Bab V UU ITE

dituangkan di dalam Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 51 Selanjutnya, perihal transaksi elektronik yang dimaknai sebagai e-commerce sebagaimana diatur di dalam UU ITE sejatinya diatur di dalam Bab V yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Pengaturan mengenai hal tersebut mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 22. Uraian mengenai Bab V UU ITE akan dijelaskan di bawah ini, selain dari dua pasal yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.

1.2 Bab V UU ITE

Pertama, Pasal 17 UU ITE secara mendasar mengatur mengenai ruang lingkup dari transaksi elektronik yang dapat dilakukan dalam lingkup publik maupun lingkup privat serta prinsip itikad baik dalam melakukan suatu transaksi elektronik. 52 Ruang publik adalah yang berkaitan dengan segala transaksi elektronik yang dijalankan oleh instansi yang melayani kepentingan publik. Sedangkan untuk lingkup privat adalah berkaitan dengan transaksi elektronik antara pelaku usaha, pelaku usaha-konsumen, antarpribadi, dan sebagainya yang berkaitan dengan urusan privat. Dalam pada itu, Pasal 17 ayat 2 disebutkan pula bahwa para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi danatau pertukaran informasi elektronik 51 Pasal 4 huruf c menyebutkan bahwa, hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa. 52 Pasal 17 ayat 1 jo ayat 2 UU ITE. danatau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung. Ketentuan tersebut merupakan suatu prinsip yang juga dikembangkan atau ditulis kembali dari prinsip hukum perdata yang terkait dengan perjanjian yakni prinsip itikad baik. Sebagaimana diketahui bahwa, Pasal 1338 3 KUHPerdata menyatakan bahwa, perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penulis meyakini bahwa rumusan pasal tersebut lah yang mengilhami para perumus UU ITE agar prinsip itikad baik yang merupakan perintah hukum tersebut dimasukan kembali untuk mengatur suatu aktivitas e-commerce yang diatur dalam Pasal 17 ayat 2 UU ITE. Penulis berpendapat pula bahwa, baik ketentuan dalam Pasal 17 ayat 1 dan 2 hendak diletakan sebagai dasar penting dalam melakukan suatu transaksi elektronik aktivitas e-commerce, yaitu segala transaksi elektronik e-commerce yang dilakukan dalam lingkup publik maupun lingkup privat harus dilaksanakan dengan prinsip itikad baik oleh para pihak yang berkepentingan. Kedua, Pasal 18 ayat 1 menyebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Ketentuan pasal tersebut hendak menggaris bawahi mengenai daya ikat dari suatu kontrak atau perjanjian yang dilakukan melalui transaksi elektronik. Artinya, meskipun perjanjian tersebut dilakukan melalui suatu kontrak elektronik 53 namun perjanjian tersebut tetaplah perjanjian sebagaimana perjanjian konvensional yang mengikat para pihak, serta melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Mengenai hal tersebut, prinsip hukum yang diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU ITE merupakan pengakuan terhadap prinsip pacta sunt servanda jika merujuk pada Pasal 1338 1 yang menyebutkan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, Pasal 18 ayat 1 UU ITE juga tetap mengakui prinsip pacta sunt servanda, meskipun perjanjian yang dilakukan dalam konteks e-commerce dilakukan melalui cara yang berbeda dengan kegiatan perjanjian yang selama ini dikenal dan dipraktikan dalam aktivitas transaksi perdagangan. Di dalam Pasal 18 ayat 2 jo ayat 3 dan 4 berbicara tentang suatu transaksi elektronik berskala internasional. E-Commerce transaksi elektronik yang dilakukan antara para pihak yang berasal dari negara yang berbeda juga telah diatur. Artinya, ketentuan di dalam Pasal 18 ayat 2, 3, 4 dan 5 merupakan lex specialis bagi suatu e-commerce atau transaksi elektronik internasional. Di dalam P asal 18 ayat 2 disebutkan bahwa, “para pihak memiliki 53 Pasal 1 angka 17 UU ITE mendefinisikan kontrak elektronik sebagai suatu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya ”. Ketentuan tersebut secara hukum dikenal dengan sebutan Choice of Law oleh para pihak yang membuat perjanjian. Kaidah hukum yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat 2 tersebut merupakan manifestasi dari prinsip hukum yang sudah lama dikenal dalam praktik hukum perdata internasional. Artinya, kebebasan dari para pihak untuk menentukan hukum negara mana yang akan diterapkan dan mengikat kedua pihak diakui juga dalam transaksi elektronik internasional. Hal ini sekaligus menentukan Pengadilan mana yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang akan timbul, atau dalam istilah hukum internasional disebut Choice of forum. 