswa terhadap materi yang diteskan. Sedangkan kelemahan tes ini antara lain: tingkat validitas dan reliabilitasnya rendah; kurang bisa mewakili seluruh cakupan materi yang ingin diteskan; penilaiannya cenderung subjektif; dan membutuhkan waktu pemeriksaan yang lama.

2) Tes objektif

Kelebihan tes jenis ini adalah: lebih mudah dan cepat dalam pemeriksaannya; pemeriksaan dapat diwakilkan kepada orang lain; tidak adanya unsur subjektivitas dalam menilai; dan dapat mewakili cakupan materi pelajaran yang lebih luas. Sedangkan kelemahannya antara lain: lebih sulit untuk disusun; sulit mengukur kemampuan berpikir yang lebih tinggi; terdapat banyak kesempatan siswa untuk menebak jawaban; dan lebih mudah bagi siswa untuk melakukan kerjasama dalam menjawab soal.

Tes objektif memiliki beberapa macam bentuk, yaitu: a. Tes benar-salah

b. Tes pilihan ganda c. Tes menjodohkan, dan d. Tes isian singkat


(18)

18 Menurut Arikunto (2013: 72), suatu tes dikatakan baik jika memenuhi beberapa persyaratan, antara lain validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, dan ekonomis. Selain itu, syarat tes yang baik berkaitan dengan tingkat kesukaran dan daya beda soalnya. Suatu tes dikatakan valid jika tes tersebut dapat mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur. Tes yang reliabel adalah tes yang dapat memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berulang kali. Kemudian, tes yang baik juga harus objektif, yaitu tes tersebut tidak terdapat faktor subjektif yang memengaruhi. Selain itu, suatu tes dikatakan praktis apabila tes tersebut mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan memiliki petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan oleh orang lain. Sedangkan, tes yang ekonomis adalah tes yang tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.

Untuk membuktikan validitas suatu tes, tes tersebut dapat dibuktikan validitas isi dan validitas konstruknya. Validitas isi merupakan kelayakan suatu tes dalam merepresentasikan konstruk yang sesuai dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2015: 111). Pembuktian validitas isi dapat dilakukan dengan menghitung koefisien validitas isi. Koefisien validitas isi dapat ditentukan dengan menghitung indeks Aiken atau menggunakan indeks Gregory (Retnawati, 2016: 18-19). Validitas isi suatu instrumen dikatakan kurang jika indeksnya kurang atau sama dengan 0,4. Jika indeksnya berada diantara 0,4 sampai 0,8, maka validitasnya cukup.


(19)

19 Sedangkan, jika indeksnya lebih besar dari 0,8, maka validitasnya sangat baik.

Validitas konstruk membuktikan sejauh mana korelasi antara hasil pengukuran yang diperoleh dari soal tes dengan konstruk teoretis yang menjadi dasar penyusunan tes. Pembuktian yang banyak dilakukan adalah pendekatan analisis faktor. Analisis faktor merupakan kumpulan prosedur matematis yang kompleks untuk menganalisis hubungan antarvariabel dan menjelaskan hubungan tersebut dalam bentuk kelompok variabel yang terbatas yang disebut faktor (Azwar, 2015: 121). Faktor tersebut merupakan variabel baru dan bersifat tidak dapat diketahui secara langsung (Retnawati, 2016: 20).

Analisis faktor dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu exploratory factor analysis (EFA) dan confirmatory factor analysis (CFA). EFA dilakukan ketika ingin mencari atau mengeksplorasi model pengukuran dari konstruk instrumen. EFA membantu penyusun tes dalam mengidentifikasi faktor yang membentuk konstruk dengan cara menemukan varians skor terbesar dengan jumlah faktor paling sedikit, yang dinyatakan dalam bentuk Eigenvalues yang lebih besar dari 1. Sedangkan, CFA menindaklanjuti hasil EFA. Pada intinya, CFA menguji sejauh mana model statistik sesuai dengan data yang diperoleh (Azwar, 2015: 123).

Ciri tes yang baik selanjutnya terkait dengan reliabilitas. Suatu tes dikatakan reliabel apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap


(20)

20 kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2015: 7). Menurut Arikunto (2013: 104-122), pembuktian reliabilitas suatu tes dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode bentuk paralel (equivalent), tes ulang (test-retest), dan belah dua (split-half). Dalam metode paralel, pengetes harus membuat dua seri tes untuk diujikan pada kelompok subjek yang sama. Sedangkan dalam motode test-retest, pengetes hanya memiliki satu seri tes, namun diujicobakan dua kali. Metode ini memiliki kelemahan dimana terdapat faktor ingatan siswa terhadap soal pada uji coba pertama. Metode yang lebih praktis adalah metode belah dua. Dalam metode ini, pengetes hanya perlu membuat satu seri tes dan mengujicobakannya sebanyak satu kali. Namun, terdapat persyaratan dalam penggunaan metode belah dua ini, yaitu belahan pertama dengan belahan kedua kesejajarannya harus seimbang.

Pembuktian reliabilitas soal dapat dilakukan dengan mencari koefisien reliabilitas menggunakan beberapa rumus. Sedangkan, untuk membuktikan reliabilitas soal uraian dapat menggunakan rumus Alpha Cronbach atau Kuder-Richardson 21 (KR-21). Setelah itu, koefisien tersebut dapat dikonsultasikan dengan r product moment atau pengategorian lain.

Selanjutnya, menurut Allen & Yen (1979: 122) soal dapat dikatakan baik apabila soal tersebut memiliki tingkat kesukaran yang cukup (sedang). Dengan kata lain, soal tersebut memiliki indeks kesukaran yang


(21)

21 berada pada interval 0,3 sampai 0,7. Soal yang terlalu mudah mengindikasikan bahwa hampir semua siswa dapat menjawab soal tes tersebut. Jika soal terlalu susah, maka hampir semua siswa tidak dapat menjawab soal tersebut.

Selain itu, soal dapat dikatakan baik apabila memiliki indeks daya beda lebih dari atau sama dengan 0,3 (Retnawati, 2016: 115). Daya beda soal merupakan kemampuan soal dalam membedakan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dengan siswa berkemampuan rendah. Secara lengkap, kualitas daya beda butir soal disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Indeks Daya Beda Butir Soal No. Indeks Daya Beda ( ) Keterangan

1. Sangat jelek (very poor) 2. Jelek (poor) 3. Cukup (satisfactory) 4. Baik (good) 5. Sangat baik (excellent)

(Arikunto, S. 2013: 232) 5. Soal Matematika

Sebagian besar orang memandang bahwa mempelajari matematika sama dengan mempelajari rumus yang ada, kemudian mengerjakan contoh soal agar mereka tahu bagaimana rumus itu dipakai. Tahap pembelajaran seperti ini biasanya dilakukan dengan pemberian soal yang menggunakan rumus sejenis yang terdiri dari variabel yang diketahui nilainya dan tidak diketahui nilainya. Dengan demikian, siswa terlihat dapat menyelesaikan soal yang berkaitan dengan cepat dan mampu menghadapi ujian dalam waktu dekat. Akan tetapi, setelah beberapa


(22)

22 waktu, rumus tersebut mudah dilupakan oleh siswa. Pada umumnya, ketika siswa mendapati soal yang sama sesudah waktu yang cukup lama, mereka tidak dapat mengerjakan soal tersebut. Bahkan mereka tidak melakukan apapun atau sekadar memiliki ide untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Berbagai macam hal yang dipelajari siswa menjadi tidak nampak. Yang mampu mereka lakukan hanya melakukan penghitungan yang sebenarnya juga dipelajari dalam mata pelajaran lain.

