selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang
dipinjam dari toko persewaan pakaian barat. Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan
pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi
terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih
memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih
mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan. Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang
mengikuti dinas militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan
model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak stand- up collar persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho,
pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari andonbakama kimono dan hakama menjadi pakaian
Barat yang disebut serafuku sailor fuku, yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok id.wikipedia.orgwikikimono.
i. Zaman Showa
Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin
fuku seragam rakyat. Wanita dipaksa memakai monpei yang berbentuk seperti
celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali
mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat
dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari . Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai
wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari
bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai. Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono
mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan peraturan mengenakan
kimono yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk
mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono
makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan promosi besar- besaran, opini memakai kimono itu ruwet sudah terbentuk di tengah
masyarakat Jepang. Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian
santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga komik yang dibuat di Jepang terbitan tahun
1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di
rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin id.wikipedia.orgwikikimono.
2.1.2.2 Hanbok
Hanbok Korea Selatan atau Chos ŏn-ot Korea Utara adalah pakaian
tradisional masyarakat Korea.Hanbok pada umumnya memiliki warna yang cerah, dengan garis yang sederhana serta tidak memiliki saku. Walaupun secara
harfiah berarti pakaian orang Korea, hanbok pada saat ini mengacu pada pakaian gaya Dinasti Joseon yang biasa dipakai secara formal atau semi-
formal dalam perayaan atau festival tradisional.
Beberapa elemen dasar hanbok pada saat ini seperti jeogori atau baju, baji celana dan chimarok diduga telah dipakai sejak waktu yang lama,
namun pada zaman Tiga Kerajaanlah yaitu pada abad ke 16, pakaian sejenis ini mulai berkembang. Lukisan pada situs makam Goguryeo menunjukkan gambar
laki-laki dan wanita pada saat itu memakai celana panjang yang ketat dan baju yang berukuran sepinggang. Struktur tersebut sepertinya tidak banyak berubah
sampai saat ini. Pada akhir masa Tiga Kerajaan, wanita dari kalangan bangsawan mulai
memakai rok berukuran panjang dan baju seukuran pinggang yang diikat di pinggang dengan celana panjang yang tidak ketat, serta memakai jubah
seukuran pinggang dan diikatkan di pinggang. Pada masa ini, pakaian berbahan sutra dari Tiongkok Dinasti Tang diadopsi oleh anggota keluarga kerajaan
dan pegawai kerajaan. Ada yang disebut Gwanbok, pakaian tradisional untuk pegawai kerajaan pada masa lalu.
Periode Goryeo
Ketika Dinasti Goryeo 918–1392 menandatangani perjanjian damai dengan Kerajaan Mongol, raja Goryeo menikahi ratu Mongol
dan pakaian pegawai kerajaan lalu mengikuti gaya Mongol. Sebagai hasil dari pengaruh Mongol ini, rok chima jadi sedikit lebih pendek.
Sedangkan Jeogori baju untuk tubuh bagian atas diikat ke bagian dada dengan pita lebar, sedangkan lengan bajunya didesain agak ramping.
Periode Joseon Pada masa Dinasti Joseon, jeogori wanita secara perlahan
menjadi ketat dan diperpendek. Pada abad ke-16, jeogori agak menggelembung dan panjangnya mencapai di bawah pinggang. Namun
pada akhir abad ke-19, Daewon-gun memperkenalkan magoja, jaket bergaya manchu yang sering dipakai hingga saat ini.
Chima pada masa akhir Joseon dibuat panjang dan jeogori menjadi pendek dan ketat. Heoritti atau heorimari yang terbuat dari
kain linen difungsikan sebagai korset karena begitu pendeknya jeogori. Kalangan atas memakai hanbok dari kain rami yang ditenun atau bahan
kain berkualitas tinggi, seperti bahan yang berwarna cerah pada musim panas dan bahan kain sutra pada musim dingin. Mereka menggunakan
warna yang bervariasi dan terang. Rakyat biasa tidak dapat menggunakan bahan berkualitas bagus karena tidak sanggup
membelinya. Umumnya dahulu kaum laki-laki dewasa mengenakan durumagi semacam jaket panjang saat keluar rumah
id.wikipedia.orgwikihanbok.
2.2 Jenis – jenis Kimono dan Hanbok 2.2.1 Jenis Kimono