perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya fasilitas pembatalan cancel, edit, dan konfirmasi ulang.
Dengan demikian, kewajiban penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur dalam sebuah transaksi elektronik adalah
untuk memfasilitasi transaksi elektronik berjalan dengan lancar.
2. Kaidah Transaksi Elektronik e-commerce Dalam PP No. 82
Tahun 2012
Mengingat ketentuan tentang transaksi elektronik e-commerce tidak hanya terdapat dalam UU ITE, oleh karena beberapa
ketentuan harus diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 sebagai aturan pelaksana UU ITE, maka Penulis juga akan
meneliti kaidah-kaidah yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah a quo, yang dapat digunakan untuk melihat kedudukan e-commerce
atau transaksi elektronik dalam perspektif UU ITE. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut, pengaturan tentang transaksi
elektronik e-commerce diatur dalam Bab IV yakni dari Pasal 40 hingga Pasal 51.
Pertama, ruang lingkup dari transaksi elektronik yakni e- commerce dalam konteks PP No. 82 Tahun 2012 adalah sama
seperti yang diatur dalam UU ITE yaitu terdiri dari lingkup publik dan lingkup privat.
62
Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik oleh
62
Pasal 40 ayat 1 PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sisitem Dan Transaksi Elektronik.
instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE.
63
Artinya, pihak yang dapat menyelenggarakan transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah Instansi atau pihak lain
yang memang
diberikan tugas
dan wewenang
untuk menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan
dalam UU ITE. Sedangkan untuk penyelengaraan transaksi elektronik lingup
privat diatur dalam Pasal 40 ayat 3 yang berbunyi, “penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat
meliputi transaksi elektronik: ”
a. antar- pelaku usaha;
b. antara pelaku usaha dengan konsumen;
c. antarpribadi;
d. antar Instansi;
e. antara Instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, transaksi elektronik yang para pihaknya
terdiri dari pihak-pihak yang disebutkan di atas, masuk dalam kategori transaksi elektronik lingkup privat. Dalam hal ini, pihak-
pihak yang sudah disebutkan tersebut dapat melakukan suatu
63
Pasal 40 ayat 2 PP No. 82 Tahun 2012.
transaksi elektronik yang menurut UU ITE merupakan bagian dari lingkup privat.
Kedua, pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk transaksi elektronik terdapat penyelenggaranya. Di dalam Pasal 41
PP No. 82 Tahun 2012, untuk penyelenggara transaksi elektronik dalam lingkup publik maupun privat dilengkapi dengan sertifikat
keandalan danatau sertifikat elektronik.
64
Berbeda dengan penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat, penyelenggara
transaksi elektronik lingkup publik wajib menggunakan sertifikat keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan
Indonesia yang terdaftar, atau jika menggunakan sertifikat elektronik maka wajib menggunakan sertifikat yang disertifikasi
oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi.
65
Sedangkan untuk penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat hanya dikatakan dapat menggunakan sertifikat keandalan
yang disertifikasi oleh Lembaga sertfifikasi Keandalan Indonesia yang terdaftar, atau dapat pula menggunakan sertifikat elektronik
yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi.
66
64
Pasal 1 angka 18 menyebutkan sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para
pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Sedangkan pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa, sertifikat keandalan adalah dokumen yang
menyatakan pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan.
65
Pasal 41 ayat 2 dan 3.
66
Pasal 42 ayat 1, 2, dan 3.
Ketiga, Pasal 46 ayat 1 menyatakan, transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak.
Rumusan tersebut hendak menegaskan kembali bahwa, transaksi elektronik yang sudah dinyatakan sah oleh para pihak, secara
hukum akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Sehingga, nantinya para pihak yang terlibat di dalam transaksi
elektronik tersebut wajib mempertanggung jawabkan segala akibat hukum yang timbul dari transaksi elektronik yang dilakukan.
Selain itu, dalam menyelenggarakan transaksi elektronik para pihak wajib memperhatikan asas-asas yang terkandung di dalam
penyelenggaraan transaksi elektronik. Asas-asas tersebut antara lain,
a. asas itikad baik;
b. prinsip kehati-hatian;
c. transparansi;
d. akuntabilitas; dan
e. kewajaran.
Mengenai asas itikad baik dalam suatu transaksi elektronik dalam kaitannya dengan suatu perjanjian, maka hal tersebut
sejatinya adalah asas yang diambil dari hukum perdata, yang diatur dalam Pasal 1338 3 yang menyebutkan bahwa, perjanjian-
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Berkenaan dengan asas iktikad baik, Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan iktikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau
“secara jujur”. Sehingga suatu perjanjian yang dilakukan dengan iktikad baik bermakna, perjanjian itu harus dilaksanakan dengan
penuh jujur antar para pihak.
67
Selanjutnya, Agus Yudha Hernoko juga menyatakan bahwa, “pengaturan Pasal 1338 3 yang menetapkan bahwa persetujuan
harus dilaksanakan dengan iktikad baik, maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan
”.
68
Oleh karena itu, dalam konteks transaksi elektronik pun yang dilaksanakan menurut suatu perjanjian, maka asas iktikad baik
harus dimaknai dan dilaksanakan seperti yang terdapat di dalam ketentuan hukum perdata Indonesia.
Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah prinsip dalam hukum adalah prinsip yang mewajibkan para pihak yang berjanji dalam hal
ini melakukan suatu transaksi elektronik e-commerce untuk selalu berhati-hati agar segala tindakan yang dilakukan nantinya tidak
akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Prinsip transparansi sejatinya berkaitan dengan keterbukaan
akan informasi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Oleh karena transaksi elektronik dilakukan
melalui suatu media yang tidak mempertemukan para pihak secara
67
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 134.
68
Ibid, hlm. 135.
langsung, maka sikap transparan akan segala macam informasi harus dikedepankan oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi pihak lainnya. Akuntabilitas berkaitan dengan pertanggung jawaban para pihak
atas informasi-informasi atau segala sesuatu yang terjadi dalam transaksi elektronik. Artinya, para pihak dalam transaksi elektronik
dituntut untuk selalu dapat mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang terjadi dalam pelaksanaan transaksi elektronik.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran” adalah mengacu
pada unsur kepatutan yang berlaku sesuai dengan kebiasaan atau praktik bisnis yang berkembang. Sehingga, jika para pihak yang
melakukan transaksi elektronik diwajibkan untuk tidak melakukan suseuatu hal yang berada di luar kebiasaan atau praktik bisnis yang
berkembang atau yang selama ini dipraktikan.
69
Keempat, dalam Pasal 47 ayat 1 disebutkan bahwa, transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau
bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Rumusan pasal ini untuk menjustifikasi
kembali bahwa sebuah transaksi elektronik dapat dilakukan melalui kontrak elektronik, atau bentuk-bentuk kontraktual lainnya sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
69
Penjelasan Pasal 46 ayat 2 huruf e.
Oleh karena itu, dalam transaksi elektronik sebuah kontrak dianggap sah apabila:
70
a. terdapat kesepakatan para pihak;
b. dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang
berwenang mewakili sesuai dengan peraturan perundang- undangan;
c. terdapat hal tertentu; dan
d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Jika ditelusuri lebih jauh, maka sejatinya syarat sahnya sebuah
kontrak dalam transaksi elektronik tidak berbeda dengan syarat sahnya sebuah perjanjian dalam hukum perdata sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 disebutkan bahwa, untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat
syarat: a.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c.
suatu pokok persoalan tertentu; d.
suatu sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sahnya suatu
perjanjian transaksi elektronik yang terjadi di dunia maya, secara hukum tetap merujuk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana
70
Pasal 47 ayat 2.
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang selama ini sudah dijalankan di Indonesia.
Selain itu, dengan diaturnya syarat sah suatu transaksi elektronik yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320
KUHPerdata, sekaligus menunjukan bahwa, transaksi elektronik merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, sebagaimana juga
yang telah ditulis oleh Subekti mengenai perikatan-periakatan baik yang lahir dari undang-undang maupun dari perjanjian oleh para
pihak.
71
Kelima, di dalam transaksi elektronik terkait dengan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, terdapat beberap kewajiban
yang dialamatkan kepada pelaku usaha khusus untuk suatu transaksi elektronik. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud antara
lain:
72
a. pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem
elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk
yang ditawarkan. b.
Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
c. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada
konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim
71
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan ke- 31, Jakarta, 2003, hlm. 134.
72
Pasal 49 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5.
apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
d. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai
barang yang telah dikirim. e.
Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar
kontrak. Sehingga, di dalam sebuah transaksi elektronik yang berkaitan
dengan pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha dalam hal ini tidak dapat berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan
tersebut di atas. Hal tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku usaha dalam menjalankan suatu transaksi elektronik.
Keenam, mengenai kapan suatu transaksi elektronik terjadi, kapan suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik terjadi, dan
bagaimana cara untuk melakukan kesepakatan tersebut, maka menurut Pasal 50 ayat 1 disebutkan bahwa, transaksi elektronik
terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak. Sedangkan untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan,
maka pada ayat 2 dinyatakan bahwa, kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terjadi pada saat penawaran transaksi yang
dikirm oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima. Artinya, kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik
dikatakan terjadi setelah terdapat penerimaan dan persetujuan akan penawaran yang ditawarkan.
Untuk mengetahui hal tersebut, maka kesepaktan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: tindakan penerimaan yang
menyatakan persetujuan atau tindakan penerimaan danatau pemakaian objek oleh pengguna sistem elektronik.
73
Sehingga, setidak-tidaknya suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik
dapat dilakukan melalui dua cara yang disebutkan. Ketujuh, di dalam transaksi elektronik diatur pula mengenai
jaminan yang dilakukan oleh para pihak dalam penyelenggaraan transaksi elektronik. Oleh karena itu di dalam Pasal 51 ayat 1
menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib menjamin pemberian data dan informasi yang benar
serta ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan bagi para pihak dalam melakukan suatu transaksi elektronik di mana para pihak masih
ragu atau belum memperoleh suatu informasi yang pasti mengenai suatu hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik.
Selain itu, dalam transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 51 ayat 2 memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan
pilihan hukum choice of law dalam melaksanakan suatu transaksi
73
Pasal 50 ayat 3.
elektronik, sebagaimana juga telah diatur secara tegas di dalam UU ITE.
74
B. KEDUDUKAN
E-COMMERCE SEBAGAI
SUATU PERJANJIAN
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari
cyber law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah
lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi law of information technology hukum dunia maya virtual world law dan
hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.
75
Dalam konteks transaksi elektronik e-commerce yang dilakukan di Indonesia, telah diatur secara rinci di dalam UU No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya
dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan
74
Pasal 51 ayat 2 menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan transaksi elektronik.
75
H. Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 1.