Soal memiliki peranan penting dalam pembelajaran matematika. Tujuan utama mempelajari matematika adalah menemukan cara menyelesaikan soal (Stacey, 2005: 341). Sebagian besar waktu belajar matematika diperuntukkan bagi penyelesaian soal. Setiap buku teks matematika berisi kumpulan soal. Proses penyelesaian soal matematika memiliki titik awal dan akhir, yang tidak dapat dibolak-balik begitu saja oleh siswa. Benar dalam menghitung mungkin merupakan tugas untuk siswa di tingkat menengah. Namun, hal itu tidak dapat dianggap sebagai masalah matematika. Siswa mengetahui aturan perhitungan yang langsung mengarah ke hasil dan tidak ada hambatan yang harus diatasi. Soal matematika yang baik seharusnya mencakup situasi yang tidak diketahui, tujuan yang mungkin tidak jelas, dan langkah non algorithmic yang diperlukan untuk solusi. Menurut Schoenfeld (dalam Reiss & Torner, 1985: 431), soal matematika yang menjadi masalah bagi siswa adalah yang tidak mengarah secara langsung kepada solusi.


(23)

23 Secara umum, Polya (Budhi & Kartasasmita, 2015: 14) menyampaikan bahwa strategi penyelesaian soal matematika terdiri dari beberapa hal, antara lain: (1) menggunakan konsep atau teori yang diperoleh sebelumnya; (2) menebak nilai jawaban dan memperbaikinya, (3) menyatakan soal atau masalah dalam bentuk lain; (4) menggunakan analogi (permisalan); (5) menggunakan langkah penyelesaian mundur; (6) menemukan pola; (7) menyelesaikan soal; dan (8) menggunakan tabel, diagram, atau model. Sedangkan, Budhi & Kartasasmita (2015: 155) menambahkan bahwa terdapat beberapa teknik penyelesaian soal, diantaranya: (1) terka, uji, dan perbaiki, 92) bekerja mundur, (3) menggunakan cara pandang berbeda, (4) menggunakan cara ekstrem, (5) menggunakan gambar, dan (6) menggunakan cara aljabar.

6. Kriteria Soal Matematika yang Baik

Menurut Fung & Roland (2004: 290), sebuah soal matematika yang baik memenuhi karakteristik sebagai berikut:

a. memerlukan lebih dari satu langkah untuk menjawab. b. dapat diselesaikan dengan beberapa metode penyelesaian. c. memiliki lebih dari satu kemungkinan solusi.

d. memiliki bahasa yang jelas dan tidak terdapat informasi yang berlebihan.

e. menarik dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa. f. mengandung konsep matematika yang nyata sehingga dapat


(24)

24 7. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir kritis memiliki banyak definisi. Menurut Judge, Jones, & McCreery (2009: 2), berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan mengevaluasi pemikiran untuk mengetahui kelebihan dan kelemahannya, serta membangun kembali pemikiran itu dalam tingkatan yang lebih baik. Sedangkan, Ennis (1993: 180) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan berpikir secara rasional dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Selain itu, Facione (2013) mengartikan berpikir kritis sebagai proses berpikir yang bertujuan untuk membuktikan suatu permasalahan, menafsirkan maksud dari pernyataan, dan menyelesaikan masalah. Senada dengan hal itu, Rudd, Baker, & Hoover (1999) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses pemecahan masalah atau merumuskan pertanyaan secara sengaja dan beralasan berdasarkan bukti dan informasi yang kurang lengkap. Berdasarkan penjelasan tersebut, berpikir kritis dapat disimpulkan sebagai proses pemecahan masalah berdasarkan bukti dan informasi yang kurang lengkap untuk mengambil keputusan terhadap suatu hal.

b. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Beyer (1995: 13-14), berpikir kritis mencakup indikator sebagai berikut: (1) membedakan antara fakta dan


(25)

25 pendapat; (2) membedakan informasi, bantahan, dan alasan yang sesuai maupun tidak sesuai; (3) menentukan kebenaran suatu pernyataan; (4) menentukan kredibilitas sumber informasi; (5) mengenali bantahan atau perdapat yang ambigu; (6) mengenali asumsi yang tersirat (tersembunyi); (7) menemukan bias; (8) mengenali kekeliruan yang mungkin terjadi; (9) mengenali ketidakkonsistenan dalam memberikan alasan; dan (10) menentukan kekuatan dari sebuah argumen atau bantahan. Sedangkan Ennis (1985: 46) mengemukakan pendapat yang lebih ringkas bahwa ada lima indikator kemampuan berpikir kritis, yaitu: (1) memberikan penjelasan sederhana; (2) membangun keterampilan dasar; (3) menarik kesimpulan; (4) memberikan penjelasan lanjut; (5) mengatur strategi dan taktik. Secara lebih rinci, Facione & Facione (1996) mengemukakan bahwa indikator kemampuan berpikir kritis meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) menginterpretasi (interpretation), yang terdiri: mengelompokkan, menafsirkan kalimat, menjelaskan arti/maksud; (2) menganalisis (analysis), yang terdiri dari: menguji gagasan, mengenali pendapat, menganalisis pendapat; (3) mengevaluasi (evaluation), yang terdiri dari: menilai bantahan, menilai pendapat; (4) menyimpulkan (inference), yang terdiri dari: meragukan bukti, memunculkan alternatif penyelesaian, menarik kesimpulan; (5) menjelaskan (explanation), yang terdiri dari: mengemukakan hasil, memberikan alasan atas prosedur yang


(26)

26 digunakan, mempresentasikan pendapat; dan (6) regulasi diri (self regulation), yang terdiri dari: memeriksa dan mengoreksi kembali. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka indikator kemampuan berpikir kritis yang dipakai dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis dalam Penelitian No.

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Penjelasan

1. Menginterpretasi memahami dan mengekspresikan maksud atau arti dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian, pendapat, kaidah, keyakinan, aturan, prosedur atau kriteria

2. Menganalisis mengidentifikasi hubungan antara berbagai pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, dan yang lainnya 3. Mengevaluasi menilai kredibilitas suatu pernyataan

dan kebenaran suatu hubungan antara berbagai pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, dan yang lainnya 4. Menjelaskan menegaskan dan memberikan alasan

atas langkah yang diambil, mengemukakan alasan dengan argumen yang kuat

Pemilihan indikator didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak semua indikator dapat terlihat (mudah diukur) dari hasil jawaban siswa atas suatu tes. Sebagai contoh, indikator regulasi diri (self regulation) akan lebih dapat diukur jika menggunakan teknis nontes. Selain itu, beberapa indikator yang disampaikan oleh beberapa ahli memiliki kemiripan. Misalnya, indikator memberikan penjelasan sederhana yang dikemukakan oleh Ennis (1985) dengan indikator menjelaskan yang disampaikan oleh Facione & Facione (1996)


(27)

27 memiliki cakupan yang kurang lebih sama. Maka dari itu, keempat indikator yang terdapat dalam Tabel 2 adalah indikator kemampuan berpikir kritis yang dapat terlihat (mudah diukur) menggunakan instrumen tes.

8. Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Aprianti (2013: 1), berpikir kritis merupakan perwujudan dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Secara lebih luas, berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan metakognitif (King, Goodson, & Rohani, 2015: 17). Sehingga, cara untuk mengukur kemampuan berpikir kritis tidak jauh berbeda dengan cara mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Menurut Yen & Halili (2015: 42), untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dapat menggunakan masalah nonrutin, kompleks, dapat dilihat dari sudut pandang berbeda, mengandung ketidakpastian, memerlukan pemahaman dan kinerja mental yang sungguh-sungguh. Sesuai dengan pendapat tersebut, King, Goodson, & Rohani (2015: 1) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis akan aktif ketika siswa menghadapi suatu pertanyaan, dilema, ketidakpastian maupun masalah yang tidak biasa. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Brookhart (2010: 17) mengemukakan bahwa untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, termasuk kemampuan berpikir kritis, siswa perlu diberi masalah baru (nonrutin) yang berbeda dari masalah yang mereka dapatkan selama pembelajaran di kelas.