54 Sebaliknya, rumusan tersebut tidak dimaknai bahwa suatu transaksi elektronik internasional akan secara otomatis tunduk pada hukum dari negara asal pelaku usaha. Sebagaimana dikatakan oleh A. Halim Barkatullah bawha, “Konsumen akan sangat dirugikan, jika terpaksa menyelesaikan sengketa dengan menggunakan hukum dan forum pelaku usaha, yang jauh secara hukum itu accountable. Ketika klaimnya kecil atau sedang, penuntut individu sering tidak mampu membayar biaya mengajukan gugatan di forum asing ”. 55 54 Pasal 18 ayat 4 disebutkan bahwa, para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan atau arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Dengan demikian para pihak yang terikat pada suatu transaksi elektronik internasional secara hukum memiliki kuasa yang penuh untuk menentukan forum pengadilan atau arbitrase manakah yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi nantinya. 55 Ibid, hlm. 63. Dengan demikan jelas bahwa, dalam e-commerce yang berskala internasional sebagaimana diakui dalam UU ITE tersebut, para pihak harus memperhatikan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang mungkin dapat terjadi dalam e- commerce internasioanl itu. Namun, bagaimanakah jika para pihak tidak bersetuju mengenai choice of law manapun dalam suatu transaksi elektronik e- commerce internasional? jika hal tersebut terjadi, maka prinsip hukum apakah yang akan digunakan dalam hal tersebut? menjawab pertanyaan tersebut, maka Pasal 18 ayat 3 UU ITE secara tegas menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Oleh karena itu, ketiadaan kata setuju tentang choice of law dari para pihak dalam transaksi elektronik internasional tidak berarti dapat mengakibatkan kekosongan hukum, oleh karena prinsip hukum perdata internasional akan secara otomatis berlaku dengan sendirinya. Hal tersebut juga secara mutatis mutandis berlaku dalam hal para pihak tidak menentukan choice of forum dalam penyelesaian sengketa. 56 56 Pasal 18 ayat 5 UU ITE menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat 4, penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Ketiga, menyangkut ruang atau tempat dilakukannya suatu transaksi elektronik, maka di dalam Pasal 19 dikatakan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Sebelum menjelaskan mengenai rumusan tersebut, hal yang pertama harus dipahami adalah tentang sistem elektronik yang dimaksud. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE, sistem informasi adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan danatau menyebarkan informasi elektronik. Artinya, perangkat dalam sebuah komputer yang dipakai oleh para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik e-commerce yang di dalamnya terdapat segala macam informasi mengenai suatu hal, maka perangkat yang demikian adalah sistem informasi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 UU ITE, sistem informasi untuk melakukan suatu transaksi elektronik e-commerce harus disepakati oleh para pihak. Sehingga, jika para pihak yang hendak melakukan transaksi elektronik harus memperhatikan sistem informasi manakah yang akan digunakan sebagai ruang atau tempat dilakukannya suatu transaksi elektronik. Hal tersebut juga penting untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang dilakukan itu adalah transaksi elektronik e-commerce karena dilakukan di dalam suatu sistem informasi, dan tunduk pada kaidah dalam Pasal 19 UU ITE. Keempat, berkaitan dengan kapan terjadinya suatu transaksi elektronik e-commerceyang diselenggarakan dalam sebuah sistem informasi, maka di dalam P asal 20 ayat 1 dikatakan: “kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima”. Rumusan tersebut bermakna, suatu transaksi elektronik e-commerce secara hukum dikatakan telah terjadi apabila sudah dilakukan penerimaan penawaran oleh penerima. Namun, hal tersebut dapat saja tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain yakni bukan pada saat diterimannya suatu penawaran, melainkan bergantung pada kesepakatan dari para pihak. Sejalan dengan itu, untuk mengetahui telah terjadi penerimaan atas penawaran di dalam suatu transaksi elektronik, maka diperlukan suatu pernyataan penerimaan secara elektronik dari penerima. Sebagaimana ditulis dalam Pasal 20 ayat 2 bahwa, persetujuan atas penawaran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Dengan demikian, kedua kaidah hukum tersebut sudah secara tegas menyatakan bahwa suatu transaksi elektronik terjadi pada saat diterimanya penawaran oleh penerima, dan persetujuan penerimaan penawaran tersebut harus dilakukan dalam pernyataan secara elektronik. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak berlaku secara imperatif bagi para pihak, mengingat kaidah tersebut dapat saja dinyatakan tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain dari kaidah-kaidah tersebut. Berkaitan dengan kapan terjadinyan suatu transaksi elektronik menurut UU ITE, maka sejatinya tidak dapat dilupakan atau dikesampingkan perihal kapan terjadinya suatu perjanjian sebagaimana dikenal selama ini di dalam hukum perjanjian Indonesia. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada empat prinsip yang digunakan untuk mengetahui kapan terjadinya suatu kesepakatan dalam perjanjian, yaitu: 57 a. Berdasarkan teori kehendak wilstheorie, mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan. b. teori penerimaan verzendstheorie, mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. 57 Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cetakan I, Alumni, Bandung, 1983. Hlm. 98. c. teori pengetahuan vernemingstheorie mengajarkan bahwa, pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. d. teori kepercayaan vertrouventstheorie mengajarkan bahwa, kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehedak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Berdasarkan pada pendapat Mariam Darus Badrulzaman tersebut di atas, nampaknya transaksi elektronik e-commerce dalam UU ITE melalui Pasal 20 ayat 1 jo ayat 2 menerapkan prinsip yang kedua, yaitu teori penerimaan. Hal tersebut jelas dikatakan bahwa, transaksi elektronik dianggap terjadi jika pihak penerima telah menerima penawaran, dan melakukan pernyataan penerimaan secara elektronik. Sehingga, untuk menjustifikasi kembali bahwa secara hukum saat terjadinya suatu transaksi elektronik e-commerce jika tidak disepakati lain oleh para pihak adalah pada saat terjadi penerimaan penawaran oleh penerima, dan harus disertai dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Kelima, Pasal 21 ayat 1 UU ITE mengatur mengenai subyek hukum yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. Subyek hukum tersebut antara lain, Pengirim, Penerima atau para pihak yang berjanji, pihak yang menerima kuasa, agen elektronik. Empat subyek hukum yang disebutkan di atas adalah pihak-pihak yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. 58 Pengirim atau penerima adalah para pihak yang berkepentingan langsung atau pihak yang melakukan perjanjian untuk melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkann pihak yang menerima kuasa adalah pihak yang menjalankan transaksi elektronik oleh karena menerima kuasa dari salah satu pihak yang berjanji untuk melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkan agen elektronik 59 adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang. Sehingga, jika dalam pelaksanaan sebuah transaksi elektronik yang seyogiyanya menimbulkan akibat hukum, maka segala akibat hukum yang ditimbulkan harus dipertanggung jawabkan. Mengenai hal tersebut, Pasal 21 ayat 2 menyebutkan, pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur sebagai berikut: - jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; 58 Pasal 21 ayat 1 UU ITE sendiri berbunyi, Pengirim atau Penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. 