(28)

28 a. Contoh soal uraian yang mengukur kemampuan berpikir kritis

Berikut adalah beberapa contoh soal yang dapat mengukur kemampuan berpikir kritis siswa:

1) Soal yang memuat indikator mengevaluasi dan menjelaskan: Sebuah bola ditembakkan ke udara dari permukaan tanah. Setelah t detik, bola tersebut mencapai ketinggian h meter. Bola menyentuh tanah (jatuh ke tanah) setelah 4 detik. Jika lintasan bola dinyatakan dalam bentuk fungsi, diantara ketiga fungsi berikut manakah yang memenuhi? Kemukakan alasannya! a)

c)

b) Sumber: Samritin (2014: 142)

2) Soal yang mengukur indikator mengevaluasi dan menjelaskan: Perhatikan gambar berikut!

Gambar I

adalah gambar sebuah benada berbentuk prisma segitiga sama sisi ABC.DEF dengan dan .

Gambar II adalah gambar prisma pada gambar I yang dipotong/diiris dari titik F melalui titik P dan Q, dengan titik P dan Q berturut-turut adalah titik tengah dari AD dan BE.

Terdapat pernyataan bahwa: “Sudut F pada segitiga FDE sama besar dengan sudut F pada segitiga FPQ.”

Apakah kamu setuju dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawabanmu!

Sumber: Soeyono, Y. (2014: 207)

3) Soal yang memuat indikator menginterpretasi dan menganalisis: Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 12 cm. Titik P terletak pada perpanjangan rusuk CD sehingga . Tentukan jarak titik P terhadap bidang BCGF.


(29)

29 b. Contoh rubrik penskoran soal uraian yang memuat indikator

interpretasi, analisis, dan evaluasi

Ayah memiliki dua lembar brosur penjualan motor “Honda” dari dua dealer yang berbeda. Ada sebuah sepeda motor yang ingin dibeli ayah dan memiliki harga yang sama di kedua dealer itu.

Dealer pertama memberlakukan diskon 10% dari harga barang yang telah dikenai pajak 5% terlebih dahulu. Sedangkan, dealer kedua memberlakukan pajak 5% dari harga barang yang telah dikenai diskon 10% terlebih dahulu. Ayah berpendapat bahwa dealer pertama memberikan harga yang lebih murah.

Apakah kamu setuju dengan pendapat ayah? Berikan alasanmu! Tabel 3. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian

Jawab Skor

Misalkan harga sepeda motor itu adalah . Pada dealer pertama berlaku:

Harga barang setelah kena pajak adalah

1 int Harga barang setelah kena diskon

1 anl Pada dealer kedua berlaku:

Harga barang setelah kena diskon adalah

1 int Harga barang setelah kena diskon

1 anl Maka, harga sepeda motor di kedua dealer itu sama.

Sehingga, ayah salah ketika mengatakan bahwa dealer pertama memberikan harga yang lebih murah

1 evl

TOTAL 5

Keterangan: int = interpretasi; anl = analisis; evl = evaluasi. 9. Kesalahan Konsep Pengukuran Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Stoubagh (2013: 51-58), terdapat beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh guru dalam mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Banyak guru yang bermaksud melaksanakan pengukuran kemampuan berpikir kritis, namun pada dasarnya mereka tidak


(30)

30 melaksanakan pengukuran tersebut. Kesalahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Instrumen pengukuran kemampuan berpikir kritis digunakan untuk mengetes siswa di kelas yang sama secara berulang-ulang.

b. Penggunaan kata kerja operasional tingkat tinggi dari taksonomi Bloom secara otomatis menjadikan butir soal yang disusun berkategori mengukur kemampuan berpikir kritis.

c. Soal yang sulit dianggap merupakan soal yang mengukur kemampuan berpikir kritis.

d. Siswa dianggap memiliki tingkat kemampuan berpikir yang sama. e. Pengukuran kemampuan berpikir kritis hanya dapat dilakukan secara

lisan.

f. Soal pilihan ganda hanya dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat rendah.

g. Kemampuan berpikir kritis hanya bisa diajarkan pada siswa SMA dan mahasiswa.

h. Kemampuan berpikir kritis hanya dimiliki oleh siswa yang berbakat.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Ali Syahbana (2012) yang berjudul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Kontekstual untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP” memberikan hasil bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian


(31)

31 ini, dikategorikan valid, praktis dan memiliki potential effect terhadap hasil belajar dan aktivitas siswa di kelas VIII.1 dan VIII.2 SMPN 18 Palembang. Sedangkan nilai rata-rata kemampuan siswa tersebut masuk dalam kategori baik, dengan nilai 69,85 dalam interval nilai 0-100.

Penelitian yang dilakukan oleh Lissa, Prasetyo, & Indriyanti (2012) yang berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Materi Sistem Respirasi dan Ekskresi” memberikan hasil bahwa instrumen penelitian yang berupa tes dan nontes dinyatakan valid dan reliabel. Instrumen juga dinyatakan praktis dengan respons positif dari guru dan siswa yang lebih dari 80%.

Penelitian yang dilakukan oleh Anisah, Zulkardi, & Darmawijoyo (2011) dengan judul “Pengembangan Soal Matematika Model PISA pada Konten Quantity untuk Mengukur Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama” menghasilkan perangkat soal yang valid dan praktis. Sedangkan hasil uji lapangan menunjukkan bahwa sebagian siswa masih memiliki kemampuan penalaran matematis yang kurang karena kesulitan dalam mengidentifikasi permasalahan yang diberikan pada soal.

Penelitian yang dilakukan oleh Mufida Nofiana (2013) dengan judul “Pengembangan Instrumen Evaluasi Twotier Multiple Choice Question untuk Mengukur Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi pada Materi Kingdom Plantae” menghasilkan bahwa karakteristik instrumen evaluasi two-tier multiple choice question untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dikembangkan memiliki validitas dengan interpretasi minimal “cukup”,


(32)

32 serta memiliki reabilitas yang tinggi. Butir soal yang dikembangkan memiliki tingkat kesukaran soal dengan proporsi 15% mudah: 80% sedang: 5% sulit, memiliki daya beda soal dengan interpretasi minimal “cukup”, serta memiliki tingkat kepraktisan soal yang dinilai baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Maslukha (2011) dengan judul “Pengembangan Perangkat Evaluasi Pembelajaran Matematika dengan Memperhatikan Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Siswa di MTs Tribakti Kunjang Kediri” menunjukkan bahwa dari 10 item soal uraian yang diuji validitasnya, 3 item dintaranya telah dinyatakan valid yaitu nomor 1, 4, dan 5. Sedangkan 7 item lainnya yaitu nomor 2, 3, 6, 7, 8, 9, dan 10 dinyatakan tidak valid. Sedangkan tujuh aspek yang diukur pada penilaian afektif hanya ada satu aspek yaitu aspek nomor 4 yang dinyatakan valid. Sedangkan enam aspek lainnya yaitu aspek nomor 1, 2, 3, 5, 6, dan 7 dinyatakan tidak valid. Dari lima aspek yang diukur pada penilaian psikomotor ada tiga aspek yaitu aspek nomor 1, 3, dan 5 dinyatakan valid. Sedangkan dua aspek lainnya yaitu aspek nomor 2 dan 4 dinyatakan tidak valid. Sedangkan perangkat evaluasi yang dikembangkan meliputi kisi-kisi, lembar soal, kunci jawaban dan pedoman penskoran mendapat rata-rata penilaian B dari para validator. Hal ini berarti perangkat evaluasi yang dikembangkan berada dalam kategori "praktis" dan dapat digunakan. Kemudian, koefisien reliabilitas yang diperoleh untuk penilaian kognitif sebesar 0,6; psikomotor 0,875; afektif sebesar -0, 875.


(33)

33 Penelitian yang dilakukan oleh Samritin (2014) dengan judul “Pengembangan Instrumen Penilaian Kemampuan Higher Order Thinking Siswa SMP dalam Mata Pelajaran Matematika” menunjukkan bahwa 12 butir soal uraian yang dikembangkan dinyatakan valid dan reliabel. Setiap butir soal tersebut juga memiliki indeks kesukaran butir yang berada antara 0.3 dan 0.7, sehingga memenuhi kriteria parameter butir yang baik.

C. Kerangka Berpikir

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan seseorang memperoleh berbagai informasi dengan mudah dan cepat. Namun, masih banyak informasi yang masuk ke Indonesia tidak sesuai dengan adat dan budaya ketimuran. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu mendorong masyarakatnya untuk berpikir secara kritis agar mampu memilih dan memilah mana saja informasi yang baik dan patut diterima.

Salah satu cara yang dapat digunakan Indonesia dalam mendorong masyarakatnya agar mampu berpikir secara kritis adalah melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan mengurusi cara berpikir dan berperilaku manusia. Dengan kata lain, pendidikan menghasilkan unsur terpenting dalam sebuah peradaban, yakni manusia. Indonesia sudah memulainya dengan menetapkan berpikir kritis sebagai salah satu kompetensi yang harus dicapai dalam beberapa kurikulum pendidikannya. Maka dari itu, setiap hal yang ada dalam pendidikan harus mendorong siswa untuk berpikir kritis terhadap hal-hal yang memang patut dikritisi.


(34)

34 Salah satu mata pelajaran yang banyak melibatkan proses berpikir dalam pendidikan di Indonesia adalah matematika. Matematika mampu melatih siswa untuk memaksimalkan kemampuan berpikirnya dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, baik konkret maupun abstrak. Maka, sudah seharusnya matematika mampu membantu siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik.

Bagan 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Sebagian besar proses pembelajaran matematika di sekolah diperuntukkan bagi pemecahan soal. Namun banyak soal matematika yang hanya menuntut kemampuan berpikir tingkat rendah, sehingga kurang mendukung perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Padahal, untuk

Hasil:

Soal matematika yang baik dan dapat mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA

Ideal:

1. Berdasarkan KTSP 2006 dan Kurikulum 2013, dalam pembelajaran matematika siswa diharap memiliki kemampuan berpikir kritis 2. Soal matematika harus

menarik dan menantang bagi siswa serta dapat mengukur kemampuan berpikir kritis

Realita: 1. Kebiasan melatih

kemampuan berpikir kritis belum sepenuhnya

diterapkan

2. Soal yang ada belum mengukur kemampuan berpikir kritis

3. Soal yang ada belum teruji kualitasnya

Solusi:

Perlu dikembangkan soal matematika yang baik serta dapat mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA


(35)

35 melatih kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika, sudah seharusnya siswa mengerjakan soal tidak hanya memerlukan kemampuan hafalan yang baik saja. Maka dari itu, perlu dikembangkan soal matematika sekolah yang dapat mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.


(36)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau research & development (R & D) dengan menggunakan model pengembangan instrumen yang dikemukakan oleh Retnawati (2016: 3-6). Model ini terdiri dari 9 langkah, yaitu: (1) menentukan tujuan pengembangan, (2) menentukan cakupan materi, (3) menentukan indikator instrumen, (4) menyusun butir instrumen, (5) validasi isi, (6) revisi, (7) uji coba instrumen, (8) analisis hasil uji coba, dan (9) merakit instrumen.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada hari Kamis-Jum’at, 17-18 Maret 2016 di SMA N 1 Boyolali yang beralamat di Jalan Kates No. 8 Boyolali.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA N 1 Boyolali kelompok matematika dan ilmu alam. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 5 kelas yang terdiri dari 146 siswa.


(37)

37 D. Desain Penelitian

1. Menentukan tujuan pengembangan

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk: (1) menghasilkan instrumen evaluasi matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI, dan (2) mendeskripsikan kualitas instrumen evaluasi matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI.

2. Menentukan cakupan materi

Pada penelitian ini, peneliti memilih materi aritmetika dan aljabar sederhana. Kedua materi tersebut dipilih karena lebih dapat dibuat menjadi masalah yang realistik maupun kontekstual. Hal ini ditujukan agar soal yang disusun memenuhi kriteria soal matematika yang baik menurut Fung & Roland (2004: 290), yaitu menarik, sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa, dan mengandung konsep matematika yang nyata sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan siswa. 3. Menentukan indikator instrumen

Indikator instrumen penelitian ditentukan berdasarkan kajian terhadap buku dan penelitian terkait kemampuan berpikir kritis yang sudah ada sebelumnya. Berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan oleh peneliti, indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan adalah indikator yang dapat muncul dan diamati dari hasil tes yang diperoleh. Sebagai hasilnya, ada 4 indikator yang dipilih, yaitu: (1) menginterpretasi; (2) menganalisis; (3) mengevaluasi; dan (4)


(38)

38 menjelaskan. Penjelasan masing-masing indikator disajikan pada Tabel 2 halaman 26. Indikator yang ada disusun ke dalam kisi-kisi soal agar penyebarannya lebih merata. Kemudian, butir soal disusun berdasarkan kisi-kisi yang sudah ada.

4. Menyusun butir instrumen

Butir instrumen harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Pengukuran kemampuan berpikir kritis menitikberatkan pada proses. Maka dari itu, butir soal yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk esai/uraian yang lebih mampu menampilkan proses siswa memperoleh jawaban. Selain itu, jumlah butir yang digunakan menyesuaikan alokasi waktu yang tersedia. Pada rancangan awal, peneliti menyusun 4 paket soal dengan masing-masing paket terdiri dari 10 butir soal uraian.

Keempat paket tersebut selanjutnya dinamai dengan “Paket 1”, “Paket 2”, “Paket 3”, dan “Paket 4”. Selengkapnya, instrumen awal penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 83-133.

5. Validasi isi

Dalam melakukan validasi isi butir soal, peneliti meminta bantuan kepada 3 orang ahli/validator yang terdiri dari 3 orang dosen matematika. Ahli/validator menilai dan memberikan masukan menggunakan lembar validasi yang telah disediakan terhadap keempat paket instrumen yang telah disusun. Waktu yang diperlukan pada tahap ini adalah sekitar 1 hingga 2 pekan. Sedangkan nama validator yang dipilih dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4 halaman 39.


(39)

39 Tabel 4. Daftar Nama Validator

No. Nama Validator Keterangan

1. Dr. Ali Mahmudi Dosen Pendidikan Matematika UNY 2. Musthofa, M. Sc. Dosen Pendidikan Matematika UNY 3. Ilham Rizkianto, M. Sc. Dosen Pendidikan Matematika UNY 6. Revisi berdasarkan masukan validator

Instrumen yang telah disusun beserta lembar validasi diserahkan kepada ahli/validator untuk dinilai dan diberikan masukan. Kemudian hasilnya dijadikan acuan untuk melakukan revisi agar instrumen siap diujicobakan. Jumlah soal dan soal mana saja yang akan diujicobakan dipilih berdasarkan masukan ahli/validator.

Skor yang terdapat pada lembar validasi menggunakan skala 1 sampai 5, dengan keterangan sebagai berikut: 1 = sangat tidak sesuai ; 2 = kurang sesuai ; 3 = cukup sesuai ; 4 = sesuai ; dan 5 = sangat sesuai. Kemudian, dari skor tersebut dihitung indeks Aiken-nya untuk menentukan validitas isi instrumen. Indikator yang digunakan dalam lembar validasi ahli diadaptasi dari Puspendik (2007: 13-14) dan Indrayana (2010) serta disajikan pada Tabel 5 halaman 40.