59 Pasal 1 angka 8 UU ITE. - jika dilakukan melalui pemberi kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau - jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan transaksi elektronik baik itu oleh para pihak yang bertransaksi, penerima kuasa, maupun oleh agen elektronik masing-masing memiliki pertanggung jawaban hukum dalam hal terjadi suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari pelaksanann transaksi elektronik tersebut. Selain menimbulkan akibat hukum, dalam hal terjadi kerugian yang ditimbulkan dari suatu pelaksanaan transaksi elektronik, maka akan diikuti pula dengan pertanggung jawaban hukum berupa ganti rugi dari pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal penting yang harus dipahami di sini adalah, dalam transaksi elektronik e- commerce segala kerugian yang ditimbulkan melalui pelaksanaan transaksi elektronik menjadi perhatian sepenuhnya dari Agen elektronik selaku penyelenggara sistem elektronik, tempat di mana suatu transaksi elektronik dilakukan. Berkaitan dengan itu, maka Pasal 21 ayat 3 menyatakan, jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. Menurut pendapat Penulis, rumusan tersebut secara implisit mengandung prinsip hukum caveat emptor yakni pelaku usaha harus berhati-hati. Dalam konteks ini, agen elektronik yang menawarkan jasanya sebagai penyelenggara sistem elektronik tempat di mana dilaksanakannya transaksi elektronik, harus benar- benar berhati-hati dalam menjalankan atau menyelenggarakan agen elektronik, agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang menjalankan transaksi elektronik. Hal yang sama juga berlaku bagi pengguna jasa layanan, di mana dalam Pasal 21 ayat 4 disebutkan, jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan. 60 Artinya, agen elektronik yang sudah menjalankan sistem elektronik dengan penuh hati-hati, namun oleh penyebab pengguna jasa layanan menimbulkan kerugian bagi pihak yang menjalankan transaksi elektronik, maka agen elektronik dalam hal ini lepas dari 60 Rumusan dalam Pasal 21 ayat 3 dan ayat 4 UU ITE menurut pendapat Penulis menggunakan prinsip Presumption of liability asusmsi bersalah, yakni pihak yang berada dalam suatu perikatan di mana menimbulkan kewajiban bagi dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, akan selalu dianggap bersalah jika kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal tersebut ternyata menimbulkan kerugian. Namun, perbuatan tersebut dapat dinyatakan sebaliknya jika ditemukan suatu bukti menyatakan bahwa kerugian tersebut bukan ditimbulkan oleh tindakan orang tersebut. Lihat, AbdulKadir Muhamad. Hukum Pengangkutan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung., Bandung, 2005. Hlm, 189. tuntutan hukum untuk mengganti kerugian, namun yang bertanggung jawab adalah pengguna jasa layanan. Akan tetapi, baik agen elektronik maupun pengguna jasa layanan dapat tidak bertanggun jawab atas kerugian yang timbul dalam sebuah transaksi elektronik apabila terjadi keadaan memaksa, kesalahan, danatau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. 61 Hal ini berarti, jika suatu kerugian yang ditimbulkan dalam transaksi elektronik bukan merupakan kesalahan atau kelalaian atau akibat dari perbuatan agen elektronik atau pengguna jasa layanan, maka yang bertanggung jawab adalah pengguna sistem elektronik. Keenam, Pasal 22 ayat 1 memberikan kewajiban bagi penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur yang memungkinkan perubahan informasi dalam suatu transaksi elektronik. Selanjutnya Pasal 21 ayat 1 berbunyi, “penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. ” Dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan 61 Pasal 21 ayat 5 UU ITE. perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya fasilitas pembatalan cancel, edit, dan konfirmasi ulang. Dengan demikian, kewajiban penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur dalam sebuah transaksi elektronik adalah untuk memfasilitasi transaksi elektronik berjalan dengan lancar.

2. Kaidah Transaksi Elektronik e-commerce Dalam PP No. 82