Instrumen awal penelitian yang sebelumnya terdiri dari 4 paket dengan 10 soal uraian setiap paketnya direvisi menjadi 4 paket dengan 8 soal uraian setiap paketnya. Dengan kata lain, ada beberapa soal yang dibuang. Hal tersebut dilakukan karena mempertimbangkan waktu tes yang tersedia. Selain itu, pertimbangan yang digunakan adalah terpenuhinya 4 indikator kemampuan berpikir kritis di masing-masing paket soal. Hal ini memungkinkan untuk mengelompokkan kembali soal


(40)

40 dari keempat paket yang ada sehingga setiap paket memuat keempat indikator kemampuan berpikir kritis. Kemudian, instrumen hasil revisi

disebut “Paket A”, “Paket B”, “Paket C”, dan “Paket D”. Tabel 5. Indikator Penilaian Instrumen Soal

No. Aspek yang Dinilai

A Aspek Materi

1 Materi soal sesuai dengan tujuan pengukuran 2 Butir soal sesuai dengan indikator

3 Materi soal sesuai dengan tingkat/jenjang pendidikan siswa 4 Hanya ada satu jawaban yang benar

5 Masalah yang disajikan menarik bagi siswa B Aspek Konstruksi

6 Setiap butir soal tidak bergantung satu sama lain 7 Penyelesaian soal lebih dari satu langkah

8 Merangsang kemampuan berpikir kritis siswa 9 Merangsang rasa ingin tahu siswa

10 Rumusan pertanyaan soal menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut siswa menguraikan jawaban

11 Penyajian gambar, grafik, tabel, atau sejenisnya disajikan secara jelas dan dapat dipahami

12 Petunjuk mengerjakan soal jelas dan dapat dipahami 13 Terdapat pedoman penskoran

C Aspek Bahasa

14 Penggunaan bahasa sesuai dengan EYD 15 Bahasa yang digunakan komunikatif

16 Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat 17 Rumusan soal tidak menimbulkan penafsiran ganda 18 Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat

menyinggung perasaan siswa 7. Uji coba instrumen

Instrumen yang lolos revisi dan telah dinyatakan layak serta dapat diujicobakan dipilih untuk digunakan pada tahap uji coba. Pada tahap ini, instrumen evaluasi yang diujicobakan adalah Paket A.

8. Analisis hasil uji coba

Skor jawaban siswa dari soal yang diujicobakan, kemudian dianalisis untuk mengetahui kualitas instrumen/produk. Pada tahap ini, terdapat 4


(41)

41 analisis data yang dilakukan, diantaranya: (1) pembuktian validitas konstruk, (2) analisis butir soal, yang terdiri dari tingkat kesukaran, daya beda, dan reliabilitas butir soal.

9. Merakit instrumen

Apabila terdapat soal yang tidak memenuhi kriteria sebagai butir soal yang baik, maka peneliti dapat merekomendasikan butir soal yang terdapat pada paket lain untuk dirakit dengan butir yang lolos seleksi. Selengkapnya, instrumen akhir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 146-186.

E. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah lembar kisi-kisi soal, lembar soal, lembar kunci jawaban dan panduan penskoran, serta lembar validasi ahli. Secara lengkap, intrumen awal penelitian disajikan pada Lampiran 2 halaman 83-133.

F. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, terdapat beberapa teknik pengumpulan data. Pada tahap pengumpulan informasi awal mengenai intrumen penilaian yang biasa digunakan oleh guru di kelas, peneliti melakukan wawancara. Pada tahap validasi ahli, peneliti mengumpulkan data menggunakan angket (lembar validasi ahli). Sedangkan pada tahap uji coba awal dan uji lapangan, peneliti menggunakan teknik tes. Tes dilakukan dalam waktu 2 jam pelajaran atau


(42)

42 sekitar 80 menit. Selanjutnya, hasil yang diperoleh dianalisis sebagai dasar untuk mengevaluasi dan memperbaiki soal agar menjadi produk yang layak digunakan.

G. Teknik Analisis Data a. Validitas Isi

Validitas isi merupakan validitas yang diperoleh dari pengujian terhadap kelayakan atau kesesuaian isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau expert judgement (penilaian ahli). Untuk instrumen evaluasi berbentuk tes, pembuktian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan (Sugiyono, 2013: 353).

Dalam membuktikan validitas isi butir instrumen, peneliti menggunakan rumus indeks Aiken ( ) yang dikemukakan oleh Retnawati (2016: 18), yaitu:

∑ keterangan:

= indeks kesepakatan ahli mengenai validitas butir

= angka penilaian validitas terendah C = angka penilaian validitas tertinggi N = banyaknya ahli/validator


(43)

43 Nilai yang diperoleh kemudian diklasifikasikan validitasnya. Pengklasifikasian validitas isi instrumen didasarkan Tabel 6 berikut: Tabel 6. Klasifikasi Validitas Isi Instrumen

No. Indeks Aiken (V) Validitas 1. Kurang valid (rendah) 2. Cukup valid (sedang) 3. Sangat valid (tinggi)

(Retnawati, Heri. 2016: 19) b. Validitas Konstruk

Sebuah instrumen evaluasi dikatakan memiliki validitas konstruk jika butir soal yang membangun instrumen tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam tujuan evaluasi (Arikunto, 2013: 83). Pembuktian validitas konstruk dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu exploratory factor analysis (EFA) dan confirmatory factor analysis (CFA).

Penelitian ini menggunakan metode EFA untuk membuktikan validitas konstruk instrumen dan dibantu program SPSS 16.0. Beberapa langkah yang dilakukan dalam metode EFA adalah sebagai berikut: 1) Pengujian KMO and Bartlett’s Test

Pada langkah ini, analisis faktor layak dilakukan apabila nilai Kaiser-Meyer-Olkin measure of sampling adequacy (KMO) lebih dari 0,5. Selain itu, harus dipenuhi syarat bahwa nilai signifikansi kurang dari 0,01. Dengan demikian, hasil tersebut menunjukkan bahwa sampel yang digunakan pada analisis faktor telah cukup (Retnawati, 2016: 47).


(44)

44 2) Pengujian Total Variance Explained

Pada tahap ini, pengujian difokuskan pada kolom Initial Eigenvalues. Nilai minimal Eigenvalues pembentuk faktor adalah 1. Hal ini berarti bahwa jika Eigenvalues kurang dari 1, maka tidak terdapat variabel pembentuk faktor. Sedangkan nilai Cummulative % menunjukkan berapa persen (%) instrumen mampu mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.

3) Pengujian Scree Plot

Selain dari tabel Total Variance Explained, untuk menentukan jumlah faktor yang terbentuk, peneliti menggunakan grafik Scree Plot. Caranya adalah dengan memperhatikan garis penghubung antarnilai Eigen. Jika setelah suatu faktor mengalami penurunan tajam, maka faktor yang valid hanya sampai faktor tersebut. Selain itu, dapat pula dilihat dari nilai Eigen-nya. Apabila titik-titik tersebut berada di atas nilai Eigen 1 (satu), maka dapat disimpulkan variabel tersebut membentuk suatu faktor.

4) Pengujian Rotated Component Matrix

Tahap analisis data pada analisis faktor selanjutnya adalah memperhatikan output pada tabel Rotated Component Matrix. Tabel ini menunjukkan korelasi tiap butir dengan tiap komponen (faktor). Dengan kata lain, pada tahap ini dapat ditentukan butir yang belum jelas akan menjadi komponen (faktor) yang mana. Setelah itu, faktor


(45)

45 yang muncul dapat dinamai berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis yang dominan.

c. Taraf Kesukaran ( )

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sulit atau terlalu mudah. Soal yang terlalu mudah kurang dapat merangsang kemampuan berpikir kritis siswa. Sedangkan soal yang terlalu sulit cenderung membuat siswa putus asa dalam mengerjakannya. Rumus untuk mencari taraf kesukaran ( ) adalah:

keterangan:

indeks kesukaran butir soal ke-i

jumlah skor yang diperoleh seluruh siswa pada soal ke-i .

Nilai yang diperoleh kemudian diklasifikasikan tingkat kesukarannya. Pengklasifikasian tersebut didasarkan Tabel 7 berikut: Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Kesukaran Butir Soal

No. Indeks Kesukaran ( ) Keterangan

1 Sulit

2 Sedang

3 Mudah

(Arikunto, S. 2013: 225) d. Daya Beda Butir Soal

Daya beda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan yang


(46)

46 berkemampuan rendah. Butir soal yang baik adalah soal yang memiliki indeks daya beda (diskriminasi) 0,3 sampai 0,7.

Ada beberapa cara untuk mengetahui daya beda butir soal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan koefisien korelasi point biserial ( ) dalam mengukur daya beda butir soal. Untuk menentukan kriteria daya beda butir soal penelitian, koefisien korelasi point biserial ( ) yang telah ditemukan dikonsultasikan kepada Tabel 1 halaman 21. Rumus menghitung koefisien korelasi point biserial ( ):

keterangan:

indeks daya beda butir soal

mean skor pada tes dari peserta pada kelompok atas mean skor pada tes dari peserta pada kelompok bawah standar deviasi seluruh skor tes

proporsi peserta tes kelompok atas .

e. Reliabilitas

Untuk menentukan reliabilitas soal, peneliti menggunakan perbandingan antara dengan pada taraf signifikan 5%. Jika

, maka tes dikatakan reliabel. Akan tetapi, jika , maka tes tersebut dikatakan tidak reliabel. Nilai dapat juga


(47)

47 Sedangkan rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya koefisien reliabilitas butir soal uraian adalah rumus Alpha Cronbach (Arikunto, 2013: 122):

keterangan:

= reliabilitas tes secara keseluruhan

∑ = jumlah varians skor tiap-tiap item = varians total

= banyak item (soal).

Tabel 8. Klasifikasi Reliabilitas Butir Soal

No. Koefisien Reliabilitas ( ) Keterangan 1. Sangat rendah

2. Rendah

3. Cukup

4. Tinggi

5. Sangat tinggi Guilford (Sudijono, 2015: 193)


(48)

48 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Pengembangan Instrumen

Pada rancangan awal, instrumen terdiri dari 4 paket yang setiap paket terdiri dari 10 soal uraian, kisi-kisi, kunci jawaban, dan panduan penskoran. Paket instrumen tersebut kemudian diberi nama “Paket 1”, “Paket 2”, “Paket 3”, dan “Paket 4”. Rancangan awal instrumen evaluasi dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 83-133. Paket instrumen disusun dengan mempertimbangkan 4 indikator kemampuan berpikir kritis yang harus ada di masing-masing paket. Namun, satu soal tidak memuat keempat indikator kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, muatan indikator kemampuan berpikir kritis dilihat berdasarkan ketercukupannya pada masing-masing paket. Rincian indikator yang termuat dalam masing-masing paket disajikan pada tabel berikut:

Tabel 9. Muatan Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Pada Instrumen Awal Penelitian

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Paket Interpretasi Analisis Menjelaskan Evaluasi

Paket 1 V V V V

Paket 2 V V V V

Paket 3 V V V V

Paket 4 V V V V

Keterangan: V = ada; rincian indikator yang termuat pada masing-masing soal disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 halaman 83-86.

Validasi dilakukan dengan menyerahkan lembar validasi ahli, kisi-kisi, soal, kunci jawaban dan panduan penskoran. Kemudian ahli diminta


(49)

49 untuk menilai kesesuaian instrumen dengan indikator yang ada pada lembar validasi ahli. Aspek yang dinilai meliputi 3 hal, yaitu: (1) materi; (2) konstruksi; dan (3) bahasa. Hasil penilaian ahli/validator disajikan dalam tabel 10, 11, dan 12. Selain hasil ketiga aspek penilaian tersebut, ahli menyatakan bahwa keempat paket instrumen evaluasi tersebut dapat diujicobakan setelah dilakukan revisi. Dokumentasi hasil penilaian ahli/validator dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 195-218.

Tabel 10. Hasil Penilaian Indikator Materi Instrumen

No. Indikator Skor (%) Kriteria

1 Materi soal sesuai dengan tujuan pengukuran

88,33 Sangat Baik 2 Butir soal sesuai dengan indikator 81,67 Baik 3 Materi soal sesuai dengan

tingkat/jenjang pendidikan siswa

80,00 Baik

4 Hanya ada satu jawaban yang benar 80,00 Baik 5 Masalah yang disajikan menarik

bagi siswa

75,00 Baik

Rata-rata 81,00 Baik

Tabel 11. Hasil Penilaian Indikator Konstruksi Instrumen

No. Indikator Skor (%) Kriteria

1 Setiap butir soal tidak bergantung satu sama lain

93,33 Sangat Baik 2 Penyelesaian soal lebih dari satu

langkah

90,00 Sangat Baik 3 Merangsang kemampuan berpikir

kritis siswa

83,33 Sangat Baik 4 Merangsang rasa ingin tahu siswa 83,33 Sangat Baik 5 Rumusan pertanyaan soal

menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut siswa menguraikan jawaban

80,00 Baik

6 Penyajian gambar, grafik, tabel, atau sejenisnya disajikan secara jelas dan dapat dipahami

78,33 Baik

7 Petunjuk mengerjakan soal jelas dan dapat dipahami

78,33 Baik

8 Terdapat pedoman penskoran 85,00 Baik


(50)

50 Tabel 12. Hasil Penilaian Indikator Bahasa Instrumen

No. Indikator Skor (%) Kriteria

1 Penggunaan bahasa sesuai dengan EYD

80,00 Baik

2 Bahasa yang digunakan komunikatif

78,33 Baik

3 Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat

86,67 Baik

4 Rumusan soal tidak menimbulkan penafsiran ganda

73,33 Baik

5 Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan siswa

85,00 Baik

Rata-rata 80,67 Baik

Selanjutnya, skor yang diperoleh dari penilaian ahli digunakan untuk menghitung koefisien validitas isi instrumen. Besarnya koefisien validitas ditentukan berdasarkan indeks Aiken. Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 13. Perolehan Indeks Aiken Instrumen Evaluasi No. Instrumen Indeks Aiken Keterangan

1. Paket 1 0,75 Cukup valid (sedang) 2. Paket 2 0,78 Cukup valid (sedang) 3. Paket 3 0,80 Cukup valid (sedang) 4. Paket 4 0,78 Cukup valid (sedang) Rata-rata 0,78 Cukup valid (sedang)

Berdasarkan tabel di atas, keempat paket instrumen evaluasi memiliki nilai rata-rata indeks Aiken sebesar 0,78. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen memiliki validitas yang cukup (sedang) dalam mengukur kemampuan berpikir kritis. Sehingga, instrumen dapat dinyatakan layak untuk diujicobakan setelah dilakukannya revisi.


(51)

51 2. Hasil Revisi Produk

Revisi instrumen dilakukan berdasarkan masukan dari ahli/validator. Secara umum, saran atau masukan yang diperoleh selama proses validasi dari ahli disajikan pada Tabel 14 halaman 52.

Pada lembar kisi-kisi instrumen awal penelitian (lihat Lampiran 2 halaman 83-86) terdapat beberapa kata kerja operasional yang diganti. Seperti Indikator Soal 1.1 pada Paket 1 yang tertulis “Siswa dapat memahami konsep untung dalam proses jual beli”. Ahli mengatakan bahwa “memahami” tidak dapat digunakan sebagai kata kerja operasional pada indikator soal. Karena, kata tersebut sangat sulit diukur. Oleh karena itu, kalimat tersebut diganti menjadi “Siswa dapat memecahkan masalah terkait konsep untung dalam proses jual beli”. Selain itu, terdapat kesalahan pemahaman terkait sistem persamaan linear. Pada Indikator Soal 2.2 Paket 1 tertulis “Siswa dapat menentukan solusi dari soal cerita yang berkaitan dengan sistem persamaan linear satu variabel”. Persamaan linear satu variabel tidak dapat dikatakan suatu sistem. Sehingga, kata “sistem” dihilangkan menjadi “Siswa dapat menentukan solusi dari soal cerita yang berkaitan dengan persamaan linear satu variabel”. Sedangkan pada semua paket penulisan “aritmatika” diubah menjadi “aritmetika”. Informasi perbaikan instrumen disajikan secara lengkap pada Lampiran 3 halaman 135-144.

Selain mempertimbangkan saran/masukan ahli di atas, revisi dilakukan dengan mempertimbangkan soal yang dibuang dan muatan 4


(52)

52 indikator kemampuan berpikir kritis yang ada pada masing-masing paket soal. Apabila terdapat paket soal yang kekurangan salah satu atau beberapa indikator kemampuan berpikir kritis, maka diambil soal dari paket lain atau soal baru yang memuat indikator tersebut sehingga masing-masing paket soal memuat 4 indikator kemampuan berpikir kritis.

Tabel 14. Perbaikan Instrumen Evaluasi Secara Umum

No. Saran/Masukan Perbaikan

1. Jumlah soal terlalu banyak Mengurangi jumlah soal agar sesuai dengan alokasi waktu yang ada 2. Kata kerja operasional yang

digunakan dalam kisi-kisi soal kurang jelas

Mengganti kata kerja operasional pada kisi-kisi dengan kata kerja yang lebih mudah diukur

3. Kalimat soal tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang baku

Mengganti kalimat soal agar sesuai dengan kaidah penulisan yang baku 4. Konteks yang digunakan

dalam soal terlalu mengada-ada

Menghapus atau memperbaiki soal dengan masalah yang lebih realistik atau kontekstual

5. Kalimat soal bermakna ambigu

Mengganti atau melengkapi kalimat soal agar tidak bermakna ambigu 6. Pemilihan kata pada soal

tidak tepat

Mengganti kata pada soal yang sesuai dengan konteksnya

7. Soal atau kunci jawaban yang disusun tidak sesuai dengan aturan matematika yang baik dan benar

Menghapus atau memperbaiki soal serta kunci jawaban agar sesuai dengan aturan matematika yang baik dan benar

Pada lembar soal juga terdapat beberapa perbaikan. Instrumen rancangan awal terdiri dari 10 soal uraian untuk setiap paket. Setelah revisi, setiap paket hanya terdiri 8 soal disebabkan oleh ketersediaan waktu pelaksanaan tes. Oleh karena itu, terdapat beberapa soal yang dibuang tanpa penggantian. Soal yang dibuang tanpa penggantian disajikan pada Tabel 15 halaman 53. Sedangkan, soal yang tidak dibuang


(53)

53 namun dengan perbaikan dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 135-144.

Tabel 15. Soal yang Dibuang pada Instrumen Rancangan Awal

No. Soal yang Dibuang Keterangan

1 Paket 2 nomor 2 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

2 Paket 3 nomor 1 Maksud soal tidak jelas & terjadi

kesalahan konsep dalam penyusunan soal 3 Paket 3 nomor 4 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan

berpikir kritis

4 Paket 3 nomor 5 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

5 Paket 3 nomor 6 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

6 Paket 3 nomor 9 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

7 Paket 4 nomor 9 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

8 Paket 4 nomor 10 Soal terlalu mudah

Setelah dilakukan revisi, dihasilkan instrumen evaluasi baru dengan nama “Paket A”, “Paket B”, “Paket C”, dan “Paket D” yang masing-masing paket terdiri dari 8 soal uraian, kisi-kisi soal, kunci jawaban dan panduan penskorannya. Sebagaimana instrumen awal penelitian, setiap soal pada paket tersebut tidak memuat keempat indikator kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, muatan indikator kemampuan berpikir kritis dilihat berdasarkan ketercukupannya pada masing-masing paket. Muatan indikator kemampuan berpikir kritis pada instrumen akhir penelitian disajikan pada Tabel 16 halaman 54.


(54)

54 Tabel 16. Muatan Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Pada Instrumen

Akhir Penelitian

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Paket Interpretasi Analisis Menjelaskan Evaluasi

Paket A V V V V

Paket B V V V V

Paket C V V V V

Paket D V V V V

Keterangan: V = ada; rincian indikator yang termuat pada masing-masing soal disajikan secara lengkap pada Lampiran 4 halaman 146-149.

3. Hasil Uji Coba Produk

Uji coba instrumen dilakukan di SMA N 1 Boyolali yang beralamat di Jalan Kates No. 8 Boyolali. Sebelum melakukan uji coba, peneliti berkoordinasi dengan kepala sekolah beserta guru matematika di sekolah. Selanjutnya, untuk memperoleh izin penelitian, peneliti menyiapkan beberapa syarat administrasi berupa surat-surat yang disajikan pada Lampiran 1 halaman 73-81. Sebagai hasilnya, peneliti dapat melakukan penelitian pada hari Kamis dan Jum’at, tanggal 17-18 Maret 2016.

Paket soal yang diujicobakan pada tahap ini adalah Paket A dari instrumen akhir penelitian. Namun, Paket B, C, dan D dapat dinyatakan sebagai instrumen yang valid berdasarkan hasil validasi ahli terhadap Paket 1, 2, 3, dan 4 pada instrumen awal penelitian. Selain itu, masing-masing paket disusun secara paralel dengan mempertimbangkan indikator kemampuan berpikir kritis yang dimuat. Oleh karena itu, hal ini diharapkan tidak berpengaruh secara siginifikan pada validitas paket yang tidak diujicobakan.


(55)

55 Tabel 17. Hasil Perolehan Nilai Siswa Keseluruhan

No. Interval Nilai Banyak Siswa

1 13 – 21 1

2 22 – 30 15

3 31 – 39 39

4 40 – 48 31

5 49 – 57 24

6 58 – 66 28

7 67 – 75 7

8 76 – 84 1

TOTAL 146

Rata-rata 46,03

Dari 7 kelas XI kelompok matematika dan ilmu alam (MIA), penelitian dilakukan pada 5 kelas XI MIA, yaitu MIA 2, MIA 3, MIA 4, MIA 6, dan MIA 7. Banyak siswa dari kelima kelas yang mengikuti tes adalah 146 orang. Saat pelaksanaan tes, banyak siswa dari masing-masing kelas mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA), sehingga jumlah siswa yang seharusnya ada di kelas lebih dari 146 orang. Dua kelas lain, yaitu XI MIA 1 dan 5 memiliki jadwal mata pelajaran matematika yang sama dengan kelas yang dikenakan uji coba, sehingga tidak dapat dikenakan uji coba pada saat bersamaan. Sedangkan, pada pekan setelah pelaksanaan uji coba, kelas XII melaksanakan ujian, sehingga hampir semua ruang kelas digunakan dan kelas X serta XI diliburkan. Hasil perolehan nilai siswa disajikan pada Tabel 17. Kemudian, penentuan kelulusan siswa yang ditentukan berdasarkan rata-rata/mean aktual sebagai batas kelulusan disajikan pada Tabel 18 halaman 56. Hasil lengkap perolehan nilai siswa dapat dilihat pada


(56)

56 Lampiran 5 halaman 188-192, sedangkan contoh jawaban siswa dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 219-224.

Tabel 18. Hasil Kelulusan Siswa Berdasarkan Mean

No. Keterangan Interval Nilai Banyak Siswa

1 Tidak Lulus (TL) < 46 75

2 D 46 – 56 35

3 C 57 – 66 28

4 B 67 - 75 7

5 A > 75 1

TOTAL 146

4. Hasil Analisis Data

a. Validitas konstruk instrumen evaluasi 1) Pengujian KMO and Bartlett’s Test

Pada tahap ini, diperoleh nilai Chi-kuadrat pada uji Bartlet menggunakan program SPSS 16.0 sebesar 63,028 dengan derajat kebebasan 28 dan nilai signifikan 0,000. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,572 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 63,028

df 28

Sig. 0,000

Hasil ini menunjukkan bahwa sampel sebanyak 146 pada analisis faktor ini telah cukup dan dapat dilakukan analisis lebih lanjut. Hal ini diperkuat dengan Kaiser-Meyer-Olkin measure of sampling adequacy (KMO) sebesar 0,572 yang melebihi 0,5. Dari analisis tersebut juga diperoleh nilai signifikansi Barlett’s Test yang kurang dari 0,01 Artinya, pada penelitian ini terdapat


(57)

57 korelasi yang sangat signifikan antar variabel dan hasil penghitungan KMO.

2) Pengujian Total Variance Explained

Hasil penghitungan menggunakan SPSS yang disajikan pada Tabel 20 menunjukkan bahwa data respons siswa terhadap soal matematika yang dikembangkan terdapat 3 nilai Eigen yang lebih besar dari 1. Hasil selengkapnya disajikan pada tabel berikut:

Tabel 20. Total Variance Explained

Component Initial Eigenvalues

Total % of Variance Cumulative %

1 1,731 21,641 21,641

2 1,300 16,248 37,890

3 1,106 13,827 51,716

4 0,921 11,516 63,232

5 0,872 10,904 74,136

6 0,782 9,780 83,916

7 0,712 8,896 92,812

8 0,575 7,188 100,000

Hasil ini menunjukkan bahwa tiga faktor dengan total faktor mampu menjelaskan variabel sebesar 51,716%. Dengan kata lain, instrumen yang dikembangkan memiliki kemampuan untuk mengukur berpikir kritis sebesar 51,716%.

3) Pengujian Scree Plot

Banyaknya faktor yang termuat dalam instrumen dapat diketahui dari Scree plot yang disajikan pada Gambar 1 halaman 58. Banyaknya faktor ditandai dengan curamnya grafik


(58)

58 perolehan nilai Eigen. Gambar tersebut menunjukkan bahwa ada 3 faktor yang terukur dalam instrumen evaluasi yang dikembangkan. Dengan 3 faktor tersebut, instrumen telah dapat menjelaskan 51,716% varians hasil pengukuran sebagaimana yang terdapat pada Tabel 20 halaman 57.

Gambar 1.

Hasil Analisis Faktor Exploratory

Dari hasil Scree plot tersebut nampak bahwa nilai Eigen mulai landai pada faktor ke-4. Ini menunjukkan bahwa terdapat 1 faktor dominan pada instrumen evaluasi, 2 faktor lainnya memberikan sumbangan yang cukup besar terdapat terhadap komponen varians yang dapat dijelaskan. Mulai faktor ke-4 dan seterusnya pada grafik menunjukkan mulai mendatar. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat tes matematika mengukur paling tidak 3 faktor dengan faktor pertama merupakan faktor dominan.


(59)

59 4) Pengujian Rotated Component Matrix

Tahap analisis faktor selanjutnya adalah memperhatikan hasil pada tabel Rotated Component Matrix. Dengan hasil ini, dapat ditentukan variabel mana saja yang termasuk faktor 1, 2, dan 3. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Rotated Component Matrixa Component

1 2 3

soal8 0,641 0,227 0,188 soal7 0,623 0,031 0,160 soal4 0,548 -0,032 -0,077 soal3 0,130 0,839 -0,219 soal6 0,005 0,735 0,270 soal2 0,110 -0,008 0,719 soal1 0,411 -0,312 -0,563 soal5 0,370 -0,040 0,536

Hasil ini menunjukkan bahwa soal yang termasuk dalam “faktor 1” adalah soal nomor 4, 7, dan 8. Sedangkan soal yang termasuk dalam “faktor 2” adalah soal nomor 3 dan 6. Soal nomor 1, 2, dan 5 termasuk dalam “faktor 3”.

Berdasarkan kisi-kisi soal Paket A yang terdapat pada Lampiran 4 halaman 144, soal 4, 7, dan 8 memuat indikator “analisis” sebagai indikator yang dominan, sehingga “faktor 1” dapat dinamai dengan “analisis”. Soal 3 dan 6 memuat indikator “interpretasi” sebagai indikator yang dominan, sehingga “faktor 2” dapat dinamai dengan “interpretasi”. Sedangkan, soal 1, 2,


(60)

60 dan 5 memuat indikator “evaluasi” sebagai indikator yang dominan, sehingga “faktor 3” dapat dinamai dengan “evaluasi”. b. Indeks kesukaran instrumen evaluasi

Berdasarkan hasil penghitungan indeks Aiken instrumen evaluasi menggunakan program Microsoft Excel 2010, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 22. Perolehan Indeks Kesukaran Butir Soal Nomor Soal Indeks Kesukaran Keterangan

1 0,3288 Sedang

2 0,4425 Sedang

3 0,7260 Mudah

4 0,5027 Sedang

5 0,3753 Sedang

6 0,5500 Sedang

7 0,3329 Sedang

8 0,4658 Sedang

Rata-rata 0,4655 Sedang

Berdasarkan tabel di atas, soal yang masuk kategori mudah adalah nomor 3. Sedangkan soal yang masuk kategori sedang (baik) adalah nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, dan 8. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada soal yang masuk kategori sulit. Namun, tingkat kesukaran yang tergolong mudah tidak bernilai 1 (terlalu mudah) sehingga soal nomor 3 masih bisa dipakai untuk mengukur kemampuan siswa (Allen & Yen, 1979: 121).

c. Indeks daya beda instrumen evaluasi

Berdasarkan hasil penghitungan indeks daya beda butir soal, diperoleh bahwa instrumen evaluasi yang dikembangkan memiliki koefisien point biserial sebesar 0,838. Hal ini menunjukkan bahwa


(61)

61 kemampuan instrumen dalam membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah adalah sangat baik.

d. Reliabilitas instrumen evaluasi

Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh bahwa instrumen evaluasi yang dikembangkan memiliki reliabilitas sebesar 0,417. Setelah dikonsultasikan dengan pada signifikansi 5%, diperoleh bahwa lebih besar daripada . Hal ini menunjukkan bahwa instrumen tersebut dapat dikatakan reliabel. Sedangkan, jika diinterpretasikan menggunakan Tabel 8 halaman 47, maka instrumen dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang cukup.

B. Pembahasan

1. Instrumen evaluasi yang dikembangkan cukup valid untuk mengukur kemampuan berpikir kritis

Berdasarkan pembuktian validitas isi pada instrumen awal penelitian, Paket 1 memperoleh indeks Aiken sebesar 0,75, Paket 2 dan Paket 4 sebesar 0,78, serta Paket 3 sebesar 0,80. Secara keseluruhan, rata-rata indeks Aiken yang diperoleh instrumen awal penelitian adalah 0,78 yang masuk kategori cukup valid. Selain itu, berdasarkan Tabel 9 halalam 48, setiap paket instrumen awal memuat 4 indikator kemampuan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengembangan Soal Serupa TIMSS untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah pada Konten Aljabar Kelas VIII Pengembangan Soal Serupa TIMSS untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah pada Konten Aljabar Kelas VIII.

0 3 15

PENGEMBANGAN SOAL SERUPA TIMSS UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PEMECAHAN MASALAH PADA Pengembangan Soal Serupa TIMSS untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah pada Konten Aljabar Kelas VIII.

2 7 14

PENDAHULUAN Pengembangan Soal Serupa TIMSS untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah pada Konten Aljabar Kelas VIII.

5 14 5

PENGEMBANGAN SOAL SERUPA TRENDS IN INTERNATIONAL SCIENCE STUDY (TIMSS) UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM Pengembangan Soal Serupa Trends In International Science Study (TIMSS) untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pemecahan Masalah

0 3 15

Pengembangan Soal Serupa TIMSS untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah pada Konten Bilangan Kelas VIII Pengembangan Soal Serupa Timss Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Dan Pemecahan Masalah Pada Konten Bilangan Kelas VIII.

0 2 15

PENGEMBANGAN SOAL SERUPA TIMSS UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PEMECAHAN MASALAH PADA Pengembangan Soal Serupa Timss Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Dan Pemecahan Masalah Pada Konten Bilangan Kelas VIII.

0 2 14

PENDAHULUAN Pengembangan Soal Serupa Timss Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Dan Pemecahan Masalah Pada Konten Bilangan Kelas VIII.

0 2 5

PENGEMBANGAN SOAL SERUPA TIMSS UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN PEMECAHAN MASALAH Pengembangan Soal Serupa Trends in International and Mathematics and Science Study (TIMSS) untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah pada K

0 3 15

KISI-KISI PENULISAN SOAL UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

1 1 8

A. KISI – KISI SOAL PENULISAN SOAL UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK - Analisis KBKM

1 17 26